"Kamu itu sama busuknya dengan aku. Jangan sok suci, An."
"Siera udah pergi. Jelas. Dia pasti nggak mau sama laki-laki kayak kamu."
"Orang-orang bilang, apa yang kita lakuin salah. Kita berdosa, jadi, ayo bersama menanggung upah dosa itu, An. Kita bisa sama-sama lagi."
Di kursinya, Dean mengusap wajah. Wajah yang nyaris selalu dihiasi ekspresi lelah, sendu dan dingin.
Pria itu kembali mengingat semua ucapan Nara siang ini, di ruangannya. Kalimat-kalimat yang semakin membuat rasa percaya diri Dean habis terkikis. Mematahkan hati dan harapan, membuatnya merasa kosong, tak berharga dan bersalah.
Dikatai demikian, jelas lelaki itu tak punya penyangkalan. Ia dan Nara memang sama-sama busuk. Melakukan sesuatu yang busuk, yang jelas-jelas dilarang. Bukan sekali dua kali, tetapi selama tiga tahun penuh.
Dean menyebut Nara sialan, busuk dan iblis? Mungki
Benar yang orang-orang katakan. Sesuatu akan terasa berharga dan amat sangat penting, saat sudah tiada.Dulu, mana pernah Dean punya niat melakukan hal seperti ini. Membayangkan saja mungkin tidak pernah. Namun, telanjur rindu, menepikan gengsi sedikit, pria itu tak lagi malu.Di hari libur, setelah tadi sempat tidur-tiduran tidak jelas di rumah yang sepi, Dean memutuskan mengunjungi Mike. Bertukar kabar dan mengobrol dengan sang ayah sebentar, lalu pergi ke kamar orang tuanya. Menempati sisi ranjang yang dulu dipakai Ana.Dean rindu. Jika bisa, ia ingin Ana ada di sana. Di sampingnya, menemaninya melewati masa hukuman yang luar biasa menyesakkan.Tidak disiksa dengan penyakit, yang Dean alami saat ini lebih parah. Pria itu ditipu, diliputi sesal dan rasa bersalah serta yang paling memilukan, ditinggalkan.Berbaring di kasur yang selalu ibunya pakai dulu, Dean menyadari itu hanya perbuatan sia-sia. Namun, tetap dilakuk
"Aku udah enggak punya tanggung jawab apa-apa lagi sama dia, Siera. Apa ... di sana kamu betah tanpa aku? Kamu ... kamu benar-benar udah lupa sama aku?"Dean kembali tak mendengar suara apa-apa. Tak sabar, pria itu memecah sepi."Siera? Kamu dengar aku?"Ada tawa dari seberang sana. Namun, Dean yakin itu bukan ungkapan rasa senang. Alih-alih tak sabar seperti tadi, Dean mendadak diserang rasa takut dalam diamnya."Makin andal kamu bohongnya, ya? Aku enggak suka. Kamu bikin aku nangis ini."Ada sesuatu yang pecah di dada Dean. Menghantar sakit dan pahit yang teramat."Kamu kira aku bakal percaya, ya? Kayak yang udah-udah?"Dean menangkap suara isakan. Pria itu menjambak rambutnya. Sekali lagi, harapnya harus hancur tak bersisa."Aku enggak bohong, Siera. Aku enggak bohong. Nara memang enggak hamil.""Jahat kamu. Kamu suruh dia aborsi? Ah, kenapa kamu bisa jadi sejahat
Dean menepikan mobilnya di dekat sebuah pohon. Pria itu mematikan mesin mobil, lantas membuka sabuk pengaman. Jalanan lengang. Udara dingin langsung menyapa kala pria itu membuka kaca jendela. Kepala Dean tergolek di sandaran kursi. Mata pria itu memejam, helaan napasnya terdengar berat.Ini masih pukul empat pagi. Harusnya masih bisa tidur nyenyak, tetapi Dean malah harus mengemudi menuju rumah. Dengan kondisi tubuh lelah, pikiran kusut dan hati nelangsa.Seharian tadi, Dean bersama Intan. Mereka pergi nonton, makan, jalan-jalan dan ya, bersenang-senang seperti yang Intan mau. Namun, bukannya rileks, Dean malah dihinggapi rasa lelah dan muak.Entahlah. Semua terasa begitu buruk bagi Dean. Sekali pun ia bersama Intan, semua terasa hambar. Tak ada gairah, tak ada semangat. Hanya ada kosong yang memuakkan.Padahal, dulu lelaki itu pikir semua akan jadi sedikit lebih baik. Menjadi seburuk yang Nara tuduhkan, menceburkan
Siera gegas mengusapi pipinya yang basah saat sang bibi ikut bergabung di teras rumah. Malam sudah larut, Siera pikir bibinya itu sudah tidur."Kenapa, Siera?" Sasa yang tadi sempat mendengar isakan sang keponakan mengambil tempat di sebelah Siera. Ia usap kepala perempuan itu.Yang ditanya menggeleng. Inginnya berhenti tersedu, tetapi malah sebaliknya. Siera hanya bisa menurut saat sang bibi menariknya ke dalam pelukan."Dean, ya?"Siera mengangguk pelan. Bahkan Sasa pun tahu siapa satu-satunya yang bisa membuat ia menangis. Dean."Bibi nggak bisa atur hati kamu. Tapi, saran bibi. Jangan setengah-setengah. Kalau memang mau lupain dia, lakukan seratus persen. Kalau memang enggak bisa, ya, jangan memaksakan diri."Sasa ini adalah sepupu dari Atla, ibunya Siera. Wanita berusia 50 tahun itu tinggal sendirian di sebuah desa yang jauh dari kota. Suaminya sudah meninggal dua tahun lalu, Sasa tak dikaruniai anak.
"Tolong dijaga supaya Bapaknya tidak terlalu banyak pikiran. Harus teratur makan, istirahat dan obatnya." Dokter itu bicara sembari keluar dari kamar Mike. Pada perempuan yang mengantarnya, ia tersenyum kemudian pamit.Siera menutup pintu rumah Mike dari dalam. Mengusap wajah yang dihiasi raut sedih, perempuan itu melangkah ke dapur."Bu, tolong buatkan sup untuk Papa, ya? Habis ini, mau aku ajak makan."Bu Ratna menganguk dengan senyum di wajah. "Saya senang Nak Siera kembali ke rumah ini lagi. Biar Pak Mike ada temannya."Kembali. Benarkah Siera kembali?Siang tadi, niat Siera datang ke kediaman Mike semata hanya ingin bertamu, menjenguk pria yang pernah jadi mertuanya itu sebentar. Namun, tiba-tiba saja Mike mengeluh pusing dan hampir jatuh pingsan.Siera yang memanggil dokter, karena Mike bersikeras tak mau ke rumah sakit.Dari dokter, Siera tahu jika Mike kurang istirahat dan tekanan dara
"Mbak ini siapa, ya?" Siera berusaha terlihat biasa saja. Pada Dean yang terus-terusan menatap, perempuan itu hanya melirik sekilas."Kamu siapa? Ibunya Dean?" tanya Intan asal. "Tadi kamu bilang ini rumah ayah kamu, 'kan?" Wanita itu beralih pada si pria.Oh, Siera paham. Wanita cantik itu ternyata tamunya Dean. Sebenarnya ia tak mau ikut campur. Namun, keadaan Mike yang memaksanya untuk menyampaikan beberapa kata.Pada si mantan suami perempuan itu menatap dengan sorot tegas. "Tolong. Jangan di rumah ini. Papa lagi sakit. Jangan sampai Papa tambah parah karena lihat kalian berdua."Dean berdiri. Wajahnya mengeras. "Apanya yang jangan di sini?" tantang pria itu tak senang.Siera tak melepas tatapan. "Apa yang mau kamu lakuin sama dia.""Memang apa yang mau aku lakuin sama dia? Kamu bisa prediksi masa depan sekarang?"Lama bertukar tatap dengan sang mantan suami, Siera mengulum senyum. Perempu
Ini benar-benar di luar prediksi Dean. Sangking terkejutnya, pria yang mengenakan kaus biru itu hanya mampu duduk dengan kepala tertunduk di depan sebuah ruang rawat. Dari datang tadi, hingga sekarang.Tak diduga, setelah sempat terlihat kembali sehat, siang tadi Mike tiba-tiba saja jatuh pingsan lagi. Dokter yang menangani sang ayah memberitahu bahwa Mike mengalami serangan jantung ringan, yang syukurnya tidak sampai membahayakan nyawa.Yang paling membuat Dean terpukul adalah karena kembali bukan dirinya yang ada di samping sang ayah saat serangan jantung ringan itu terjadi. Dean sedang ada di luar tadi, menemui Intan. Siera yang membawa Mike ke rumah sakit. Mengurusi segalanya, selayaknya anak. Sedangkan yang harusnya melakukan itu malah bersenang-senang di luar bersama orang lain.Dean tahu dirinya bersalah, karena itu tak mengatakan apa-apa, saat Siera yang keluar dari ruang rawat Mike memberikan satu pukulan di lengan. Baik
Warning! 18+Sebelumnya, Dean tak pernah merasakan sesuatu yang sesakit ini. Pria itu sudah memukuli kepala, meninju dinding di kamar, tetapi rasa pedih itu tak kunjung sirna. Malah semakin akut, seiring dengan terus berdengungnya suara Siera yang menyuruhnya untuk enyah.Jika dipikirkan lagi, Dean paham apa yang Siera sampaikan adalah benar. Ja memang sudah sangat keterlaluan. Tidak berbakti, malah membuat Mike sakit.Bayangan Ana yang menangis juga Mike yang kecewa menambah semarak lara. Dean putus asa. Sakitnya teramat, tetapi ia tak bisa berteriak untuk melampiaskan atau menyudahinya.Di sela-sela frustrasi itu, Dean teringat Nara. Sesuatu dari mantan kekasihnya itu menyelip di kepala."Ini untuk menyalurkan rasa sakit. Kalau sakitnya juga enggak hilang, mungkin aku bisa mati dan itu pasti akan lebih baik."Bayangan Nara yang sedang melukis pergelangan tangan dengan silet menuntun langkah gontai