Lia menuju kamarnya dan mengambil tas jinjing yang semalam di bawa Revan. Dia mulai mencari-cari baju apa yang bisa dia pakai untuk berenang.Ya, Lia sebenarnya sangat ingin berenang tapi dia malu pada Revan."Berenang nggak ya?" gumamnya sambil memandangi kaos ketat tak berlengan yang dia temukan di dalam tas nya. Kriing! Lia terkejut karena tiba-tiba teleponnya berdering. Buru-buru dia mencari asal suara itu dan akhirnya menemukannya di meja bulat yang ada di tengah kamarnya. "Anita?" Lirih Lia saat membaca nama sahabatnya muncul di layar ponselnya. "Halo?""Halo! Kamu di mana, Lia!" Seru Anita dari seberang. "Aku… aku… di…" Lia terbata, dia bingung harus menjawab apa. "Aku di rumah kamu, dan pintunya terkunci. Kamu ada di mana? Jangan bilang kamu tidur di rumah Pak Revan!""Ee.. ini, di… villa…""Amalia!" Teriak Anita setengah emosi. "Kamu nggak dengerin ucapanku!" sambungnya kesal. "Soalnya semalam…""Di apain kamu sama dia! Kamu nggak macam-macam, kan? Kalian nggak tidur
"Pagi…"Lia menoleh untuk melihat siapa yang menyapanya pagi-pagi. "Pak Tristan," Lia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Sebenarnya Lia merasa malu bertemu Tristan, karena Tristan sudah mengetahui hubungannya dengan Revan dan Tristan pun mengetahui status Revan. Tristan berjalan persis di sebelah Lia. Mereka hanya diam sambil berjalan melewati lorong panjang yang menghubungkan area parkir dan ruang perkantoran. "Mmm… kamu sudah baikan?" Tanya Tristan, dia berusaha menghilangkan aura canggung di antara mereka berdua. "Sudah, Pak. Terima kasih atas bantuannya kemarin," jawab Lia sopan. Dia masih menunduk dan tak berani menatap mata Tristan. "Mmm… Saya… Kamu tidak usah khawatir. Saya bukan orang yang suka ikut campur dengan urusan orang lain…" Tristan menatap Lia, menunggu reaksinya. Namun Lia masih menunduk dan tak mau menatapnya. "Saya cuma terkejut," Tristan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Revan yang Saya kenal berbeda sekali dengan Revan yang sekaran
Lia meregangkan otot-otot nya yang sedikit kaku. Sedari pagi, dia sudah berjibaku dengan pekerjaan yang menggunung karena dia bolos bekerja kemarin. Novi bilang, pekerjaannya bertambah banyak karena Lia tak masuk, namun kenyataannya tak ada satupun tugas-tugas Lia yang diselesaikan oleh Novi. Semuanya masih sama seperti saat Lia tinggalkan kemarin. Lia sadar betul, dan dia tak menyalahkan Novi. Karena Novi memang tak bisa diberi tanggung jawab. Lia bangkit dari duduknya, hendak menuju pantry untuk membuat kopi. Dia butuh asupan semangat dari wangi kopi. "Mau ke mana?" Tanya Novi ketus. "Pantry, kenapa?""Kirain mau pacaran!" Jawab Novi sambil mencibir. Lia mengerutkan alisnya sambil menggeleng pelan. Tak berniat melanjutkan perdebatan, Lia memilih segera pergi untuk membuat kopi. "Eh, Lia. Mau kemana?""Pak Tristan? Dari mana?" Bukannya menjawab pertanyaan Tristan, Lia malah balik bertanya. "Hmmm.. Ditanya, malah balik nanya!"Lia tersenyum di kulum, "Saya mau ke pantry, bikin
"Revan, sayang!"Revan, Tristan dan Lia, sontak menoleh saat mendengar suara merdu seorang wanita memanggil Revan. "Asti… " Gumam Revan yang tampak terkejut. Lia tersentak saat mendengar ucapan Revan. Jantungnya berdebar kencang saat menatap wanita yang sedang berjalan perlahan ke arahnya. Asti benar-benar sangat cantik, kulitnya putih seperti susu, wajahnya mulus dan glowing seperti artis-artis korea. Bukan hanya kulit wajahnya yang menawan, hidungnya pun menjulang sempurna dan bibirnya penuh berisi dan sangat seksi. Dan dari seluruh kesempurnaan itu, tubuh langsingnya yang bagaikan gitar spanyol melengkapi semuanya. Dengan rambut lurus selembut sutra sepanjang baju, dan dada serta pantat yang menonjol sempurna, bagaimana mungkin Revan tidak mencintainya? Seketika Lia merasa insecure, dia jika dibandingkan Asti -istri Revan- bagaikan langit dan bumi. Bagaikan burung merak dan burung gagak. Lia sungguh tak bisa dibandingkan dengan Asti, sudah pasti kalah telak! "Hai… perkenalka
'Siang ini, aku nggak bisa temani makan. Ada urusan dengan Asti.''Makan yang banyak, ya.'Lia hanya bisa mendesah saat membaca chat dari Revan. Tentu saja Revan akan makan siang dengan Asti, kan dia istrinya. Lia tersenyum kecut bersamaan dengan rasa sakit yang tiba-tiba terasa di hatinya. Dari awal, Lia memang sudah tau jika Revan memiliki istri terlepas dari hubungan mereka baik atau tidak, Lia pun tau konsekuensinya, namun ternyata, Lia tak pernah tau jika rasa sakitnya akan seperti ini. "Kamu nggak bawa bekal, Li?" tanya Mita sambil membuka bekal makan siangnya karena sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat 15 menit. "Nggak, Mit. Suka terbuang kalau masak. Mending beli aja," jawab Lia sambil mengambil dompet dari dalam tasnya. "Iya ya, mau masak juga buat siapa ya?" ucap Mita sambil tersenyum kecut memaklumi keadaan Lia. "Mau makan di mana?" tanya Rita ikut menimpali. "Dekat dekat sini aja, aku duluan ya," Pamit Lia sambil membuka pintu ruang Admin tepat sekali den
"Hai!" Asti menoleh dan menatap lelaki yang baru saja datang dengan mengendarai mobil suv berwarna putih. "Finally! Gue lama banget nungguin, Lo!" Kesal Asti sambil berjalan dan masuk ke dalam mobil lalu duduk di kursi penumpang yang berada di sebelah kursi kemudi. "Sorry… gue kira Lo bakal maksi sama suami, Lo. Si Revan. Oiya, gimana reaksi dia saat Lo bilang Lo tau hubungannya dengan Lia? Gue penasaran?""Ck! Nanti ah ngobrolnya! Gue bete! Panas banget tau nggak sih!" Kesal Asti. "Okey…" Si lelaki menurut dan mulai menjalankan mobilnya. Dia tersenyum smirk membayangkan wajahnya Revan. Dan Lia? bagaimana dia? Dia pasti kalang kabut tak karuan karena tau Revan sudah beristri. Ivan terkekeh, ya, lelaki itu adalah Ivan. Dulu saat bertemu Revan di warung sate buntel, Ivan memang merasa tak asing dengan wajah Revan. Dia seperti pernah melihatnya sebelumnya tapi dia lupa. Dan saat dia pergi ke Bandung untuk bertemu dengan Asti, dan bercengkrama di rumah wanita kaya raya itu, Ivan
Lia memasuki ruang klaim yang memang selalu sepi, karena penghuninya hanya dua orang saja, dan Pak Anhar -partner kerja Anita- selalu dapat tugas di luar kantor, sehingga Anita sering sendirian di ruangan itu. "Sini, Li!" Panggil Anita yang tengah sibuk dengan mesin printer nya. Lia mendekat dan duduk di dekat Anita, kemudian dia terdiam cukup lama sampai Anita yang memulai percakapan terlebih dahulu. "Kamu tau nggak, kenapa tiba-tiba istrinya Pak Revan datang ke sini?" Tanya Anita lirih, dia tak mau oercakapannya dengan Lia sampai di dengar orang di luaran sana, apalagi jika itu telinga Novi, bisa bahaya nanti. Lia hanya menggelengkan kepalanya. "Katanya mereka nggak akur? Mau cerai? Kok istrinya bisa datang, sih?" Kesal Anita. Memang sejak Anita tahu status Revan, dia langsung tak menyetujui kedekatan sahabatnya dengan atasannya itu, namun jika Lia dihadapkan dengan keadaan begini, tentu saja Anita akan melindungi sahabatnya itu. "Aku juga bingung, Nit. Aku merasa, hubungan Pa
Lia berada di kamarnya yang sederhana, dia berbaring telentang sambil menatap eternit kamarnya yang berwarna putih. Dia masih mengenakan dress yang dia pakai untuk bekerja. Hari ini bagaikan roller coaster baginya. Pagi hari dia merasa bahagia dan berbunga-bunga, mengenakan baju baru yang cantik dan mendapatkan perhatian dari kekasihnya, namun tak lama, bunga-bunga itu layu dan seketika membusuk karena kemunculan Asti. "Ibu…" Gumamnya. "Lia takut…"Tentu saja Lia merasa takut, dia adalah seorang pelakor. Ya, sebutkan yang sedang trend saat ini untuk wanita yang mencintai suami orang. Lia memejamkan matanya dengan rapat, "aku bukan pelakor…" Rintihnya. Bagaimana jika Asti tau hubungan Lia dengan Suaminya? Mungkinkah Asti akan marah sambil memukuli Lia? Di kantor? Di depan semua rekan kerjanya? Seperti video video yang berseliweran di sosial media, tentang istri sah yang melabrak pelakor. "Nggak!" Lia menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Ibu.. Bagaimana ini? Lia harus bagaimana
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd