"Jadi… bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Revan sambil melahap nasi goreng kambingnya. Lia berhenti makan sejenak dan menatap Revan, "bagaimana perasaanku?" Tanyanya tak percaya dengan ucapan Revan. "Aku takut, sedih, malu… entah apa rasanya. Yang pasti semua perasaan yang aneh ini bertumpuk jadi satu. Dan hasilnya hanya satu, marah!" Kesal Lia. "Marah?""Iya, marah! Aku marah pada diriku sendiri karena sudah berbuat bodoh!" Lia meletakkan sendok makannya lalu menghela napas dengan kasar. "Perbuatan bodoh apa yang sudah kamu lakukan?"Lia menatap Revan dengan tatapan tak percaya, "yang aku lakukan ini yang bodoh! Mau jadi simpanan suami orang, bodoh kan!?" ketusnya sambil menahan emosi. Revan menghela napas, "maaf… urusan ini jadi ruwet, aku sendiri kesal." Revan menjambak rambutnya sendiri. Tadinya Revan akan nekat bercerai dengan Asti, tak peduli dengan apapun. Tapi setelah Revan tahu Asti sudah menyadari semuanya tentang Lia, Revan jadi harus berhati-hati. Dia tak mau As
"Lo, dapat alamat Lia? Lagi di mana dia sekarang? Lagi sama Revan, kan?" celoteh Asti sambil menggoyang-goyangkan gelas kristal yang berisi cairan berwarna merah. Asti duduk santai di sebuah sofa sambil mengangkat sebelah kakinya. Dia hanya mengenakan bra berwarna hitam dipadukan dengan jubah tidur yang transparan. Rambutnya pun tergerai berantakan namun tetap terlihat seksi bagi Ivan dan mungkin siapapun yang melihatnya saat ini. "Dia bilang, dia sedang berada di rumahnya sendiri-""Bullshit! Nggak mungkin! Mereka pasti sedang tidur berdua!" geram Asti sambil meletakkan gelasnya sedikit kasar. "Revan nggak mungkin bisa menahan nafsunya untuk meniduri Lia! Aku tau seberapa besar hasratnya saat bercinta!" gumam Asti sambil membayangkan malam pertamanya dengan Revan dua tahun lalu. Jujur saja, walaupun mereka berdua melakukannya tanpa didasari rasa cinta, namun permainan Revan di ranjang tak pernah bisa Asti lupakan. Revan sangat hebat, namun Asti gengsi untuk meminta hal itu lagi,
"Lia, aku pergi dulu sebentar."Lia memandang jam di dinding dan mendesah, "tadi dia bilang sebentar, kok sudah lewat dari jam sepuluh, belum pulang juga…" Lia cemas. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Ivan adalah selingkuhan Asti, Revan pun berpikir jika Asti mengetahui tentang Lia pasti dari Ivan. dia ingin menemui Asti untuk mengancamnya agar tidak mengganggu Lia. Sebenarnya tadi Lia sempat mencegah Revan untuk pergi, karena hari sudah terlalu malam. namun Revan bersikeras untuk pergi karena dia berharap bisa memergoki Ivan juga. namun sayangnya Revan tak tau di Hotel mana Asti berada. Lagi-lagi Lia menghela napas. Pikiran-pikiran negatif mulai menari-nari dalam otaknya. Jangan-jangan Revan kembali ke pelukan Asti dan saat ini mereka sedang bersenang-senang di sana. Atau… Revan mengalami kecelakaan di jalan. Lia menggelengkan kepalanya dengan keras, benci sendiri karena otaknya terus menerus berpikir negatif. "Sabar Lia… sabar…" gumam Lia pada dirinya sendiri. 'Kriiiing
Cahaya matahari pagi menembus melalui sela-sela tirai jendela yang sedikit tersingkap, membuat Revan merasa sedikit terganggu. Akhirnya Revan membuka matanya perlahan, lalu kembali memejamkan nya karena tak tahan dengan cahaya yang terasa menusuk langsung ke bola matanya. Dengan mata masih terpejam, Revan bangun dan terduduk di ranjangnya. "Kepalaku…" Gumamnya sambil memijat keningnya. Seakan teringat kejadian semalam, Revan langsung tersentak kaget saat tak mendapati Lia di atas ranjang. "Lia…" Panggilnya. Revan menyingkap selimut putih yang menutupi tubuh polosnya, dan dia kembali tersentak. Ada bercak noda berwarna merah di atas sprei yang membuat hati Revan terasa teriris belati. "Apa yang sudah kulakukan!" Kesal Revan pada dirinya sendiri. Dengan gerakan cepat, dia mengambil celana piyama yang ada di lemari pakaian dan memakainya. Tanpa memakai baju atasan dan hanya mengenakan celana panjang warna abu, Revan berjalan cepat keluar dari kamarnya. Dia takut Lia pergi diam-di
"Sial!" Asti memukul cermin besar yang ada di depannya. Saking marahnya, dia langsung keluar dari ruangan Revan dan masuk ke toilet. Dan sekarang, dia sedang di sini, memelototi dirinya sendiri melalui cermin besar. "Gue harus telpon Ivan!" Geramnya sambil berusaha mengambil ponselnya dari dalam tas. "Dasar idiot!" Umpat nya sambil menekan nomor Ivan dan menelponnya. "Halo say-""Lo ngomong apa, bangsa*t!" Pekik Asti hilang kendali. "Kenapa? Ada apa?" Tanya Ivan bingung, suaranya berbisik, tampaknya dia sedang berada di tempat kerjanya, namun Asti tak peduli. "Siapa yang kasih izin Lo, ngomong tentang hubungan kita ke Revan!"Ivan terdiam, bingung. "Gue? Gue nggak pernah ngomong apapun sama Revan… Lo ngomong apa sih?!" tanyanya, masih tak mengerti maksud dari ucapan Asti. "Lalu, bagaimana bisa Revan punya rekaman suara Lo! Lo dengan begonya ngomong berselingkuh sama gue! Lo… otak Lo isinya apa sih!""...""Gara-gara Lo, Revan jadi punya senjata untuk ngancem gue di depan boka
"Lia?" Revan menatap Lia yang duduk terpekur di kursi penumpang tepat di sebelahnya. Sejak keluar dari kantor, Lia terus terdiam tak mau bicara. Dan itu membuat Revan bingung harus bagaimana. "Lia, kita sudah sampai. Ayo turun." Dengan lembut Revan menepuk pundak Lia hingga membuat Lia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Sampai… sampai di mana?" Lia celingukan melihat keadaan sekitar. "Kita sampai di villa, untuk sementara kamu tinggal disini dulu ya? Aku takut kalau kamu sendirian di rumah."Lia hanya diam sambil melihat ke luar, tatapan matanya kosong. Sepertinya Lia benar-benar shock karena kejadian di kantor tadi."Lia? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Revan lagi, dia sedikit khawatir dengan keadaan Lia saat ini yang terlihat tidak baik-baik saja. "Aku? Aku…" Lia menggelengkan kepalanya, "aku ingin istirahat, aku mau tidur…" Lalu bergegas keluar dari mobil Revan dan berjalan menuju kamar yang biasa dia tempati. "Lia," Revan mendekat dan berjalan persis di sebelah
Anita menatap temannya tak percaya, heran, kagum, semua campur aduk menjadi satu saat melihat Lia makan begitu banyak makanan yang tersedia di atas meja. "Li… perutmu nggak sakit makan segini banyak?" tanya Anita sambil duduk tepat di depan Lia yang asyik menikmati corn dog nya. Lia menggelengkan kepalanya, "aku pengen makan banyak dan pedas, ayo, kamu juga makan," Ajak Lia sambil mengacungkan corn dog nya. Anita langsung menolak, "sorry, gue nggak se-stres itu untuk makan membabi buta kayak gini," Ucapnya sambil memundurkan badannya. "Ini kamu beneran stres atau lagi hamil?" bisiknya. "Uhuk! Uhuk uhuk…" "Eh, kok kamu malah keselek?" Dengan cepat, Anita mengambilkan segelas air putih dan menyerahkan pada Lia, lalu dia pun menepuk-nepuk pundak Lia agar batuknya mereda. "Jangan-jangan bener ya?" Bisik Anita. "Bener apanya?" tanya Lia sambil menyapukan tisu di sekitar bibirnya. "Kamu hamil? Sudah ngapain aja kalian, hah?! Dasar cowok brengsek!" geram Anita sambil menoleh, menata
"Kamu siap?" Revan menatap Lia yang duduk di sebelahnya. Lia tampak terdiam dan terus tertunduk. Hati kecilnya enggan untuk pergi karena dia merasa malu dan takut, namun semalam Pak Rudi, sang direktur utama menelponnya secara langsung dan meminta agar Lia datang ke kantor pusat untuk menemuinya. Mau tidak mau, Lia tetap harus berangkat. Lia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya. "Ya," jawabnya singkat. "Tenang saja, ada aku. Kamu nggak sendirian," ucap Revan sambil menggenggam jemari Lia. Belum juga Lia bisa melupakan kejadian malam itu saat Revan dan dirinya terpaksa berhubungan, lalu tak lama muncul Asti yang mengamuk di kantor dan membuat seluruh rekan kerja Lia mengetahui rahasianya selama ini, dan sekarang dia juga harus menemui Pak Rudi, sang Direktur, secara langsung karena kejadian menggemparkan itu. Dalam tiga hari ini, dunia Lia serasa jungkir balik tak karuan. Kehidupannya yang dulu begitu damai dan membosankan seketika berubah 180° karena bertemu dengan le
“Ayo, Lia!” ajak Tinik sambil menarik tangan Lia yang sedang sibuk memasukkan nota ke dalam map. Karena uang yang diberikan Nyonya Cici tak cukup untuk membeli map ordner, Lia memutuskan membeli map plastik yang murah. “Kemana, Mbak?” tanya Lia bingung. “Kalau sudah jam setengah 4, kita harus turun, ketemu sales dan terima setoran mereka, sambil dengerin briefing dari Bos.”Masih bingung, namun Lia menurut saja. Lia di ajak ke garasi mobil, dan disanalah sudah berjejer banyak lelaki paruh baya, ada beberapa yang masih muda dan seumuran Lia. Lia melihat Anggi sedang membagikan makanan dan minuman dan sesekali beberapa seles menggodanya. Anggi tersenyum bahkan tertawa karena candaan para lelaki itu. Lia menelan salivanya, sedikit enggan bergabung dengan orang-orang ini, tapi dia harus bekerja, kan? “Nah, ini ada karyawan baru, namanya Lia,” ucap lelaki yang tadi bertemu Lia di ruang tengah dan bertelanjang dada. Untunglah sekarang dia sudah mengenakan kaos oblong tapi masih menggu
Lia menatap pantulan dirinya di cermin dan merapikan lipatan bajunya yang masuk ke dalam celana bahan kain warna hitam. Hari ini Lia mendapat panggilan interview di sebuah perusahaan distributor alat-alat listrik. Ya, memang bidang alat-alat listrik belum pernah Lia geluti sebelumnya. Karena semenjak lulus hingga sekarang, Lia hanya bekerja di perusahaan distribusi obat-obatan. Tapi, tidak ada salahnya mencoba hal baru, kan? lagi pula jika Lia mencari perusahaan yang sama seperti sebelumnya, dia takut gosip tentang dirinya pasti tersebar di beberapa distributor obat saingan perusahaannya sebelumnya.“Aku pasti bisa!” ucap Lia bermonolog, mengafirmasi dirinya dengan energi positif.“Oke,semuanya sudah siap, aku harus be_” tiba-tiba ponselnya berbunyi dan dengan segera Lia mengangkatnya.“Halo, Van? aku lagi buru-buru, nih.”“....”“Halo? Van?”“Hatiku sakit,” jawab Revan dengan lemas.“Kenapa? ada apa?” tanya Lia, kaget. Lia Bahkan membeku di ambang pintu menunggu jawaban Revan.“Aku
“Tlililit… Tlililit…’“Siapa sih, pagi-pagi gini…?!” Dengan mata masih setengah terpejam, Lia meraba-raba kasur busanya, mencoba mencari-cari di mana ponselnya berada. “Ini dia!” dengan lega, Lia berhasil menemukan ponsel yang ternyata tertindih tubuhnya sendiri. Saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya, mata Lia langsung terbuka lebar, kantuk yang dari tadi masih menggantung di kelopak matanya seketika menghilang. “Revan?” pekiknya lirih.“Halo.”“Baru bangun?” tanya Revan dari seberang. Suaranya sama paraunya seperti Lia, sehingga Lia yakin jika Revan pun baru saja bangun tidur sama seperti dirinya.“Iya…” jawab Lia sambil tersenyum.“....”“Halo? Revan?”“Eh, ya. Kamu sehat-sehat saja kan?”Lia mengernyitkan alis, merasa aneh dengan pertanyaan Revan. “Ada apa?”“Ng… Nggak ada apa-apa.”“Hmmm… dasar aneh, oh ya, kemarin aku jalan-jalan sama Anita.”“jalan ke mana?” sambar Revan cepat.“Ke Mall, shopping sama jajan dimsum…”“Terus?” tanya Revan penasaran. Sebenarnya Revan i
“jadi kamu sekarang sudah pindah? kos di tempat yang sama dengan Adrian?” tanya Tristan. Nada suaranya menunjukkan dia sangat terkejut.“Kenapa?”Lia tersenyum, “nggak apa-apa. Rumah itu juga kan, bukan milikku seorang, jadi memang ada rencana di jual. Aku cuma mempercepat pindahanku.”“Tapi Revan, kan, punya Vila, kenapa kamu nggak tinggal di sana saja?” cecar Tristan. “Kalian nggak lagi bertengkar, kan?”“Nggak kok, Villa Revan itu kan jauh, kemana-mana jauh, dan terlalu besar untuk aku tinggali sendiri, jadi aku memilih sewa kamar kos aja.”Tristan berpikir sejenak,”kamu tau? aku selalu siap membantu jika kamu butuh apapun. Jangan sungkan minta tolong padaku ya?”Lia tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, “terima kasih,” ucapnya lirih.“Aku heran! cuma di sini pelakor di sanjung-sanjung! dimana-mana yang namanya pelakor itu kan biasanya di maki-maki, di hajar sampai babak belur atau di laporin ke polisi! huh, dunia memang sudah mau kiamat!” ucap Novi sambil melirik sinis pada Li
“Mbak Lia, nggak makan?” tanya Adrian yang sejak tadi memperhatikan Lia. “Eh? Makan kok,” Lia mencoba tersenyum sambil mengambil gelas jusnya dan meminumnya melalui sedotan. “Nggak napsu makan karena nggak ada Pak Revan, ya?” Celetuk Novi sambil menggigit kentang goreng dan tersenyum sinis pada Lia. Lia tak peduli, dia enggan menanggapi omongan Novi yang selalu sinis padanya. Lagipula jika dia meladeni Novi, Lia takut perayaan ulang tahun Adrian akan kacau. Lia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian menghela napas, “Sudah jam sembilan malam, aku pulang dulu ya,” ucap Lia pada Adrian. “Loh, kenapa, Mbak? Acaranya sampai jam 12 loh. Setelah ini ada live perfomance aku, masa Mbak Lia nggak mau nonton?” Lia tersenyum kecil, “Anita besok harus kerja, aku nggak enak sama dia.” Adrian tampak kecewa, “paling tidak makanlah ini, dari tadi aku perhatikan Mbak Lia cuma minum jus,” Adrian mendekatkan sepiring spageti ke arah Lia. “Aku nggak mau Mbak Lia
Bibir Lia tersenyum lebar saat membaca pesan masuk yang dikirimkan Revan. 'Asti sudah setuju untuk bercerai. Aku akan urus semuanya setelah itu kita bisa langsung menikah.'Lia merebahkan tubuhnya masih dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Jantungnya berdebar kencang membayangkan akhirnya dia akan menikah dengan Revan. Tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya jika dirinya akan menikah dengan lelaki setampan dan sesempurna Revan. Bagi Lia, Revan adalah lelaki pertama dan terakhir yang bertahta di hatinya, walaupun bagi Revan Lia bukan yang pertama. Mengingat itu, senyum Lia langsung sirna. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba melintas, namun dengan cepat Lia berusaha menangkisnya. "Asti yang berselingkuh lebih dulu! Dia menyakiti Revan dan wajar Revan berpisah dengannya, tak ada hubungannya denganku…" gumam Lia sambil memejamkan matanya. Lia bangun dari tidurannya dan kembali berpikir, "bolehkan aku bahagia dengan perpisahan Revan?" tanyanya bermonolog. "Duuh kenapa sih aku?" Li
"Nanti aku ceritakan semuanya, tapi telpon di HP ku aja, ini HP orang aku nggak enak," Jawab Lia lirih, takut Adrian mendengar percakapannya. "Aku tanya kamu tidur di mana?" Ulang Revan meminta jawaban. "Aku sekarang tinggal di kos," Jawab Lia singkat. "Kenapa?""Nanti aku ceritakan semua setelah HP ku ambil, kemarin HP ku jatuh dan nggak mau nyala…""HP mu sudah jadi, dari semalam aku menelpon tapi nggak aktif. Dan barusan aku telpon sudah bisa, berarti HP mu sudah jadi. Buruan di ambil lalu telepon aku secepatnya!""Iya… jam 8 saat konter buka langsung aku ambil.""Ck, baiklah. Langsung telpon aku setelah diambil. Jangan lupa!" Ingat Revan. "Iya, sudah dulu…""Ya," Tut.. Tut.. Tut.. Lia menatap ponsel Adrian yang sudah mati. Semburat kekecewaan menghampiri hatinya karena Revan langsung memutuskan telpon begitu saja. Kenapa dia tak menanyakan kabar Lia? Sebegitu sibukkah dia sampai tak sempat berpikir untuk menanyakan keadaan Lia? Perasaan gelisah kini hinggap di relung hati
Sudah dua hari berlalu, namun Revan tak ada kabar sama sekali. Jangankan menelpon, kirim chat pun tidak. Ada apakah gerangan? Lia ingin sekali menelepon atau mengirimkan chat, namun dia takut. Takut jika ternyata Revan memang sengaja tak menghubunginya karena ingin kembali pada Asti. Entah kenapa, jika Revan tak menghubunginya lebih dulu, Lia merasa tak boleh menelponya. Jika Lia nekat menelpon atau mengirim chat, Lia jadi merasa dirinya benar-benar wanita jahat yang merebut lelaki orang. Lia menghela nafas sambil melempar pelan ponselnya ke atas meja kecil yang ada di sebelah ranjangnya. Namun naas ponselnya malah tergelincir dan jatuh. Sebenarnya meja ini tak terlalu tinggi, namun entah kenapa ponsel Lia malah retak karenanya. "Bego banget sih, Lia!" Geram Lia pada dirinya sendiri sambil menjitak kepalanya pelan. "Duh, mati lagi…" Lia berusaha menekan tombol power tapi ponselnya tak kunjung menyala. Akhirnya Lia memutuskan pergi mencari konter HP untuk memperbaiki ponselnya.
"Bikin malu!" Teriakan Ayah Revan menggema di seluruh ruangan. "Kamu selingkuh?! Kamu punya wanita lain dan memilih bercerai dengan Asti?! Apa kamu sudah nggak waras, Revan!""Revan mau menjelaskan, tapi kalau Ayah sudah menganggap buruk tentang Revan, sepertinya percuma Revan bicara," Revan berusaha menurunkan emosinya. Dia tahu Ayahnya pasti marah besar karena beliau adalah sahabat baik Pak Wijaya - Ayah dari Asti. "Mau penjelasan apa lagi?! Semua sudah jelas! Asti sampai menangis dan mengadu pada Ayahnya. Ayah benar-benar nggak tahu lagi mau ditaruh mana wajah Ayah kalau bertemu mereka! Dan setelah itu semua, Asti masih mau menerima kamu tapi kamu sendiri memilih untuk bercerai! Hanya karena wanita nggak jelas yang baru kamu kenal?! Kamu- pikiran kamu sudah rusak!" Teriakan dan makian dari Ayah Revan menggema memenuhi seluruh ruangan yang hanya berisi tiga orang yaitu Revan, Ayahnya dan Ibunya. "Ayah, tolong tenang. Biarkan Revan menjelaskan," Ucap Ibu Revan yang sejak tadi terd