Cahaya matahari pagi menembus melalui sela-sela tirai jendela yang sedikit tersingkap, membuat Revan merasa sedikit terganggu. Akhirnya Revan membuka matanya perlahan, lalu kembali memejamkan nya karena tak tahan dengan cahaya yang terasa menusuk langsung ke bola matanya. Dengan mata masih terpejam, Revan bangun dan terduduk di ranjangnya. "Kepalaku…" Gumamnya sambil memijat keningnya. Seakan teringat kejadian semalam, Revan langsung tersentak kaget saat tak mendapati Lia di atas ranjang. "Lia…" Panggilnya. Revan menyingkap selimut putih yang menutupi tubuh polosnya, dan dia kembali tersentak. Ada bercak noda berwarna merah di atas sprei yang membuat hati Revan terasa teriris belati. "Apa yang sudah kulakukan!" Kesal Revan pada dirinya sendiri. Dengan gerakan cepat, dia mengambil celana piyama yang ada di lemari pakaian dan memakainya. Tanpa memakai baju atasan dan hanya mengenakan celana panjang warna abu, Revan berjalan cepat keluar dari kamarnya. Dia takut Lia pergi diam-di
"Sial!" Asti memukul cermin besar yang ada di depannya. Saking marahnya, dia langsung keluar dari ruangan Revan dan masuk ke toilet. Dan sekarang, dia sedang di sini, memelototi dirinya sendiri melalui cermin besar. "Gue harus telpon Ivan!" Geramnya sambil berusaha mengambil ponselnya dari dalam tas. "Dasar idiot!" Umpat nya sambil menekan nomor Ivan dan menelponnya. "Halo say-""Lo ngomong apa, bangsa*t!" Pekik Asti hilang kendali. "Kenapa? Ada apa?" Tanya Ivan bingung, suaranya berbisik, tampaknya dia sedang berada di tempat kerjanya, namun Asti tak peduli. "Siapa yang kasih izin Lo, ngomong tentang hubungan kita ke Revan!"Ivan terdiam, bingung. "Gue? Gue nggak pernah ngomong apapun sama Revan… Lo ngomong apa sih?!" tanyanya, masih tak mengerti maksud dari ucapan Asti. "Lalu, bagaimana bisa Revan punya rekaman suara Lo! Lo dengan begonya ngomong berselingkuh sama gue! Lo… otak Lo isinya apa sih!""...""Gara-gara Lo, Revan jadi punya senjata untuk ngancem gue di depan boka
"Lia?" Revan menatap Lia yang duduk terpekur di kursi penumpang tepat di sebelahnya. Sejak keluar dari kantor, Lia terus terdiam tak mau bicara. Dan itu membuat Revan bingung harus bagaimana. "Lia, kita sudah sampai. Ayo turun." Dengan lembut Revan menepuk pundak Lia hingga membuat Lia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Sampai… sampai di mana?" Lia celingukan melihat keadaan sekitar. "Kita sampai di villa, untuk sementara kamu tinggal disini dulu ya? Aku takut kalau kamu sendirian di rumah."Lia hanya diam sambil melihat ke luar, tatapan matanya kosong. Sepertinya Lia benar-benar shock karena kejadian di kantor tadi."Lia? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Revan lagi, dia sedikit khawatir dengan keadaan Lia saat ini yang terlihat tidak baik-baik saja. "Aku? Aku…" Lia menggelengkan kepalanya, "aku ingin istirahat, aku mau tidur…" Lalu bergegas keluar dari mobil Revan dan berjalan menuju kamar yang biasa dia tempati. "Lia," Revan mendekat dan berjalan persis di sebelah
Anita menatap temannya tak percaya, heran, kagum, semua campur aduk menjadi satu saat melihat Lia makan begitu banyak makanan yang tersedia di atas meja. "Li… perutmu nggak sakit makan segini banyak?" tanya Anita sambil duduk tepat di depan Lia yang asyik menikmati corn dog nya. Lia menggelengkan kepalanya, "aku pengen makan banyak dan pedas, ayo, kamu juga makan," Ajak Lia sambil mengacungkan corn dog nya. Anita langsung menolak, "sorry, gue nggak se-stres itu untuk makan membabi buta kayak gini," Ucapnya sambil memundurkan badannya. "Ini kamu beneran stres atau lagi hamil?" bisiknya. "Uhuk! Uhuk uhuk…" "Eh, kok kamu malah keselek?" Dengan cepat, Anita mengambilkan segelas air putih dan menyerahkan pada Lia, lalu dia pun menepuk-nepuk pundak Lia agar batuknya mereda. "Jangan-jangan bener ya?" Bisik Anita. "Bener apanya?" tanya Lia sambil menyapukan tisu di sekitar bibirnya. "Kamu hamil? Sudah ngapain aja kalian, hah?! Dasar cowok brengsek!" geram Anita sambil menoleh, menata
"Kamu siap?" Revan menatap Lia yang duduk di sebelahnya. Lia tampak terdiam dan terus tertunduk. Hati kecilnya enggan untuk pergi karena dia merasa malu dan takut, namun semalam Pak Rudi, sang direktur utama menelponnya secara langsung dan meminta agar Lia datang ke kantor pusat untuk menemuinya. Mau tidak mau, Lia tetap harus berangkat. Lia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya. "Ya," jawabnya singkat. "Tenang saja, ada aku. Kamu nggak sendirian," ucap Revan sambil menggenggam jemari Lia. Belum juga Lia bisa melupakan kejadian malam itu saat Revan dan dirinya terpaksa berhubungan, lalu tak lama muncul Asti yang mengamuk di kantor dan membuat seluruh rekan kerja Lia mengetahui rahasianya selama ini, dan sekarang dia juga harus menemui Pak Rudi, sang Direktur, secara langsung karena kejadian menggemparkan itu. Dalam tiga hari ini, dunia Lia serasa jungkir balik tak karuan. Kehidupannya yang dulu begitu damai dan membosankan seketika berubah 180° karena bertemu dengan le
"Laki nggak tau diri! Mentang-mentang ganteng boleh selingkuh gitu! Enaknya lagi nggak di pecat. Perusahaan ini sudah nggak beres!""Iya, kenapa sih Pak Rudi belain dia banget? Apa mereka sodaraan? Sampai segitunya di bela. Di mana-mana orang selingkuh itu dipecat!"Lia menunduk sambil menelan ludah saat mendengar beberapa wanita bergosip di dekat wastafel toilet, sedang dia sendiri duduk diam di dalam bilik. "Padahal HRD langsung kasih SP 3 loh! Aturan langsung dipecat kan?""Backing dia Pak Rudi! Heran ya sama Pak Direktur kita mau-maunya melindungi tukang selingkuh.""Kabarnya si cewek juga di kasih kesempatan pindah kerja ke cabang lain.""Masa sih? Gila banget! Nggak beres ini!"Lia menunduk makin dalam, jari jemarinya gemetar dan berusaha tenang dengan cara meremas remas kain celananya. Perasaannya sungguh tak karuan, malu, marah, sedih rasanya dia ingin masuk ke dalam lubang yang dalam dan bersembunyi di sana selamanya sampai tak ada orang yang mengenalinya atau mungkin melup
"Kamu yakin mau pulang?" Revan menatap Lia yang sudah bersiap dengan sebuah tas besar di bahunya. Lia mengangguk mantap, "aku nggak berani tinggal di sini sendirian. Vila ini terlalu besar dan luas. Lagipula sudah terlalu lama aku meninggalkan rumah, rumah pasti sudah kotor dan berdebu," jawab Lia berusaha tenang sambil memaksakan senyum. Revan tampak berpikir sejenak, lalu dia menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah kalau itu sudah jadi keputusanmu, nanti aku antar kamu pulang dulu sebelum berangkat ke Bandung."Revan bangkit dari duduknya lalu mendekati Lia yang berdiri kaku di dekat kolam renang. Revan menatap wajah Lia yang terlihat lelah lalu mengusap pipinya dengan lembut. "Sabar ya, aku pasti akan menyelesaikan ini secepatnya lalu kita segera menikah. Aku janji."Lia mengangguk sambil tersenyum. Bibir Lia mungkin memang terlihat tersenyum, namun Revan tau pasti jika dalam hati Lia berkecamuk berbagai macam pikiran, semua terlihat jelas pada wajah ayu nya yang terlih
"Mana suamiku?! Mana Revan?! Kalian tinggal di mana?!" Teriakan Asti yang seperti orang kesetanan menarik perhatian para tetangga. Perlahan-lahan semua orang keluar dari dalam rumah dan memperhatikan Asti yang sedang murka. "Dasar jala*g!" Teriak Asti lebih keras dan sangat memekakkan telinga. Lia membisu, dia tak bisa berkata-kata, lidahnya kelu. Bingung harus bagaimana, Lia pun segera berbalik dan hendak pergi secepat mungkin. "Nah! Mau kabur kemana kamu! Dasar pelak*or!" Asti melihat sekeliling dan tersenyum puas karena sudah menarik atensi warga sekitar. "Orang kalau ketahuan salah ya gitu, main kabur! Itu bukti kalau dia memang pelakor! Bapak-Ibu semuanya, lihat perempuan ini! Dia sudah merebut suami saya! Perempuan ini nggak tau diri! Kurang ajar! Harus diusir dari kampung ini!" Asti makin koar-koar sambil menatap orang-orang yang mulai berkerumun. Semua orang pun berbisik-bisik sambil melirik sinis pada Lia. Lia makin kalut, seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia merasa mal