Lia memasuki ruang klaim yang memang selalu sepi, karena penghuninya hanya dua orang saja, dan Pak Anhar -partner kerja Anita- selalu dapat tugas di luar kantor, sehingga Anita sering sendirian di ruangan itu. "Sini, Li!" Panggil Anita yang tengah sibuk dengan mesin printer nya. Lia mendekat dan duduk di dekat Anita, kemudian dia terdiam cukup lama sampai Anita yang memulai percakapan terlebih dahulu. "Kamu tau nggak, kenapa tiba-tiba istrinya Pak Revan datang ke sini?" Tanya Anita lirih, dia tak mau oercakapannya dengan Lia sampai di dengar orang di luaran sana, apalagi jika itu telinga Novi, bisa bahaya nanti. Lia hanya menggelengkan kepalanya. "Katanya mereka nggak akur? Mau cerai? Kok istrinya bisa datang, sih?" Kesal Anita. Memang sejak Anita tahu status Revan, dia langsung tak menyetujui kedekatan sahabatnya dengan atasannya itu, namun jika Lia dihadapkan dengan keadaan begini, tentu saja Anita akan melindungi sahabatnya itu. "Aku juga bingung, Nit. Aku merasa, hubungan Pa
Lia berada di kamarnya yang sederhana, dia berbaring telentang sambil menatap eternit kamarnya yang berwarna putih. Dia masih mengenakan dress yang dia pakai untuk bekerja. Hari ini bagaikan roller coaster baginya. Pagi hari dia merasa bahagia dan berbunga-bunga, mengenakan baju baru yang cantik dan mendapatkan perhatian dari kekasihnya, namun tak lama, bunga-bunga itu layu dan seketika membusuk karena kemunculan Asti. "Ibu…" Gumamnya. "Lia takut…"Tentu saja Lia merasa takut, dia adalah seorang pelakor. Ya, sebutkan yang sedang trend saat ini untuk wanita yang mencintai suami orang. Lia memejamkan matanya dengan rapat, "aku bukan pelakor…" Rintihnya. Bagaimana jika Asti tau hubungan Lia dengan Suaminya? Mungkinkah Asti akan marah sambil memukuli Lia? Di kantor? Di depan semua rekan kerjanya? Seperti video video yang berseliweran di sosial media, tentang istri sah yang melabrak pelakor. "Nggak!" Lia menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Ibu.. Bagaimana ini? Lia harus bagaimana
"Jadi… bagaimana perasaanmu hari ini?" tanya Revan sambil melahap nasi goreng kambingnya. Lia berhenti makan sejenak dan menatap Revan, "bagaimana perasaanku?" Tanyanya tak percaya dengan ucapan Revan. "Aku takut, sedih, malu… entah apa rasanya. Yang pasti semua perasaan yang aneh ini bertumpuk jadi satu. Dan hasilnya hanya satu, marah!" Kesal Lia. "Marah?""Iya, marah! Aku marah pada diriku sendiri karena sudah berbuat bodoh!" Lia meletakkan sendok makannya lalu menghela napas dengan kasar. "Perbuatan bodoh apa yang sudah kamu lakukan?"Lia menatap Revan dengan tatapan tak percaya, "yang aku lakukan ini yang bodoh! Mau jadi simpanan suami orang, bodoh kan!?" ketusnya sambil menahan emosi. Revan menghela napas, "maaf… urusan ini jadi ruwet, aku sendiri kesal." Revan menjambak rambutnya sendiri. Tadinya Revan akan nekat bercerai dengan Asti, tak peduli dengan apapun. Tapi setelah Revan tahu Asti sudah menyadari semuanya tentang Lia, Revan jadi harus berhati-hati. Dia tak mau As
"Lo, dapat alamat Lia? Lagi di mana dia sekarang? Lagi sama Revan, kan?" celoteh Asti sambil menggoyang-goyangkan gelas kristal yang berisi cairan berwarna merah. Asti duduk santai di sebuah sofa sambil mengangkat sebelah kakinya. Dia hanya mengenakan bra berwarna hitam dipadukan dengan jubah tidur yang transparan. Rambutnya pun tergerai berantakan namun tetap terlihat seksi bagi Ivan dan mungkin siapapun yang melihatnya saat ini. "Dia bilang, dia sedang berada di rumahnya sendiri-""Bullshit! Nggak mungkin! Mereka pasti sedang tidur berdua!" geram Asti sambil meletakkan gelasnya sedikit kasar. "Revan nggak mungkin bisa menahan nafsunya untuk meniduri Lia! Aku tau seberapa besar hasratnya saat bercinta!" gumam Asti sambil membayangkan malam pertamanya dengan Revan dua tahun lalu. Jujur saja, walaupun mereka berdua melakukannya tanpa didasari rasa cinta, namun permainan Revan di ranjang tak pernah bisa Asti lupakan. Revan sangat hebat, namun Asti gengsi untuk meminta hal itu lagi,
"Lia, aku pergi dulu sebentar."Lia memandang jam di dinding dan mendesah, "tadi dia bilang sebentar, kok sudah lewat dari jam sepuluh, belum pulang juga…" Lia cemas. Setelah mengetahui kenyataan bahwa Ivan adalah selingkuhan Asti, Revan pun berpikir jika Asti mengetahui tentang Lia pasti dari Ivan. dia ingin menemui Asti untuk mengancamnya agar tidak mengganggu Lia. Sebenarnya tadi Lia sempat mencegah Revan untuk pergi, karena hari sudah terlalu malam. namun Revan bersikeras untuk pergi karena dia berharap bisa memergoki Ivan juga. namun sayangnya Revan tak tau di Hotel mana Asti berada. Lagi-lagi Lia menghela napas. Pikiran-pikiran negatif mulai menari-nari dalam otaknya. Jangan-jangan Revan kembali ke pelukan Asti dan saat ini mereka sedang bersenang-senang di sana. Atau… Revan mengalami kecelakaan di jalan. Lia menggelengkan kepalanya dengan keras, benci sendiri karena otaknya terus menerus berpikir negatif. "Sabar Lia… sabar…" gumam Lia pada dirinya sendiri. 'Kriiiing
Cahaya matahari pagi menembus melalui sela-sela tirai jendela yang sedikit tersingkap, membuat Revan merasa sedikit terganggu. Akhirnya Revan membuka matanya perlahan, lalu kembali memejamkan nya karena tak tahan dengan cahaya yang terasa menusuk langsung ke bola matanya. Dengan mata masih terpejam, Revan bangun dan terduduk di ranjangnya. "Kepalaku…" Gumamnya sambil memijat keningnya. Seakan teringat kejadian semalam, Revan langsung tersentak kaget saat tak mendapati Lia di atas ranjang. "Lia…" Panggilnya. Revan menyingkap selimut putih yang menutupi tubuh polosnya, dan dia kembali tersentak. Ada bercak noda berwarna merah di atas sprei yang membuat hati Revan terasa teriris belati. "Apa yang sudah kulakukan!" Kesal Revan pada dirinya sendiri. Dengan gerakan cepat, dia mengambil celana piyama yang ada di lemari pakaian dan memakainya. Tanpa memakai baju atasan dan hanya mengenakan celana panjang warna abu, Revan berjalan cepat keluar dari kamarnya. Dia takut Lia pergi diam-di
"Sial!" Asti memukul cermin besar yang ada di depannya. Saking marahnya, dia langsung keluar dari ruangan Revan dan masuk ke toilet. Dan sekarang, dia sedang di sini, memelototi dirinya sendiri melalui cermin besar. "Gue harus telpon Ivan!" Geramnya sambil berusaha mengambil ponselnya dari dalam tas. "Dasar idiot!" Umpat nya sambil menekan nomor Ivan dan menelponnya. "Halo say-""Lo ngomong apa, bangsa*t!" Pekik Asti hilang kendali. "Kenapa? Ada apa?" Tanya Ivan bingung, suaranya berbisik, tampaknya dia sedang berada di tempat kerjanya, namun Asti tak peduli. "Siapa yang kasih izin Lo, ngomong tentang hubungan kita ke Revan!"Ivan terdiam, bingung. "Gue? Gue nggak pernah ngomong apapun sama Revan… Lo ngomong apa sih?!" tanyanya, masih tak mengerti maksud dari ucapan Asti. "Lalu, bagaimana bisa Revan punya rekaman suara Lo! Lo dengan begonya ngomong berselingkuh sama gue! Lo… otak Lo isinya apa sih!""...""Gara-gara Lo, Revan jadi punya senjata untuk ngancem gue di depan boka
"Lia?" Revan menatap Lia yang duduk terpekur di kursi penumpang tepat di sebelahnya. Sejak keluar dari kantor, Lia terus terdiam tak mau bicara. Dan itu membuat Revan bingung harus bagaimana. "Lia, kita sudah sampai. Ayo turun." Dengan lembut Revan menepuk pundak Lia hingga membuat Lia mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. "Sampai… sampai di mana?" Lia celingukan melihat keadaan sekitar. "Kita sampai di villa, untuk sementara kamu tinggal disini dulu ya? Aku takut kalau kamu sendirian di rumah."Lia hanya diam sambil melihat ke luar, tatapan matanya kosong. Sepertinya Lia benar-benar shock karena kejadian di kantor tadi."Lia? Kamu nggak apa-apa, kan?" tanya Revan lagi, dia sedikit khawatir dengan keadaan Lia saat ini yang terlihat tidak baik-baik saja. "Aku? Aku…" Lia menggelengkan kepalanya, "aku ingin istirahat, aku mau tidur…" Lalu bergegas keluar dari mobil Revan dan berjalan menuju kamar yang biasa dia tempati. "Lia," Revan mendekat dan berjalan persis di sebelah