Ellard hanya mengetukkan jemari keatas meja. Ia kesal karena tidak ada satu pesan masuk selain dari Bahri yang mengatakan Bella menolak ikut mobilnya.
Sudah berkali-kali ia mencoba menghubungi wanita itu tapi beberapa menit lalu tidak lagi bisa tersambung karena Bella mematikan ponselnya.
"Oh ayolah Bella."
Ellard tentu tidak bisa berdiam diri, lantas memutuskan menjemput sendiri Bella ke kantor. Persetan dengan paparazzi, Ellard hanya tidak ingin Bella tiba-tiba menolak tinggal bersamanya.
"Mau kemana?"
Namun keberuntungan bukan miliknya kali ini. Kemunculan Deril yang tiba-tiba, memaksa langkah Ellard terhenti.
"20 menit lagi, ada meeting dengan pihak produser." Deril mengingatkan dengan amat sangat menyebalkan, "kurasa kau tidak lupa."
Ellard sudah muak sekali rasanya, tapi ia juga tidak bisa menolak. Lantas Ellard daratkan kembali bokongnya kesofa. "Tidak bisakah meetingnya didatangi oleh kau saja? Aku sibuk hari ini."
Deril memutar bola matanya jengah, "apa kau lupa? Meeting sebelum-sebelumnya siapa yang menghadiri kalau bukan aku?" Ingin sekali rasanya Deril benturkan kepala Ellard ketembok biar lelaki itu sadar." Tapi kali ini mereka benar-benar ingin kau yang disana. Mereka ingin berdiskusi langsung denganmu. Jadi tolonglah...."
Pada akhirnya Deril lagi yang memelas. Layaknya hanya figuran dalam hidup Ellard, Deril kerap sekali diabaikan lelaki itu. Padahal Deril begini juga demi kebaikan siapa?
"Okay. Aku akan menghadiri meetingnya."
"Nah ini baru Ellard William yang aku suka." Deril bersorak seraya tertawa bangga.
"Ya... Ya... Ya... Terserah apa kata kau saja."
Lagipula apa yang bisa Ellard lakukan selain pasrah meski kini kepalanya nyaris pecah karena tidak mendapat kabar dari Bella.
***
Yang Ellard tidak sangka adalah Alura ternyata turut hadir dalam meeting tersebut.
Mengenakan dress pink sederhana namun tetap tampak elegan di tubuhnya yang ramping.
"Kenapa tidak pulang tadi malam?"
Kena serangan mendadak seperti itu lantas membuat Ellard agak terkejiut. Mereka sudah menyelesaikan acara meetingnya. Beberapa orang sudah keluar ruangan, makanya Alura bisa mendekat pada Ellard dan menanyakan hal yang membuat ia penasaran.
"Padahal aku tahu, jadwalmu sedang senggang akhir-akhir ini."
Tentu saja, Alura memaksa Deril untuk memperlihatkan rekap jadwal Ellard bulan ini.
"Kau tidak harus menanyakannya ditempat umum seperti ini." Ellard menjawab ogah-ogahan. Lalu menampilkan senyum tiba-tiba saat seseorang menyambut tangannya untuk bersalaman.
"Senang kau bisa datang kali ini, Ellard."
Fahmi Mochtar salah satu petinggi penting yang turut dalam mensponsori program mereka.
"Iya. Maafkan aku yang terlalu sibuk belakangan ini." Ellard mulai bermain peran, menunjukkan sisi aktornya untuk memanipulasi orang ini, "Tahu sendiri drama series ku baru rampung di Minggu lalu."
Fahmi mengangguk maklum, "aku sampai lupa memberikan selamat atas tropi yang kau terima sebagai aktor terfavorit kemarin... Selamat ya."
"Terimakasih." Balas Ellard sopan, sementara dari ujung matanya Ellard dapat melihat Alura mendelik tidak suka. "Sejujurnya aku sangat tidak menyangka bisa mendapatkannya ditengah persaingan yang ketat."
Tertawa formal, Fahmi kembali berseru. "Tentu saja. Memang siapa yang bisa mengalahkan seorang Ellard William."
Ellard juga tahu. Tapi akalnya masih cukup berfungsi untuk mengakui itu terang-terangan. "Jangan membuatku merasa seolah yang paling hebat Tuan Mochtar. Artis-artis muda asuhan anda juga memiliki kualitas yang tentu tak kalah dariku."
Saling meninggikan satu sama lain, khas orang-orang yang bernaung di industri hiburan sekali.
"Tawaranku belum berubah, Ellard. Jika kau bosan bersama Golden entertainment, kau bisa menghubungi nomor telepon pada kartu nama yang ku berikan waktu itu. " Agensi besar milik kerabat Fahmi siapa yang tidak tahu. Namun Ellard cukup mengerti mana yang benar-benar terbaik dari sekedar terkenal.
"Aku pastikan kau akan mendapatkan lebih dari kau dapatkan Sekarang."
Ellard hanya tertawa ringan, membungkuk sopan ketika Fahmi menepuk pundaknya berpamitan.
Pujian yang berakhir perekrutan terselubung itupun ada ujungnya. Fahmi sudah berjalan keluar.
Tinggal lah ia bersama Alura didalam ruangan. Tatapan tidak suka masih ia dapatkan dari isterinya yang kini bersedekap dada.
"Lalu... Apa malam ini kau tidak pulang lagi?" Alura tentu belum puas bertanya pada lelaki yang ia nikahi sembilan hari lalu ini.
Tapi Ellard tampak nya tidak menjadikan beban atas kemarahan Alura.
"Ada banyak hal yang harus aku kerjakan Alura."
"Ck! Pembohong!"
Ellard nyaris saja tergelak, wanita itu ternyata bisa mengatainya juga. Ia hanya mengedikan bahu seraya mengambil beberapa lembar kertas dimeja belakang Alura.
"Aku segera pulang kalau urusannya sudah selesai."
Wanita itu menghela napas. Terang-terangan mengerucutkan bibirnya, yang Ellard tangkap sebagai upaya protes yang tidak dapat ia lontarkan dengan kata-kata.
"kau bahkan tidak meneleponku." Alura merajuk seperti itu membuat nya terlihat seperti anak kecil sedang meminta uang jajan pada ayahnya ketimbang seorang isteri yang sedang mengandung anak pertama.
"Maafkan aku. Lain kali aku akan menghubungi mu, biar kau tidak khawatir lagi." Katanya menenangkan lalu mengecup sekilas pipi sang isteri.
Bahkan Ellard juga bingung terbuat dari apa dia ini sebenarnya? Kenapa pandai sekali mengembalikan keadaan seolah tidak pernah ada yang terjadi. Alura yang tadinya berapi-api bisa ia atasi kurang dari 5 menit.
Entah Alura yang terlalu gampang terbujuk atau bagaimana. tapi senyum malu-malu dan pipi yang merona benar-benar membuat Ellard merasa sudah berhasil menipu isterinya.
"Aku merindukanmu tahu." Rengek nya manja. "Anak kita merindukan ayahnya katanya." Bisik Alura kemudian tertawa geli. Menyebut 'anak kita' sepertinya masih asing bagi Alura. Sesuatu terasa menggelitik perutnya saat kata itu keluar.
Ellard tersenyum, sebelah tangannya menangkup wajah Alura, "Aku juga sangat merindukan kalian."
Nyatanya tidak seperti itu. Bahkan sekarang saat Alura bergelendot mesra dilehernya, Ellard tetap memikirkan Bella. "Tapi pekerjaan ku benar-benar sedang tidak bisa ditinggalkan. Kau mengerti kan sayang?"
Helaan napas lesu Ellard terima sebagai jawaban. Ia sendiri tahu Alura kesal padanya. Tapi mau bagaimana lagi, ada hal lebih penting yang harus Ellard urus sekarang.
Bella Nayaka, Ellard harus menemukannya dan membawa wanita itu ke apartemen segera.
"Sekarang kau pulang. Aku akan menyuruh Bahri untuk mengantar mu."
Mendengus kecil, Alura tidak terima pulang sendirian. "Kalau begitu biar Bahri saja yang menjadi suamiku."
Alura merutuk, lalu pergi setelah menghentak keras sebelah kakinya sebagai bentuk kekesalannya pada sang suami.
***
Memutuskan pulang naik angkutan umum bukanlah pilihan yang tepat.
Hampir satu jam lamanya Bella menunggu, satupun belum ada bus yang lewat. Terduduk di bangku panjang halte, Bella mengaktifkan kembali ponselnya yang sempat ia matikan.
Hal pertama yang ia dapatkan ketika ponselnya menyala adalah nama Ellard yang menyerbu log panggilan. Dan beberapa pesan yang tidak ingin Bella baca.
"Masih berapa bus lagi?"
"Pak Sean?"
Sontak Bella berdiri, ketika sosok dingin bossnya bersitatap dengannya.
"Bapak mau naik bus juga?"
Bodoh! Bella merutuki pertanyaan tidak berbobot yang keluar dari mulutnya barusan.
"Hmm... Mobil saya mogok, maka itu hari ini saya naik angkutan umum."
Bella mengangguk mengerti, "bus nya masih lama sepertinya, pak. Mungkin karena hujan, apa tidak seharusnya bapak naik taksi saja?" Bella menyarankan karena mungkin Sean tidak akan nyaman nanti berdesakan. Belum lagi aroma-aroma tidak sedap pasti tidak akan mengenakan untuk Sean.
"Kalau tahu busnya tidak akan datang kenapa kau tetap menunggu?"
Bella diam. Menghindari Ellard adalah jawabannya.
"Cepat pesan taksinya!" Perintah Sean seraya mengibas kemejanya yang terkena air hujan. "Kau ini ada-ada saja."
"I-iya pak."
Dominasi seorang Sean Xabilo membuat Bella melakukan perintah tanpa protes.
"Iya satu pak. Iya ditunggu ya pak." Ia tutup panggilan itu setelahnya, "Tunggu lima menit lagi, kata bapak taksinya." Bella memberitahu seraya memasukan kembali ponselnya setelah melakukan panggilan pemesanan taksi barusan. Sean juga sudah duduk disebelahnya.
Sama-sama diam, karena Bella sendiri bingung harus memulai pembicaraan seperti apa. Mereka tidak terlalu dekat, walaupun saling mengenal dalam waktu yang lama.
"Bella Nayaka."
Namun Sean yang tiba-tiba menyebut nama lengkapnya sontak membuat Bella mengalikan pandangannya. Sean menatapnya datar, "saya baru tahu nama lengkapmu, Bella Nayaka." Lanjutnya meluruskan.
"Ah... Iya." Bella mengangguk kecil, karena benar-benar tidak punya kata untuk menanggapi itu.
"Sejak satu bulan lalu nama mu sering sekali hadir di televisi rumah saya."
Seluruh televisi Indonesia tepatnya, Bella mengkoreksi dalam hati. "Dan... Dari situ saya juga tahu ternyata kau mantan kekasih seorang aktor."
Sean bukanlah tipe orang yang suka memperhatikan hal tidak penting seperti acara gosip ditelevisi. Baginya mempelajari trik kenaikan harga saham lebih menarik ketimbang isue tentang artis. Jadi mengetahui Sean mengenal dirinya dari tayangan televisi, Bella jadi sadar dia memang seterkenal itu.
"yahh... Seperti itulah."
Tiba-tiba sudut matanya membentuk kubangan kecil yang langsung Bella samarkan dengan melebarkan bola matanya bersama hembusan kecil napasnya.
Sean tahu ia sudah salah dalam memilih topik pembicaraan, maka itu ia diam demi menyamankan bella kembali.
Detik-detik berjalan lambat. keterdiaman diantara mereka begitu jelas terasa. Hembusan angin menerpa kulit pun tidak enak dirasa.
Sampai kemudian sebuah mobil berwarna biru langit berhenti didepan mereka. Dari situlah Sean sadar didetik berikutnya adalah perpisahan mereka untuk hari ini.
Sean sudah berdiri dengan tas kerjanya,
"Ayo!"
Biar saja ia terlihat sedang mengusahakan tetap bersama Bella.
"Aku bisa memberimu tumpangan, itupun kalau Kau mau."
Bella mengerjap, "aku?"
Seketika Sean gelagapan. Dia memang menyebut dirinya dengan sebutan 'aku', tapi percayalah itu tidak sengaja. "Hmm. Ayo!"
Namun tiba-tiba tatapan Bella jadi tidak tenang. Bola matanya berlarian yang Sean tahu sedang mencari alasan menolak ajakannya.
"Emmm... Saya pesan taksi lain saja pak." Bella berkila, "lagipula kita tidak searah kan?"
Memang benar. Tapi jika Bella mau Sean bisa mengantar Bella dulu baru menuju kearah rumahnya.
"Kalau begitu saya duluan." Pamit Sean dan Bella hanya mengangguk.
Sejatinya, sosok Ellard sudah Bella tangkap dijalan seberang, menatap tajam kearahnya seolah mengatakan 'awas saja kalau kau ikut bersama lelaki itu'.
Langsung menghampirinya begitu mobil yang membawa Sean pergi, Ellard menurunkan kacamata hitamnya.
"Masuk!"
Memang Bella bisa lari kemana lagi kalau sudah begini?
Rahang Ellard mengeras ketara sekali, Bella berdecak seraya memasang seatbelt ditubuhnya. "sekarang Ellard William makin berani menampakkan diri. Tidak takut wajah ini kena scandal lagi?"
Bella mencibir sang kekasih yang hari ini sama sekali tidak memakai penyamaran, seperti tidak ada takut-takutnya.
"Aku lebih takut kekasihku diambil lelaki tadi daripada kehilangan karirku."
Mana mungkin! Ellard tidak akan meninggalkannya dan berakhir menikahi Alura jika yang ia katakan adalah benar.
"Pokoknya aku tidak mau kau berbicara lagi dengan lelaki itu. Aku cemburu."
Terserah apa kata Ellard saja, Bella sedang tidak ingin berbicara dengan lelaki itu.
Kaca mobil ia turunkan, menikmati sisa air hujan adalah favorit Bella. Aroma khas menenangkan untuk dihirup.
"Kenapa tidak menerima panggilan ku?"
"Aku sibuk."
"Ck! Sibuk selingkuh." Tuduhnya sontak membuat Bella melemparkan tatapan sengit. "siapa membicarakan siapa sekarang?"
Belum redah rasanya kekesalan Bella soal reality show yang ia dengar tadi pagi. Tapi lelaki ini malah melemparkan tuduhan tidak masuk akal yang memancing dirinya berkata kasar, walaupun tertahan.
"Kalau lelaki lain masih terlihat menarik untuk ku, untuk apa aku disini bersamamu?" Bella marah, "Aku mencintaimu, apa itu belum cukup untuk kau dengar?"
Bella kira dengan ia berbicara demikian Ellard akan balas mengatakan hal yang membuat ia kian terpancing, ternyata Ellard malah tersenyum seraya mengusapkan ibu jari ke bibirnya sendiri. "Aku juga mencintaimu, Bella."
Saat itu juga Bella mendelik, berbicara dengan Ellard membuat ia lelah.
"Sudahlah Ellard. Aku lelah, lebih baik kau antar aku pulang kerumah."
"Kita hanya akan ke apartemen."
Selalu seperti itu. Khas Ellard sekali, pemaksa!
"Terserah kau saja."
Bella juga tahu menolak hanya akan menjadi usaha yang sia-sia. Jadi ia diam saja, memasrahkan diri akan kemana Ellard membawanya.
Dan ya.
Ellard memang tidak pernah bermain-main dengan ucapannya. Arah rumahnya, seharusnya belok kanan bukan lurus. Tujuan Ellard benar-benar apartemen seperti katanya barusan.
Menghela napas penat, Bella hanya diam saja bahkan saat mobil berada diujung tujuan. Mereka tiba pada basement. Turun sebelum Ellard membukakan pintu untukny. Ia bahkan berjalan mendahului Ellard.
"Bell?"
"Bella... Tunggu!"
Bella hanya ingin cepat tiba dan tidur. Kemudian ketika pintu terbuka, keremangan ruangan ia terima.
"Aku mau langsung tidur."
Bahkan nada bicaranya saja tidak ia gunakan dengan benar. Ellard juga entah kenapa hari ini tidak banyak bicara dan membiarkan ia dengan mudah ke kamar.
Kamar utama yang seluas itu, malam ini biarkan Bella huni sendiri. Ia kunci pintu setelah debuman kuat memukul telinga.
Bella bahkan tidak ingin repot-repot membersihkan diri seperti yang ia lakukan biasanya. Langsung merebahkan diri diatas kasur setelah mematikan lampu.
Ia butuh menenangkan diri, untuk bisa bertahan dari hari ke hari. Meski nyatanya mata Bella tetap tidak bisa terpejam, keputusan menerima Ellard rasanya masih sangat mengganjal.
Padahal Bella sendiri tahu Ellard memiliki seorang isteri dan Bella sendiri pula yang mengatakan kalau ia tidak masalah akan hal itu. namun entah kenapa melihat Ellard mesra bersama Alura didepan publik seperti tadi pagi membuat ia sakit sendiri.
Reality show? Yang benar saja.
***
Sejak pulang sore tadi hingga sekarang pukul sepuluh malam, Bella hanya berbaring dan tidak berniat tidur seperti yang ia katakan pada Ellard. Hubungan yang mereka jalani bukan sesuatu yang baik. Bella tahu, sangat tahu. Namun bagaimana ia harus mengatakannya, kalau cinta yang Bella miliki untuk Ellard tidak pernah pudar. Mengetahui Ellard tergoda akan wanita lain, membuat Bella tidak mampu memikirkan apapun selain mencari cara merebut kembali hati sang kekasih. Ellard hanya miliknya, selamanya miliknya. Maka jangan salahkan Bella jika ia akan menggunakan cara yang sama untuk merebut Ellard kembali. Bella meneguk ludahnya, matanya terpejam meredam arah pikirannya yang mulai tak terkendali. Kemudian bangun dengan cepat untuk melihat lelaki yang sudah ia acuhkan tadi. Lampu-lampu sudah dimatikan, entah kenapa Bella menjadi gugup sendiri. Melangkah pelan mencari keberadaan sang kekasih y
Paginya, Bella benar-benar pergi ke supermarket terdekat. Ia perlu memastikan kulkas terisi dengan baik agar kejadian semalam tidak terulang lagi. Mendorong keranjang belanjaan yang masih kosong, Bella memilah beberapa buah juga sayur. Tidak lupa makanan instan jika sewaktu-waktu mereka lapar disaat genting. "Bella?" Bella menoleh dan ternyata Alura sedang berbelanja juga. Wanita itu tersenyum padanya membuat Bella ingin menerkamnya saat itu juga. "Ah ternyata benar. Aku sudah memperhatikanmu sejak kau berada di deretan daging tadi." Ujar Alura seolah mereka adalah teman lama. Sama sekali tidak ingin terlihat terganggu, Bella melanjutkan kegiatannya mengisi keranjang belanjaan sesuai list yang sudah ia buat sebelum berangkat. "Wahh sepertinya kau sedang belanja bulanan, ya?" Wanita itu tertawa kecil, ikut mendorong keranjang nya saat Bella mengabaikannya dengan
Milik Ellard yang berdiri tegak membuat Bella meringis. Kedua telapak tangannya bergerak sendiri menutupi wajah. "Hei... Tidak apa-apa." Bisik Ellard, tangannya menarik tangan Bella agar mau saling bertatapan. Matanya yang teduh namun penuh dominasi memikat Bella, mau tak mau membuatnya tunduk dalam kuasa Ellard. Jantung Bella berdegup kencang, apalagi saat senyum lembut, Ellard kembangkan serasa akan segera meleburkan hati. Bella hilang akal, bagai kerbau dicucuk hidungnya. Membiarkan kakinya dibuka lebar. Ellard mengambil posisi diantara kedua pahanya. Menggusak kewanitaan Bella dengan miliknya, pelan-pelan menekan pinggulnya sampai Bella harus menahan napas karena rasanya yang semakin tidak masuk akal. Hingga sentakan kuat Ellard memaksa kedua matanya terbuka lebar. Napas Bella berhembus keras, saat itulah Bella tahu bahwa ia hanya sedang bermimpi. Mimpi erotis yang sebelumnya tida
Diam-diam Bella menangis dalam kamar mandi. Berpura-pura baik-baik saja ternyata menghancurkan dirinya dari dalam. Bella merasakan sakit yang amat sangat namun berusaha mengesampingkan itu demi mempertahankan ego. Dari dulu hingga sekarang Bella selalu bisa mempertahankan kestabilan diri, tidak ingin terlihat lemah didepan siapapun termasuk Ellard. Bella selalu mampu melakukan apapun sendiri, jadi dia tidak perlu siapapun untuk membuatnya bisa berdiri. Dan karena itu pula Ellard mengkhianati nya kan? Oh tolong jangan ingatkan lagi. Bella akan memperbaiki semua itu. Menyelesaikan mandinya dengan cepat karena sadar waktu berjalan tanpa memikirkan perasaan. Bella keluar tahu-tahu Ellard berdiri didepan pintu kamar mandi membuat ia sedikit terkejut. "Ada apa?" Tanyanya heran. Ellard menggeleng dengan senyum tipis. "Tidak ada." Lelaki itu kemudian memutar tubuhnya keluar kamar. Bella hanya
Farrel meringkuk seperti anak kecil diatas ranjang Mark. Setelah pergolakan panjang, Bella akhirnya memutuskan membawa Farrel pada Mark untuk sementara waktu. Lelaki muda yang biasanya tertawa ceria itu terlihat rapuh, dengan tatapan kosong. Farrel juga masih teguh pada pendiriannya, belum mau menceritakan apapun pada Bella. Sehingga Bella bingung, dan tidak tahu mau berbuat apa. "Rel, makan dulu." Bella sentuh lembut bahunya untuk membangunkan. Bella tahu Farrel tidak benar-benar tertidur. Maka itu Bella membawakan makanan untuk Farrel karena sekarang sudah mulai malam. "Perutmu belum terisi dari pagi, Rel." Lagi-lagi Farrel tidak menjawab, Bella menghela napas menoleh pada Mark yang berdiri dibelakangnya. Namun mau bagaimana lagi, lelaki itu sama bodohnya hanya mengedikan bahu. "Baiklah. Kalau begitu, makanannya aku letakan di atas meja ya? Kau bisa makan kalau nan
Mereka kembali lagi pada gedung mewah apartemen Ellard. Lelaki itu terus memanggil Bella yang sudah berjalan lebih dulu. Bella ingin marah namun ia tahan karena mereka masih ditempat umum. Maka ketika membuka pintu, Bella sudah bersiap meledakan amarahnya. Tapi tumpukan barang diruang tamu membuat ia mengurungkan itu. "Aku menyuruh Bahri mengangkut barang-barang mu kesini." Kata Ellard enteng. Sangat tidak bisa dipercaya, Bella sampai kehilangan kata-kata. Wanita itu menggeleng takjub akan niat Ellard. "Benar-benar sulit dipercaya. Ellard kau-" "Kau terlalu lamban untuk diharapkan." Ellard menyela. Kini lelaki itu sudah terlihat lebih santai dengan kedua tangan bersarang disaku. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Bella." Ellard tetaplah Ellard yang pemaksa. Lelaki itu tidak bisa ditolak. Sikap dominannya membuat Bella tidak punya pilihan selain menurut. Sekara
Ellard membawa makanannya dengan senyum lebar. Aromanya khas mengunggah selera. Pesanan Bella, tentu tak hanya itu saja. Ellard juga memesan minuman soda dan beberapa makanan bernuansa keju, favoritnya. Maka itu ia bersemangat sekali membuka tiap bungkusan seraya memanggil Bella yang baru saja selesai membersihkan diri. "Woahhhhh..." Ellard berseru saat mengirup aroma lezat itu dengan tangan memberi gestur seperti mengipas agar aroma itu semakin tercium. Sisi lain dari seorang Ellard William yang tidak diketahui publik. Dia suka bertingkah konyol terhadap apa yang dia sukai. Tentu keunikan ini tidak Ellard biarkan bocor keluar. Hanya orang-orang terdekat yang bisa menikmati itu-Bella salah satunya. Wanita yang katanya Ellard cintai itu, tertawa kecil, menggulung rambut basahnya dengan handuk kecil diatas kepala. "Piring, Bell," pintanya tidak sabar yang langsung Bella laksanakan. "Mau
Waktu tempuh apartemen milik Mark dari kantor harusnya tidak lebih dari 10 menit. Namun ingatan akan Farrel membuat itu terasa sangat lama."Bisa agak cepat, pak?" tanya Bella ketir."Ini sudah terbilang cepat, mbak."Memang benar, tapi Bella ingin lebih cepat lagi agar bisa tiba di apartemen Mark sesegera mungkin. Wanita itu menggigit keras bibirnya dengan kedua tangan saling bertaut dingin. Bella tidak bisa membayangkan kalau Mark pergi meninggalkan Farrel seorang diri.Dengan keadaan rapuh seperti itu, bukan tidak mungkin Farrel kembali mengulangi percobaan bunuh diri. Bella takut. Takut sekali.Bella kembali mengontak Mark dan lagi-lagi tidak mendapat jawaban. Pandangannya tetap tertuju kedepan, mengira-ngira sisa jarak apartemen Mark. Hingga bangunan megah berwarna dominan putih itu terlihat, Bella bergegas memasukan ponselnya ke dalam tas.Turun dari mobil setelah memberikan sejumlah uang. Bella berlari dengan k