Mereka kembali lagi pada gedung mewah apartemen Ellard. Lelaki itu terus memanggil Bella yang sudah berjalan lebih dulu.
Bella ingin marah namun ia tahan karena mereka masih ditempat umum. Maka ketika membuka pintu, Bella sudah bersiap meledakan amarahnya. Tapi tumpukan barang diruang tamu membuat ia mengurungkan itu.
"Aku menyuruh Bahri mengangkut barang-barang mu kesini." Kata Ellard enteng.
Sangat tidak bisa dipercaya, Bella sampai kehilangan kata-kata. Wanita itu menggeleng takjub akan niat Ellard.
"Benar-benar sulit dipercaya. Ellard kau-"
"Kau terlalu lamban untuk diharapkan." Ellard menyela. Kini lelaki itu sudah terlihat lebih santai dengan kedua tangan bersarang disaku. "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Bella."
Ellard tetaplah Ellard yang pemaksa. Lelaki itu tidak bisa ditolak. Sikap dominannya membuat Bella tidak punya pilihan selain menurut. Sekara
Tau ah serah Ellard-bella aja-_-
Ellard membawa makanannya dengan senyum lebar. Aromanya khas mengunggah selera. Pesanan Bella, tentu tak hanya itu saja. Ellard juga memesan minuman soda dan beberapa makanan bernuansa keju, favoritnya. Maka itu ia bersemangat sekali membuka tiap bungkusan seraya memanggil Bella yang baru saja selesai membersihkan diri. "Woahhhhh..." Ellard berseru saat mengirup aroma lezat itu dengan tangan memberi gestur seperti mengipas agar aroma itu semakin tercium. Sisi lain dari seorang Ellard William yang tidak diketahui publik. Dia suka bertingkah konyol terhadap apa yang dia sukai. Tentu keunikan ini tidak Ellard biarkan bocor keluar. Hanya orang-orang terdekat yang bisa menikmati itu-Bella salah satunya. Wanita yang katanya Ellard cintai itu, tertawa kecil, menggulung rambut basahnya dengan handuk kecil diatas kepala. "Piring, Bell," pintanya tidak sabar yang langsung Bella laksanakan. "Mau
Waktu tempuh apartemen milik Mark dari kantor harusnya tidak lebih dari 10 menit. Namun ingatan akan Farrel membuat itu terasa sangat lama."Bisa agak cepat, pak?" tanya Bella ketir."Ini sudah terbilang cepat, mbak."Memang benar, tapi Bella ingin lebih cepat lagi agar bisa tiba di apartemen Mark sesegera mungkin. Wanita itu menggigit keras bibirnya dengan kedua tangan saling bertaut dingin. Bella tidak bisa membayangkan kalau Mark pergi meninggalkan Farrel seorang diri.Dengan keadaan rapuh seperti itu, bukan tidak mungkin Farrel kembali mengulangi percobaan bunuh diri. Bella takut. Takut sekali.Bella kembali mengontak Mark dan lagi-lagi tidak mendapat jawaban. Pandangannya tetap tertuju kedepan, mengira-ngira sisa jarak apartemen Mark. Hingga bangunan megah berwarna dominan putih itu terlihat, Bella bergegas memasukan ponselnya ke dalam tas.Turun dari mobil setelah memberikan sejumlah uang. Bella berlari dengan k
Sejatinya anak kecil tetaplah anak kecil yang tidak bisa diandalkan. Mark terus merutuk selama perjalanan menyusul Bella ke dapur. "Tidak perlu masak." ujar Mark bersamaan menutup pintu kulkas setelah mendapatkan ice coffee dari sana. "Farrel sudah pulang, dijemput kakaknya." Ia tenggak minuman dingin itu dengan rasa kesal menggelegak. "Lebih baik kau pulang. Aku ngantuk, mau tidur." Sementara Bella termangu untuk sesaat, dia memang belum melakukan apa-apa karena baru saja menolak panggilan Ellard, terhitung kali kelima. "Kenapa jadi marah padaku? Hei!" teriak Bella kesal karena merasa Mark melampiaskan kemarahan atas kesalahan yang tidak Bella buat. Lelaki itu membanting keras pintu kamar. Bella sedikit tersentak, berniat menyusul Mark kalau ponselnya tidak berdenting kembali. Lagi-lagi Ellard. "Iya." sahut Bella singkat.
Bella sedang tertawa mendengar cerita konyol Ellard perihal lawan mainnya yang mencret di lokasi syuting. Batal take karena tidak berhenti kentut dan bolak-balik ke toilet, saat Deril menyerobot masuk dengan napas terengah. "Cepat pergi dari sini!" Deril menarik tangan Bella ditahan oleh Ellard, "kenapa sih Der?" "Wartawan sedang menuju kesini, maka itu Bella harus pergi," katanya ketir. Deril terlihat frustasi-penyampaiannya pun kacau. "Dimana-mana wartawan tidak boleh masuk ruang inap pasien," cibir Ellard tenang, "Bella tidak akan kemana-mana." "Tapi mereka memaksa." "Panggil tim keamanan, begitu saja repot." Bella mengangkat alisnya menatap Ellard, lelaki itu mengedik acuh. Sampai kapanpun Deril tidak akan pernah bisa membuat Ellard takut. Maka tidak ada pilihan lain bagi Deril selain menyerah. Ia menghela lelah, "Orang tua-mu sedang dalam perjalanan menuju ke si
"Sudah?" Ellard mengiyakan dengan anggukan mantap setelah menarik tuas pintu penumpang. Bella mengambil alih kemudi, karena keadaan Ellard sedang tidak memungkinkan untuk berkendara saat ini. Kondisi Ellard tidak terlalu mengkhawatirkan, hanya cidera di lengan rupanya tidak membuat Ellard harus dirawat berlama-lama. Lantas setelah Melina dan Irham pulang, Ellard juga memutuskan untuk segera pulang. Terlepas nanti Ellard harus tetap menjalani beberapa terapi untuk kesembuhan penuh. "Kau harus bekerja ekstra untuk merawatku nanti. Dokter bilang aku harus makan bubur setiap pagi, agar pencernaan ku baik. Makan buah setiap hari dan tidak boleh diabaikan." Ellard berbicara seolah kenyataan itu begitu menyenangkan baginya. Yang Ellard tidak tahu bahwa cidera pada lengan tidak ada hubungannya dengan urusan pencernaan apalagi soal abai-mengabaikan. Bella berdecak samar sama sekali tidak ingin membantah. "Biar aku-" Gips di le
malam semakin larut, udara dingin menggigit kulit. Bella masih berdiam diri di halaman rumah orang tuanya setelah tiba sekitar 15 menit lalu. Memeluk tubuhnya yang mulai meremang. Kemeja tipis yang Bella kenakan tidak cukup untuk menghadang angin membelai kulit sampai ke dalam. Bella hembuskan napasnya yang langsung mengembun. Ia seperti orang gila akhir-akhir ini. Meninggalkan rumah tanpa pamit, sekarang kembali ditengah malam rasanya agak kurang etis. Lantas dengan sisa kewarasannya Bella kembali pada taksi yang membawanya tadi. "Putar balik." perintahnya datar datar pada sang supir. Isi kepala Bella sekacau itu sampai ia tekan pelipisnya berharap bisa merasa lebih baik. Cibir saja kebodohannya karena kembali pada tempat dimana ia meninggalkan Ellard. Memandangi mobil yang sama sekali belum berubah posisi. Tidak tahu apa yang terjadi dengan Ellard didalam sana sampai harus menggusak
Pada dasarnya, secinta apapun Ellard pada Bella, tetap tidak bisa membuatnya lepas tangan terhadap Alura yang notabene-nya istri sah. Ellard mengendap keluar setelah mengecup ringan pipi Bella yang masih terlelap. Begitu tiba di basement, Deril sudah terlihat menyebalkan dengan sebelah tangan handal memainkan kunci mobil. Lelaki itu memutar bola matanya malas, "masuk!" Deril bahkan tidak tertarik untuk mengomentari penampilan kacau Ellard yang baru bangun tidur. Rambut berantakan dan kancing kemeja yang tidak sepenuhnya terkait. Deril tebak, lelaki ini bahkan belum sempat mencuci muka. Dengan rasa kesal memuncak Deril lemparkan sisir pada Ellard, "setidaknya rapikan dulu rambut singamu!" "Aku yakin kau cukup pintar untuk melihat keadaanku saat ini." Ellard menimpali sarkas. Ellard masih kesal dibangunkan pagi-pagi, disaat dia masih memiliki banyak waktu untuk bersant
Bersama helaian daun jatuh menyentuh tanah, Bella tersenyum. Jenis senyum tipis miris yang jarang terlihat dari bibirnya.Tergugu mencengkram erat seikat bunga hingga dua sampai tiga kelopak indahnya jatuh terbang dibawa angin.Saat ini, di bawah pohon rindang tersebar dedaunan kering, Bella berdiri menatap gundukan tanah dengan nisan bertuliskan Mia Anastasya tertanam kokoh.Sang sahabat yang meninggal tragis satu tahun lalu. Bella begitu merindu namun tidak ada satu katapun bisa ia sampaikan. Mulut Bella terkunci rapat, bahkan untuk sekedar menekuk kakinya saja dia enggan. Lantas Bella jatuhkan begitu saja bunga yang ia bawa.Persetan bagaimana kucing kecil diseberang sana menilai dirinya. Bella putar tubuhnya meninggalkan lokasi pemakaman. Kaca mata hitam bertengger angkuh menyimpan semua kilat dalam matanya.***