"Hai, mama tiriku. Mau ke mana?" sapa Ares yang masih menatap Kaira dengan senyuman.
"Ares, aku ... maaf." Kaira langsung membenarkan tubuhnya, yang tadi bersandar di dada bidang milik Ares."Kamu mau ke mana?" tanya Ares dengan wajah yang semakin dekat ke arah Kaira."Aku ... ak —"Sebuah kecupan manis mendarat di bibir Kaira. Kaira mematung beberapa saat dengan kedua mata yang membulat sempurna.Kaira bisa merasakan, bahwasannya Ares tersenyum dalam kecupan tersebut.Kaira yang tersadar lebih dulu pun, langsung mendorong dada bidang milik Ares."Long time no see, kekasihku yang hilang."Deg.Jantung Kaira berpacu dengan cepat, ketika sebuah seringaian muncul dari bibir Ares."Ares. Aku benar-benar minta maaf, aku akan pergi untuk mengunjungi orang tuaku. Bisakah kamu Minggir sejenak?""Akan aku antar," ucap Ares yang membuat Kaira melongo seketika.Ares yang melihat Kaira melongo pun, langsung memegang pergelangan tangan Kaira dan menariknya."Sudah. Jangan berpikir terlalu lama, bukannya kamu ingin cepat bertemu dengan kedua orang tuamu?"Kaira menganggukkan kepalanya dan langsung mengikuti Ares yang menarik lengannya, untuk mengikuti langkahnya.Kini Kaira dan Ares sudah berada di dalam mobil. Kaira duduk di samping Ares, dia mengulum bibirnya sendiri agar tidak berucap hal yang bisa saja membuatnya terjebak."Ares. Apa kamu tahu, aku pingin pergi ke mana?" tanya Kaira, ketika Ares dengan lancang melewati rumah sakit di mana tempat orang tua Kaira berada."Entah. Kamu tidak berucap sepatah kata pun sedari kita memasuki mobil.""Ares, jika aku bilang, kita sudah kelewatan. Apa yang akan kamu lakukan?""Tenang saja. Anggap aku Ares yang kamu kenal seperti dahulu.""Ares. Tujuan kita sudah terlewati cukup jauh."Terdengar Ares menghela nafas panjang. Dia menatap ke arah Kaira sejenak, "Memang tujuan kamu ke mana?""Rumah sakit yang ada di sana tadi," ucap Kaira dengan menunjuk ke rumah sakit yang sudah berada di belakang."Kaira. Kenapa kamu gak bilang sejak awal.""Aku ... maaf ya, aku gak berani ngomong tadi. Soalnya, aku bingung."Kaira menggigit bibir bawahnya dengan keras, karena merasa gugup."Jangan menggigit bibirmu seperti itu, Kaira. Nanti bisa menyebabkan bibir kamu terluka."Kaira yang mendengar ucapan Ares, langsung menghentikan kegiatannya. Dia menghembuskan nafas panjang, dan langsung mengarahkan tatapannya ke luar jendela mobil.Rintikan air dari atas langit mulai turun. Kaira merasakan sebuah hembusan angin yang cukup membuatnya heran.Padahal matahari sedang memancarkan sinarnya dengan begitu terik."Apa yang sedang kamu lakukan, Kaira.""Tidak. Aku hanya menikmati angin saja.""Ini sudah sampai, Kaira. Kamu gak mau turun dari mobil?""Eh ... iya, ya."Kaira berucap seraya menatap ke arah luar mobil kembali. Ares membukakan pintu mobil untuk Kaira."Turun Kaira. Mau sampai kapan kamu duduk di dalam mobil ini?""Iya, Ares. Kamu mau langsung pulang, atau gimana?" tanya Kaira, setelah berdiri di hadapan Ares."Aku ikut kamu ya," ucap Ares yang membuat Kaira langsung membolakan matanya."Ares, aku ... aku bukannya gak mau ajak kamu. Tapi aku mau nemuin ibu sama ayah.""Aku juga merindukan ayah, jadi biarin aku ikut ke ruangan ayah."Tidak heran jika Ares mengenal kedua orang tua Kaira, mereka memang sering bebarengan sedari dulu. Itu sebabnya, Ares memilih untuk tetap ikut Kaira.'Ini hanya sebagian rencanaku, Kaira. Kembali mendekati ayah dan ibu. Bukankah kita sedari dulu sudah dekat.'Tentu ucapan itu hanya terucap di dalam hati Ares, karena memang ini tujuan Ares untuk mengantarkan Kaira.Setelah Kaira turun dari mobil, Ares dengan lancang menggenggam pergelangan tangan Kaira untuk tidak membuang-buang waktu.Kaira mengikuti langkah kaki Ares yang memasuki rumah sakit tersebut. Langkah kaki Ares mengarah pada resepsionis.Kaira menghentikan langkah kakinya, dia menahan Ares.Kaira menggelengkan kepalanya, "Kamu kenapa, Kaira?""Aku sudah mengetahui, di mana ruangan ayah dirawat. Jadi kamu tidak perlu bertanya ke resepsionis."Ares menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Jika itu maumu."Ares dan Kaira pun melanjutkan langkah kakinya, ternyata ruangan ayah Kaira tidak terlalu jauh dari tempat resepsionis itu.Kaira dan Ares kini sudah berdiri di hadapan pintu ruangan ayah Kaira. Perlahan Kaira mulai membuka pintu tersebut, dan mendorongnya."Kaira. Kamu datang bersama siapa, Nak?"Kaira menatap ibunya dengan menggigit bibir bawahnya sendiri, "Ares, Buk.""Ares? Yaampun, benarkah?!"Ibuknya Kaira pun langsung melangkahkan kedua kakinya untuk menuju ke arah Kaira berdiri."Ya ampun, Nak Ares. Kamu sudah sangat dewasa sekarang. Ibuk gak nyangka, bisa bertemu kamu kembali."Ares menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia mengangkat kedua sudut bibirnya dan menyalami ibuk dan ayah Kaira.'Semoga Ares tidak bilang ke ibuk dan ayah. Kalau aku sudah menjadi mama tirinya. Hal ini tidak bisa aku hindari, ketika Ares ingin mengantarku ke sini.'"Bagaimana keadaan ayah, Buk?""Kamu bisa lihat sendiri, Kaira. Ibuk juga bingung, uang yang kamu kasih itu telah habis untuk biaya operasi ayah kamu, Kaira.""Apa Ibuk sudah makan?"Ibuknya Kaira pun menggelengkan kepalanya pelan, "Ibuk masih kenyang. Jika kamu dan Ares lapar, kamu bisa beli di kantin terlebih dahulu ya.""Apa kamu lapar, Ares? Aku tadi sudah makan. Kamu?""Aku belum berniat untuk makan, Kaira. Aku masih kenyang, karena sarapan tadi pagi."Ibuk Kaira menghembuskan nafas panjang, dia terlihat menopang kedua tangannya untuk mengusap lutut.Ya, ketiganya kini sedang terduduk di sofa yang berada di ruangan itu. Tentunya ini bukan kamar pilihan Kaira, ini adalah kamar pilihan Devin.Kaira memang tidak mengizinkan Devin untuk menemui langsung kedua orang tuanya itu. Meskipun paras Devin tampan dan pasti tidak akan ada yang mengira jika usianya sama dengan ayah Kaira, tetap saja Kaira tidak bisa mengenalkan Devin.Kaira terlalu takut, jika ibuknya itu syok dan akan merasa sakit hati jika Kaira tidak memberitahu kedua orang tuanya terlebih dahulu.Sekarang Kaira hanya bisa menggigit bibir, dia masih takut jika Ares kelepasan dengan ucapannya itu."Jadi ... apakah kalian masih berpacaran?"Tubuh Kaira mematung. Dia bingung ingin menjawab apa, ini adalah pertanyaan yang sangat Kaira hindari.Hatinya seolah tercubit, 'Aku tidak ingin memberitahu tentang statusku sekarang. Tapi, apakah Ares akan menjawab, jika aku sekarang adalah mama tirinya?'Sedangkan Ares yang melihat ekspresi muka Kaira dengan tubuh yang menegang itu, membuat Ares tersenyum miring.'Ini adalah saat yang tepat, untuk aku kembali membuka suara.'Tentu ucapan Ares hanya tertahan di dalam hati. Ares mengangkat bibirnya, seolah ingin mengatakan sesuatu.Kaira menggerak-gerakkan kakinya. Dia memejamkan matanya seraya harap-harap cemas."Iya, Bu. Kita berdua masih menjalin hubungan yang baik.""Syukurlah jika memang kalian masih menjalin hubungan yang baik, Ibu turut senang."Kaira menggigit bibirnya semakin keras, menyalurkan rasa gugup yang menjalar di tubuhnya."Bu, Kaira sama Ares pamit pulang dulu ya. Ini Kaira ada urusan mendadak, yang penting kan Kaira udah jenguk ayah."Ibu Kaira menganggukkan kepalanya, sebelum dia benar-benar pergi dari ruangan tersebut, Kaira menyalimi ayah dan ibunya, tidak terkecuali Ares yang juga melakukan hal serupa.Saat di dalam mobil, Kaira melayangkan tatapan tajam ke arah Ares. "Apa maksud kamu bilang kalau kita masih berpacaran?""Keliatannya ayah sama ibu juga belum tau kalau kamu dan papaku menikah."Tenggorokan Kaira kembali tercekat, dia tidak menyangka jika Ares akan berucap demikian."Ingat, Ares. Aku udah jadi mama tiri kamu, jadi tolong hargai kehadiranku.""Aku kan dah bilang, sampek kapan pun aku gak mau. Lagian kita juga gak putus kan?"***Malam menjelang, Kaira seda
‘Apa maksud dia?’ batin Kaira memandang heran pada Ares. Dia hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan dari Ares. Kaira merasa jika dia menjawabnya maka percakapan ini akan teralihkan pada masa lalu mereka. Kaira sudah bertekad untuk melupakan masalah masa lalunya dengan Ares. Ares tersenyum tipis melihat reaksi Kaira yang hanya diam saja. “Kenapa diam saja? Kamu nggak mau tahu alasannya apa?”Kaira berdehem sejenak lalu memalingkan wajahnya dari Ares. “Buat apa kamu masih nyimpan foto itu? Kita udah lama putus jadi kamu nggak perlu memajangnya lagi. Nggak enak kalau di lihat sama Mas Devin,” ucap Kaira.Ares tersenyum miring mendengar jawaban dari Kaira. Dia dengan sengaja mendekatkan tubuhnya pada Kaira hingga membuat Kaira terperanjat kaget melihat dekatnya Ares padanya. “Kita nggak pernah putus, Kaira. Yang benar itu kamu yang ninggalin aku dan malah nikah sama Papaku.”Kaira terdiam. Dia tidak tahu harus membalas perkataan Ares s
Ares menyeringai melihat Kaira yang menatap tajam padanya. Tidak mungkin Ares membiarkan kesempatan ini pergi begitu saja. Kaira menepis tangan Ares lalu berjalan ke arah pintu kamar Ares. Sebelum Kaira sempat membuka pintu itu. Kaira membalikkan badannya ke arah Ares. “Luapin apa yang udah terjadi sama kita, aku nggak bakal balik ke kamu lagi.”Brak!Kaira terkejut ketika tangan Ares mengukungnnya di pintu kamar Ares yang masih tertutup. “Jangan harap kamu bisa pergi dari sini, Kaira.”Kaira melotot marah pada Ares. “Jangan buat aku marah, Ares!” seru Kaira masih menahan volume suaranya karena dia tidak ingin Devin mendengar teriakannya dari kamar sebelah. Ares terkekeh melihat Kaira yang malah terlihat menghibur di matanya. “Kamu yang bodoh nurutin aku masuk ke kamar ini, Kaira. Emangnya kamu seyakin itu aku nggak bakal ngelakuin sesuatu ke kamu, hm?”Ares langsung memegang pergelangan tangan Kaira dan menarik Kaira dengan ku
Devin mengernyitkan keningnya ketika tidak mendengar jawaban dari Ares. Dia kembali mengetuk pintu kamar Ares lagi. “Ares? Kamu masih bangun, kan?” tanya Devin yang memang melihat lampu kamar Ares masih menyala. Kaira yang merasa ada kesempatan untuk menyingkirkan Ares, langsung saja dia mendorong dada bidang Ares dengan kuat hingga akhirnya Ares pun menjauhkan tubuhnya dari Kaira. Kaira menggunakan kesempatan itu untuk bangkit berdiri dari posisi terbaringnya dan merapikan penampilannya agar tidak terlihat berantakan. Tidak dipungkiri Kaira begitu gugup ketika mendengar suara Devin yang saat ini masih berada di luar kamar Ares. Kaira juga mengusap bibirnya dengan punggung tangannya. Dia ingin menghilangkan jejak ciuman Ares di bibirnya tadi. Ares hanya memutar bola matanya malas melihat Kaira melakukan hal itu. Dia berjalan mendekat pada pintu kamar namun hal itu dihentikan oleh Kaira. Kaira menggelengkan kepalanya, meminta agar Ares tidak membuka pintu kamar itu. Dia tidak in
Kaira terbangun lebih pagi dari biasanya. Tentu saja itu karena dia tidak bisa tertidur nyenyak malam kemarin. Dia masih merasa begitu gelisah karena takut Devin malah mencurigai hubungannya dengan Ares. Meskipun Devin tidak terlihat mencurigainya, namun Kaira tetap saja merasa cemas. Kaira menatap ke arah Devin yang masih tertidur nyenyak. Dia pun turun dari kasur dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Selagi mandi, Kaira terpikirkan masalah ciuman dan perkataan Ares padanya. “Nggak, mulai sekarang aku harus jaga jarak dari Ares,” gumam Kaira. Setelah beberapa menit berlalu, Kaira pun melangkah keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah berganti. Dia mengeringkan sedikit rambutnya dan merapikannya sebelum akhirnya dia melangkah keluar dari kamarnya. Kaira menatap sejenak ke arah pintu kamar Ares yang masih tertutup rapat. Dia berharap Ares belum terbangun sehingga pagi ini Kaira tidak perlu meras
“Kamu beneran udah gila, Res!”Kaira menjauhkan tubuhnya dari Ares agar tidak menyebabkan kesalahpahaman yang tidak-tidak jika dilihat oleh Devin nantinya. Untungnya jarak kamar menuju dapur cukup jauh dan juga dapurnya memiliki sekat yang tidak akan terlihat jika tidak masuk ke dalam dapurnya. Ares kembali menyunggingkan senyuman miringnya. “Aku pengen kita balikan, Kaira. Apa susahnya sih? Kamu tinggal balik ke aku lagi dan kita bisa sama-sama kayak dulu.”Kaira menghela nafasnya. Dia tidak habis pikir akan jalan pikiran mantan kekasihnya itu. padahal Kaira sudah menjelaskan sejelas-jelasnya kepada Ares namun Ares tetap bersikap keras kepala padanya. “Ares, kita nggak bakal bisa balik kayak dulu lagi. Hubungan kita sekarang nggak lebih dari keluarga. Aku nggak mau kamu berbuat hal kayak gini lagi, Res,” ucap Kiara menatap pada Ares. “Aku bakal ngenalin Devin ke orang tua aku secepatnya setelah Papa udah keluar dari rumah sakit. Devin juga masih kelihatan muda jadi aku yakin Papa d
“Ares, hentikan kelakuan kamu ini!” Kaira berusaha mendorong tubuh Ares untuk menjauh darinya.Namun seperti sebelumnya, usahanya hanya sia-sia. Ares bahkan tidak bergerak sedikit pun dan hal itu membuat Kaira semakin gelisah. Dia takut Devin sampai di dapur dan melihatnya dengan Ares seperti itu. “Aku nggak bakal biarin kamu sama siapapun, Kaira.” Ares dengan berani mendekatkan wajahnya pada leher putih Kaira. Dikecupnya leher itu dan dijilatinya dengan liar. Kaira mendongakkan kepalanya dengan mata yang membelalak lebar. “Egh, Ares!” tegur Kaira mendorong dengan penuh tenaga hingga Ares pun terhuyung ke belakang dan tanpa sengaja Ares menabrak teflon yang masih berisi minyak panas dengan bumbu-bumbu di dalamnya. “Akh!” aduh Ares kesakitan dengan tangannya yang mulai memerah. Minyak panas itu mengenai tangannya hingga Ares pun langsung menjerit kesakitan. Kaira terkejut menatap Ares yang terduduk di lantai dengan tangan yang sudah me
Setelah pembicaraan Kaira dengan Ares hari itu, weekend pun tiba. Seperti perkataan Kaira kepada Ares, Kaira benar-benar mengajak Devin untuk diperkenalkannya kepada kedua orang tuanya. "Mas, maaf, ya aku baru ceritain ini ke kamu," ucap Kaira yang baru jujur masalah orang tuanya kepada Devin. Dia memang pernah merahasiakannya kepada Devin dan mengatakan kalau sebenarnya dia tidak punya orang tua. Devin menghela nafas pelan. Dia tidak merasa marah kepada kaira, hanya saja terselip perasaan kecewa di sana. Namun Devin mencoba mengerti perasaan Kaira. "Nggak apa-apa, Kaira. Asalkan kamu udah cerita ke aku, aku nggak bakal mempermasalahkannya lagi."Kaira tersenyum kecil. Perasaan hangat hinggap di benaknya. Inilah yang dia sukai dari Devin. Devin itu pria yang pengertian kepadanya dan selalu menerima apapun yang dilakukan Kaira. "Makasih, Mas. Jadi Mas mau kan ketemu sama orang tua aku?""Iya, Mas mau kok. Ares gimana? Kamu juga mau ikut, kan?" ta
Tidak memedulikan keadaan Kaira, Ares memutuskan untuk pergi lagi dari rumahnya itu dan memilih untuk menenangkan dirinya di bar yang sudah menjadi tempat langganannya. “Ck, makin lama di rumah yang ada aku bakal semakin emosi sama wanita pembawa sial itu. Jadi lebih baik aku menghibur diri di tempat biasa,” gumam Ares, sambil terus melajukan mobilnya itu menuju ke salah satu bar yang dia maksud tersebut. Tidak berapa lama kemudian, Ares tiba di bar tersebut. Di sana dia langsung saja memarkirkan mobilnya itu di parkiran bar lalu barulah setelah itu dia turun dari mobilnya dan melangkah masuk ke dalam bar itu. Tujuan Ares di sana pun hanya ingin minum-minum sebentar saja karena memang hanya itu saja yang bisa membuat dia agak melupakan apa yang sudah terjadi pada dirinya. “Vodka,” ucap Ares pada bartender yang sudah cukup mengenalnya itu. “Oke,” sahut bartender tersebut. Alunan suara musik di dalam bar itu pun sama sekali tidak mengganggu Ares. Dia hanya ingin menikmati minumann
Setelah cukup lama Ares menghabiskan waktunya di makam ibu kandungnya itu, dia pun akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Jujur saja sampai sekarang Ares masih menahan rasa amarahnya terhadap Kaira. Bahkan di dalam pikirannya saat ini adalah untuk memukul dan menampar wanita yang menurutnya sudah menjadi penyebab ayahnya mengalami kecelakaan pesawat itu.“Harusnya wanita itu dari awal nggak hadir aja di kehidupan aku dan Papa. Dengan begitu hubungan aku sama Papa juga nggak bakal renggang kayak sebelumnya,” geram Ares, mengeratkan genggaman tangannya pada gagang motor yang dia pegangi itu. Ares pun hanya bisa menatap jalanan di depannya dengan tatapan penuh amarahnya. Hingga selang beberapa menit kemudian, akhirnya Ares tiba di rumahnya dan dia langsung memakirkan motornya ke dalam garasi yang berada di samping runahnya. Kemudian Ares melepaskan helmnya dan segera melangkah masuk ke dalam rumahnya itu. Tepat saat dia mendekat ke arah ruang tengah, di sana Ares bisa mendengar
“I-Ini nggak mungkin ....”Dengan tangan yang bergetar memegang remote televisi, Kaira tidak mampu menahan air matanya yang sudah mengalir ke kedua pipinya. Sama sekali tidak pernah dibayangkannya bahwa suami yang dia cintai akan mengalami kecelakaan seperti itu. Apalagi baru beberapa jam berlalu semenjak Devin pergi ke luar kota dan meninggakan dirinya, namun kejadian seperti itu sudah terjadi. “M-Mas Devin ... nggak ... jangan tinggalin aku,” lirih Kaira, sambil menundukkan kepalanya dan membiarkan saja remote yang dipegangnya tadi terjatuh ke atas lantai.Rasa sakit yang dirasakan di dalam hatinya benar-benar tidak bisa dibendung oleh Kaira. Bahkan sedikti demi seidkit dia bisa merasakan rasa sesak yang begitu menyakitkan. “K ... Kenapa hal ini harus terjadi sama Mas Devin? Kenapa? Baru saja kami memulai kembali semuanya ... tapi kenapa hal ini harus terjadi?” Suara tangisan Kaira memenuhi ruang tengah tersebut. Dia tidak peduli dengan Ares yang mungkin saja akan mendengar tang
Beberapa hari telah berlalu semenjak keguguran yang dialami oleh Kaira.Kaira masih merasa sedih karena dia sudah kehilangan anak yang bahkan belum sempat melihat dunia karena salah dirinya. Namun berkat ada suaminya yang selalu menguatkannya, Kaira benar-benar merasa jauh lebih baik. “Kamu bakal pergi sampai berapa hari, Mas?” tanya Kaira, sambil merapikan pakaian suaminya yang dia masukkan ke dalam koper. “Mungkin 3 sampai 4 hari, Sayang. Tapi aku usahain pulang lebih cepat, ya,” jawab Devin, tersenyum lalu mengecup lembut kening istrinya. “Maaf ya, tiba-tiba aku harus pergi perjalanan bisnis kayak gini. Padahal aku masih mau ngejagain kamu di sini.”Kaira tersenyum lalu menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Mas. Lagian kamu nggak perlu jagain aku lagi, sekarang aku udah lebih baik kok,” balas Kaira, sambil menutup kopernya. “Berkat kamu, aku udah jauh lebih baik. Makasih banyak ya, Mas, makasih karena masih mau pertahanin aku jadi istri kamu.”Devin membalas senyuman istrinya itu lal
“Ares, kamu bantu Papa bawa Mama ke mobil, kita harus ke rumah sakit sekarang,” ucap Devin kepada Ares. Ares hanya menuruti perkataan papanya itu lalu membantu menggendong tubuh Kaira dan membawanya masuk ke dalam mobilnya Devin. Di dalam sanna sudah ada Devin yang menyalakan mesin mobilnya. “Kami juga masuk, kita ke rumah sakit sekarang. teman kamu bisa pulang lebih dulu,” ucap Devin memandang ke arah Jeremy dengan tatapan yang cukup tegas. Dia masih ingat dengan apa saja yang dikatakan Jeremy kepada istrinya. “Kejadian hari ini, jangan dibahas lagi.”Ares pun mau tidak mau ikut bersama dengan Devin dan menuju ke rumah sakit. Sedangkan Jeremy dimintai pulang oleh Ares karena tugasnya Jeremy tadi juga sudah selesai dan berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang Ares inginkan. Selama perjalanan menuju ke rumah sakit, Devin tidak henti-hentinya melirik ke arah Kaira dengan perasaan cemasnya. “Aku harap dia baik-baik aja,” ucap Devin
“Hey, Bro,” ucap Jeremy yang baru saja tiba di rumah Ares. “Jadi, ngapain kamu suruh aku datang ke sini?”Ares tersenyum. “Nanti kamu juga akan tahu. Masuk dulu,” ucap Ares berjalan masuk dan diikuti oleh Jeremy di belakangnya. Mereka pun memutuskan untuk duduk di ruang tamu. “Nggak ada niatan mau nawarin aku minum?” tanya Jeremy memukul lengan Ares pelan. “Aku tamu di sini.”“Ck, bentar lagi Mama aku juga bakal pulang. Nanti kamu minta aja sama dia,” ucap Ares. “Mama? Mama tiri kamu? oh iya, aku juga belum pernah lihat Mama tiri kamu, ya. Orangnya seperti apa? Papa kamu kan ganteng jadi harusnya Mama tiri kamu itu cantik dong, ya,”: ujar Jeremy yang mulai tertarik ingin mengetahui mengenai mama tiri Ares.Ares tersenyum miring mendengar perkataan Jeremy. “Mama tiri aku itu, kamu sangat mengenalnya, Jer. Nanti kamu setelah lihat pasti langsung ingat.”Jeremy mengernyitkan keningnya, bingung dengan perkataan temannya i
Kedua mata Kaira terbelalak lebar setelah dia mendengar suara Devin yang berada di luar gudang itu. Ares tersenyum miring. “Kalau aku memanggil Papa kemari, kira-kira menurut kamu apa yang akan dia pikirkan tentang kita, Kaira?” tanya Ares. Kaira menggelengkan kepalanya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca saat ini. Apapun yang terjadi Kaira tidak ingin sampai Devin mengetahui apa yang sudah dilakukan Ares pada Kaira.Ares pun menjauhkan dirinya dari Kaira. “Untuk kali ini aku nggak akan melanjutkannya. Tapi bukan berarti aku nyerah gitu aja, Kaira.”Tatapan Ares jatuh pada pertu rata Kaira. Dia berdecih kesal, mengingat sekarang ada kehidupan kecil di dalam perutnya Kaira itu. “Nikmatilah selagi kamu bisa. Jangan lupain kalau aku bisa kapan aja hancurin rasa senang kamu itu.”Setelah itu pun Ares membuka pintu gudangnya dan berjalan keluar, meninggalkan Kaira yang sudah terduduk di atas lantai gudang itu. Kedua tangan Kaira masi
“Huek! Huek!”Setelah beberapa bulan berlalu, ada yang berbeda dengan kondisi tubuh Kaira. Dia merasa begitu lemas bahkan nafsu makannya selalu berubah-ubah. Belum lagi dia yang mulai sering merasa pusing dan mual-mual. “Kaira, kamu nggak apa-apa?” tanya Devin mengetuk pintu kamar mandi setelah dia mendengar suara istrinya yang tengah muntah-muntah itu. Tidak berapa lama suara air keran yang terbuka pun terdengar. Setelahnya itu Kaira membuka pintu kamar mandi dan menatap wajah cemas suaminya itu. “Mas … aku merasa pusing,” ucap Kaira dengan lemas. “Kita ke rumah sakit sekarang. Aku takut ini bukan hanya masuk angin aja, Kaira,” ucap Devin mengelus punggung Kaira dengan lembut. Kaira pun menganggukkan kepalanya. “Iya, Mas. Aku juga sering mual-mual kayaknya aneh kalau ini masuk angin biasa.”Devin pun menuntun Kaira keluar dari kamar. Tidak lupa dia membawa kunci mobilnya lalu melangkahkan kakinya bersama dengan Kai
“K-Kamu ….” Kaira kehabisan kata-katanya. Dia masih tidak menyangka Ares menamparnya sekeras itu padahal sebelumnya Ares tidak pernah menunjukkan tindakan kekerasan padanya sama sekali apalagi ketika mereka masih dalam hubungan asmara sewaktu SMA dulu. Tidak berbeda dengan Kaira. Ares juga sama terkejutnya dengan apa yang baru saja dia lakukan. Namun Ares tidak menunjukkan raut wajah terkejutnya itu dan hanya memasang wajah normalnya.“Kaira, kamu harusnya kamu nggak nolak aku terus-terusan,” ucap Ares tiba-tiba setelah terjadi keheningan sejenak di antara dirinya dan Kaira. Pipi Kaira masih berdenyut sakit karena memang tamparan dari Ares begitu keras dan penuh teanga itu. Kaira menjauhkan tubuhnya dan Ares dan menatap Ares dengan tatapan sendu. Sebenarnya Kaira sedih dengan perubahan sikap Ares yang dulunya lembut, sekarang berubah menjadi Ares yang dengan mudah bisa bermain tangan kepadanya. “Ares, aku mohon sama kamu. Ja