"Bisa jalan dengan benar tidak?" Kafka yang baru saja melewati sebuah lorong menuju ruangan Melissa di kantor perempuan itu hanya menaikkan satu alisnya kala sang kakak menanyakan hal seperti itu padanya.Setelahnya dia hanya memerhatikan sang kakak yang pergi dengan keadaan marah. Dia hanya menggeleng lalu melanjutkan langkah. Kafka lansung menuju ruangan Melissa yang pintunya masih terbuka dan melihat perempuan itu yang tampak memegang kepalanya dan seorang pria paruh baya berdiri di sampingnya. "Permisi," ujarnya kemudian. Dia pun mendapat perhatian dari dua orang di ruangan itu."Apa aku datang di waktu yang tidak tepat?" Dia menatap Melissa dan pria paruh baya itu secara bergantian."Oh tidak kok," ujar Melissa. Dia menegakkan tubuh lalu menggeleng pelan dengan senyum tipis. "Masuklah.""Kalau begitu saya kembali ke ruangan saya dulu, Bu," ujar Pak Miko yang kembali bersikap profesional karena ada orang lain di sana. Dia pun keluar dari ruangan itu meninggalkan Melissa dan Kafk
"Selamat pagi anak-anak." Seorang guru perempuan memasuki kelas. Dia menyapa murid-muridnya yang terlihat sangat bersemangat hari ini.Pagi itu, jatuh pada tanggal empat belas Februari, seorang guru yang mengajar di taman kanak-kanak membawa sebuah kotak berisi peralatan yang mana dia berencana untuk mengajak muridnya berkreasi."Selamat pagi, Bu Risti." anak-anak yang terdiri dari dua puluh anak laki-laki dan perempuan itu menjawab salam sang guru. "Oke anak-anak. Kalian siap untuk hari ini?" tanya guru bernama Risti itu. Dia tersenyum menatap semua muridnya secara bergantian."Siap!" jawab semua murid dengan mengangkat kedua tangan."Oke. Kalian tahu hari ini tanggal berapa?" Bu Risti bertanya."Empat belas Febluali, Bu." Beberapa anak menjawab dan beberapa anak diam karena tida tahu hari ini tanggal berapa. Beberapa ada yang pengucapannya benar dan ada yang salah karena belum bisa mengatakan huruf r."Kalian tahu hari ini hari apa?" Bu Risti kembali bertanya."Jumat, Bu." Kali ini
Melissa dan Argo duduk pada sebuah bangku kayu di bawah pohon manggapada sebuah panti asuhan. Mereka baru saja membagikan sembako dan juga barang-barang untuk panti ini.Mereka baru daja menyelesaikan kegiatan makan bersama pemilik panti dan juga anak-anak panti, perasaan haru menghinggapi keduanya."Kasihan sekali ya mereka," ujar Melissa tiba-tiba. Ada banyak cerita yang dia dapatkan di panti ini mengenai asal-usul mereka, dan kebanyakan adalah bayi yang tiba-tiba ditinggalkan di depan gerbang panti oleh orang tuanya. Tak sedikit juga anak yang tiba-tiba di telantarkan begitu saja."Mereka tidak berdosa, tetapi orang tua mereka yang begitu tega membuang mereka begitu saja." Dia melanjutkan. Pandangan Melissa tampak sendu mengarah pada anak-anak panti yang sedang bermain di taman."Ya. Ada banyak orang dan anak-anak yang nasibnya tida seberuntung kita. Tapi, kita kadang kalanya masih sering mengeluh." Argo berujar dengan senyuman tipis.Melissa menarik napas dalam. "Ya. Kalau dipikir
Semuanya ada di ruangan guru itu pun langsung menarik ke arah Melissa. Banya ekspresi yang tergambar di wajah-wajah itu. Ada yang terkejut, sinis dan juga bingung.Melissa langsung mengangguk ketika melihat seseorang berdiri dari tempat duduknya. Dia pun kembali menatap ke arah Lisa yang masih menunduk di samping Argo."Siapa kamu? Datang-datang menyela pembicaraan orang. Tidak sopan." Wali murid dari Sisi langsung memaki Melissa.Melissa menatap malas ke arah perempuan itu. "Ibu. Lebih baik Ibu diam datipada bicara yang tidak penting." "Kamu ...." Wali murid Sisi mendelik kesal ke arah Melissa. Dia benar-benar dibuat jengkel.Melissa sendiri tidak peduli. Dia memilih untuk mendekati Lisa lalu berjongkok di hadapan gadis itu. Memegangi kedua pundak Lisa lalu perlahan membuat Lisa menatap dirinya."Lisa, Sayang," panggilnya dengan suara lembut. Tidak ada lagi wajah sinis seperti yang dia tunjukkan pada perempuan tadi."Lisa mau cerita tidak sama Tante?" tanyanya kemudian.Sayangnya, L
"Kamu ini bagaimana sih? Bikin malu aja," ujar perempuan tambun itu pada putrinya. Dia menarik kasar tangan sang anak keluar dari kelas sembari mengomel."Kamu ini nggak ada habis-habisnya ya bikin ulah." Dia kembali mengomel."Maaf, Ma." Sisi berdesis kala merasakan sakit di lengannya. Mereka sampai di parkiran sekolahan dan papanya Sisi sudah ada di sana.Pria paruh baya itu keluar dari mobil ketika melihat istri dan anaknya datang dengan Sisi yaang menangis. "Ada apa, Ma?" tayanya kemudian menatap Sisi dengan khawatir."Ini. Anakmu ini," ujarnya dengan sedikit mendorong tubuh Sisi ke arah papanya."Bisanya cuma bikin ulah. Bikin malu," lanjutnya kemudian. Dia melipat tangan di depan dada dengan ekspresi penuh kemarahan."Pelan-pelan, Ma." Suaminya menegur sang istri.Di lain tempat, Melissa sedang asyik-asyiknya membagikan cokelat yang dia bagikan kalau anak-anak mau berkata jujur. "Sudah kebagian semua cokelatnya?" tanya Melissa pada anak-anak yang ada di kelas."Sudah." Mereka me
Bagaimana keadaan apartemen milik Okta saat ini? Berantakan. Sangat-sangat berantakan. Banyak barang yang pecah dan berserakan. Banyak benda yang tidak berada tepat di tempatnya.Bagaimana tidak?Hari ini dia mendapatkan kesialan dengan Melissa yang memecatnya. Ternyata, keras juga hati mantan istrinya itu. Dipikir setelah kejadian kemarin Melissa akan mempertimbangkan rencana dirinya untuk rujuk. Namun, ternyata Melissa malah mendepak dirinya dati perusahaan perempuan itu.Kedua tangan Okta mengepal karena marah. Dia menggeleng pelan dengan tatapan tajam. "Tidak. Kalau seperti ini, aku harus menggunakan cara kekerasan. Sedikit memaksa agar dia mau kembali padaku," ujarnya kemudian.Okta mengangguk. "Ya. Itu harus. Lagi pun, pria bernama Argo itu bukan siapa-siapa. Hanya pemilik kontrakan beberapa pintu dan juga beberapa toko sembako. Tidak level denganku yang memiliki perusahaan." Dia kembali berujar.Tunggu. Perusahaan mana yang dia maksud ini?"Dia tidak pantas untuk Melissa yang
Argo, Lisa, dan Melissa akhirnya tiba di kediaman Argo. Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas itu terasa hangat dan penuh kenangan bagi Argo.Sederhana? Mana mungkin rumah sebesar ini bida disebut rumah sederhana? "Yuk turun," ujar Argo. Tiga orang itu turun dari mobil. Begitu mereka masuk ke pekarangan, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah menyambut mereka. Pak Bowo, ayah Argo, sudah berdiri di teras. Dia tampak terkejut"Kalian sudah pulang?" tanyanya bingung.Tatapannya jatuh pada keberadaan Melissa. "Loh? Ada Melissa juga?"Melissa mengangguk. "Iya Om. Tadi habis dari panti ikut ke sini." Dia menjelaskan."Lalu, Lisa?" Dia menunjuk cucunya. Dia melihat cucunya yang cemberut dan itu membuatnya semakin bingung."Nanti Argo ceritain." Argo berujar. Dia menatap Lisa."Lisa. Kamu ganti seragamnya dulu, ya." Dia berujar pada Lia dan gadis kecil itu pun mengangguk."Ayo masuk." Pak Bowo berujar. "Bagaimana perjalanan kalian tadi?" tanya Pak Bowo dengan suara hangatnya."
Suasana makan siang di rumah Argo terasa begitu hangat. Melissa, Argo, dan Lisa duduk mengelilingi meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Aroma masakan yang menggoda mengisi seluruh ruangan, mengundang selera makan mereka. Selain makanan dari Windi tadi yang dibawa Melissa, ternyata asisten rumah tangga Argo juga sudah memasak. Sepertinya papanya tadi sudah makan lebih dulu.Argo menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum. "Aku cicipi makanan kamu, ya." Dia berujar pada Lisa."Ambil aja Argo. Kan tadi aku sudah bilang sama kamu. Yang banyak." Melissa berujar.Argo menyuapkannya ke mulut, dia menikmatinya. "Hem. Mantan mertua kamu benar-benar pandai memasak, Melissa," puji Argo setelah mencicipi suapan pertamanya. "Pasti kamu dulu sering dimanja sama makanan-makanan enak seperti ini."Melissa terkekeh pelan. "Ya, mereka memang sangat baik padaku. Aku dulu juga sering kok belajar masak sama Mama Windi. Tapi nggak tahu kenapa masih saja rasanya beda.""Ah enggak. Masakan k
Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih
Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag
Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen
Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m