"Kamu ini bagaimana sih? Bikin malu aja," ujar perempuan tambun itu pada putrinya. Dia menarik kasar tangan sang anak keluar dari kelas sembari mengomel."Kamu ini nggak ada habis-habisnya ya bikin ulah." Dia kembali mengomel."Maaf, Ma." Sisi berdesis kala merasakan sakit di lengannya. Mereka sampai di parkiran sekolahan dan papanya Sisi sudah ada di sana.Pria paruh baya itu keluar dari mobil ketika melihat istri dan anaknya datang dengan Sisi yaang menangis. "Ada apa, Ma?" tayanya kemudian menatap Sisi dengan khawatir."Ini. Anakmu ini," ujarnya dengan sedikit mendorong tubuh Sisi ke arah papanya."Bisanya cuma bikin ulah. Bikin malu," lanjutnya kemudian. Dia melipat tangan di depan dada dengan ekspresi penuh kemarahan."Pelan-pelan, Ma." Suaminya menegur sang istri.Di lain tempat, Melissa sedang asyik-asyiknya membagikan cokelat yang dia bagikan kalau anak-anak mau berkata jujur. "Sudah kebagian semua cokelatnya?" tanya Melissa pada anak-anak yang ada di kelas."Sudah." Mereka me
Bagaimana keadaan apartemen milik Okta saat ini? Berantakan. Sangat-sangat berantakan. Banyak barang yang pecah dan berserakan. Banyak benda yang tidak berada tepat di tempatnya.Bagaimana tidak?Hari ini dia mendapatkan kesialan dengan Melissa yang memecatnya. Ternyata, keras juga hati mantan istrinya itu. Dipikir setelah kejadian kemarin Melissa akan mempertimbangkan rencana dirinya untuk rujuk. Namun, ternyata Melissa malah mendepak dirinya dati perusahaan perempuan itu.Kedua tangan Okta mengepal karena marah. Dia menggeleng pelan dengan tatapan tajam. "Tidak. Kalau seperti ini, aku harus menggunakan cara kekerasan. Sedikit memaksa agar dia mau kembali padaku," ujarnya kemudian.Okta mengangguk. "Ya. Itu harus. Lagi pun, pria bernama Argo itu bukan siapa-siapa. Hanya pemilik kontrakan beberapa pintu dan juga beberapa toko sembako. Tidak level denganku yang memiliki perusahaan." Dia kembali berujar.Tunggu. Perusahaan mana yang dia maksud ini?"Dia tidak pantas untuk Melissa yang
Argo, Lisa, dan Melissa akhirnya tiba di kediaman Argo. Rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas itu terasa hangat dan penuh kenangan bagi Argo.Sederhana? Mana mungkin rumah sebesar ini bida disebut rumah sederhana? "Yuk turun," ujar Argo. Tiga orang itu turun dari mobil. Begitu mereka masuk ke pekarangan, seorang pria paruh baya dengan senyum ramah menyambut mereka. Pak Bowo, ayah Argo, sudah berdiri di teras. Dia tampak terkejut"Kalian sudah pulang?" tanyanya bingung.Tatapannya jatuh pada keberadaan Melissa. "Loh? Ada Melissa juga?"Melissa mengangguk. "Iya Om. Tadi habis dari panti ikut ke sini." Dia menjelaskan."Lalu, Lisa?" Dia menunjuk cucunya. Dia melihat cucunya yang cemberut dan itu membuatnya semakin bingung."Nanti Argo ceritain." Argo berujar. Dia menatap Lisa."Lisa. Kamu ganti seragamnya dulu, ya." Dia berujar pada Lia dan gadis kecil itu pun mengangguk."Ayo masuk." Pak Bowo berujar. "Bagaimana perjalanan kalian tadi?" tanya Pak Bowo dengan suara hangatnya."
Suasana makan siang di rumah Argo terasa begitu hangat. Melissa, Argo, dan Lisa duduk mengelilingi meja makan yang penuh dengan hidangan lezat. Aroma masakan yang menggoda mengisi seluruh ruangan, mengundang selera makan mereka. Selain makanan dari Windi tadi yang dibawa Melissa, ternyata asisten rumah tangga Argo juga sudah memasak. Sepertinya papanya tadi sudah makan lebih dulu.Argo menyendokkan makanan ke piringnya sambil tersenyum. "Aku cicipi makanan kamu, ya." Dia berujar pada Lisa."Ambil aja Argo. Kan tadi aku sudah bilang sama kamu. Yang banyak." Melissa berujar.Argo menyuapkannya ke mulut, dia menikmatinya. "Hem. Mantan mertua kamu benar-benar pandai memasak, Melissa," puji Argo setelah mencicipi suapan pertamanya. "Pasti kamu dulu sering dimanja sama makanan-makanan enak seperti ini."Melissa terkekeh pelan. "Ya, mereka memang sangat baik padaku. Aku dulu juga sering kok belajar masak sama Mama Windi. Tapi nggak tahu kenapa masih saja rasanya beda.""Ah enggak. Masakan k
Melissa terduduk termenung di sebuah kursi, memikirkan kenyataan yang baru saja dia ketahui. Argo dan Arga ternyata adalah saudara. Hal itu terasa begitu mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin dia tidak pernah tahu? Bahkan saat mereka masih sekolah dulu, tidak ada satu pun yang menyebutkan fakta ini. Jika memang ada yang tahu, tentu dia juga akan mengetahuinya.Argo datang menghampiri dengan segelas minuman di tangannya. Dia menyerahkannya pada Melissa dengan harapan bisa membuat perempuan itu sedikit lebih tenang."Minumlah, Mel. Jangan terlalu dipikirkan," kata Argo pelan, namun suara itu tetap terdengar tegas.Melissa menerima gelas itu tanpa benar-benar berniat untuk meminumnya. Matanya masih menatap kosong ke depan, pikirannya berputar di antara fakta-fakta yang baru saja ia dengar."Kenapa Arga tidak pernah memberitahuku?" tanyanya lirih. "Aku bahkan yakin di sekolah dulu tidak ada yang tahu kalau kalian saudara."Dia menatap Argo. "Kamu juga duku tidak bilang.""Karena memang t
Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y
Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya
Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny
"Kamu ini ngapain sih di sini? Udah di rumah saja istirahat," ujar Pak Bowo ketika melihat kedatangan Tuan Bagus."Hei. Kau ini. Dijenguk kawan bukannya seneng aku malah mau diusir. Aku, kan hanya ingin membantumu. Menemani kamu karena aku tahu Argo harus mengawasi usaha kalian," ujar Tuan bagus dengan lagak yang dia buat sombong."Iya tidak, Ta?" tanya Tuan Bagus menatap calon menantunya itu."Sebenarnya nggak papa ditinggal juga kok, Om. Kan tinggal hubungin pegawai saja." Argo berujar sopan."Tuh, kan." Pak Bowo tertawa.Tuan Bagus mencebikkan bibir. Dia mengibaskan tangan ke udara. "Ya anggap saja aku kesepian di rumah dan sedang mencari teman ngobrol. Gampang, kan." Dia menarik kursi yang ada di samping brankar lalu duduk di sana."Gimana perkembangan kasusnya?" tanyanya kemudian.Argo menggeleng. "Kami belum mendapatkan kabar dari polisi. Mungkin mereka masih menginterogasi para penghuni kontrakan." Dia menjelaskan.Ruan Bagus tampak berpikir. Dia pun mengangguk kemudian. "Hah.
"Mama kenapa sih, Ma?" tanya Khalif ketika melihat istrinya yang terus melamun. Dia duduk di samping Windi lalu merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman tipis.Windi menarik napasnya dalam sampai bahunya naik perlahan lalu mengembuskan dengan berbarengan pundaknya yang urun. "Ya mikirin apa lagi, Pa kalau bukan lamaran mama yang ditolak sama Tuan Bagus karena dia sudah menjodohkan Melissa dengan orang lain," jawabnya malas.Khalif mengangguk dan paham kekecewaan sang istri. Dia mengelus pundak Windi dengan lembut. "Sudahlah, Ma. Mungkin Melissa dan Kafka itu memang tidak berjodoh. Janganlah dipaksa terus menerus.""Mama ini tidak memaksa, Pa. Mama ini hanya sedang berusaha." Windi berujar dengan penuh penekanan."Berusaha untuk mencarikan jodoh terbaik untuk anak kita. Dan Melissa menurut mama itu yang paling pas dan cocok," lanjut Windi."Ya kalau bukan jodohnya mau gimana, Ma? Mau diapain juga tidak akan bisa bersama kalau Tuhan tidak berkehendak. Dan, jika Tuhan memang mentakd
Mendapat tawaran dari Melissa untuk tinggal di rumahnya, tentu saja Lisa langsung mengiyakan hal itu. Daripada tidur di rumah sendirian, atau tidur di rumah sakit lagi dan itu tidak membuatmu nyaman, lebih baik tidur di rumah calon mamanya kan?"Sekarang, Lisa cuci muka, cuci kaki dan gosok gigi, ya." Melissa berujar ketika mereka sudah bersiap untuk tidur.Lisa pun mengangguk dan kduanya menuju kamar mandi untuk melakukan ritual itu. Setelah beberapa saat selesai, mereka pun siap untuk mengistirahatkan diri.Melissa membenahi selimut Lisa. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur," ujarnya dengan senyuman.Lisa mengangguk dan melakukan apa yang diminta Melissa. Setelahnyamerekapun mulai merebahkan diri. "Terima kasih, Tante Lisa." Gadis itu berujar.Melissa mengangguk. "Sama-sama." Dia pikir setelah itu Lisaakan langsung tidur. Akan tetapi gadis kecil itu masih membuka matanya."Kamu kenapa? Kok masih belum tidur?" tanyanya kemudian.Lisa menatap Melissa dengan takut-takut. "Lisa mau tanya,
Suara klakson langsung berbunyi keras setelah mobil milik Melissa berhenti. Beberapa mobil di belakangnya berhenti dengan jarak yang sangat dekat.Melissa dan Tuan Bagus sama-sama menoleh. "Mel. Kamu ini." Tuan Bagus memperingati."Maaf-maaf." Melissa segera menjalankan kembali mobilnya."Kamu ini ada-ada saja, Mel." Tuan Bagus menggeleng pelan."Lagian Papa bikin aku terkejut aja." Melissa mengerucutkan bibirnya. Dia tetap memfokuskan pandangan lurus ke depan."Maksud ucapan Papa tadi apa?" tanyanya kemudian."Ya Tante Windi tadi?" tanya Tuan Bagus dan dia melihat putrinya yang mengangguk."Ya seperti yang kamu dengar tadi. Tante Windi tadi datang ke rumah dan dia mengatakan niatnya kalau dia ingin kamu menjadi menantunya lagi," ujar Tuan Bagus."Katanya, kamu ingin dinikahkan dengan Kafka," lanjutnya kemudian.Melissa yang mendengar hal itu menggeleng pelan. "Astaga. Asli. Mel nggak pernah bayangin hal ini, Pa.""Sama." Tuan Bagus berujar."Lalu Papa bilang apa sama Tante Windi?" ta
"Ayo, Jarot. Mandi yang bersih ya, Jar. Biar seger," uja Tuan Bagus. Pria itu tengah menyemprot air pada burung peliharaannya. Pagi ini adalah waktu yang pas untuk mandi."Abis mandi nanti, kamu latihan lagi berkicau. Biar suara kamu tetap merdu dan semakin merdu," lanjut Tuan Bagus. Dia menatap senang empat ekor burung yang dia miliki."Ini, Tuan camilannya," ujar asisten rumah tangga Tuan Bagus.Tuan Bagus menoleh. "Terima kasih, Bi." Dia mengangguk. Duduk di gazebo dia mulai menikmati lapis legit yang baru saja dia dapatkan semampu menatap burung-burung miliknya yang sedang dijemur."Buka usaha jual beli burung sepertinya asyik," ujarnya kemudian.Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya kembali mendekat. Dia berdiri di depan Tuan Bagus sembari menunduk untuk memberitahukan sesuatu."Tuan, maaf. Ada nyonya Windi datang dan ingin bertemu." Dia berujar.Tuak Bagus langsung mengerutkan kening mendengar perkataan asisten rumah tangganya. "Windi? Mau apa dia?" tanyanya kemudian.
Malam telah larut ketika Argo mengantar Melissa pulang. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan melintas dengan lampu yang menyorot redup. Mobil Argo berhenti tepat di depan rumah besar milik Tuan Bagus. Melissa menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Argo. "Makasih ya, Go, udah nganterin aku pulang. Maaf jadi ngerepotin."Argo tersenyum tipis, "Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Kamu sudah repot hari ini karena aku. Bantu di panti---""Itu, kan memang kegiatan yang rencananya dirutinin sama kita," ujar Melissa memotong kalimat Argo. Keduanya terkekeh bersama.Argo mengangguk. "Ya. Tapi nggak hanya itu aja. Misal tadi kamu ikut ke sekolahan dan membantu Lisa. Secara tidak langsung kamu membersihkan namanya," ujar Argo.Melissa mendengus. "Aku hanya tidak suka bullying."Argo mengangguk. "Ya. Untuk itu aku berterima kasih.""Ya udah sama-sama.""Yuk aku antar sampai depan rumah. Aku mau sekalian pamit sama Om Bagus. Boleh, kan?" tanya Argo.Melissa mengangguk. "Ya haruslah.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny
Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya
Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y