Membawa sebuah amplop berwarna cokelat dengan tulisan pengadilan agama di bagian atas, Melissa berjalan keluar dari mobil. Dia baru saja mendatangi pengadilan untuk mengambil akta cerai dari papanya.Memasuki rumah, dia mencari keberadaan sang papa. "Pa," panggilnya. Ketika dia sampai di ruang tengah, Melissa juga tidak mendapati keberadaan papanya"Mbok. Papa mana?" tanyanya ketika melihat asisten rumah tangganya datang membawa sebuah sapu."Ada di taman belakang, Non. Sedang memandikan burung,'' ujar perempuan tua itu.Kening Melissa mengerut. "Burung? Sejak kapan Papa punya burung, Mbok?" Mbok Nem tersenyum. "Baru tadi sih, Non. Tadi pagi agak siangan ada yang nganter burungnya," ujarnya memberitahu.Melissa mengangguk beberapa kali dengan bibir yang membentuk huruf o. "Ya sudah. Tolong buatin aku minum ya, Bi. Aku mau nemuin Papa dulu," ujarnya kemudian.Mbok Nem mengangguk. "Baik, Non."Melissa pun segera ke taman belakang untuk menemui sang papa. Terlihat pria itu yang tengah b
Melissa segera turun dari mobil dan berjalan cepat memasuki perusahaan. Hari ini dia akan memiliki agenda meeting yang sangat penting di luar. Akan tetapi, dia hampir terlambat karena di perjalanan terjebak macet sebab ada kecelakaan.Sesekali melihat jam tangan yang melingkar di pergelagan tangannya, perempuan itu terus melangkah cepat tak melihat medan.Alhasil, dia tidak tahu tanda peringatan kalau lantai masih basah karena baru saja dipel. Kita tahu hasilnya bagaimana. Melissa terpeleset dan hampir saja jatuh.Beruntung seseorang melihat itu dan menolong Melissa. Bak adegan dalam film romantis, dua orang saling merangkul kala salah satu akan terjatuh. Saling pandang beberapa saat dengan alunan musik yang terdengar.Ah tidak. Itu bohong. Tak ada musik di sana."Hati-hati dong." Pria yang membantu Melisa pun berujar. Dia tersenyum melihat Melissa ada dalam pelukannya.Melisa yang melihat siapa sosok yang menyelamatkannya pun segera melepaskan diri. Dia segera membenahi penampilannya
Dua pria kakak beradik itu saling bertengkar, adu pukul satu sama lain. Tak peduli luka lebam yang sudah tergambar di wajah keduanya."Kurang ajar. Nggak akan aku biarkan kau mendekati Melissa." Okta terus berujar mengenai keberatannya tentang Kafka yang akan menjadikan Melissa istrinya."Tidak peduli. Kau bukan siapa-siapanya lagi. Kau tidak berhak melarangku untuk mendekatinya," balas Kafka yang tidak mau menuruti keinginan sang kakak. Siapa kakaknya memang yang harus dia turuti keinginannya?"Heh! Apa kau tidak malu mendekati mantan istri kakakmu sendiri?" Okta tak habis pikir dengan adiknya ini. Masih banyak perempuan di luar sana tetapi kenapa malah mendekati Melissa."Tidak. Untuk apa aku malu? Aku tidak tidur dengan perempuan lain ketika aku memiliki istri sehingga aku harus malu," balas Kafka kemudian. Pria itu bersifat dingin, berwajah datar tetapi mulutnya cukup julid juga."Brengs*k." Keduanya tidak hanya saling memukul, tetapi saling melempar kata-kata juga.Khalif dan Win
"Ini bumbunya," ujar Melissa sembari memberikan bumbu untuk ikan yang sedang dibakar oleh Argo. Sesuai rencana Bagus dan Pak Bowo tadi, mereka memutuskan untuk membakar ikan yang mereka dapat dari memancing di rumah Bagus.Setelah insiden seorang anak kecil memanggil papa tadi, Bagus dan Melissa pun tahu itu ternyata adalah keponakan Argo yang memanggil Argo dengan sebutan papa.Argo mengangguk dan menerima bumbu itu dari tangan Melissa. "Terima kasih," ujar Argo. Dia mulai mengolesi ikan yang dia bakar dengan bumbu. Sedangkan Melissa membantu Argo dengan memotong mentimun di meja yang sama.Pandangan Melissa sesekali mengarah pada keberadaan gadis kecil yang duduk bersama Bagus dan Pak Bowo sembari berbincang-bincang. "Namanya Lisa ya tadi?" tanyanya kemudian."Dia lucu," lanjutnya."Melissa," ujar Argo tiba-tiba."Ha?" Melisa yang merasa dipanggil pun menoleh ke arah Argo.Argo yang mengerti hal itu pun langsung menggeleng. "Bukan-bukan. Maksud aku namanya," ujar dia dengan menunju
"Selamat pagi." Okta Pria itu membuka pintu ruangan Melissa dengan nampan berisi kopi di tangannya. Pria itu tersenyum kala melihat mantan istrinya menatap ke arah dirinya.Melissa yang melihat keberadaan Okta pun mengembuskan napas kasar. "Ada apa kamu di sini?" tanyanya kemudian.Okta dengan percaya dirinya memasuki ruangan Melissa meski tak diminta. Dia mengangkat nampan bermaksud menunjukkan apa yang dia bawa. "Aku bawain kamu kopi," ujar Okta.Kening Melissa mengerut. Dia menatap pergerakan Okta yang meletakkan kopi di mejanya. "Kenapa kamu yang bawa? Ini bukan tugas kamu, kan?" Dia bertanya.Okta tersenyum dan menggeleng pelan. "Nggak papa. Aku pengen aja nyiapin kamu kopi pagi ini. Dan ...."Pria itu mengambil sesuatu dari belakang tubuhnya. Setangkai bunga Mawar. Dia pun memberikannya pada Melisa. "Bunga mawar merah untuk kamu."Melissa semakin merasa bingung dengan sikap mantan suaminya ini. "Dalam rangka apa kamu memberikan aku ini?" tanyanya kemudian.Okta semakin melebarka
Duduk di pantri setelah membersihkan salah satu rungan, Okta memutuskan untuk menyegarkan badan lebih dulu dengan segelas air dingin. Pria itu tampak menatap lurus ke depan memikirkan sesuatu.Okta memikirkan apa yang dikatakan oleh Melisa tadi pagi. "Apa aku pelet aja ya si Melissa itu biar cepet?" tanyanya kemudian pada diri sendiri."Kenapa nggak kepikiran juga dari kemarin? Dan dia juga ... pikiran dari mana itu bisa mengatakannya? Menuduh aku memeletnya" Dia tampak bingung. Mengelus dagu, dia terus bepikir lalu terkekeh pelan."Tapi mau cari di mana hal yang begituan? Memangnya di jaman modern seperti ini pelet itu masih ada?" tanyanya kemudian."We! Lagi apa nih?" tanya seseorang dengan memukul pundak Okta.Okta yang terkejut sampai berjingkat pun mendengus kesal. "Kurang ajar. Dasar nggak ada sopan-sopannya sama aku." Dia melirik tajam rekan kerjanya itu.Pria bernama Endi itu tertawa. "Maaf. Lagian kamu ngelamun aja. Lagi mikirin apa coba?" Dia bertanya sembari menuangkan minu
Memegang alat pel, Okta tengah membersihkan lantai lobi di jam sibuk kantor. Itu membuat para pekerja kantoran akan sibuk dengan pekerjaannya dan duduk tenang di tempatnya.Tidak akan ada orang yang lalu lalang di lobi. Palingan beberapa orang saja. Setelah ada seseorang yang memasuki pantri dan memergoki mereka mengobrol, mereka segera meminta untuk melanjutkan pekerjaan yang ternyata itu dari sang atasan.Okta ditemani Endi yang tengah membersihkan kaca. Sembari bersiul, dia bergerak mundur membersihkan lantai di depannya.Suara pintu lift terbuka terdengar, dua orang keluar dari sana. Mereka saling mengobrol membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat penting. Terlihat dari ekspresi keduanya yang sangat serius.Endi yang menyadari kehadiran keduanya lebih dulu segera mendekati Okta. Dia menyenggol pundak temannya itu dengan lengannya. "Hei. Lihat tuh," ujarnya kemudian."Apa sih?" tanya Okta."Itu lihat dulu." Endi kembali berujar dengan menunjuk keberadaan dua orang yang baru saja
Argo menghela napas panjang, berdiri di samping mobilnya yang terhenti di pinggir jalan. Hawa panas siang itu semakin menambah frustrasinya. Mesin mobilnya mogok tiba-tiba saat ia baru saja menjemput Lisa, keponakannya, dari sekolah dasar. Lisa duduk di kursi belakang, tampak diam sambil memeluk tas sekolahnya.Tiba-tiba, suara yang akrab menyapanya, membuat Argo menoleh dengan cepat. "Argo? Kok kamu di sini?" Melissa, seorang teman lama, berdiri di dekatnya. Rambutnya yang panjang tergerai, dan senyumnya yang hangat membuat suasana terasa sedikit lebih ringan.Argo tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kekesalannya. "Mobilku mogok." Dia menunjuk mobilnya yang dalam keadaan kab terbuka.Melissa mengangguk dengan bibir berbentuk huruf o. "Memangnya kamu dari mana?" tanyanya kemudian."Aku baru saja menjemput Lisa dari sekolah," jawabnya sambil menunjuk ke arah mobil dan Lisa yang melambaikan tangan kecilnya kepada Melissa.Melissa melirik Lisa, lalu kembali pada Argo. Wajahnya menunj
Melissa yang mendapat laporan dari Irit pun merasa bingung. Perempuan itu mengerutkan kening pertanda berpikir. "Seingat aku ini bukanlah hari di mana aku dan dia harus mengecek lokasi pekerjaan."Namun, Argo menepuk pundaknya dan membuat mereka saling tetap. Argo meggangguk. "Temuilah dulu. Toh pekerjaan kita selesai bukan? Aku akan pulang lebih dulu," ujar pria itu kemudian.Melissa mengangguk. "Baikkah."Dia menatap Irin. "Minta saja dia masuk," ujar Melisa kemudian."Ya sudah. Kalau begitu aku pulang dulu," ujar Argo. pria itu berpamitan lalu keluar dari ruangan Melisa.Di depan ruangan, dia berpapasan dengan Kafka. Keduanya hanya saling mengangguk tanpa berbicara lalu melanjutkan langkah.Kafka sendiri langsung memasuki ruang Melissa. "Selamat siang.""Siang. Duduklah," ujar Melisaa dengan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.Kafka pun mengangguk, pria itu duduk dan berhadapan dengan Melissa "Ada apa? Bukankah hari ini bukan jadwal kita untuk meninjau lokasi?" tanya Me
Suasana ruangan tempat Melissa dirawat tampak akwward. kedatangan Keluarga Kafka membuat Tuan Bagus tidak menyukai hal itu. Namun, adanya campur tangan Kafka dalam menyelamatkan Melissa membuat pria tua itu tidak bisa mengusir mereka yang datang.Windi mendekati Melissa. Perempuan itu tersenyum tipis dan berdiri di samping brankar mantan menantunya. Dia meraih tangan Melissa dan menggenggamnya."Kabar kamu bagaimana?" tanya Windy dengan suara pelan.Melissa pun tersenyum tipis. "Baik, Tante."Windi yang mendengar itu sedikit merasa tercubit hatinya, karena rasa sakit ini. Beberapa waktu lalu Melisa masih memanggilnya dengan sebutan Mama, tapi kini tak ada lagi panggilan itu.Melissa sudah memanggilnya dengan sebutan Tante. Windi menarik nafas dalam. "Syukurlah," ujarnya kemudian.Namun, ada ekspresi sedih yang dipasang perempuan itu. "Maafkan Okta, ya sudah merepotkan kamu. Maaf kalau Okta sudah membuat kamu seperti ini," ujar perempuan itu. Dia mengelus punggung tangan Melissa yang s
"Kami berhasil menyelamatkan Melissa dan saat ini Kak Okta sudah ditahan oleh polisi," ujar Kafka lebih jelas.Windi yang mendengar itu meremas tangannya. Ada rasa lega kalau Kafka mengatakan jika mereka berhasil menyelamatkan Melissa. Namun, ada rasa sedih juga ketika mendengar putra pertamanya kini sedang dalam penjara.Jujur saja dia merasa tidak tega terlepas bagaimana parahnya sikap anaknya itu selama ini."Mama sedih?" tanya Kafka yang melihat ekspresi mamanya.Windi langsung tersenyum sedikit samar. "Tidak," jawabnya kemudian. Meskipun perempuan itu mengatakan tidak, Kafka tahu benar bagaimana perasaan mamanya. Dia meraih tangan Windi dan menggenggamnya dengan erat."Kafka tahu Mama sayang sama Kak Okta. Sama seperti mama sayang pada Kafka. Kami tahu itu. Tapi, apa pun itu Kak Okta harus mendapatkan hukumannya. Dia harus menjalani itu semua. Itu adalah risiko dari apa yang sudah dia lakukan." Kafka mencoba menjelaskan."Iya Mama tahu," ujar Windi seperti seseorang yang frustas
Kejadian itu begitu tiba-tiba dan mengejutkan semua orang. Kini, semua mata tertuju pada dua pria yang kali ini sedang beradu mekanik. Okta yang sempat mengambil pisau kecil dari saku celananya sempat melukai lengan pria yang tidak dikenal dan mencampuri urusannya itu."Lisa," panggil Argo lirih. Dia pun berlari cepat untuk mendekati Melissa."Melissa," panggil Argo sekali lagi ketika berada di samping perempuan itu."Argo," panggil Melissa dengan suara takut. Perempuan itu langsung memeluk Argo dengan erat."Aku takut," ujarnya kemudian.Argo membelai kepala Melissa dengan lembut. "Tenang. Kamu tenang, ya. Kamu sudah aman sekarang," ujarnya kemudian."Bawa dia menjauh," ujar Kafka menatap Argo.Argo pun mengangguk. "Ayo kita menjauh dari tempat ini," ujarnya pada Melissa.Melissa pun mengangguk lalu mengikuti langkah Argo untuk berada di tempat yang aman.Kafka yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Sedih pastinya, karena dia melihat kemesraan antara Argo dan juga Melissa. Namun, di
"Diam!" bentak Okta kemudian. Dia merasa kesal karena mobilnya tidak bisa dikendalikan.Dan kini Melissa yang sudah sadar. "Apa yang kamu lakukan, Okta? Apa yang terjadi?" tanya Melissa bertubi-tubi. Dia tidak peduli jika Okta marah dan memintanya untuk diam.Hingga sebuah sirine dia dengar. Melissa langsung mengalihkan pandangan ke luar jendela kaca mobil. Dia melihat beberapa mobil polisi yang terparkir tidak jauh dari keberadaan mobilnya. "Polisi," ujarnya penuh dengan rasa senang.Dia merasa bahwa dirinya akan selamat dari tragedi ini. Melisa pun mencoba untuk membuka pintu mobil yang tertutup. Namun, tidak bisa. "Buka pintunya, Okta," ujar Melissa kemudian dengan mencoba, terus mencoba disertai tatapannya yang begitu tajam ke arah Okta."Tidak. Kamu tidak boleh ke mana-mana. Kamu harus tetap sama aku," ujar Okta Yang sepertinya tidak tahu jika nasibnya sudah berakhir."Kamu sudah terkepung Okta. Kamu tidak bisa lari. Lebih baik menyerah saja. Kamu tidak melihat begitu banyak poli
Okta langsung membanting ponsel miliknya k atas ranjang. Dia pun bangkit dari duduknya sembari meraih tangan Melissa. "Ayo," ujarnya dengan ekspresi yang menunjukkan kepanikan.Melisaa yang tida tahu apa yang terjadi pun menatap Okta dengan bingung. "Ayo?" tanyanya kemudian."Iya ayo. Cepat kita pergi." Okta kembali berujar. Kali ini dengan sedikit menarik tangan Melissa.Melisaa yang masih belum paham pun tetap pada posisinya. "Pergi? Pergi ke mana? Makanannya kan belum habis," ujar Melissa dengan menunjuk ke arah mangkuk miliknya yang masih teleihat banyak.Okta menggeram kesal. "Hah! Itu kita bisa beli lagi nanti. Yang penting ayo kita pergi sekarang," ujar Okta yang semakin terlihat panik."Ngapain sih buru-buru banget?" Melissa menatap curiga Okta. Hingga sesuatu terlintas di kepalanya."Nanti lah." Dia menarik tangannya yang dipegang Okta. "Nikmatin dulu aja makanannya. Udah dari pagi belum makan, sekarang makan malah disuruh cepet-cepet. Mending kalau udah habis. Lah ini masih
Argo menatap Tuan Bagus. "Irin baru saja menghubungi saya, Om. Dia mengatakan satpam yang kemarin bertugas menjaga pos melihat kedatangan Okta yang katanya ingin mengambil uang pesangon. Tapi mereka baru sadar tidak pernah melihat Okta keluar dari perusahaan. Dugaan Argo, bisa saja yang mengendarai mobil Melissa ketika pergi dari perusahaan adalah Okta," jelasnya tanpa ada yang ditutupi karena rasanya itu percuma.Sebab Tuan Bagus bukanlah orang yang mudah dibohongi."Jadi menurutmu Okta menjebak Melisa?" tanya dengan mengepalkan tangan.Argo mengangguk dan menggeleng sedikit. Terlihat rumit. "Entahlah. Ini susah dijelaskan tapi saya yakin dia yang melakukan semua ini. Dan saya juga yakin dia juga yang membawa mobil Melissa.""Jadi, menurutmu Melissa dibawa ke mana sama dia?" tanya Tuan Bagus.Argo menggeleng. "Saya juga belum tahu, Om. Tapi yang jelas dia ingin membawa Melisa jauh dari kita karena yang kita tahu Okta sangat menginginkan Melisa bersamanya," ujarnya kemudian.Tuhan Bag
Kepulangan Argo Malam ini terasa sangat berat. Aplagi dia yang belum bisa menemukan Melisa dan tidak tahu harus mengatakan apa pada Tuan bagus. Mengingat bagaimana kondisi pria itu saat ini sepertinya tidak boleh mendengarkan hal-hal buruk tentang apapun.Argo memasuki rumah, dia langsung disambut oleh tawa Lisa yang berlari ke arah dirinya dan memeluk pria itu. "Papa baru pulang?" tanya Lisa dengan suara khas anak kecilnya.Argo tersenyum, lebih tepatnya memaksakan senyum. Pria itu mengangguk di depan Lisa. "Ya. Papa baru pulang.""Pasti papa lelah," ucapnya kemudian."Kamu tahu saja." Argo menyentil hidung Lisa lalu keduanya tertawa bersama."Gimana, Pa? Papa sudah menemukan Mama?' tanya Lisa kemudian.Dia tahu betul kalau kepergian Argo hari ini adalah untuk mencari Melisa. Argo yang mendapat pertanyaan seperti itu hanya bisa mengembuskan napas kasarnya. "Maaf, Sayang. Papa belum bisa menemukan Mama," ujarnya penuh penyesalan.Lisa yang sebelumnya penuh senyuman ini melunturkan sen
Melissa melotot melihat keberadaan Okta di hadapannya. erempuan itu menata benci mantan suaminya yang telah menculik dirinya."Di mana aku?" tanya Melisa dengan suara keras. Dia masih berusaha untuk melepaskan tangannya meski saat ini sudah merasakan sakit.Okta yang melihat itu malah tersenyum. "Jangan teriak-teriak. Nanti suara kamu jadi serak terus tenggorokan kamu jadi sakit," ujar Okta. Pria itu menutup kembali pintu lalu mendekati Melissa dan duduk di samping mantan istrinya itu.Dia menatap Melissa yang masih terus berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan yang dia buat. Okta hanya tersenyum miring. Dia meletakkan bungkusan makanan yang baru saja dia beli di atas meja samping ranjang."Kamu jangan bergerak seperti itu. Nanti tangan kamu lecet." Kali ini Okta mengulurkan tangan dan melihat tangan Melissa yang masih terikat."Tuh lihat. Pergelangan tangan kamu sudah memerah. Kalau kamu terus seperti ini, nanti benar-benar luka," ujar pria itu penuh perhatian.Mungkin jika Okta m