"Selamat pagi." Okta Pria itu membuka pintu ruangan Melissa dengan nampan berisi kopi di tangannya. Pria itu tersenyum kala melihat mantan istrinya menatap ke arah dirinya.Melissa yang melihat keberadaan Okta pun mengembuskan napas kasar. "Ada apa kamu di sini?" tanyanya kemudian.Okta dengan percaya dirinya memasuki ruangan Melissa meski tak diminta. Dia mengangkat nampan bermaksud menunjukkan apa yang dia bawa. "Aku bawain kamu kopi," ujar Okta.Kening Melissa mengerut. Dia menatap pergerakan Okta yang meletakkan kopi di mejanya. "Kenapa kamu yang bawa? Ini bukan tugas kamu, kan?" Dia bertanya.Okta tersenyum dan menggeleng pelan. "Nggak papa. Aku pengen aja nyiapin kamu kopi pagi ini. Dan ...."Pria itu mengambil sesuatu dari belakang tubuhnya. Setangkai bunga Mawar. Dia pun memberikannya pada Melisa. "Bunga mawar merah untuk kamu."Melissa semakin merasa bingung dengan sikap mantan suaminya ini. "Dalam rangka apa kamu memberikan aku ini?" tanyanya kemudian.Okta semakin melebarka
Duduk di pantri setelah membersihkan salah satu rungan, Okta memutuskan untuk menyegarkan badan lebih dulu dengan segelas air dingin. Pria itu tampak menatap lurus ke depan memikirkan sesuatu.Okta memikirkan apa yang dikatakan oleh Melisa tadi pagi. "Apa aku pelet aja ya si Melissa itu biar cepet?" tanyanya kemudian pada diri sendiri."Kenapa nggak kepikiran juga dari kemarin? Dan dia juga ... pikiran dari mana itu bisa mengatakannya? Menuduh aku memeletnya" Dia tampak bingung. Mengelus dagu, dia terus bepikir lalu terkekeh pelan."Tapi mau cari di mana hal yang begituan? Memangnya di jaman modern seperti ini pelet itu masih ada?" tanyanya kemudian."We! Lagi apa nih?" tanya seseorang dengan memukul pundak Okta.Okta yang terkejut sampai berjingkat pun mendengus kesal. "Kurang ajar. Dasar nggak ada sopan-sopannya sama aku." Dia melirik tajam rekan kerjanya itu.Pria bernama Endi itu tertawa. "Maaf. Lagian kamu ngelamun aja. Lagi mikirin apa coba?" Dia bertanya sembari menuangkan minu
Memegang alat pel, Okta tengah membersihkan lantai lobi di jam sibuk kantor. Itu membuat para pekerja kantoran akan sibuk dengan pekerjaannya dan duduk tenang di tempatnya.Tidak akan ada orang yang lalu lalang di lobi. Palingan beberapa orang saja. Setelah ada seseorang yang memasuki pantri dan memergoki mereka mengobrol, mereka segera meminta untuk melanjutkan pekerjaan yang ternyata itu dari sang atasan.Okta ditemani Endi yang tengah membersihkan kaca. Sembari bersiul, dia bergerak mundur membersihkan lantai di depannya.Suara pintu lift terbuka terdengar, dua orang keluar dari sana. Mereka saling mengobrol membicarakan sesuatu yang sepertinya sangat penting. Terlihat dari ekspresi keduanya yang sangat serius.Endi yang menyadari kehadiran keduanya lebih dulu segera mendekati Okta. Dia menyenggol pundak temannya itu dengan lengannya. "Hei. Lihat tuh," ujarnya kemudian."Apa sih?" tanya Okta."Itu lihat dulu." Endi kembali berujar dengan menunjuk keberadaan dua orang yang baru saja
Argo menghela napas panjang, berdiri di samping mobilnya yang terhenti di pinggir jalan. Hawa panas siang itu semakin menambah frustrasinya. Mesin mobilnya mogok tiba-tiba saat ia baru saja menjemput Lisa, keponakannya, dari sekolah dasar. Lisa duduk di kursi belakang, tampak diam sambil memeluk tas sekolahnya.Tiba-tiba, suara yang akrab menyapanya, membuat Argo menoleh dengan cepat. "Argo? Kok kamu di sini?" Melissa, seorang teman lama, berdiri di dekatnya. Rambutnya yang panjang tergerai, dan senyumnya yang hangat membuat suasana terasa sedikit lebih ringan.Argo tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kekesalannya. "Mobilku mogok." Dia menunjuk mobilnya yang dalam keadaan kab terbuka.Melissa mengangguk dengan bibir berbentuk huruf o. "Memangnya kamu dari mana?" tanyanya kemudian."Aku baru saja menjemput Lisa dari sekolah," jawabnya sambil menunjuk ke arah mobil dan Lisa yang melambaikan tangan kecilnya kepada Melissa.Melissa melirik Lisa, lalu kembali pada Argo. Wajahnya menunj
Suasana di tempat pemancingan terasa tenang dan damai. Air danau yang jernih memantulkan cahaya matahari pagi, sementara angin sepoi-sepoi membawa aroma segar dari pepohonan di sekitar. Di salah satu sudut dermaga kayu, dua pria paruh baya, Pak Bowo dan Tuan Bagus, duduk bersantai dengan joran masing-masing menghadap ke air.“Hampir sejam, belum ada yang menyambar umpan,” ujar Pak Bowo sambil menggulung sedikit tali pancingnya, memastikan umpan masih di tempatnya. Wajahnya santai, tapi matanya penuh perhatian pada permukaan air.“Sabar, Pak Bowo. Memancing itu bukan cuma soal dapat ikan, tapi juga menikmati prosesnya,” balas Tuan Bagus dengan senyum ringan. Ia menyesap kopinya, matanya memandang jauh ke danau yang tenang.Sesaat keduanya terdiam, menikmati suara alam di sekitar. Namun, Pak Bowo akhirnya memecah keheningan. “Ngomong-ngomong, Bagus, bagaimana kabar Melissa sekarang? Kamu bilang, kalau dia baru saja bercerai dengan suaminya.""Ya," j
Argo baru saja tiba di rumah setelah nongkrong dengan teman-temannya. Seragam sekolahnya masih melekat di tubuh, lengkap dengan dasi yang sudah longgar dan sepatu yang berdebu. Hari itu terasa biasa saja baginya, sampai langkah kakinya terhenti di depan pintu kamarnya. Ada suara gaduh dari arah kamar kakaknya, Argi. Rasa penasaran mendorongnya untuk mendekat.Pelan-pelan, Argo mendekat ke pintu kamar Argi. Ia menyandarkan telinganya ke pintu, mencoba menangkap apa yang sedang terjadi di dalam. Suara kakaknya terdengar lantang, penuh emosi, sementara suara ayah mereka terdengar lebih tegas dan keras. Dari potongan-potongan percakapan yang bisa ia dengar, Argo mulai memahami inti masalahnya.“Aku nggak bisa, Pa! Aku sudah punya pilihan sendiri!” suara Argi terdengar marah.“Kamu pikir pilihanmu lebih baik daripada yang Papa sudah tentukan? Papa tahu apa yang terbaik untuk keluarga kita,” balas Pak Bowo dengan nada tajam.“Ini hidupku, Pa! Bukan hidu
Malam itu, Argo berada di ruang tengah rumahnya. Udara dingin merayap melalui jendela yang sedikit terbuka, tetapi ia tidak peduli. Berdiri di depan sebuah foto dan matanya tertuju pada foto besar yang tergantung di dinding. Foto itu adalah kenangan pernikahan kakaknya, Argi, dengan kakak iparnya, Nadine. Senyum bahagia di wajah mereka saat itu terasa seperti ironi sekarang. Argo menghela napas panjang, pikirannya dipenuhi oleh masa lalu yang sulit dan rumit."Entah benar atau tidak, aku merasa yang terjadi adalah semuanya salah."Dia menarik napas dalam. "Semoga kalian bahagia di atas sana."Dia tahu bahwa pernikahan itu bukanlah hasil dari cinta sejati. Kakaknya mencintai orang lain, tetapi tekanan dari keluarga, terutama dari ayah mereka, Pak Bowo, membuat semuanya menjadi seperti ini. Nadine juga tidak sepenuhnya bersalah. Dia juga korban keadaan. Argo merasa ada beban besar yang diwariskan dari konflik itu, yang entah bagaimana kini beralih ke pundakn
"Sial*n." Okta mengumpat."Kurang ajar si Kafka," lajutnya.Okta menghela napas panjang, suara desahan itu nyaris tenggelam oleh deru motornya yang melaju menyusuri jalan kota tanpa arah. Hatinya masih dipenuhi dengan rasa kesal akibat kejadian di kantor siang tadi. Ia tak ingin langsung pulang. Rasanya rumah hanya akan membuatnya semakin jengkel, apalagi di rumah nanti pasti dia akan bertemu kembali dengan sang adik. Dengan motor yang berhasil ia dapatkan dari orang tuanya setelah permohonan panjang, ia memutuskan untuk mencari pelarian sementara."Dasar adik lancang! Bikin malu saja! Berani-beraninya dia mendekati Melissa," gerutunya sambil menekan gas motor lebih keras. Kendati demikian, jalan kota yang mulai padat membuatnya harus memperlambat laju kendaraan.Entah apa yang membuat dia terus mengumpati sang adik. Padahal, kan senyumnya dia sudah sepakat kalau mereka akan bertanding secara adik untuk mendapatkan Melissa. Kenapa dia se
"Mama kenapa sih, Ma?" tanya Khalif ketika melihat istrinya yang terus melamun. Dia duduk di samping Windi lalu merangkul pundak istrinya itu dengan senyuman tipis.Windi menarik napasnya dalam sampai bahunya naik perlahan lalu mengembuskan dengan berbarengan pundaknya yang urun. "Ya mikirin apa lagi, Pa kalau bukan lamaran mama yang ditolak sama Tuan Bagus karena dia sudah menjodohkan Melissa dengan orang lain," jawabnya malas.Khalif mengangguk dan paham kekecewaan sang istri. Dia mengelus pundak Windi dengan lembut. "Sudahlah, Ma. Mungkin Melissa dan Kafka itu memang tidak berjodoh. Janganlah dipaksa terus menerus.""Mama ini tidak memaksa, Pa. Mama ini hanya sedang berusaha." Windi berujar dengan penuh penekanan."Berusaha untuk mencarikan jodoh terbaik untuk anak kita. Dan Melissa menurut mama itu yang paling pas dan cocok," lanjut Windi."Ya kalau bukan jodohnya mau gimana, Ma? Mau diapain juga tidak akan bisa bersama kalau Tuhan tidak berkehendak. Dan, jika Tuhan memang mentakd
Mendapat tawaran dari Melissa untuk tinggal di rumahnya, tentu saja Lisa langsung mengiyakan hal itu. Daripada tidur di rumah sendirian, atau tidur di rumah sakit lagi dan itu tidak membuatmu nyaman, lebih baik tidur di rumah calon mamanya kan?"Sekarang, Lisa cuci muka, cuci kaki dan gosok gigi, ya." Melissa berujar ketika mereka sudah bersiap untuk tidur.Lisa pun mengangguk dan kduanya menuju kamar mandi untuk melakukan ritual itu. Setelah beberapa saat selesai, mereka pun siap untuk mengistirahatkan diri.Melissa membenahi selimut Lisa. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur," ujarnya dengan senyuman.Lisa mengangguk dan melakukan apa yang diminta Melissa. Setelahnyamerekapun mulai merebahkan diri. "Terima kasih, Tante Lisa." Gadis itu berujar.Melissa mengangguk. "Sama-sama." Dia pikir setelah itu Lisaakan langsung tidur. Akan tetapi gadis kecil itu masih membuka matanya."Kamu kenapa? Kok masih belum tidur?" tanyanya kemudian.Lisa menatap Melissa dengan takut-takut. "Lisa mau tanya,
Suara klakson langsung berbunyi keras setelah mobil milik Melissa berhenti. Beberapa mobil di belakangnya berhenti dengan jarak yang sangat dekat.Melissa dan Tuan Bagus sama-sama menoleh. "Mel. Kamu ini." Tuan Bagus memperingati."Maaf-maaf." Melissa segera menjalankan kembali mobilnya."Kamu ini ada-ada saja, Mel." Tuan Bagus menggeleng pelan."Lagian Papa bikin aku terkejut aja." Melissa mengerucutkan bibirnya. Dia tetap memfokuskan pandangan lurus ke depan."Maksud ucapan Papa tadi apa?" tanyanya kemudian."Ya Tante Windi tadi?" tanya Tuan Bagus dan dia melihat putrinya yang mengangguk."Ya seperti yang kamu dengar tadi. Tante Windi tadi datang ke rumah dan dia mengatakan niatnya kalau dia ingin kamu menjadi menantunya lagi," ujar Tuan Bagus."Katanya, kamu ingin dinikahkan dengan Kafka," lanjutnya kemudian.Melissa yang mendengar hal itu menggeleng pelan. "Astaga. Asli. Mel nggak pernah bayangin hal ini, Pa.""Sama." Tuan Bagus berujar."Lalu Papa bilang apa sama Tante Windi?" ta
"Ayo, Jarot. Mandi yang bersih ya, Jar. Biar seger," uja Tuan Bagus. Pria itu tengah menyemprot air pada burung peliharaannya. Pagi ini adalah waktu yang pas untuk mandi."Abis mandi nanti, kamu latihan lagi berkicau. Biar suara kamu tetap merdu dan semakin merdu," lanjut Tuan Bagus. Dia menatap senang empat ekor burung yang dia miliki."Ini, Tuan camilannya," ujar asisten rumah tangga Tuan Bagus.Tuan Bagus menoleh. "Terima kasih, Bi." Dia mengangguk. Duduk di gazebo dia mulai menikmati lapis legit yang baru saja dia dapatkan semampu menatap burung-burung miliknya yang sedang dijemur."Buka usaha jual beli burung sepertinya asyik," ujarnya kemudian.Beberapa saat kemudian, asisten rumah tangganya kembali mendekat. Dia berdiri di depan Tuan Bagus sembari menunduk untuk memberitahukan sesuatu."Tuan, maaf. Ada nyonya Windi datang dan ingin bertemu." Dia berujar.Tuak Bagus langsung mengerutkan kening mendengar perkataan asisten rumah tangganya. "Windi? Mau apa dia?" tanyanya kemudian.
Malam telah larut ketika Argo mengantar Melissa pulang. Jalanan sepi, hanya sesekali kendaraan melintas dengan lampu yang menyorot redup. Mobil Argo berhenti tepat di depan rumah besar milik Tuan Bagus. Melissa menghela napas lega, lalu menoleh ke arah Argo. "Makasih ya, Go, udah nganterin aku pulang. Maaf jadi ngerepotin."Argo tersenyum tipis, "Harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Kamu sudah repot hari ini karena aku. Bantu di panti---""Itu, kan memang kegiatan yang rencananya dirutinin sama kita," ujar Melissa memotong kalimat Argo. Keduanya terkekeh bersama.Argo mengangguk. "Ya. Tapi nggak hanya itu aja. Misal tadi kamu ikut ke sekolahan dan membantu Lisa. Secara tidak langsung kamu membersihkan namanya," ujar Argo.Melissa mendengus. "Aku hanya tidak suka bullying."Argo mengangguk. "Ya. Untuk itu aku berterima kasih.""Ya udah sama-sama.""Yuk aku antar sampai depan rumah. Aku mau sekalian pamit sama Om Bagus. Boleh, kan?" tanya Argo.Melissa mengangguk. "Ya haruslah.
Sambil menunggu hasil pemeriksaan, Pak Bowo duduk di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke langit-langit. Ia masih mencoba mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Apakah ada kendaraan lain yang menabraknya? Atau apakah sopirnya kehilangan kendali? Pikirannya dipenuhi pertanyaan.Beberapa saat kemudian, seorang dokter masuk ke ruangannya. "Pak Bowo, kondisi Anda cukup stabil. Hanya ada luka ringan di dahi dan sedikit benturan di kepala. Tapi kami sarankan Anda tetap beristirahat.""Bagaimana dengan sopir saya, Pak Dokter?" tanya Pak Bowo cemas.Dokter itu menarik napas sebelum menjawab, "Pak Herman mengalami cedera di bagian kepala, tapi saat ini kondisinya stabil. Kami masih melakukan observasi lebih lanjut untuk memastikan tidak ada pendarahan internal."Pak Bowo menghela napas lega, meskipun masih ada kekhawatiran di hatinya. Ia menatap keluar jendela rumah sakit, melihat lalu lintas yang kembali normal. Seakan kejadian beberapa jam lalu hanyalah mimpi buruk yang hampir merenggut ny
Okta menggeram dalam hati. Amarahnya semakin membara sejak ia dipecat. Baginya, ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, melainkan penghinaan yang tak bisa ia terima begitu saja. Dan semuanya bermula dari satu nama: Argo. Jika bukan karena pria itu, hidupnya tidak akan berantakan. Dan kini, hanya ada satu tujuan dalam pikirannya—membalas dendam.Dendam itu semakin berkobar ketika mengingat perjodohan Melissa dan Argo. Okta tak bisa menerimanya. Rasa cinta yang ia miliki berubah menjadi obsesi berbahaya. Ia merasa dunia telah merampas haknya dan kini saatnya ia mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya.Hari itu, Okta mulai bergerak. Ia menelusuri rumah Argo dengan penuh kehati-hatian. Awalnya, ia hanya ingin mengawasi, mencari celah untuk melancarkan aksinya. Namun, di luar dugaan, ia justru melihat seseorang yang mungkin lebih mudah dijadikan target awal—Pak Bowo.Pak Bowo, pria berusia lima puluhan tahun itu, adalah papanya Argo, informasi ya
Argo terdiam mendengar pertanyaan dari Melissa. Pria itu menunduk menatap lantai lalu tersenyum miring. "Untuk saat ini, aku tidak memiliki hal untuk membela diri. Kamu boleh menganggapnya apa, terserah. Karena itu juga hak kamu. Aku tidak bisa melarang."Argo menatap Melissa. "Sudah aku katakan sejak tadi. Aku memang ingin kamu tahu ini agar semuanya tidak terlambat. Bagaimana tanggapan kamu setelahnya, aku akan menerima semua yang kamu putuskan."Melissa mendongak, dia menarik napas dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya setelah menemukan hal-hal yang benar-benar membuat dirinya merasa terkejut.Melissa kembali menatap Argo lalu bertanya, "Jadi, pertemuan antara papaku dan papa kamu adalah sebuah kesengajaan untuk menjalankan kembali rencana kalian yang sebelumnya?" Melisa bertanya dengan menaikkan salah satu alisnya.Argo yang mendengar itu terkekeh, tak lama dia malah tertawa. "Aku memang mengatakan bahwa terserah kamu akan menganggapnya apa tentang semua ini. Tapi satu hal y
Melissa terduduk termenung di sebuah kursi, memikirkan kenyataan yang baru saja dia ketahui. Argo dan Arga ternyata adalah saudara. Hal itu terasa begitu mengejutkan baginya. Bagaimana mungkin dia tidak pernah tahu? Bahkan saat mereka masih sekolah dulu, tidak ada satu pun yang menyebutkan fakta ini. Jika memang ada yang tahu, tentu dia juga akan mengetahuinya.Argo datang menghampiri dengan segelas minuman di tangannya. Dia menyerahkannya pada Melissa dengan harapan bisa membuat perempuan itu sedikit lebih tenang."Minumlah, Mel. Jangan terlalu dipikirkan," kata Argo pelan, namun suara itu tetap terdengar tegas.Melissa menerima gelas itu tanpa benar-benar berniat untuk meminumnya. Matanya masih menatap kosong ke depan, pikirannya berputar di antara fakta-fakta yang baru saja ia dengar."Kenapa Arga tidak pernah memberitahuku?" tanyanya lirih. "Aku bahkan yakin di sekolah dulu tidak ada yang tahu kalau kalian saudara."Dia menatap Argo. "Kamu juga duku tidak bilang.""Karena memang t