# Bab 1 POV Lilis"Jus apel kemasannya sepuluh, dan buah apelnya lima kilogram, ya. Totalnya seratus lima puluh ribu rupiah. Pulsanya sekalian, Kak?" kata kasir di sebuah mini market."Tidak usah," jawabku sambil memberikan uang dua lembar berwarna merah dan biru."Uangnya pas ya, Kak. Terima kasih. Silahkan datang kemari lagi!"Aku mengangguk dan mengambil bungkusan belanjaan milikku."Sejak kapan kamu suka sama yang berbau apel?" tanya Sindi, sahabatku."Entah." Aku menggedikkan bahu. "Apa aku nggak boleh makan apel?" tanyaku dengan muka sedih. Akhir-akhir ini aku agak sensitif kalau disinggung sedikit.Aku memang tak suka apel. Tapi 'dia' yang suka apel. Makanya aku jadi ingin sekali makan buah apel atau meminum jus apel. Mungkin ini yang disebut ngidam.Aku langsung keluar dari mini market. Sindi berlari mengikutiku di belakang."E-eh. Boleh, kok. Tentu saja boleh," jawab Sindi sambil nyengir. "Tumben aja, gitu. He he."Aku diam saja, tak menanggapi ucapan Sindi. Kami terus berja
# Bab 2POV LilisAku terbangun di sebuah tempat dengan nuansa serba putih. Bau obat-obatan menyengat menusuk hidung.Kepalaku terasa berdenyut. Saat hendak memijat kepalaku, seketika tersadar tanganku sebelah kiri dipasang selang infus. Sudah jelas saat ini aku berada di rumah sakit.Samar aku dengar, seorang wanita dan pria sedang berbicara di balik pintu yang sedikit terbuka."Mungkin karena menyembunyikan kondisinya, sehingga kesehatan tubuhnya dan janin tidak terpantau. Yang dibutuhkan putri bapak saat ini, ialah dukungan moril dari orang terdekatnya. Nanti saya juga akan berikan vitamin untuk menguatkan janinnya. Saya permisi dulu," kata seorang wanita, yang sepertinya seorang dokter."Baik, Dok. Terimakasih." Itu suara Ayah yang menjawab.Aku mengusap perut yang masih rata. Apa iya aku sudah lalai terhadap janin di dalam perutku? Bagaimanapun janin ini tidak berdosa. Aku tidak akan menggugurkannya, karena aku bukan pemb*nuh."Maafkan Ibu ya, Sayang. Ibu janji, akan lebih memper
# Part3 POV Lilis"Lilis!"Ibu tiba-tiba masuk sambil berteriak memanggil namaku dan langsung memeluk.."Kamu kenapa, Sayang? Kenapa bisa sampai dirawat di rumah sakit? Kamu sakit apa?" tanya Ibu beruntun.Kulihat di belakang Ibu, Kak Laras berjalan mengikuti. Sepertinya Kak Laras ke sini bersama Ibu. Ayah langsung merubah raut wajahnya yang tadinya mengeras, menjadi biasa saja."Sudah dibilangin supaya jangan terlalu banyak kegiatan sekolah, masih saja ngeyel," ejek Kak Laras.Untungnya mereka belum tahu mengenai kondisiku. Berarti Ayah belum memberi tahu mereka. Biarlah mereka tahunya aku kecapaian karena banyak kegiatan sekolah. Ini lebih baik."Laras, adeknya lagi sakit, bukannya di perhatiin malah diejek." Ibu menepuk bahu Kak Laras."Iya, Ibu." Kak Laras memutar bola matanya malas. "Kamu sudah makan belum? Obatnya sudah diminum?" tanya Kak Laras padaku.Aku menggelengkan kepalaku."Makanan dari rumah sakit belum datang. Mungkin sebentar lagi. Sekalian dokter akan periksa keada
# Bab4POV Ayah (Pak Arifin)Akhir-akhir ini, aku merasa Lilis, putri bungsuku sedikit aneh. Dia jadi pendiam, murung dan lebih suka menyendiri di kamar. Perasaan ini mengatakan ada yang tidak baik.Dari kecil Lilis paling dekat denganku dari pada ibunya. Tentu saja tahu perubahan sekecil apa pun dari Lilis. Aku harus segera mencari tahu penyebab perubahan dari putri bungsuku ini.Setelah menyelesaikan pekerjaan yang terpaksa dibawa pulang, aku menengok putri bungsuku itu di kamarnya. Saat pintu kamar terbuka, kudapati anakku duduk dengan kepala menelungkup di atas meja belajarnya. Ternyata dia tertidur saat sedang belajar.Aku mengangkat Lilis untuk dipindahkan ke kasur. Tak sengaja menyenggol beberapa buku sampai jatuh. Saat hendak membereskannya, ada benda putih panjang yang menyembul dari salah satu buku. Ternyata dari sebuah buku diary.Aku tarik benda putih itu. Mataku melebar, jantungku tiba-tiba berdebar kencang, pikiranku sudah kemana-mana. Bagaimana bisa Lilis mempunyai bend
bab 5 POV LilisPagi ini aku bersiap untuk sarapan, supaya bisa fokus mengikuti pelajaran di sekolah. Sudah ada Ibu dan Ayah di ruang makan. Ayah masih membaca koran, belum memulai sarapannya. Sedang Ibu, menyiapkan sarapan di atas meja.Terlihat Kak Devan berjalan mendekat. Aku baru ingat kalau rumah ini kedatangan anggota baru. Pipiku merona melihat pemandangan segar di pagi hari. Kak Devan mengenakan kemeja baby blue yang dimasukkan dalam celana hitam formal pas badan, dan rambut hitam yang disisir ke belakang rapi, menambah kesan maskulin dan dewasa.Wajahku berubah terkejut dan menegang melihat siapa yang berada di belakang Kak Devan, Kak Laras dan suaminya. Mereka ikut sarapan di sini. Tumben sekali. Aku langsung menunduk enggan untuk menatap, melirik pun tak sanggup.Ayah yang mengetahui gerak-gerikku, mencairkan suasana dengan berdehem. "Cepat duduk dan sarapan! Ada yang ingin Ayah sampaikan pada Laras dan Evan setelah sarapan."Ketiga orang tersebut langsung duduk. Ayah dudu
bab 6 (Jamuan Makan Malam 2)POV Lilis"Lilis!"Deg!Suara bariton rendah ini ... kenapa dia ada di sini? Badan ini membeku, tapi kaki gemetar. Ingin rasanya lari, namun seakan ada paku di kaki yang menancap ke bumi. Aku tak tau kalau bisa se-trauma ini dengan dia."Berhenti di sana!" teriakku sambil mengangkat tangan.Dia langsung berhenti dengan mata terbelalak. Sekarang kami berjarak tiga meter. Aku menatap sekeliling dan ternyata ada beberapa siswa yang sedang menatap kami, kemudian berlalu pergi. Langsung saja aku mengubah ekspresi di wajah ini, agar tak ada yang kepo."Lis, aku ..." katanya dengan lirih.Aku masih memerhatikan apa yang akan dia lakukan, meskipun masih merasa takut. Kemudian dia membuka tas kerjanya, mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna kuning polos dan menyodorkannya padaku."Ini ... terimalah." Aku masih diam saja.Saat dia hendak melangkah, aku langsung mengangkat tangan lagi, agar dia berhenti melangkah. "Tetap di sana!" desisku."Lis, ini bekal dari Ibu,
bab7 (Awal)POV LilisSuasana langsung hening dan senyap. Wajah Kak Evan tegang dan pucat. Kak Laras memicingkan matanya menatap Kak Evan. Om Rifan dan Tante Maya saling berpandangan. Ibu memandang Ayah dengan tatapan seolah bertanya. Sedang Kak Devan, memandangku dengan pandangan yang sulit diartikan.Bagaimana denganku? Jangan tanyakan lagi. Tentu saja keringat dingin sudah mengalir di dahi dan di telapak tangan. Dudukku sudah gelisah tak menentu.Tiba-tiba Ayah terkekeh sambil duduk di kursi yang sebelumnya ditempati. Semua orang memandang Ayah dengan heran, termasuk aku."Aku hanya bercanda. Lilis memang tak suka buah apel. Tak suka buah apel, bukan berarti alergi, bukan? Boleh saja, kan, kalau Lilis makan buah apel untuk kesehatan 'dia'?" ucap Ayah dengan menekankan kata 'dia'. Pernyataan Ayah barusan membuat beberapa orang di ruangan ini memasang raut wajah lega."Pak Arif ini, bercandanya ada-ada saja. Tentu saja boleh, dong. Malah itu bagus juga untuk kulit," ucap Tante Maya
POV Lilis"Milik siapa testpack itu? Apa itu punya kamu, Laras?" tanya Tante Maya dengan mata berbinar. Mungkin melihat dua buah garis di testpack itu. Semua tahu kalau Tante Maya sangat menunggu kehadiran cucu pertamanya."Bukan. Itu bukan punyaku," jawab Kak Laras dengan lesu."Oh." Wajah Tante Maya langsung berubah kecut. Mungkin sangat berharap benda pipih bergaris dua itu milik menantunya.Kasihan sekali Kak Laras. Apa setelah janin ini lahir, aku berikan saja pada kakak kandungku? Tapi, apa Kak Laras bersedia merawat dengan senang hati? Sedang dia saja bukan wanita mandul. Hanya belum saja dititipi anak oleh Allah.Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku berpikiran seperti itu? Ini anakku sendiri, mana mungkin diberikan seenaknya pada orang lain. Menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran yang bukan-bukan."Lalu ini punya siapa?" tanya Ibu sambil mengacungkan testpack yang lebih ditujukan ke Ayah. "Apa ada anggota keluarga kita yang sedang ha-""Itu milik Lilis." Perkataan Ibu langs
Bab 91 Senyum Bahagia Freya tidak tahu kalau Laras juga mencari bantuan saat pergi. Makanya dia berpikir kalau Laras merupakan orang yang menyebabkan dirinya menjadi seperti sekarang. Sedangkan nasib ketiga pemuda yang melecehkan Freya, mereka sudah tew4s di dalam sel sesaat setelah Freya keguguran. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fero. Lilis melihat Devan sedang menunduk sambil mengepalkan kedua telapak tangannya. Tangannya segera merengkuh telapak yang mengepal itu. Devan mengangkat kepalanya dan melihat senyuman hangat Lilis. Semua yang ada di sana juga melihat ke arah Devan. Mereka tahu bagaimana perasaan bersalah yang Devan miliki. "Devan, kamu enggak sepenuhnya salah. Bagaimanapun, kamu punya pilihan sendiri. Apa lagi ini untuk seumur hidup. Jangan karena orang memintamu melakukan ini, kamu juga harus menurutinya. Kamu itu milik diri kamu sendiri. Kamu berhak menentukan yang terbaik untuk dirimu." Pak Arifin selaku mertua Devan ber
Bab 90Fero memberi kode pada anak buahnya untuk tetap menangkap Freya. Kemudian terjadilah perkelahian antara Meisya dengan kedua anak buah Fero. Meski Meisya menguasai bela diri pun kalau harus melawan dua laki-laki yang ilmunya jauh di atasnya, dia akan kalah. Tidak sampai lima menit, Meisya bisa dikalahkan. Kemudian Fero membawa Freya kembali bersama dengan Meisya juga. Setelah mereka pergi, Devan menyuruh anak buahnya untuk segera membereskan preman-preman bayaran Freya dibantu oleh anak buah Evan.Evan menghubungi orang tuanya untuk segera pergi ke rumah sakit di mana Elan dirawat. Siska yang mendengar tentang Elan pun langsung mendekati Evan. "Tuan Evan, bolehkah saya bertemu dengan Tuan Elan?" tanyanya dengan nada memohon. Matanya berkaca-kaca. Evan mengangguk begitu saja. Sebenarnya dia merasa tak enak sudah mencurigai Siska kemarin. Sudah seharusnya dia meminta maaf. Tetapi suaranya tetap tidak bisa keluar, kembali ditelannya lagi. "Siska, ayo kita ke rumah sakit jengu
Bab 89 Tukar Kebebasan SiskaSemua yang ada di dalam ruangan itu terkejut. Terutama Freya. Padahal dia sudah membayar orang-orang untuk melindungi tempat ini. Lagi pula rumah ini berada jauh di dalam karena dibangun di belakang kebun. Lilis yang melihat Devan datang segera berlari ke arahnya. Freya yang melihat itu langsung berteriak, "Cepat tangkap dia! Jangan sampai dia berlari ke sana!"Semua preman itu langsung berlari ke arah Lilis. Bukannya menangkap Lilis, mereka malah berdiri di sisi kanan, kiri, dan di belakang Devan. Freya langsung tercengang. Bagaimana bisa orang bayarannya malah berdiri di pihak Devan? Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Sepertinya dia sudah tahu apa yang sudah terjadi. Jangan-jangan, Elan tidak dibawa ke tempat yang sudah dia rencanakan, melainkan sudah diselamatkan oleh mereka. Tetapi Freya masih mencari cara untuk menyelamatkan dirinya. Devan memandang Freya dengan pandangan yang sulit. Dulu mereka bertiga—dengan Fero—sangat akrab. Devan sudah menganggap F
Adik Ipar Malang Bab 88 Yang SebenarnyaBeberapa hari berikutnya, Freya mau mengeluarkan suaranya. Hal yang pertama kali dia ucapkan adalah meminta Fero mencari siapa perempuan yang berlibur juga di puncak pada saat itu.Akhirnya, setelah beberapa hari, Fero sudah menemukan keluarga mana yang pergi berlibur pada hari di mana Freya mengalami kejadian naas. Saat Fero ingin memberitahu Freya, dia malah mendapati adiknya sedang sekarat setelah meminum obat peng9u9ur kandungan lebih dari takaran. Hal itu membuat Fero syok karena ternyata Freya tiba-tiba mengalami pendarahan dan kemudian keguguran.Karena pendarahan terus menerus, membuat rahimnya menjadi infeksi. Untuk meminimalisir munculnya kanker dan kerusakan pada organ lainnya, dokter menyarankan agar Freya menjalani pengangkatan rahim.Freya jelas menolak. Baginya rahim adalah salah satu tanda perempuan sejati. Dari gadis saja dia tidak punya rahim, laki-laki mana yang mau men
Adik Ipar Malang Bab 87 Kamu Punya Sesuatu "Kamu tidak percaya, kalau kamu punya sesuatu yang tidak aku punya?" tanya Freya dengan dingin. Lilis hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan.Freya berucap dengan lirih, "Devan."Mata Lilis melebar tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Mungkin telinganya sedang tidak berfungsi dengan baik.Freya paham melihat dari ekspresi Lilis. Pasti perempuan di depannya ini merasa sudah salah dengar."Kamu enggak salah dengar. Aku benar-benar menginginkan Devan.""Jangan macam-macam Freya! Kamu mendekati kak Elan untuk menghancurkan rumah tangga kak Evan dan kak Laras, kenapa kamu meminta kak Devan padaku? Aku pikir kamu menyukai kak Evan!" ucap Lilis dengan nada tinggi.Lilis merasa kalau Freya sudah terkena gangguan jiwa. Sebenarnya apa yang ada di pikirannya. Dengan wajah cantik dan kekayaan keluarganya, laki-laki mana yang akan menolak? Kenapa harus terobsesi dengan laki-laki yang sudah menikah,
Adik Ipar Malang Bab 86 Menghubungi Devan Di tempat lain, Fero tiba-tiba penasaran dengan adiknya yang sedang cuti. Dia coba untuk menghubungi adiknya kembali. Namun, masih tidak tersambung.Tadinya dia ingin membuat kejutan untuk adiknya, dengan tidak memberitahukan kepulangannya ke Indonesia. Ternyata adiknya malah mengambil cuti, dan nomornya susah dihubungi."Ini sudah hampir tiga jam, tapi kenapa Freya masih susah dihubungi?" gumam Fero.Akhirnya Fero penasaran untuk apa adiknya itu mengambil cuti tanpa sepengetahuannya. Dia segera meminta bawahannya untuk mencari keberadaan adiknya.Setelah beberapa saat, Fero menerima laporan kalau Freya beberapa hari yang lalu memesan tiket pesawat ke Singapura, tetapi tidak pergi ke sana. Lalu, untuk apa?Setelah mengerti dengan situasi ini, Fero langsung bangkit dari duduknya. Dia membawa dua bawahannya untuk mengikutinya."Pergi ke lokasi di mana Freya sekarang berada!"
Adik Ipar Malang Bab 85 Memata-mataiSiska dan Lilis sedang duduk di ruang tamu. Mereka sedang menunggu sang Tuan Rumah keluar dari ruangannya. Lilis merasa was-was. Dia sedang memikirkan bagaimana kedepannya dengan Daffin kalau dirinya terjadi sesuatu di sini. Sedang Siska, dia malah merasa sangat gugup dan takut.Meisya segera menghampiri Siska dan Lilis. Dia membawa sebuah kotak berukuran tiga puluh sentimeter dan meletakkan di atas meja. "Silakan taruh ponsel Nona berdua di dalam kotak ini!" ujar Meisya dengan sopan. Siska dan Lilis saling memandang dan mengerutkan kening.Melihat keragu-raguan kedua perempuan itu, Meisya menambahkan, "Kami tidak akan mengambilnya. Hanya untuk mengantisipasi saja." Siska dan Lilis masih enggan untuk mengeluarkan ponsel mereka. Tidak disangka kalau Freya sangat berhati-hati. Padahal rencana Lilis adalah ingin merekam dan mencari bukti sebanyak-banyaknya untuk m
Adik Ipar Malang Bab 84 Dua Perempuan Sementara itu, Lilis sudah sampai di dekat gang besar yang dimaksud oleh Freya. Sebelumnya Freya memberitahu lagi, kalau mereka naik kendaraan umum, mereka harus turun di gang besar yang menuju ke rumah di mana Elan disembunyikan. Lalu, mereka harus berjalan kaki kurang lebih sejauh lima puluh meter lagi. Selama berjalan, Lilis memerhatikan keadaan tempat ini. Sepanjang jalan, di sisi kanan dan kiri hanya kebun yang ditanami pohon buah-buahan. Di antaranya pohon rambutan, mangga, dukuh, dan jambu air. "Lis, perasaanku agak kurang enak. Apa kita balik lagi saja?" Siska menggandeng lengan Lilis dengan kuat. Meski siang hari, tapi di sini sangat sunyi. Bahkan tidak ada orang yang lewat. Sepertinya lahan di sini adalah milik satu orang, sehingga orang-orang tidak berani lewat jalan ini sembarangan. "Jangan dulu! Kalau kita kembali, bagaimana dengan Kak Elan?" tolak Lilis."Tapi aku
Adik Ipar Malang Bab 83 Penyekapan Elan Di kantor Devan, tiba-tiba saja pikirannya mengarah ke Lilis. Entah kenapa hatinya sangat merindukan istri kecilnya itu.Devan menghentikan pekerjaannya sebentar, lalu mengambil ponsel dan menghubungi nomor Lilis. Panggilannya tersambung. Hanya saja tidak di angkat oleh istrinya itu. Sampai panggilan ketiga, Lilis tetap tidak mengangkat telfonnya. Kemudian Devan menghubungi nomor rumah Bu Maya. Tepat sekali beliau yang mengangkatnya. [Halo, kediaman Rifan di sini.]"Halo, Tante. Ini aku Devan."[Oh, Devan. Ada apa?]"Apa Lilisnya ada, Tante?"[Lilis? Dia sedang menemani Siska ke rumah sakit.]"Sejak kapan?"[Kurang lebih dari dua jam yang lalu. Mungkin sedang banyak pasien, jadi antreannya sedikit panjang.]"Apa Daffin juga ikut?"[Enggak. Daffin di rumah dengan Tante dan Laras. Ada apa, ya? Suara kamu kok terdengar cemas.]"Enggak apa-apa, kok, Tante. Terima kasih, ya. Mungkin L