Satu bulan kemudian.Bunyi muntahan terdengar dari kamar mandi. Aksa yang terlelap langsung membuka mata dan duduk bersandar di head board ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadarannya yang belum sepenuhnya pulih. Tubuh lelaki itu lelah setelah menyelesaikan gambar hampir jam tiga pagi. Klien memintanya untuk segera menyelesaikan karena akan segera dibangun. Untunglah hanya tinggal sedikit dan dia berhasil menyelesaikannya. Hanya perlu memoles sedikit biar tampilan gambarnya sempurna. Dia berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Hayu sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras. Refleks dia membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Hayu sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur. "Kamu kenapa?""Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual
"Mau pergi juga?" tanya Hayu saat melihat suaminya sedang bersiap-siap. Cuaca di luar sedang hujan deras dan angin yang cukup kencang. Ada janji dengan klien yang meminta untuk di-design gambar sebuah kantor yang akan dibangun. Kali ini cukup besar. Kemampuannya dalam merancang bagun berserta design interior sedikit demi sedikit sudah mulai dikenal oleh beberapa pengusaha, terutama kenalan Papa Setya. Ada peluang di kantor Papa Danu jika memang mau, tapi daripada dibilang KKN lebih baik dia mundur. Biasanya yang berhubungan dengan pemerintahan, akan dibuka semacam lelang. Aksa belum berminat mengikuti yang semacam itu karena prosesnya lama dan berbelit.Sementara ini, dia hanya mengambil job yang kecil, asalkan masih cukup untuk menafkahi keluarga. Sementara gaji Hayu tak pernah dia tanyakan. Itu milik sitrinya, dia tidak akan ikut campur. "Ini lumayan gede. Dia minta design kantor 3 lantai. Nanti buat biaya lahiran kamu," jawab Aksa sambil menangkup pipi Hayu dan menatapnya dalam.
Danu dan Setya duduk bersebelahan di kursi tunggu di depan ruangan operasi. Sementara itu Rani sibuk menghapus air mata yang sejak tadi menetes. Sudah 3 jam mereka menunggu dan masih belum selesai. Setelah mendapat kabar bahwa putra mereka kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit, Setya dan Rani langsung menuju kesana di tengah hujan deras. Sementara itu Danu yang tadinya masih tertidur langsung dibangunkan oleh Sarah. Lelaki paruh baya itu langsung kaget saat mendengarnya. Apalagi melihat putrinya yang pingsan di kamar. Mereka berdua mengurus Hayu hingga sadar, kemudian segera menuju rumah sakit tempat menantunya dibawa. Tiba di sana, Aksa yang dalam kondisi kritis sudah berada dalam penanganan dokter di ruang operasi. Danu memeluk Setya yang tampak terpukul karena kejadian ini. Putra mereka satu-satunya dan baru saja menikah malah terkena musibah. Ditambah dengan Hayu yang sedang hamil muda, membuat pikiran mereka semakin kacau."Keadaan Hayu gimana, Mas?" tanya Setya. "Tadi waktu M
Hayu menatap jendela kaca dimana di ruangan sana terbaring sang suami yang sedang kritis. Air matanya sudah tak dapat menetes karena telah kering. Sudah 2 minggu Aksa berada disana dan belum bereaksi sama sekali. Hanya satu yang membuatnya masih menyimpan harapan, detak jantung suaminya yang masih normal di monitor. Hatinya sakit, perih setiap kali melihat kondisi itu, sambil terus berdoa agar Allah segera mengembalikan Aksa cepat atau lambat. "Sa. Aku sama anak kita masih setia menunggu kamu hingga sadar. Kembalilah kepada kami, Sa," ucapnya sambil menatap dari balik kaca. Wanita itu masih bekerja seperti biasa walaupun tidak maksimal. Sebenarnya dia ingin resign, tapi Mama Sarah melarang. Kata mama, dengan tetap bekerja paling tidak ada kegiatan yang bisa mengalihkan perhatian dari kesedihan yang mendalam. Namun, setiap sore, dia akan datang ke rumah sakit dan melihat perkembangan suaminya. Bergantian dengan Mama Rani yang setiap hari berada disini. Setiap Hayu datang maka ibu m
Jemari mereka bertautan, namun hanya Hayu yang menggenggam. Aksa belum merespons sama sekali sejak tadi. Ketika mama dan papanya yang datang, jari itu kembali bereaksi. Namun, mengapa dengan istrinya di tidak memberikan reaksi sama sekali? Itu membuat Hayu menjadi sedih. Hari ini, dia bahkan izin keluar saat makan siang dengan alasan menjenguk suaminya di rumah sakit. Itu sudah terjadi berulang kali, sampai mendapat surat peringan 1 dari kantor karena beberapa bulan ini banyak membolos. Hayu bahkan mendapatkan potongan bonus tahunan karena kinerjanya dinilai kurang. Bisik-bisik di kantor yang menaruh iba kepadanya mulai bermunculan. Ada beberapa rekan kerja yang memberikan dukungan agar dia kuat bertahan. "Sa. Bangun. Ini aku sama anak kita," bisiknya namun tetap sama, tidak ada respons. Berulang kali Hayu mencoba, tetap sama. Akhirnya dia menyerah dan memilih untuk keluar karena jam besuk sudah habis. Sekarang waktunya untuk kembali ke kantor karena jam makan siang sudah habis.Su
Mobil Bayu berhenti tepat di depan, dimana security langsung membukakan pagar ketika Hayu turun dan terlihat di CCTV. Tadi sebelum pulang, mereka mampir sholat maghrib di mushola terdekat. Biasanya Hayu agak kurang nyaman memakai mukena bersama yang disediakan, namun karena keadaan, mau tak mau dia menggunakannya. Untungnya bersih semua dan baunya harus. Mushola yang mereka singgahi juga menyediakan sandal masjid "Anak pejabat rumahnya gedongan," kata lelaki itu bercanda dan ditanggapi Hayu dengan senyuman."Mampir?" tawarnya."Gak usah. Udah malem. Besok masih kerja," jawab lelaki itu."Thanks.""Buat?""Jadi ojek sama traktiran sate padang. Kalau Aksa udah sadar, aku mau ajak dia makan disitu," jawab Hayu keceplosan. Lalu dia menutup mulut dan merasa tak enak karena telah mengucapkan hal itu.Bayu sedikit tersentak mendengarnya. Sekalipun Hayu telah menjadi milik orang lain, tetap saja perasaan itu masih ada hingga kini. "Santailah. Besok aku anter pulang lagi, gimana?" tanya Bayu
Mata lelaki itu mengerjap bekali-kali. Pandangannya kabur. Ingin mengucapkan sesuatu tapi tertahan. Mulutnya tersumpal selang yang terasa menyesakkan. Dia berusaha menggerakkan tubuh tetapi kaku dan rasanya sakit. Buan hanya itu, seluruh tubuhnya sakit sehingga air mata mengalir di sudut-sudutnya."Sa..."Wanita itu menggenggam jemarinya sambil mengusap air mata. Ada beberapa orang lain, entah siapa memandangnya dengan lekat. Baju yang mereka pakai berwarna putih. "Akhirnya kamu sadar juga, Sa," bisik wanita itu lagi.Aksa mencoba menggerakkan tangan, menyentuh pipi wanita yang duduk disampingnya.Hayu. Dia ingat. Itu Hayu. Sepupu yang disukainya sejak dulu. Lalu kemana mama dan papa? Mengapa malah orang lain yang menjaganya? Aksa tak mampu berpikir. Kepalanya berdenyut sakit sekali. Tangannya bahkan melambai ingin memberi tahu."Jangan bicara dulu, Sa. Kamu masih belum pulih," bisik Hayu lagi. Dia bahkan meletakkan jemari suaminya di pipi. Sarah dan Danu yang melihat itu mengucap
Beberapa hari setelah masa sadarnya, Aksa dipindahkan ke ruang perawatan VVIP yang sudah dibooking khusus oleh Danu. Papa mertuanya itu sudah berpesan jauh-jauh hari bahkan membayar semua biaya yang dibutuhkan. Aksa sendiri sudah mulai jelas melihat wajah siapa saja yang datang. Hanya belum bisa bicara secara normal. Kaku, kelu, yang dirasakan oleh lidahnya. Kata dokter itu efek koma, namun tidak permanen. Dia harus berlatih, mencoba berbicara sedikit demi sedikit agar kembali normal. Sepertinya, memang masih akan berbulan-bulan menginap di rumah sakit. Tubuh lelaki itu kurus, pucat dengan bekas-bekas luka. Matanya cekung. Aksa yang gagah kini berubah 180 derajat. Sungguh miris sekali jika melihat keadaannya. Hayu bahkan masih berlinang air mata setiap kali datang menjenguk. Bergantian dengan mertuanya, wanita itu mengurus sang suami. Tapi, tetap saja dia tidak boleh menginap disini, sekalipun sudah mencoba membujuk mamanya.Rumah sakit adalah tempat paling mudah menularkan segala