Share

Ada Apa dengan Bia?
Ada Apa dengan Bia?
Author: hajara

Prolog

Author: hajara
last update Last Updated: 2021-05-31 12:51:30

“Sauqi ... Sauqi ....” Samar-samar kudengar seseorang memanggil namaku. Suaranya begitu pelan, bahkan aku hampir tak mendengarnya.

“Sauqi ....” Entah kenapa suara itu terus masuk ke dalam gendang telingaku. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Aku bisa mendengar dengan jelas si pemilik suara itu adalah seorang perempuan.

“Sauqi!” Kali ini volume suara itu semakin meninggi. Seperti seseorang yang menggelegarkan suaranya tepat di depan daun telingaku. Membuatku begitu kaget dan refleks langsung menjawab panggilannya. 

“Eh, Iya, Bunda! Uqi udah bangun, kok.”

Tiba-tiba terdengar suara gelak tawa yang memenuhi  seisi ruangan ini. 

“Bunda! Bunda! Sejak kapan saya menikah dengan Ayah kamu!” gertak Bu Rahayu, sosok perempuan yang ternyata memanggilku tadi.

Ya. Ternyata aku tadi tertidur di kelas. Parahnya lagi, aku tertidur saat pelajaran Bu Rahayu sedang berlangsung. Guru kimia yang terkenal cukup killer di sekolahku.

“Ma-maaf, Bu. Saya ketiduran,” ucapku sedikit gemetar. Bukan gemetar karena takut. Lebih tepatnya gemetar karena lenganku sedikit kesemutan. Sepertinya tadi terlalu lama kugunakan sebagai bantal, alhasil sekarang pun rasanya kesemutan sekali.

“Sudah puas tidurnya?! Ketemu siapa tadi di dalam mimpi?!” tanya wanita berusia empah puluh tahunan itu dengan nada sedikit tinggi. Ia kini sudah berdiri tepat di samping mejaku dengan kedua tangan dilipat di depan dada.

“Ketemu siapa ya, Bu? Saya lupa. Kayaknya si ketemu Raisa, Bu. Hehe,” ucapku asal seraya menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gatal.

“Huuuu ....” Sontak suara teriakan kembali menggema di dalam kelas. 

“Ya sudah sana, lanjutkan lagi ketemu Raisa-nya. Tapi di depan tiang bendera! Sambil hormat!” gertak Bu Rahayu seraya mengetuk keras spidol di genggaman tangannya ke meja.

Aku hanya menurut. Menerima hukuman yang diberikan Bu Rahayu. Memang salahku tidur di saat jam pelajaran sedang berlangsung, apalagi hari masih pagi seperti ini. Memang bukan murid teladan.

Kini, aku sudah berdiri tepat di depan tiang bendera. Kuangkat telapak tangan kanan ke sebelah pelipis untuk memberi hormat kepada Sang Saka Merah Putih. Layaknya orang sedang melaksanakan upacara bendera. 

Beberapa menit berlalu. Peluhku sudah mulai menetes. Padahal arloji di tangan kananku masih menunjukkan pukul 09.00 WIB, tetapi cuaca terasa sangat terik. Pandanganku beredar mencari apa pun yang tak membuatku silau. Namun, tiba-tiba aku terkesiap saat melihat seorang siswi berjalan melewati koridor di hadapanku. 

Wajahnya sangat kukenal, tetapi ada yang aneh dengan dia. Penampilannya berbeda sekali. Apa aku salah liat? Kucoba mengucek kedua bola mata. Barangkali aku belum seratus persen bangun dari alam mimpiku. Namun, siswi itu masih dengan penampilan yang sama, seperti yang kulihat tadi.

“Bia!” teriakku, memekikkan namanya. 

Dialah Biani Saliha. Tetangga sekaligus sahabat karibku sejak kecil. Sejak masih TK, aku dan Bia memang selalu bersama. Kami sudah seperti Upin dan Ipin. Ah tidak, zaman kecilku dahulu belum ada Upin dan Ipin. Mungkin lebih tepat jika disebut Nobita dan Doraemon. Entah siapa yang Nobita, siapa yang Doraemon.

Aku dan Bia selalu menghabiskan waktu bersama. Mulai dari mendaki gunung, latihan karate, bermain PS, bahkan kami selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Ia memang gadis yang tomboi, maka dari itu hobinya pun sama dengan hobiku. 

Namun, saat ini aku sungguh dibuat heran dengan penampilan gadis berpipi tembam itu. Ia berbeda dari biasanya. Berbeda sekali. Aku coba mendekat, sedikit berlari ke arahnya yang sedang berjalan di koridor depan kelas XI Bahasa.

“Bi!” teriakku, kembali memanggil namanya. Akhirnya ia pun menoleh, menatap ke arahku. Kupercepat langkah sampai akhirnya kini aku sudah berdiri tepat di hadapannya. 

“Bi? Ini kamu, 'kan? Kok kamu beda?” tanyaku sedikit memperhatikan wajahnya. Kutatap gadis berkulit putih ini dari ujung kaki sampai kepala. Mencoba meyakinkan bahwa dia memang Bia sahabatku.

“Memangnya kalau aku bukan Bia, siapa lagi?” jawabnya seraya mengalihkan pandangan dariku. Ini perasaanku saja atau memang Bia sama sekali tak ingin menatapku.

“Kamu nggak kenapa-kenapa, kan, Bi? Kamu lagi nggak kesambet, 'kan?” tanyaku seraya meletakkan punggung tangan di dahi mulusnya. 

“Apaan si, Qi. Nggak usah pegang-pegang juga,” ucap Bia seraya mengalihkan tanganku dari wajahnya. Membuatku semakin merasa aneh dengan semua perubahan sikapnya. 

“Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Aku nggak kesambet juga. Kalau aku kesambet mana mungkin aku berangkat sekolah,” jawabnya, masih dengan pandangan yang entahlah ia arahkan ke mana.

“Kok penampilan kamu beda, Bi?” tanyaku amat penasaran. 

“Nggak papa. Cuma pengin berubah aja. Nggak salah, 'kan?” Ia tersenyum kecil mendengar pertanyaanku. Namun, pandangannya tetap mengarah ke tempat lain. Senyum manisnya itu tak ia arahkan kepadaku. 

“Ya ... enggak, si. Cuma sedikit aneh aja. Sifat kamu juga agak berubah,” ucapku ragu.

“Oh ya? Cuma perasaan kamu aja kali, Qi.”

Aku hanya mengangguk, tetapi rasa penasaran masih berenang-renang di dalam kepalaku. “Kamu kok tadi pagi berangkat sekolah duluan? Berangkat sama siapa, Bi?” tanyaku lagi. Tadi pagi memang entah kenapa Bia sudah tak ada di rumah saat aku menjemputnya. Padahal hampir tiap hari ia selalu setia menungguku di depan rumahnya. 

“Aku berangkat sama Ayah, Qi,” jawabnya. “Mulai besok ... kita nggak usah berangkat bareng lagi ya, Qi. Biar aku diantar Ayah aja.”

Ucapan Bia seketika membuat kedua netraku membulat sempurna. Aku begitu terkesiap. Setiap hari kami selalu berangkat bersama, tetapi kenapa ia malah berkata seperti itu. “Loh, kenapa, Bi?”

“Nggak papa. Pengin berangkat sama Ayah aja. Dari dulu kan kamu selalu antar aku buat berangkat dan pulang sekolah, mulai sekarang biar aku sama Ayah aja, Qi. Aku nggak enak sama kamu,” ucapnya sedikit menunduk.

Aku semakin heran dengan ucapan Bia. Dahiku berkerut sembari menatap lekat-lekat wajahnya. “Aku nggak papa kok, Bi. Kamu nggak usah sungkan sama aku, kayak sama siapa aja. Aku malah seneng kok antar kamu. Jadi ada temen berangkat, 'kan,” balasku.

“Enggak, Qi. Biar mulai sekarang aku diantar Ayah aja,” kekehnya. 

“Trus kamu pulangnya gimana? Ayah kamu kan jam segitu masih di kantor,” ucapku, sedikit khawatir dengannya. Ayah Bia merupakan seorang pegawai di Kantor Kelurahan. Di saat jam pulang sekolah, beliau pasti masih berada di kantor. 

“Aku bisa naik angkot kok,” jawabnya seraya tersenyum kecil.

“Kok naik angkot?”

“Nggak papa, Qi. Ya udah, ya. Aku mau nganterin tugas anak-anak dulu di ruang guru. Takut Pak Slamet udah nungguin. Assalamu'alaikum,” ucap Bia seraya undur diri dan melangkah meninggalkanku.

“Tapi, Bi ....” ucapku, berusaha mencegahnya. 

Namun, gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur menjauh. Aku hanya bisa menatap kepergiannya yang sama sekali tak menoleh ke arahku. “Wa'alaikumussalam, Bi.”

Aku menghela napas panjang. Sungguh aku dibuat heran dengan tingkah Bia hari ini. Gadis yang biasanya menguncir surai sebahunya ke belakang itu benar-benar sudah membuat kepalaku dipenuhi berbagai pertanyaan. Bagaimana tidak?

Pertama, penampilannya kini sungguh sangat berubah. Ia yang biasanya terlihat tomboi dengan lengan seragam sekolah panjang yang ia lipat jadi tiga perempat, kini memakai seragam yang benar-benar tertutup rapat. Bahkan surai hitamnya pun tertutup rapi oleh sepotong jilbab yang menutup dada.

Terlebih sikapnya yang seolah-olah sedang menjauhiku, bahkan saat bicara tadi ia sama sekali tak pernah menatap mataku. Kusentuh dahinya pun tak mau. Ia benar-benar aneh. Padahal biasanya sering sekali kepalaku dijitak oleh tangan mungilnya saat aku terlalu kencang membawa sepeda motor.

Dan satu lagi, kenapa ia tiba-tiba tak mau berangkat dan pulang sekolah bersamaku. Padahal sudah dari SMP kami selalu berangkat bersama. Argh! Aku benar-benar dibuat bingung dengan semua perubahan sahabatku itu. Apa yang terjadi sebenarnya.

Ada apa dengan Bia?

Related chapters

  • Ada Apa dengan Bia?   Awal Mula Persahabatan

    Aku duduk seorang diri di depan teras rumah. Menatap sepeda motor yang berdiri dengan gagah di hadapanku. Namun, pikiranku masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan tentang perubahan sikap Bia. Seorang gadis berparas ayu yang sudah menjadi sahabat dekatku hampir sebelas tahun ini.Sejak dahulu kami memang sering menghabiskan waktu bersama. Entah aku yang bermain ke rumahnya, atau ia yang ke rumahku. Namun, lebih sering ia datang ke rumah karena Bunda yang meminta. BundakuRatna Harum Sarimemang sudah menganggap Bia sebagai anaknya sendiri. Selain karena kami memang sudah dekat dari kecil, Bunda juga sering mengeluh merasa kesepian saat ditinggal ke luar kota oleh Ayah atau ditinggal ngetrip olehku bersama kawan-kawan komunitas.Ayah dan Bunda sebenarnya memiliki tiga orang anak. Aku, Sauqi Habibillah merupakan anak bungsu mereka. Aku memiliki dua orang kakak. Kakak pertamaku yaitu Mas Fatir. Namun, ia sudah meninggal dunia tiga tahun lalu karena mengidap penyakit ka

    Last Updated : 2021-06-01
  • Ada Apa dengan Bia?   Hidung Ikan

    Wajah Bunda seketika berubah kaget. Ia sedikit mengerutkan kening saat Ayah menyarankanku belajar olahraga bela diri. “Ayah, Uqi kan masih kecil. Belum saatnya belajar begituan,” ucap Bunda, tak sependapat dengan Ayah. Wanita berwajah ayu itu tampak mengerutkan dahi putihnya menatap wajah Ayah.“Nggak kok, Bunda. Sepertinya Uqi sudah siap. Nanti biar Ayah bilang sama Pak Slamet buat ngajarin jurus-jurus yang mudah saja dulu. Uqi mau, 'kan?” ucap Ayah. Ia tetap kekeh dengan keputusan awalnya ingin mulai mengajariku ilmu bela diri. Pria berwajah tegas itu tersenyum seraya menatap wajahku.“Iya, Ayah. Uqi mau belajar bela diri. Uqi pengin jago berantem kayak Ayah dan Mas Fatir,” ucapku penuh semangat.“Hush! Bukan buat berantem, Sayang. Tapi buat melindungi diri sendiri dan orang lain,” ucap Ayah seraya mengelus rambut jambulku.“Ooh, berarti Uqi nggak boleh berantem ya, Yah?” tanyaku. Jujur aku masih merasa bingung dengan perkataan Ayah. Kutatap wajah pria yang

    Last Updated : 2021-06-01
  • Ada Apa dengan Bia?   Friendzone

    Beberapa tahun berlalu. Kini, aku dan Bia sudah sama-sama remaja dan menginjak bangku SMA. Selama itu pula, kami tetap bersahabat. Seperti janji kami waktu masih TK. Kami sering melakukan berbagai aktivitas bersama. Sampai-sampai, banyak yang beranggapan kami adalah sepasang kekasih. Apalagi mereka yang tidak benar-benar mengenal kami. Entahlah. Aku juga tak tahu kenapa.Memang apa salahnya hubungan persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Toh, aku juga punya sahabat laki-laki. Sahabatku tidak hanya Bia. Begitu pula dengan Bia. Ia juga punya sahabat lain selain aku. Memang benar, setiap hari aku dan Bia selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Namun, saat sudah sampai sekolah pun kami akan sibuk dengan teman masing-masing.Seperti pagi ini. Seperti biasa, aku datang ke sekolah dengan memboncengkan Bia. Tampak di depan sana, kawan-kawan mainku sudah menunggu di parkiran sekolah. Kuyakin mereka pasti akan mengolok-olokku lagi.“Ciyee pasangan

    Last Updated : 2021-06-01
  • Ada Apa dengan Bia?   Cowok Nggak Peka

    Kriing!Bel istirahat berbunyi. Membuatku bernafas lega. Menyebalkan sekali pagi-pagi seperti ini sudah dijejali pelajaran matematika. Membuat otakku bekerja tujuh kali lebih ekstra dibanding biasanya. Aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Kupejamkan mata sejenak. Menghadapkan wajahku ke langit-langit ruangan. Otakku sepertinya butuh istirahat. Ia sudah terlalu lelah dengan rumus dan angka-angka yang menjejal di kepala.“Qi, pinjem jaket kamu, dong.” Tiba-tiba kudengar suara Bia berbicara kepadaku. Entah kapan datangnya, saat aku membuka mata, gadis berambut pendek itu sudah ada di depan meja. “Aku nanti pelajaran Bahasa Indonesia ada penilaian drama, mau pake jaket kamu buat properti. Boleh, ya?”Aku menatap ke arahnya. “Hmm iya, deh.” Segera kuambil jaket yang memang hanya kuletakkan di atas kursi. “Nih,” ucapku seraya menyerahkan jaket warna navy-ku kepadanya.“Makasih, Uqi. Nanti pulang sekolah biar bawa pulang aku aja, ya. Sekali

    Last Updated : 2021-06-02
  • Ada Apa dengan Bia?   Di Bawah Rintik Hujan

    Hari demi hari berlalu. Hubunganku dan Bia masih berjalan normal saja, layaknya seorang sahabat. Kami berangkat sekolah bersama, latihan beladiri bersama, mendaki Puncak Prau bersama, dan masih banyak kegiatan yang sering kami lakukan bersama. Mungkin satu-satunya kegiatan yang tak pernah kulakukan bersama Bia adalah bermain balap motor.Berbeda denganku yang suka dunia motor dan otak-atik mesinnya, Bia sama sekali tak suka dengan hal-hal semacam itu, bahkan sampai sebesar ini pun Bia sama sekali belum bisa mengendarai sepeda motor. Alhasil, hampir setiap hari aku menjadi tukang ojeknya untuk antar jemput berangkat sekolah.Namun, hari ini aku merasa ada yang aneh dengan dirinya. Tak biasanya ia berangkat sekolah terlebih dahulu meninggalkanku. Padahal biasanya ia selalu setia menungguku menjemputnya di depan rumah, tetapi tidak dengan hari ini. Semuanya berbeda. Apalagi saat bertemu di sekolah. Kedua netraku dibuat terbelalak karena perubahan penampilann

    Last Updated : 2021-06-02
  • Ada Apa dengan Bia?   Kita Bukan Mahram

    “Maaf, Qi. Tapi mulai sekarang aku nggak bisa berangkat bareng kamu lagi. Kita nggak bisa boncengan seperti biasanya. Kita bukan mahram, Qi. Nggak sepantasnya kita berdekatan seperti itu.”Aku sedikit menelan saliva mendengar semua penjelasan Bia. Inikah alasan perubahan sikapnya kepadaku?Meskipun aku tak terlalu pandai ilmu agama, sedikitnya aku tahu kami berdua memang tidak ada hubungan mahram. Namun, bukankah interaksi kami selama ini juga biasa saja? Kami tak pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Kami hanya berinteraksi layaknya seorang sahabat.“Sekali lagi aku minta maaf, Qi. Bukannya aku bermaksud menghindari kamu. Hanya saja, aku pengin kita menjaga jarak, tak seperti biasanya. Aku harap kamu mengerti aku, Qi,” ucapnya lagi. Kali ini nada suara Bia terdengar seperti memohon. Aku tahu, Bia amat serius dengan ucapannya itu.Aku coba mendekat satu langkah ke arahnya. Namun, gadis berkulit putih itu justru refleks memundurkan tubuhnya satu

    Last Updated : 2021-06-02
  • Ada Apa dengan Bia?   Langit Subuh

    Sayup-sayup suara kokok ayam membangunkanku dari alam mimpi. Segera aku menuju ke kamar mandi. Cuci muka dan mengambil air wudhu. Sudah menjadi rutinitasku, selalu menunaikan salat malam setiap harinya.Ayah dan bundaku memang selalu mengajari anak-anaknya agar senantiasa menjaga salat malam. Sesibuk apapun, semalas apapun, kami harus tetap melaksanakan salat malam.“Seseorang yang merutinkan salat malam, pasti akan mendapatkan kemuliaan dari Allah. Di saat yang lain terlelap, kita sudah terbangun. Di saat yang lain masih larut di alam mimpi, kita sudah bermunajat, bermesraan dengan Tuhan. Apa tidak hebat namanya? Allah itu sudah menjanjikan ampunan bagi siapa pun yang mendekat kepada-Nya. Siapa pun yang berdoa di sepertiga malam terakhir pasti akan Allah kabulkan. Seluruh penduduk bumi dan langit pun turut serta mengamininya.”Nasihat ayah waktu itu selalu terngiang di kepalaku. Menjadi penyemangat saat aku hendak melaksankan salat malam

    Last Updated : 2021-06-03
  • Ada Apa dengan Bia?   Tak Seperti Biasa

    Seperti biasa, sebelum berangkat sekolah, aku selalu memastikan penampilanku harus sesempurna mungkin. Bukan buat pamer. Apalagi cari perhatian. Tujuanku hanya satu. Agar tak ada yang menertawai jika aku berpenampilan aneh saat ke sekolah. Tidak lucu kan jika tiba-tiba di rambutku masih ada bekas sampo, atau dasi yang kupakai tergantung miring, atau bahkan masih ada kotoran di kedua sudut mata. Bisa hilang ketampanan yang ada pada diriku.Setelah semua siap, aku segera berpamitan kepada Ayah dan Bunda, lantas keluar rumah menuju motor kesayanganku. Motor ninja yang Ayah berikan satu tahun lalu, saat aku berhasil menjuarai kompetisi karate tingkat provinsi. Yah, meskipun aku gagal di tingkat nasional.Aku memang sangat suka bermain karate. Sedari kecil aku sudah banyak ikut kompetisi. Namun, sejujurnya aku lebih suka dengan dunia otomotif. Bagiku, sepeda motor dan segala pernak-perniknya sudah menjadi separuh jiwaku. Biarlah orang berpikir aneh, tetapi memang kenyataann

    Last Updated : 2021-06-03

Latest chapter

  • Ada Apa dengan Bia?   Di Gubuk yang Sama

    Esok harinya, aku mencoba menemui Bia. Kuhentikan laju sepeda motor di depan rumahnya. Sengaja kusempatkan waktu untuk memberikan bingkisan yang sudah kupersiapkan semalam sebelum aku berangkat ke sekolah. Aku tak mau gadis bertubuh mungil itu sudah telanjur pergi setelah aku pulang dari sekolah.Aku melangkah dengan ragu-ragu memasuki halaman rumah yang dahulu sering kudatangi. Halaman rumah yang cukup asri dengan sebuah pohon mangga yang berdiri tegak di pojok kanan rumah. Saat kecil, aku sering sekali naik ke pohon itu bersama Bia. Kami biasa duduk-duduk di atas dahan sambil menikmati mangga yang kami petik.Bia kecil memang sudah terlihat begitu tomboi. Ia sama sekali tak takut akan terjatuh atau tegigit serangga saat naik pohon bersamaku. Ayahnya pun sampai sering berteriak, memintanya turun. Namun, kami berdua tetap menikmati aktivitas kami seperti seekor monyet yang duduk nangkring di atas dahan pohon.Sekarang, rasanya begitu aneh. Semuanya sungguh

  • Ada Apa dengan Bia?   Lebih dari Sekedar Sahabat

    Suara jangkrik yang bersahutan menemani malamku yang kini tengah dilanda perasaan bingung. Kurebahkan tubuh di atas tempat tidur dengan wajah menghadap langit-langit kamar. Sementara kedua telapak tanganku menggenggam erat sebuah ponsel yang kuangkat tepat di atas wajah.Berkali-kali jari-jemariku mengetikkan beberapa kata di aplikasi perpesanan dengan kontak tujuan bertulisakan nama Bia. Namun, kata-kata itu langsung kuhapus sebelum aku sempat mengirimnya. Aku sedikit ragu. Aku takut pesanku ini akan mengganggu atau bahkan membuatnya kembali marah kepadaku.Jujur, sejak pertemuan tak sengaja di toko buku siang tadi, aku sama sekali belum bisa menghilangkan bayangan wajahnya dari pikiran. Melihat wajah ayunya setelah satu setengah tahun tak bersua sungguh mengobati rasa rindu yang selaman ini begitu menyiksa. Aku sangat bahagia. Terlebih ia sudah mau memaafkan semua kesalahanku.Hati yang selama ini sempat redup karena kehilangan sosok sahabat sekaligus ga

  • Ada Apa dengan Bia?   Melepas Rindu

    Hari demi hari berlalu. Aku sudah berada di penghujung kelas XII. Satu minggu lalu Ujian Nasional sudah terlaksana, dan sekarang aku sedang menikmati masa-masa tenang menunggu pengumuman kelulusan dan perpisahan sekolah.Semuanya terasa begitu cepat. Waktu bergulir tanpa kusadari. Namun, hari-hariku tetap terasa hampa. Pagiku tak pernah bersemangat karena tak ada lagi Bia yang biasanya setiap hari selalu ingin kutemui. Tak ada lagi wajah ayu yang senyum riangnya selalu membuatku ikut tersenyum sendiri. Tak ada lagi si pemilik pipi tembam yang meskipun sering marah-marah, tetapi selalu terlihat lucu dan menggemaskan bagiku.Aku benar-benar merindukannya. Setiap momen bersamanya sejak kami masih kecil masih terekam jelas di kepala. Aku rindu momen-momen itu. Saat tak ada jarak di antara kami, saat perasaan ini belum muncul, saat Bia belum berubah, dan saat aku tak pernah melakukan kesalahan fatal yang membuatnya begitu membenciku.Andai bisa memutar waktu, aku leb

  • Ada Apa dengan Bia?   Permintaan Maaf

    Aku menatap kosong halaman sekolah dari balik jendela kelas sembari membayangkan hari-hariku yang kini terasa begitu sunyi. Aku benar-benar kehilangan sosok sahabat sekaligus seseorang yang sangat spesial di hati. Semuanya begitu hampa. Gadis yang sudah mengisi relung jiwaku, tadi pagi benar-benar pergi tanpa memberikan jawaban apa pun atas ungkapan perasaanku. Jangan membalas cinta, memafkan kesalahanku pun tak ia lakukan.Aku benar-benar resah. Segala perasaan begitu berkecamuk di dalam dada. Sejak jam pelajaran pertama aku sama sekali tak bisa fokus mendengarkan penjelasan guru di depan sana. Rasanya aku ingin segera pulang dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Ah! Seperti inikah rasanya orang patah hati?Kriiing!Lengkingan bunyi bel istirahat sekolah menggema keras di seantero bangunan sekolah. Kutangkupkan wajah di atas meja. Aku benar-benar tak bertenaga. Seluruh energi tubuhku seolah-olah pergi bersamaan dengan kepergian Bia."Bro!

  • Ada Apa dengan Bia?   Pengakuan

    Aku sudah berada di depan gerbang rumah Bia. Kuhentikan mesin motor dan segera memasang standar dengan perasaan masih ragu-ragu. Jujur, aku sebenarnya masih takut bertemu Bia. Takut ia belum mau memaafkanku. Takut ia akan semakin membenciku. Dan takut aku melakukan hal yang lebih bodoh dari itu. Namun, hal yang lebih kutakutkan adalah jika aku tak sempat mengungkapkan semua perasaanku sebelum ia benar-benar pergi.Kulirik ke dalam halaman rumah Bia. Tampak suasana sangat sepi dan gerbang pun masih tertutup rapat. Sudah dipastikan ayah Bia tidak ada di rumah. Mungkin hanya ada Bia yang sedang berdiam diri di dalam sana.Beberapa kali kuteriakkan namanya dari depan gerbang. Berharap ia mendengar dan mau membukakan pintu untukku. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit, tak ada satu pun tanda-tanda ia mau keluar menemuiku. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke rumah dengan perasaan kecewa.Bruk!!Kujatuhkan tubuh di atas tempat tidur. Rasanya harik

  • Ada Apa dengan Bia?   Terlambat Jatuh Cinta

    Sudah dua hari aku tak melihat keberadaan Bia. Gadis berpipi tembam itu sama sekali tak kulihat keberadaanya, baik di lingkungan rumah maupun di sekolah. Beberapa kali aku coba menghubunginya. Namun, pesan dan panggilanku sama sekali tak ia balas, bahkan membacanya pun tak ia lakukan, padahal sering kulihat status di kontaknya menunjukkan tulisan online.Aku yakin gadis bermata lentik itu masih sangat marah kepadaku. Aku memang salah. Apa yang kuperbuat begitu fatal. Pantas jika ia membenciku. Aku pun begitu resah memikirkan hal itu. Namun, aku bukan sengaja melakukannya. Semuanya begitu tiba-tiba. Aku tak tahu jika kakiku akan tersandung dan tubuhku jatuh menubruknya.Sampai saat ini aku masih merutuki diri sendiri. Berharap waktu dapat kuulang dan hal itu tidak terjadi. Aku masih ingat bagaimana butiran air mata menetes membasahi pipinya, pun dengan amarah yang meluap di kedua netranya. Aku sudah mengambil ciuman pertamanya. Ciuman yang harusnya ia berikan kepa

  • Ada Apa dengan Bia?   Kecupan yang Tiba-Tiba

    Sore ini, entah kenapa perasaanku buruk sekali. Pikiranku terus dipenuhi rasa bersalah kepada Bia tentang kejadian tadi siang. Tak seharusnya aku berkata dengan nada tinggi kepadanya. Aku yakin ia pasti sakit hati.Terlebih keadaannya sedang tidak sehat. Ucapanku tentu membuat kondisinya semakin memburuk.Aku terus merutuki diri sendiri. Berandai setiap kata yang keluar dari mulutku mampu kutarik kembali. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya telah terjadi. Saat ini aku hanya bisa berharap Bia mau berbesar hati memaafkanku.Suara gelak tawa dari layar televisi yang menyala di hadapanku hanya mengabur di udara. Harusnya aku terhibur dengan acara komedi itu, tetapi entah kenapa untuk tersenyum pun aku tak bisa. Aku hanya bisa menatap nanar layar kotak itu tanpa memahami maksudnya.Tok! Tok! Tok!Aku menatap daun pintu di ruang tamu sana. Terdengar seperti seseorang mengetukkan tangannya di depan rumah. Suara salam seorang lelaki juga terdengar bersahutan

  • Ada Apa dengan Bia?   Pertengkaran

    Sudah setengah jam aku menunggu Bia di ruang UKS. Namun, gadis berbulu mata lentik ini belum juga sadarkan diri. Dua orang teman sekelasnya sedari tadi juga sibuk memberikan minyak kayu putih di tubuhnya. Mereka sedikit memijat bagian telapak kaki dan telapak tangan Bia.Aku pun berkali-kali menyodorkan minyak kayu putih di depan hidung mancung Bia. Hidung yang tadi sempat mengeluarkan sedikit darah segar. Beruntung darah itu lekas dibersihkan dan kini sudah tak keluar lagi.Sejujurnya aku sedikit bingung, padahal yang terkena bola adalah kepalanya, tetapi kenapa dari arah hidung mengalir sedikit darah. Aku masih berpikir keras mengenai sebab akibat darah itu.Sampai bel akhir pelajaran olahraga berbunyi, Bia masih belum sadarkan diri. Kusuruh teman-temannya untuk kembali ke kelas saja, mengikuti pelajaran selanjutnya. Biar aku seorang yang menunggunya di ruang UKS.Beberapa menit berlalu, aku masih tetap mencoba memberikan aroma minyak kayu p

  • Ada Apa dengan Bia?   Insiden Bola Basket

    Hari ini, aku kembali bersekolah. Setelah kemarin aku izin dengan alasan masih berduka atas meninggalnya Ayah, sepertinya wali kelasku tak mungkin memperbolehkanku untuk izin lagi, apalagi Bunda pasti akan menceramahiku panjang lebar jika aku tak juga berangkat sekolah.Kulajukan sepeda motor memasuki parkiran sekolah. Seperti biasanya, Deni dan Ryan sudah setia menunggu. Aku memang sudah mengabari mereka bahwa hari ini aku akan berangkat.“Bengong aja lu berdua,” ucapku saat sudah sampai parkiran. Kulepas helm full face yang selalu setia menemani sepeda motor nijaku ini. Menyingkap rambutku yang berwarna hitam legam.Kutatap kedua sahabatku itu. Mereka memang tampak sedikit lesu. Entah kenapa. Padahal hari masih pagi, tetapi kedua wajah sudah tampak seperti baju kucel yang belum disetrika. “Woy, pada kenapa, si?” tanyaku lagi.Deni menatapku lunglai. “Males gue, Qi. Gara-gara ada pelajaran olahraga sama Pak Bowo killer itu.&

DMCA.com Protection Status