Mereka bertiga melesat menuju taman, tempat di mana Karina sedang mendorong kursi roda tanpa ada seseorang yang duduk di kursi roda tersebut."Rin!" panggil Justin mendekat, Karina tidak menoleh sama sekali, pikirannya seperti sedang kosong."Karina!" Liam menepuk bahu Karina. Karina menoleh."Ada apa, Dokter?" tanyanya. Itu berarti Karina tidak sedang dalam pengaruh mantra iblis. Dan ke mana iblis tadi pergi? Bukankah sebelumnya ia berada di belakang Karina dan membuntutinya?"Kalian bertiga kenapa ada di sini?""Norman mana?" tanya Justin tanpa menjawab pertanyaan Karina."Itu, lagi terapi jalan," Karina menunjuk Norman di ujung taman, sedang berjalan menggunakan tongkat.Liam, Justin dan Alice langsung menghela nafas lega, berbeda dengan Karina yang kebingungan karena ketiga orang ini sejak tadi tidak menjelaskan apapun."Terus kenapa kamu tadi ngelamun?" kini Alice bertanya."Ya lagi mikir aja," jawabnya enteng. Karina memang sedang memikirkan sesuatu, dan sesuatu itu sedang ada d
"Maksud kamu apa?" tanya Karina."Sekarang, semuanya mungkin udah jelas. Aku punya perasaan ke kamu. Perasaan yang lebih dari sekedar orang yang gak sengaja ketemu karena sebuah insiden. Perasaan yang mungkin bisa dikatakan cinta," Justin kemudian menoleh ke Karina, menunggu jawaban wanita itu atas pengungkapan perasaannya yang baru saja ia lakukan.Wajah Karina berubah sendu, senyumannya terlihat begitu tulus dan sangat hangat. Kemudian tangannya terangkat, menyentuh pipi Justin dengan lembutnya."Aku gak peduli nantinya gimana. Tapi yang jelas, sekarang perasaan kita itu sama," katanya.Justin ingin berteriak rasanya. Andai saja ia adalah manusia biasa, yang bisa hidup berdampingan dengan manusia lainnya, ia pasti sudah mengajak Karina untuk memiliki hubungan yang serius. Sayangnya, ia bukanlah manusia. Ia hanya makhluk dari galaksi putih yang bertugas di bumi, membunuh iblis dan monster, bukan untuk mencari cinta.Dalam diamnya, Justin banyak bergumam tentang semua keluhannya. Bagi
Karina yang merasa ditunjuk oleh makhluk itu pun terkejut dan melangkah mundur. Justin kaget bukan kepalang saat tau ternyata Karina ada di situ untuk waktu yang cukup lama, dan itu berarti Karina tahu bahwa dirinya, Alice beserta Dokter Liam bukanlah manusia biasa."Karina?!" Justin berlari menghampiri Karina, bersamaan dengan ekor rubah yang menjalar ke Karina dengan kecepatan angin. Justin kalah telak, ekor rubah itu lebih dulu mendekap Karina."Ini merupakan satu keajaiban. Aku bisa membuat kalian takluk hanya dengan menyandera wanita lemah ini!" ujarnya. Justin dan yang lain tentu saja bingung menghadapi situasi bimbang ini, jika menyerang, sudah pasti rubah ekor sembilan akan membunuh Karina hanya dengan melilitkan ekor itu dengan lebih erat.Karina merasa nafasnya tersekat lantaran tubuhnya dililit begitu kuat oleh benda berbulu yang begitu besar hingg hampir menutupi tubuh Karina secara keseluruhan."Lepaskan wanita itu!" murka Alice dengan menghentakkan tongkat mataharinya ke
"Kalian mau jelasin apa? Jelasin kalau kalian bukan manusia? Atau jelasin tentang kenapa kalian gak jujur sama aku?""Kami jelasin semuanya, semua yang perlu kamu tau," jawab Alice."Kalian ini apa?" tanya Karina kemudian."Kami, orang yang dikirim oleh dewa buat memburu iblis sekaligus monster yang datang ke bumi buat menyesatkan manusia. Dan, kami bukan makhluk jahat, kami gak akan nyakitin kamu," Justin mendekat."Jangan mendekat!" Karina masih takut dengan orang-orang ini, orang-orang yang ia sangka adalah makhluk jahat."Gimana aku bisa percaya ke kalian kalau kalian bukan makhluk jahat? Apa buktinya?""Mau ikut kita ke galaksi kita? Tempat di mana semua pemburu monster dan iblis diciptakan," Alice menggenggam jemari Karina, berusaha meyakinkan bahwa dirinya bukan orang jahat."Gak, aku gak mau ikut kalian! Kalian keluar aja dari kamar!" Karina terus menentang kepercayaannya tentang kebenaran yang sedang ia hadapi."Rin, kamu ingat waktu kita terbangun di semak-semak? Waktu itu a
Justin menghela nafasnya, ia lupa kalau Karina wanita keras kepala. Lantas ia tergerak untuk membuka pintu. Saat pintu terbuka, Karina berdiri tepat di depan Justin, bahkan jarak antara keduanya hanya sepanjang penggaris kecil. Karina sedikit mendongak untuk melihat wajah Justin."Kamu kenapa jauhin aku?" tanyanya."Aku gak jauhin kamu, aku cuma lagi pengen sendiri aja, Rin.""Bohong!""Kalau gak percaya ya terserah kamu sih," Justin memalingkan wajahnya.Karina mendengus, kemudian menjatuhkan palu yang sedari tadi ia pegang di tangan kanannya. Palu itu jatuh tepat di kaki kiri Justin. Justin langsung berteriak seraya mengangkat kakinya dan mengaduh. Karina tidak merubah ekspresinya, ia kemudian meninggalkan Justin yang kesakitan. Alice dan Liam saling menatap, memberi ekspresi senyum paksa pada Justin."Kalian kenapa diem aja?! Ini sakit, loh!" protes Justin."Itu juga salah kamu, harusnya kamu ngomong baik-baik sama dia.""Dia itu keras kepala, gak mungkin dia mau dengerin aku. Liha
"Maaf, Kak.""Kamu nampar pakai kekuatan apa sih? Kenceng banget!" Norman mengusap pipinya. Karina mengusap pipi Norman yang memerah akibat tamparannya barusan."Ya habisnya kamu nyerocos mulu!""Tapi aku beneran gak bermaksud buat mainin perasaan kamu, Kak.""Iya, aku paham. Udah gak usah ngotot lagi, itu urat kamu pada keluar semua," Norman menunjuk pelipis Karina."Ih, enak aja!""Rin, aku masih nunggu jawaban kamu.""Jawaban apa?""Aku cinta sama kamu. Kamu ngerasain hal yang sama atau enggak?""Kak, jangan bahas itu dulu ya?"Norman menyanggupi kemauan Karina, untuk tidak membahas hal itu lagi. Norman akan menunggu sampai Karina mau mengatakan dengan keinginannya sendiri bahwa Karina juga memiliki perasaan yang sama, seperti yang Norman rasakan sekarang. Norman benar-benar tidak keberatan jika harus menunggu lama hanya untuk jawaban itu."Kak, aku mau beli itu dulu, ya?" Karina menunjuk kedai ice cream."Kamu kan baru aja makan ice cream, Rin?""Aku pengen yang rasa strawberry,"
"Apa itu tadi!" Justin terengah-engah."Lucivher!" Alice melihat sosok berbaju kobaran api di ujung jalanan Myeongdong."Lucivher, kenapa dia ada di sini?" Justin dan Alice melesat menghampiri iblis tersebut. Lucivher ternyata memang berniat memanggil keduanya untuk mendekat, karena posisinya yang tidak berpindah."Lucivher, apa yang kamu lakukan di sini? Justin tidak memiliki rasa takut sama sekali dengan iblis itu. Lucivher tidak menjawab, ia hanya menoleh ke arah selatan, seperti sedang menunjukkan sesuatu."Kenapa kamu tidak menjawabku?" Justin mendekat. Semakin Justin mendekat, aura Lucivher yang jahat perlahan sirna, berganti dengan aura lain yang dominan jahat, namun juga dua puluh persennya positif."Berjalanlah sampai ke ujung jalanan ini, ke arah selatan. Kalian akan menemukan apa yang kalian cari," katanya, kemudian menghilang dalam sekejap mata."Lucivher memberi petunjuk ke kita? Buat apa?" Alice bertanya-tanya."Justin, kamu ngerasain aura yang sama kan, kayak apa yang a
Justin memusnahkan mantra Chrosnostasis penghenti waktunya. Waktu telah kembali berjalan, dan semua terlihat baik-baik saja, kecuali Justin, Alice dan juga Karina. Norman menoleh ke belakang, mendapati Karina yang seperti baru saja berbincang dengan Justin dan Alice. Raut wajah Alice sangat marah, lalu meninggalkan mereka."Loh, Alice mau ke mana?" tanya Norman yang entah ia tujukan untuk siapa."Ayo pulang," ajak Justin."Kamu gak salah ngajakin kita pulang?" Karina memastikan bahwa apa yang ia dengar tidaklah salah.Justin diam, ia lupa kalau ia sedang berusaha menjauh dari Karina."Norman, elo inget kata-kata gue tadi. Gue gak mau elo sampai jadi target mereka buat ngejalanin projek palsu!" Justin menatap Norman, tapi Norman tidak menghiraukannya, dan Justin pergi, berlari mengejar Alice.Karina sadar bahwa Justin sangat menyayangi Alice, bahkan saat Alice marah, Justin nampak merasa sangat bersalah dan berusaha memperbaikinya."Kak, emangnya tadi Kak Justin ngomongin apa?""Justin