Sesampainya di rumah, Ridwan segera menghubungi Eca. Panggilan pertama tidak diangkat, panggilan untuk ke tiga kalinya baru barulah Eca menjawabnya. [Halo, Mas,][Kamu lagi ngapain, kok lama bangat jawab telponnya?] Tanya Ridwan sedikit kesal. Eca bukannya menjawab, justru mengalihkan kamera hpnya menghadap Kelvin. Di situ Ridwan langsung di suguhkan pemandangan di mana ada luka yang hampir menutupi permukaan pipi Kelvin di sebelah kiri. [Tadi aku lagi nidurin, Kelvin, Mas. Makanya lama jawab telponnya.] Tutur Eca. Niat Ridwan ingin kangen-kangenan dengan Eca hilang sudah melihat keadaan Kelvin. [Mm ... Maaf, Mas lupa. Gimana keadaannya? Apa masih rewel?] tanya Ridwan. [Masih, Mas. Kadang aku kewalahan menenangkannya sampai dia tertidur.] Ujar Eca menjelaskan. Ridwan menarik nafasnya berat. Lalu membuang nafas itu dengan sangat kasar. Bayangan bagaimana kelvin mengalami itu kian terasa bagi Ridwan. Pasti anak itu menderita sekali. Tapi, sayang kelvin tidak bisa menjelaskan apa
Eca akan berencana menjebak Rista dan juga Vina, agar dapat bukti. Setelah itu Eca akan keluar dari rumah ini. Eca benar-benar tidak terima Rista selalu memangkas uang gaji Ridwan. Karena sekarang Vina juga sudah bekerja, pun Anton, anak ke dua Rista. Jadi sudah tidak seharusnya Rista merecoki Ridwan. Apa lagi sekarang kelvin butuh banyak biaya. "Selamat pagi, Pak Ridwan." Sapa Mawar saat pagi itu sampai di kantor. "Ya, pagi juga." Sahut Ridwan seadanya. Ridwan mencoba menjaga sikap di hadapan semua para stafnya. Sebagai seorang kepala staf, Ridwan tidak ingin nanti akan di cap dan di kira yang tidak-tidak. "Pak, ini sarapan untuk, Bapak." Mawar mengulurkan kotak bekal yang dia masak spesial sebelum berangkat ke kantor. Ridwan menatap kota bekal itu, lalu memindahkan pandangannya pada Mawar. "Ini, apa ya maksudnya?" Tanya Ridwan bingung. "Nggak apa-apa, Pak. Tadi saya mau antarkan ke rumah bapak sebenarnya, tapi pas lihat, Bapak sudah siap-siap naik mobil. Makanya tadi saya
Hari yang di nanti-nanti telah tiba. Di mana hari ini adalah hari peresmian butik Hanum collection. Stelah melakukan persiapan yang sangat matang Selama kurang lebih tiga tahun lamanya. Butik kembali di buka dan di khususkan untuk Hanum.Di depan butik sudah berjejer papan bunga dari berbagai macam vendor, perusahaan, pengusaha, dan perorangan yang turut mengucapkan selamat atas grand openingnya butik baru Hanum Collection. Undangan itu terbuka umum. Siapapun bisa datang. Dan hari ini juga rara memberi diskon 30% untuk belanja tanpa minimum. Khusus hari ini semuanya bebas. Banyak juga para agen-agen dari daerah terdekat datang hanya untuk ikut serta menyaksikan peresmian butik tersebut.Rara dan Hanum masih belum sampai di butik. Mereka masih di perjalan. sementara para tamu atau pun pengunjung sudah sangat ramai di depan butik memenuhi pekarangan depan butik dengan padat menunggu kedatangan Hanum dan Rara.Ada banyak orang datang dari berbagai macam daerah luar kota terdekat. Sela
Jalan raya di hari weekend cukup ramai dan padat. Sehingga mereka terjebak macet di beberapa tempat. saat melintasi dari kejauhan sudah tampak keramaian di pinggiran jalan. Papa mama toko atau butik itu sudah terlihat oleh Vina... "Wah, ini dia, hmm ternyata dia bikin tempat yang sangat strategis ya. Mana rame bangat lagi itu pengunjungnya." Batin Vina berkata."Sayang, mampir di situ dulu ya. Itu butik lagi grand opening. Ada diskon 30%. Aku pengen beli. Soalnya produk itu bagus-bagus." Pinta Vina."Mana?" tanya Deon memastikan."Itu, di depan yang rame banyak mobil sana orang-orang." Tunjuk Vina pada Deon.Deon mencoba mengikuti telunjuk Vina dan langsung melihat butik yang di maksud oleh Vina."Hmm, nggak jadi ke Mall?" tanya Deon."Iya jadi, tapi aku mau mampir dulu bentar ya. Nanti kamu di mobil aja. Sebentar aja, kok. Nggak lama. Mau ya?" tanya Vina.Deon mengangguk dan memarkirkan mobil itu di pinggir jalan depan butik. Vina turun dari mobil dan memakai masker setelah sampai di
"Lho, ini kok bajunya sobek?""Lah iya, ini juga sobek?""Eh iya ini juga," Sahut pembeli lainya. Karyawan lalu mendekati ke ribuan itu. "Maaf, Mbak, ada, apa ya?" "Ini bajunya, kenapa pada sobek! Ih yang bener donk! Masa jual baju-baju sobek!" ujar pembeli itu sewot dan ngegas. "Mana, Mbak. Coba saya lihat." ujar pengunjung yang lain melihat keributan itu. "Ini nih! Coba lihat, saya, dan mbak-mbak ini juga ketemu pakaian sobek. Coba deh lihat-lihat lagi yang kalian beli takutnya sobek-sobek juga. Pantes aja di kasih diskon 30% . Ternyata pakaian rusak!" Sungut pembeli itu. "Maaf, Mbak. Tolong jaga sikapnya. Kami, tidak mungkin menjual barang rijek atau rusak. Sebelum di pajang di sini semua kita cek dengan sangat teliti. Sepertinya ini ada yang sengaja untuk membuat buruk nama Bunda Rara dan juga Hanum collection." Tutur karyawan butik menjelaskan dengan ramah dan sopan. "Eh, iya ini juga lho, sobek-sobek." Lagi, seseorang pembeli memberi tahu, karena dia mengecek satu. Vina
Mereka mengecek satu persatu. Suara mereka bersahutan, mengatakan ada yang tidak menemukan kerusakan. Ada juga mereka yang masih memilih tapi masih menemukan. Sementara karyawan butik yang lain dengan cekatan memeriksa pakaian itu satu persatu dan memilih pakaian yang rusak untuk diasingkan dari pajangan."Alah, Mbak! Mbak nggak usah bawa-bawa orang deh Mbak. Sengaja kan mbak mau menipu pembeli. Kalo nggak, Mbak nggak mungkin yang sobek itu banyak banget." Sungut pembeli yang tadi menemukan pakaian rusak pertama kalinya. "Mbak, tolong ya, Mbak. Tolong jangan bicara seperti itu. Saya sama sekali tidak pernah menjual pakaian rusak. Namanya saya sudah dikenal orang-orang. Dan saya sangat menjaga nama baik usaha saya." Tutur Rara masih dengan sopan. Meskipun Rara sebenarnya ingin sekali marah. Tetapi mengingat sama penjual kita harus ramah kepada pembeli. "Iya, Mbak. Ini bisa jadi ada yang sengaja. Saya langganan Hanum collection udah kurang lebih tiga tahun belakangan ini kok. Gak per
Eca hanya menahan sakit hatinya hingga berlalu ke kamar. Tak berselang lama, Rista menghubungi Ridwan dan lansung di angkat.[Halo, Le, kamu lagi di mana?] tanya Rista lembut.[Lagi di rumah, Ma. Kenapa, Ma?] Ridwan menanyakan Rista. Langkah Eca terhenti di pintu ruang tamu mendengar Rista menelpon Ridwan.Segera Eca manaruh Kepvin di kamar dan lalu keluar kembali. "Tunggu sini sebentar ya, Nak. Mama telpon, Papa dulu." Ucap Eca 9ada kelvin. Anak itu hanya diam saat Eca menaruhnya di atas tempat tidur.[Oh, kamu lagi di rumah, Nak. Gini, Mama mau minta tolong sama kamu, Ha....]Ucapan Rista terpotong karena hp itu di rebut oleh Eca.[Eca! Apa-apaan kamu!] Sungut Rista. [Halo mas! Kenapa telpon aku nggak diangkat! Pesan ku juga nggak di balas? Kamu tau, anakmu demam panas tinggi tapi kamu mengabaikan panggilanku, Mas! Tolong kirim duit, Mas. Aku mau bawa kelvin ke rumah sakit.] Ucap Eca menggebu-gebu tampa basa-basi.Ridwan mengusap wajahnya kasar lalu menarik napasnya dalam.[Kena
"Udah, biar Mama aja yang telpon Hanum." Kata Rista lalu mencari nomor Hanum untuk di telpon."Tapi, Ma. Gimana kalo Hanum nggak mau memaafkan aku, Ma." Vina khawatir. Vina benar-benar tidak menyangka jika aksinya bakal Ketahun oleh keponakannya. Vina benar-benar kepikiran jika Hanum nekat. "Makanya kamu itu kalo mau membalas perbuatan Rara lihat-lihat duluan. Bukanya sadar ada CCTV kok malah kebablasan." Sungut Rista. Vina hanya tertunduk risau mendengar Rista memarahinya. Vina juga menyesal kenapa tadi tidak menyadari CCTV. "Ah, sial!" Vina mengumpat kebodohan dirinya sendiri dalam hatinya. Nasi sudah menjadi bubur. Aksinya sudah diketahui dan sekarang Hanum tengah mengancamnya untuk menuntut. Sadar dengan kerisauan anak gadisnya, Rista pun meyakinkan Vina agar tidak berpikir yang aneh-aneh. "Udah, nggak usah khawatir kamu, biar Mama yang yang bilang sama Hanum." Tutur Rista lembut. Rista sadar jika Vina sekarang tengah galau atas ancaman cucunya. ****Keadaan butik masih r
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,