"Ayo, Sayang. Katanya mau lihat adiknya, kok malah bengong di sana?" Tanya Ridwan. Hanum membawa langkahnya masuk ke dalam. Tampak di tiap dinding terpajang foto keluarga kecil Ridwan bersama Eca. Hanum menelisik tiap sudut dinding kamar dengan seksama. Masih di ingat oleh Hanum , terakhir menginap di rumah Omanya masih ada foto Hanum, Rara, dan juga papanya dalam satu bingkai yang terpajang di dinding kamar ini. Sekarang semua sudah tergantikan dengan foto Ridwan dan Eca. Bahkan foto Hanum pun sudah gak terlihat. Apakah di buang atau justru disembunyikan? "Apa itu artinya Aku sudah tidak penting lagi untuk, Papa?" gumam Hanum. Ada rasa sakit yang tak bisa Hanum ungkapkan melihat kenyataan ini. Wanita ini adalah orang kepercayaan Bunda nya. Tapi, sekarang justru menjadi orang tua sambung yang tidak pernah Hanum harapkan. Menjadi orang tua sambungnya dari hasil menjadi pelakor. Sehingga membuat rumah tangga orang tuanya menjadi porak poranda. Keluarganya tak lagi utuh. Karena Papan
Eca membawa langkahnya masuk ke dalam dan mendekati Hanum yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Eca duduk di sisi ranjang itu, lalu bertanya langsung pada intinya. "Kamu marah, Kak? Apa kamu membenciku?" tanya Eca. Deg! Jantung Hanum berpacu lebih cepat. Hanum tidak ingin membahas masalah ini. Tapi kenapa justru Eca datang menanyakan itu. Bukan kah dia tau seharusnya seperti apa hati Hanum saat ini. "Apa kamu juga tidak ingin bicara denganku, Kak?" tanya Eca lagi dengan lembut. Hanum membetulkan posisinya untuk duduk mensejajarkan Eca.Hanum menatap Eca pekat dan dalam. Lalu berkata. "Seharusnya Mbak tau apa yang aku rasakan. Mengapa, Mbak masih menanyakan itu? Apa mbak pikir aku datang ke sini untuk berdamai? Aku ke sini hanya demi, Papa. Jika bukan Papa, aku nggak akan siap untuk ke sini. Ini masih membekas di hatiku asal mbak tau aja. Nggak gampang buat aku bisa menerima ini." Ujar Hanum jujur. Hanum mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini. Rasa sakit yang kian mendera
Hanum menata wajah Eca, dan menjawab apa yang tadi Eca utarakan. "Sampai kapan pun aku hanya punya dua orang tua. Papa dan Bundaku. Tidak ada yang lain. Seperti apapun Mbak berusaha berbohong dengan keadaan ini agar aku merima keadaan ini. Mbak salah. Aku nggak bisa menerima ini. Nggak akan pernah! Dan satu lagi. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi bunda di hatiku. Tidak akan pernah ada!" Ucap Hanum datar dan dingin. Eca mengatupkan gigi gerahangnya mendengar jawaban hanum. Eca berharap sekali bahwa Hanum akan menanyakan banyak hal tentang hubungan dia dan Ridwan setelah mengatakan semua kebohongan ini. Ternyata hanum belum terpengaruhi oleh Eca. "Ternyata kamu sama seperti Bundamu, Ya. Keras kepala dan susah untuk diperdaya." Gumam Eca. Eca mencoba lagi mempengaruhi Hanum dengan cara yang lain. Eca berharap sekali bisa memperdaya Hanum agar hubungan Hanum dan Rara hancur. "Baik, Kak. Aku tau ini tidak mudah. Mungkin jika aku di posisi, Kakak, juga pasti akan melakukan hal
Rara merasa gelisah di dalam kamar. Berulang kali Rara mengecek hpnya untuk melihat adalah notifikasi dari Hanum. Tapi ternyata tidak sama sekali. Rara bingung antara ingin menghubungi Hanum, atau mengunggu Hanum mengabarkan sendiri nantinya.Waktu sudah menunjukkan pukul 20.30. Rara masih belum bisa tenang. Jika Rara yang menghubungi Hanum terlebih dahulu, Rara takut jika menggangu waktu Hanum bersama papanya. [Sayang, kamu lagi apa sekarang? Kok nggak ngabarin, Bunda?] Pesan itu terkirim.1 menit, 2 menit, hingga 10 menit. Pesan itu masih belum terbaca. Rara menaruh kembali HP itu di atas nakas, lalu bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka."Mungkin sekarang dia tengah asik bersama, Papanya. Biarlah." Rara pasrah.Dibalik Rara yang hanya pasrah, ada rasa khawatir yang tak bisa Rara jabarkan. "Mungin ini hanya firasat. Semua akan pasti baik-baik saja." Lagi Rara bergumam.Setelah selesai dari kamar mandi, Rara kali mengecek hpnya, masih sama, tanpa notifikasi dari gadis remajany
Setelah menjelaskan panjang lebar pada wali kelasnya Hanum, telpon itu diakhiri. Rara segera menghubungi Hanum. Namun lagi dan lagi tak juga di angkat. Rara kesal. Benar-benar kesal. Rara tidak tau apa yang di lakukan Hanum sampai harus bolos sekolah.Rara mencoba menghubungi Ridwan. Meskipun hatinya menolak, tapi demi Hanum mengubur rasa gengsinya. Panggilan pertama dan ke dua tak kunjung di angkat. Panggilan ke tiga akhirnya panggilan itu di jawab.[Halo! Mas! Mana hanum?] tanya Rara tanpa basa basi.[Halo, apa kabar Mbak, Rara?] tanya Eca dengan senyuman seringai jahat.[Mana Hanum? aku mau bicara sama Hanum!] sahut Rara ketus.Rara tidak ingin banyak basa basi bersama wanita itu.[Menelpon Hanum, kenapa harus melalui HP mas Ridwan? Apa ini hanya modus, Mu, Mbak? Kan Hanum punya HP sendiri. Kanapa tidak menelpon ke HP Hanum aja?" Eca mencoba memperkeruh Susana hati Rara.[Tidak usah Gr kamu. Aku menelpon ke sini karena Hanum tidak mengangkat telponku. Sekarang tolong kasihkan HP
"Aku datang untuk menjemput anakku! Bukan untuk hal lain! Aku sudah tidak ada urusan dengan anak laki-lakimu. Bagiku tidak ada kata menyesal sudah membuang sampah pada tempatnya. Karena sekali sampah akan tetap jadi sampah!" jawab Rara tegas. Wajah Rista memerah menahan emosi, sebab Rara mengatakan anaknya sampah. Ridwan berdiri dengan rahang yang mengeras menatap Rara tajam. Dia, melangkah mendekati Rara lalu berkata. "Berhenti kamu terus merendahkan aku! Aku ini juga orang tua Hanum, apa kamu tidak memikirkan perasaan Hanum berbicara seperti itu di hadapannya? Kamu mengatakan Papanya sampah di hadapan anak kita?! Di mana hatimu yang dulu selalu mementingkan Hanum! Egois kamu!" sentak Ridwan. Rara menatap Hanum sekilas. Wajah Hanum sangat terlihat kesal, kecewa dan marah pada Rara. Sungguh, Rara kelepasan berkata seperti itu di hadapan Hanum. semua ulah Rista yang memancing emosi Rara. Selama ini Rara tidak pernah menunjukan atau mempertontonkan pertengkaran dengan siapa pun
"Jika kamu membenarkan apa yang dikatakan, Mama mu. Lantas di mana salahnya aku? Dimana?" Rara kembali melanjutkan perkataannya. "Mas! Ayok berangkat. Ini udah jam berapa? Nanti ketinggalan pesawat lho." Seru anton dari balik pintu ruang belakang. "Iya, bentar." Sahut Ridwan. "Ingat, Ra. Aku juga orang tua Hanum. Jadi kamu jangan egois jika Hanum bersamaku.""Aku tidak pernah melarangnya bersamamu. Tapi jika caramu seperti ini bisa jadi ini yang terakhir kalinya kamu bertemu Hanum!" Ancam Rara. "Apa maksud kamu!""kenapa Hanum bolos sekolah hari ini? Kenapa? Harusnya kamu sebagai orangtuanya mengingatkan dia untuk mengutamakan pendidikannya. Baru satu hari kamu dan perempuan itu sudah memberi pengaruh buruk untuk Hanum. Cukup ini yang terakhir kalinya." Ancam Rara lagi. Rara lalu melangkahkan kakinya keluar menjemput Hanum tanpa menunggu jawaban dari Ridwan. Beberapa langkah, Rara berhenti dan menoleh kembali pada Ridwan. "Ingat! Hutang keluargamu banyak! Jika kamu lalai rumah i
Sebelum keluar rumah, Hanum pamit pada semua orang yang ada di rumah itu. Lagi dan lagi mata Rara membulat sempurna melihat Hanum bersalaman dengan Eca, dan berpelukan seolah mereka sudah sangat akrab.Hati Rara memanas melihat itu. Sangat-sangat sakit untuk Rara. Namun, dibalik pelukan itu senyum licik tergambar sangat jelas di wajah Eca saat menatap Rara ketika tengah memeluk Hanum."bagaimana rasanya hatimu saat ini wanita tanpa rahim? Sakit? Cemburu? Atau justru merasa sangat hancur! Itu memang tujuanku!" guman Eca dalam hatinya penuh kemenangan.Rara mencoba untuk tidak terpancing dengan pemandangan itu. Mencoba tetap tenang, biarlah saat ini dia berhasil memperdaya Hanum. Namun ini akan menjadi yang terakhir kalinya hati Rara berucap. Hanum menguraikan pelukannya dari Eca, Eca menatap Hanum dengan senyuman manisnya di hadapan Ridwan dan lainnya. Melihat itu, tentu Ridwan sangat senang, Ridwan memang berharap Hanum bisa menerima Eca, ternyata hanya butuh waktu satu hari sem
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,