Namun Keenan tak memberi kesempatan untuk menyelesaikan kalimatku, "Kavin mau ketemu sama kamu, Sheena. Emangnya kamu nggak kangen dia?" potongnya cepat. Nama Kavin tiba-tiba menjadi alasan yang membuatku terpaku, meski aku tahu ini hanya caranya untuk mengalihkan perhatian.Aku merasa tak punya pilihan lain, akhirnya aku mengangguk, sedikit gugup, tak berani menatap ke arah Arshaka yang sepertinya tak senang dengan situasi ini.Keenan tersenyum, senyumnya hangat dan menenangkan, lalu mengisyaratkan agar kami melanjutkan perjalanan. Aku mengikuti, mengangguk pelan, masih merasa bingung dengan perasaanku sendiri. Tanpa menoleh lagi ke arah Arshaka dan Clara, aku dan Keenan melanjutkan perjalanan menuju lab komputer, meninggalkan ketidakpastian dan kebingungan yang menggantung di udara.---Di depan lab komputer, langkah kami melambat. Suara langkah kaki kami bergema samar di sepanjang lorong yang sunyi, hingga tiba-tiba seorang siswa menghampiri kami. Andi, dengan wajah sedikit terburu
Pikiran panik mulai merasuki benakku. Jendela di lab ini berlapis ganda, tebal dan kuat. Jika aku berteriak, tidak ada satu pun suara yang akan terdengar ke luar. Ruangan ini sepi, hanya ada dengungan lembut dari komputer-komputer yang sudah lama dimatikan. Tak ada jalan keluar, tak ada cara untuk meminta pertolongan, ponsel ku juga ketinggalan di kelas. Lututku terasa lemas. Aku berusaha duduk di lantai dingin, mencoba menenangkan diriku. Namun, rasa dingin semakin merayap, tidak hanya di kulitku, tapi juga di tulang-tulangku. Seakan udara di ruangan ini menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Aku menggigil, gigiku mulai bergemeretak. Keringat dingin membasahi dahiku, tetapi tubuhku tetap bergetar hebat. Sudah hampir setengah jam berlalu semenjak aku masuk ke ruangan ini, dan tubuhku mulai kehilangan kekuatannya.Lalu, tiba-tiba suara gedoran keras terdengar dari balik pintu. Jantungku berdegup lebih kencang, antara cemas dan penuh harapan. 'Apa itu Keenan?' Harapan berkilau sejenak d
"Dalam setiap detik malam, ada satu bintang yang selalu dinanti bulan. Begitu juga dalam hidup, ada satu cinta yang takkan pernah pudar."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Di ruangan UKS yang sunyi dan hanya diterangi cahaya redup dari jendela kecil di sudut ruangan, aku duduk di atas ranjang sambil merasakan dinginnya lantai yang menusuk hingga ke tulang. Pikiranku masih belum mampu menerima kenyataan bahwa Arshaka-bukan Keenan-yang telah membawaku ke sini. Sosok yang pagi tadi memarahiku karena map yang basah, kini adalah orang yang diam-diam menyelamatkanku. Rasanya seperti mimpi yang berbalik arah, membuatku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di antara kami.Aku menelan ludah, berusaha meredam gejolak dalam dadaku. Pandanganku beralih dari satu wajah ke wajah lainnya: Aline, Kafka, Nevan, Abhi, dan Keenan. Semua menatapku, namun pikiranku terperangkap pada satu sosok-Arshaka. Dari awal kami bertemu hingga sekarang, sikapnya yang dingin, dan ketus terus berputar di kepalaku. Aku menarik napas
Tapi melihat Aline yang hanya mengangguk setelah mengatakan hal itu, aku hanya bisa menghela napas. Baiklah, tampaknya aku memang harus pulang hari ini."Ya udah deh, aku mau pulang aja," ucapku pada Keenan, membuatnya terlihat sedikit terkejut dengan perubahan sikapku yang mendadak. Matanya menatapku sejenak, penuh selidik, namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. Ia lalu berdiri dan dengan cepat menyerahkan kunci motornya pada Kafka, sementara Kafka memberikannya kunci mobil sebagai gantinya.Aline memutuskan tetap di sekolah. Aku menyuruhnya untuk tidak ikut pulang, karena waktu yang tersisa hingga jam pelajaran selesai hanya tinggal beberapa jam. Tasku? Tadi Kafka masih sempat berlari menuju kelas untuk mengambilnya. Aku menatap mereka satu per satu. Mereka-teman-temanku-adalah orang-orang yang begitu peduli padaku, dan dalam hati aku merasa bersyukur memiliki mereka. Meski semuanya terasa kacau, kehadiran mereka membuatku merasa tidak sendirian.----Ketika mobil yang dikendarai
"Perasaanku ke kamu akan tetap sama seperti pertama kali aku kenal kamu." kata Keenan, dan aku merasakan jantungku berdegup kencang."Jangan pernah berubah ya, Sheena. Seperti bulan yang akan tetap memilih satu bintang di antara bintang-bintang lainnya." tambahnya, membuatku merasa terharu."Keenan, bulan itu nggak akan pernah beralih ke bintang yang lain dengan mudah." balasku, mencoba menyampaikan rasa yang mendalam. Kalimatku terhenti, mencoba menyusun kata-kata dengan baik sebelum melanjutkan. "Dia akan tetap sama, meskipun langit selalu punya cara untuk merubah pemandangan malam. Posisi bulan akan tetap berada di samping bintang yang ia pilih, karena perubahan itu hanya milik mereka yang berada di sekitarnya." "Selagi perasaan yang kita miliki memang seperti bulan dan bintang, maka nggak ada yang perlu dikhawatirkan, gak akan ada yang bisa memisahkan selain yang punya kuasa terhadap keduanya." tambahku, berharap kata-kataku bisa menguatkan.Keenan menunduk, seolah kata-kataku me
Aku terbangun dengan perasaan yang sedikit berat, mungkin efek dari obat yang baru saja kutelan. Rasa kantuk yang mendalam membawaku tidur lelap tanpa sadar, membuatku melewatkan waktu. Begitu mataku terbuka, pandanganku terarah ke jam dinding yang sudah menunjukkan hampir pukul empat sore. Panik, aku segera bangkit dan melangkah dengan cepat menuju kamar mandi. Air wudhu yang segar menyapu wajahku, mengusir sisa kantuk yang masih tertinggal. Sholat Ashar harus segera kutunaikan, mengingat aku tertidur sejak jam dua tadi.Setelah sholat, aku turun ke ruang tengah. Langkahku terhenti sejenak di tangga ketika melihat Aline baru saja tiba dari sekolah. Wajahnya tampak masam, matanya memancarkan amarah yang belum tersalurkan. Aku mengamati gerakannya yang keras saat ia melemparkan tasnya ke sofa dengan sembarang, bunyinya cukup keras, seolah mencerminkan kekesalan yang tertahan.Aku mendekatinya perlahan, "Kamu kenapa, Lin?" tanyaku hati-hati.Aline menoleh, terkejut mendengar suaraku. "E
"Kita tertawa bersama, tapi sebenarnya, hati kita mulai berbicara dengan bahasa yang berbeda."⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆☾⋆.⋆Setelah menyelesaikan tugas fisika, aku menutup buku dan alat tulis, merapikannya ke dalam tas dengan hati-hati. Sekali-dua kali, pandanganku beralih ke arah kasur, di mana Aline tertidur pulas, wajahnya tenang seperti bayi. Entah kenapa malam ini dia tidur lebih cepat. Mungkin kegembiraan sore tadi di sekolah bersama Rey telah menguras energinya, atau mungkin ada hal lain yang membuatnya begitu lelah. Selepas sholat Isya', dia sempat berpamitan untuk tidur lebih dulu, meninggalkan aku sendiri dengan pikiranku. Aku menghela napas pelan, bersyukur memiliki teman seperti Aline—baik, perhatian, dan selalu ada di saat aku membutuhkannya.Ketika aku selesai membereskan meja, pandanganku jatuh pada laptop yang sudah lama terabaikan di atas meja. 'Sudah lama aku nggak nulis.' Aku tersenyum kecil dan perlahan membukanya. Sekilas, aku melirik jendela kamar yang tirainya masih tertutu
Aku menelan ludah, kemudian berkata, "Iya, itu aku lagi nulis kisah kita." Suaraku bergetar saat mengatakannya, jantungku berdegup semakin cepat. Hening kembali menyelimuti kami setelah pengakuanku.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Keenan akhirnya bicara lagi. "Aku suka tulisan kamu, lanjutin. Kalau bisa, jangan sampai tamat."Aku tersenyum pahit, meskipun dia tak bisa melihatnya. "Cerita itu nggak bakal tamat, Keenan. Karena itu kisah nyata," ucapku dengan lembut, menahan perasaan yang bercampur aduk."Sheena..." panggilnya pelan, suaranya membuat jantungku berdegup lebih kencang."Sheena... udah tidur, ya?" tanyanya lagi setelah beberapa detik hening."Belum," jawabku pelan, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri."Sheena, makasih banyak ya, udah mau jadiin Keenan Aksara sebagai tokoh utama di tulisan kamu," ucapnya lembut, suaranya tulus dan hangat.Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa."Semoga kisah yang kamu tulis akan terus berlanjut, seperti hu
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"