Kepulangan Akmal ke Jakarta disambut orang tuanya. Dua hari yang lalu setelah dihubungi Dila, mereka akhirnya kembali ke Jakarta. Akmal tidak peduli dengan kehadiran mereka, matanya masih sembab karena menangis seharian.
Dasar cengeng.
Kalian tahu, alasan Renata tidak menyetujui hubungan Akmal dan Helsa adalah orangtua Akmal yang sudah berpisah sejak dia kecil. Kata Renata, Akmal berasal dari keluarga yang tidak jelas asal-usulnya. Sakit, bukan?
"Akmal," panggil Dewi, Mamanya.
"Ngapain Mama pulang? Masih peduli sama Akmal? Papa juga, ngapain? Kalian kembali atau tidak, nggak akan mengubah keadaan." Akmal beranjak dari sofa ruang tengah, dan kembali ke kamarnya.
Dari bandara, pemuda itu minta untuk kembali ke rumah saja. Tadinya, Dila ingin ke rumah yang ditempatinya.
"Akmal," tegur Andriano, Papanya.
"Kak, Akmal butuh waktu," sanggah Dila yang sangat mengerti perasaan keponakannya saat ini. Akmal benar-benar kehilangan gadisnya.
Akmal menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Pulang lo semua! Gue nggak butuh dikasihani."
***
Pemuda itu masuk ke kamar, meletakkan ranselnya dan juga koper milik Helsa yang tidak sempat gadis itu bawah. Matanya kembali berkaca-kaca ketika melihat fotonya bersama Helsa, disana mereka tampak bahagia.
Akmal juga mengingat kembali ucapan tante Dila 'ikhlasin Helsa.'
Sampai disini, kah, semuanya? Haruskah dia melepaskan gadis yang sudah menemaninya hampir tiga tahun ini?
Akmal beralih pada sebuah miniatur rumah yang diberikan Helsa untuk hadiah ulang tahunnya satu tahun lalu.
'Welcome back, sayang'
Itu suara dari miniatur tersebut. Miniatur yang sudah di desain dengan suara asli sang kekasih. Miniatur itu diberikan Helsa agar Akmal tahu bahwa dia selalu punya rumah untuk pulang. Ia tertawa miris, air matanya jatuh begitu saja tanpa persetujuannya.
"Tapi, kalau aku juga orang yang salah?"
"Aku minta sama Tuhan, biar benerin kamu."
Pemuda itu mengingat kembali setiap ucapan Helsa yang ingin selalu bersamanya. Semuanya berubah begitu cepat.
Akmal membuka koper milik Helsa, meraih baju milik kekasihnya. Ia peluk erat baju itu, mencium layaknya itu adalah tubuh gadisnya.
"Gue harus gimana, Helsa Septian?"
Tangisnya pecah. Akmal marah dan kecewa pada semua orang. Tidak ada yang bisa diandalkannya, tidak ada yang bisa membuat gadisnya kembali dalam pelukannya.
***
Gadis itu duduk di salah satu ruangan bercat putih polos, ditemani wanita yang duduk disampingnya saat ini. Helsa, gadis itu sedang menunggu giliran untuk periksa kandungannya. Perasaannya begitu kalut, ketika namanya sudah dipanggil.
"Nona Helsa Septian," seru wanita yang bertugas sebagai asisten dokter.
"Ayo, sayang. Giliran kamu," Renata menyentuh tangan putrinya. Wanita itu bisa merasakan tangan anak gadisnya yang bergetar. Renata menyunggingkan bibir, melihat Helsa seperti ketakutan.
Helsa bangkit, dan mengekori Renata menuju ruangan dokter kandungan.
"Selamat sore, dok," ucap Renata ketika sudah memasuki ruangan tersebut.
"Selamat sore," balas dokter perempuan itu, "Helsa gimana, siap untuk saya periksa?"
Gadis itu memandang Renata, melihat Mamanya yang sedang tersenyum padanya.
"Baik. Silahkan cantik, langsung baring di brankar," ucap dokter yang bername tag Dr. Valen. "Emang ada keluhan apa anaknya, bu?"
"Cuma mau memastikan kandungannya baik-baik saja, karena sebentar lagi dia akan menikah." Renata mengalibi, tidak mungkin mengatakan bahwa Helsa sedang hamil atau takut anaknya hamil.
Helsa diam menatap mamanya dari brankar, benar-benar wanita ini.
Alat pendeteksi kandungan sudah mulai menjamah bagian luar dari rahim. Dokter sedang mengamati rahim gadis itu dari layar monitor. Beberapa saat kemudian, dokter menaruh kembali alat tersebut dan membangunkan Helsa dari brankar.
"Rahimnya bersih. Tidak ada gejala apapun disana," jelas dokter Valen.
Renata tersenyum senang. Wanita itu menang lagi. "Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan ya, dok?"
"Iya, bu."
"Baik. Terima kasih, dok. Mungkin hanya itu saja, kami permisi." Renata berjabat tangan dengan dokter itu, lalu keluar dari ruangan.
"Bohong sama orang tua hukumnya besar loh," sindir Renata. "Gimana ya, kalau Papa tahu? Dia pasti tidak menyukai si brandal itu."
"Ma, Helsa nggak akan berangkat ke Kanada. Helsa mau tetap di Jakarta," ujarnya.
"Supaya kamu tetap bersama berandalan itu? Jangan mimpi, sayang!"
"Walaupun kamu di Jakarta, Mama akan kenalkan kamu dengan seseorang yang lebih baik dari Akmal. Yang bisa menjaga kamu, bisa bahagiakan kamu tentu saja," ucap Renata.
***
Mbak Ana turut bersedih dengan kepindahan Helsa. Wanita itu sedang bantu mengemas barang-barang yang akan dibawah Helsa besok. Mungkin hanya beberapa, karena sebagiannya akan dipaketkan saja.
Gadis itu duduk di pintu balkon kamarnya, menatap keluar. Malam ini, malam terakhir nya disini. Semua urusan kepindahan dari SMA Harapan sudah diurus oleh asisten Mamanya.
Hari ini Yuda dan Renata sudah mengurus semua keperluannya di Kanada. Helsa pun turut meminta dibelikan apartemen, ia tidak mau tinggal bersama sepupunya. Gadis itu sudah pasrah dengan kepergiannya.
"Sa, mau mbak buatin teh?" tanya mbak Ana, wanita berusia kepala tiga itu mengambil duduk disamping Helsa.
"Mbak, Helsa boleh nanya nggak?" lirih gadis itu menyeka air matanya.
"Boleh banget," jawab mbak Ana.
"Mbak Ana sering nangis pas jauh dari rumah?" tanya Helsa. "Apa aku bisa jauh dari Akmal?"
Mbak Ana bergeming, tahu betul perasaan gadis itu, apalagi ketika menanyakan hal seperti ini. Apa Helsa bisa jauh dari Akmal?
Mbak Ana tahu bagaimana Akmal dan Helsa yang hampir setiap hari bersama.
"Selama perasaan kamu dan Akmal sama, tidak ada yang namanya jauh. Nyatanya kalian masih berdiri dibawah langit yang sama. Jakarta dan Kanada hanya masalah geografis."
Benar kata mbak Ana, tidak ada jarak untuk mereka yang saling mencintai. Sejauh apapun Helsa melangkah, Akmal akan selalu bersamanya.
"Sejauh apapun kamu pergi, kalau garis takdirnya sama Akmal, kalian akan dipertemukan kembali," tambah mbak Ana.
Helsa berhambur ke pelukan wanita itu, menangis sejadi-jadinya disana. Tidak pernah terbayangkan tentang hal ini, ia harus jauh dari Akmal. Ini tidak pernah ada dalam daftar list kehidupannya.
"Mbak, Helsa sayang sama Akmal," jerit Helsa.
Mbak Ana menepuk-nepuk punggung kecil yang bergetar itu, menenangkan gadis yang selalu rapuh.
"Nggak apa-apa berpisah dulu. Suatu saat nanti bertemu lagi," kata mbak Ana.
Pukul delapan malam, Ando, Ranaya, dan Arjun duduk di sebuah cafe yang tidak jauh dari sekolah. Tadinya hanya ada Ando dan Arjun, tapi Ranaya datang menemui mereka. Gadis itu membawa kabar bahwa besok Helsa akan berangkat ke Kanada. Bella , Diandra, Citra, dan Keke, saat ini datang ke rumah Helsa. Gadis itu mau menemui mereka semua, perpisahan katanya. Ranaya memang sempat ke sana, namun memutuskan pergi menemui dua laki-laki itu. Sejak setengah jam yang lalu, mereka mencoba menghubungi Akmal. Sayangnya, tidak dijawab sama sekali oleh pemuda itu. Bahkan chat pun hanya dibaca. Entahlah, sedang apa dan dimana dia. "Ini si Akmal kenapa nggak jawab telepon kita? Dia mau lepasin Helsa gitu aja?" Manik mata Ranaya bergantian menatap dua pemuda di hadapannya sekarang. "Usaha apa kek kalian," raung Ranaya, frustasi melihat kedua pemuda itu biasa saja. "Apa mungkin Akmal bawah kabur Helsa kedua kalinya?" terkah
Langit siang terlihat begitu cerah hari ini. Namun, tak secerah hati pemuda yang duduk di kursi pantry dapur rumahnya. Akmal memandang keluar jendela dapur. Rumah ini tampak tidak berpenghuni, tubuh Akmal memang disini, namun hati dan pikirannya berada jauh.Tidak pernah terduga bahwa hari ini akan datang. Hari ini, Helsa berangkat ke Kanada. Tanpa ada kabar dari siapapun, bahkan dari sahabat-sahabatnya."Akmal," seorang gadis memeluk tubuh polosnya dari belakang. Matanya melotot ketika mengetahui gadis ini."Tau dari mana lo rumah gue?""Tau dong, kan rumah calon pacar," celetuk Rania.
Dua hari tidak sadarkan diri di rumah sakit, akhirnya Helsa siuman. Manusia pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah Mamanya dan seorang pria tampan berjas putih. Dokter Adryan memeriksa kondisinya pasca siuman. Helsa melengos saat Mamanya mengajak bicara. Ia sangat membenci Renata. Wanita tua itu pasti sedang bahagia karena berani membawanya pulang. "Kenapa juga harus sadar? Kenapa aku nggak sekalian mati aja, sih," komentar Helsa. "Jangan bicara seperti itu," sambar Adryan. "Sa, kenalin dokter Adryan. Dia yang akan merawat kamu disini," ujar Renata memperkenalkan dokter Adryan.
Setelah hampir satu minggu absen, hari ini Akmal kembali ke sekolah. Sebelumnya, dia dipanggil kepala sekolah dan guru BK untuk kasusnya beberapa hari yang lalu. Semua sudah dijelaskan dengan sejujurnya, tidak ada yang Akmal tutupi. Sekolah tidak memberi skors atau SP. Dia hanya diberikan teguran biasa. Akmal juga sudah mengakui kesalahannya. "Jadi, Helsa tetap di Jakarta? Tapi, kalian backstreet?" tanya Reno. "Mamanya Helsa keras juga, Papanya gimana?" Kali ini David yang bertanya. "Papanya itu selalu percaya anaknya," jawab Akmal. Tangannya sibuk merobek-robek kertas yang sudah mulai hancur berkeping-keping. Pandangan Akmal lurus ke halaman tengah s
Malam minggu adalah malam panjang bagi beberapa pasangan. Entah di rumah atau diluar rumah. Namun, tidak dengan gadis yang masih terbaring di brankar.Selama satu jam tertidur karena pengaruh darah yang masuk ke tubuhnya, akhirnya Helsa bangun dari tidur. Percayalah, ketika tubuh menerima pasokan darah dari luar, rasa kantuk itu sangat luar biasa.Ketika matanya terbuka, tidak ada satupun orang di kamarnya. Dokter Adryan sudah kembali ke apartemennya sejak gadis itu menerima satu kantong darah terakhir.Helsa menghembus nafasnya gusar, bahkan Akmal tidak ada disini. Tadi, sebelum dokter Adryan pulang, dia sempat menanyakan kabar dari Akmal. Pikirnya, mungkin Akmal membalas pesannya. Namun, tidak ada respon dari pemuda itu.
Sesuai dengan jadwal, hari ini Helsa kembali ke rumah. Untungnya, petugas dari laboratorium mawar medika mengambil darahnya masih pagi. Jadi, gadis itu pulang lebih awal. Tapi, Helsa belum tahu siapa yang akan menjemputnya di rumah sakit. Akmal, pemuda itu bahkan tidak ada kabar sampai sekarang. Sudah lah, Helsa tidak mau menaruh harapan terlalu tinggi. Dokter Adryan masuk ke kamar rawatnya, membawa serta hasil dari laboratorium. Helsa sedikit tersentak, ketika dokter ganteng itu menyentuh puncak kepalanya. Ia masih mengingat perkataan Suster itu semalam, hal itu membuat Helsa sedikit canggung."Kamu udah siap?" tanya dokter Adryan. Helsa mengangguk, posisinya sudah berdiri menghadap dokter itu. "Gimana hasilnya, dokter?" "HB kamu kembali normal. Tapi, ingat, kamu itu belum sembuh sepenuhnya. Jangan banyak begadang, pikiran, dan capek. Saya nggak segan buat sekap kamu di rumah sakit, kalau kamu ngelawan." Helsa tersenyum simpul. Wajahnya mera
Bunyi pukulan dan tendangan samsak terdengar menggema ke seluruh penjuru ruangan. Malam ini Akmal memutuskan untuk bermain ke tempat latihannya.Tidak ada jadwal latihan, dia hanya ingin. Ya, pemuda itu salah satu anggota Kickboxing. Seni bela diri itu sudah dia tekuni sejak usia lima belas tahun.Akmal masih dirundung rasa bersalah pada kekasihnya. Meskipun menurutnya Helsa tidak mengetahui video itu, tapi tetap saja perasaannya tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang menjanggal. Ini pertama kalinya pemuda itu membohongi kekasihnya."Cerita kalau punya masalah?"Suara berat itu menghentikan pukulannya pada samsak yang tak berdosa. Akmal tersenyum hangat mendapati sosok pria bertubuh besar yang berdiri di belakangnya."Coach," sebutnya lalu mereka saling melakukan first bump.First bump : gerakan adu kepalan tangan yang berfungsi seperti jabat tangan atau tos.Pria yang dipanggil coach oleh Akmal tadi bersandar pada ring. Tatapan intens tertuju pada s
Akmal melintasi koridor kelas sebelas. Langkahnya cukup pelan, dengan kedua tangan yang dimasukan ke saku celana abunya. Pemuda itu berhenti di antara para gadis yang sedang menceritakan malam sweet seventeen Rania. Bagaimana tidak, namanya diseret juga. "Kalian mau lihat nggak calon istri gue?" Mereka tersentak, suara Akmal menghentikan aktivitas mereka. "Bukannya kakak pacarnya Rania? Oh, atau udah jadi calon suaminya?" Satu diantaranya menanggapi, dia sedikit tertarik dengan pertanyaan pemuda itu. Pemuda tersebut mengeluarkan ponsel dari saku kemeja sekolah, lalu menampilkan wallpapernya. Foto itu, menggambarkan Akmal yang sedang berbaring diatas sofa dan Helsa yang berbaring di atas tubuhnya. Mereka menatap Akmal yang tersenyum sinis,"cantik banget," lirih salah satu dari mereka."Ini serius, kak? Terus, kenapa dengan malam itu? Kok Rania bilang ke semua orang kalau kakak pacarnya?" Akmal terkekeh, melihat raut wajah adik-adik kelasnya yan