Akmal melintasi koridor kelas sebelas. Langkahnya cukup pelan, dengan kedua tangan yang dimasukan ke saku celana abunya. Pemuda itu berhenti di antara para gadis yang sedang menceritakan malam sweet seventeen Rania. Bagaimana tidak, namanya diseret juga. "Kalian mau lihat nggak calon istri gue?" Mereka tersentak, suara Akmal menghentikan aktivitas mereka. "Bukannya kakak pacarnya Rania? Oh, atau udah jadi calon suaminya?" Satu diantaranya menanggapi, dia sedikit tertarik dengan pertanyaan pemuda itu. Pemuda tersebut mengeluarkan ponsel dari saku kemeja sekolah, lalu menampilkan wallpapernya. Foto itu, menggambarkan Akmal yang sedang berbaring diatas sofa dan Helsa yang berbaring di atas tubuhnya. Mereka menatap Akmal yang tersenyum sinis,"cantik banget," lirih salah satu dari mereka."Ini serius, kak? Terus, kenapa dengan malam itu? Kok Rania bilang ke semua orang kalau kakak pacarnya?" Akmal terkekeh, melihat raut wajah adik-adik kelasnya yan
Helsa menyibak selimut tipis yang dipakainya, dia mungkin akan pulang sekarang. Untuk apa berlama -lama di IGD, sedangkan Akmal pergi meninggalkan sendirian. Biarkan saja dia pergi, biarkan dia menenangkan dirinya sendiri."Suster, saya mau pulang aja ya?! Saya udah nggak apa-apa," ujarnya pada seorang suster yang baru masuk ruangan tersebut. "Saya disuruh rawat nona sampai benar membaik. Tadi, pacarnya minta langsung sama saya," seru perawat ini.Akmal mungkin pergi dengan kemarahannya, namun ia tetap meminta beberapa perawat dìsana mengurus Helsa sampai benar-benar membaik. Helsa berdecak pelan, "saya cuma kena hantaman aja, Sus. Sudah membaik. Antarkan saya ke bagian administrasi sekarang.""Tapi, kalau nona mau pulang katanya nanti saya telpon pacarnya lagi biar dijemput," sela perawat itu.Melihat gadis itu sudah berjalan keluar kamar rawat tersebut, perawat itu mendengus sebal. Gadis keras kepala."Lewat sini, nona," kata perawat itu mengikut
Sesuai dengan janjinya, hari ini Helsa mau menemani Dito mencari kado untuk orang spesialnya. Padahal laki-laki tersebut sudah mencegah agar tidak usah pergi bersamanya.Namun, Helsa bersikeras mau menepati janjinya. Masalah Akmal kemarin, Helsa sudah meminta maaf pada pemuda itu. Kata Dito, wajar jika Akmal seperti itu. Laki-laki mana yang senang melihat kekasihnya jalan bersama laki-laki lain, apalagi dengan status Dito adalah mantan kekasih Helsa.Mereka masuk ke salah satu pusat perbelanjaan. Helsa membawa Dito ke salah satu stañd toko yang sering dikunjunginya. Toko tersebut didominasi oleh keperluan perempuan."Sa, feminim banget ini toko," sebut Dito, tangannya mengambil satu boneka berwarna biru. "Kamu sering kesini?"
Isakan tangis begitu pilu dari kamar mandi. Gadis bersurai panjang itu duduk pada ubin kamar mandi, dibawah guyuran air dari shower. Menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Satu minggu sudah Helsa lalui tanpa Akmal, pemuda itu tidak mengunjunginya setelah kejadian malam itu. Pagi ini kembali lagi tangisan pecah. Dua minggu telat datang tamu bulanan, gadis itu memutuskan untuk membeli testpack dan hasilnya dua garis merah tertera di sana. "Lo nggak boleh ada di rahim gue! Lo harus mati," jeritnya. Memukul berulang kali perutnya yang kini pada rahimnya sudah ada kehidupan. "Lo nggak boleh hidup, lo harus hilang! Gue nggak mau kehadiran lo!" "Akmal, gue nggak mau. Lo jahat sama gue, lo udah nggak sayang gue." *** Sepanjang lorong SMA Diaksa pagi itu terlihat heboh, dengan Rania yang berjalan bergandengan dengan Akmal. Wajahnya berseri-seri karena sudah merasa menang. Malam kemarin Rania dan Akmal resmi berpacaran. Tepat di sebuah cafe
"Anjing!"Geraman dan umpatan membangunkan gadis disampingnya yang tertidur dengan balutan selimut tebal tanpa busana.Akmal beranjak dari ranjang, mengenakan boxer dan langsung masuk ke kamar mandi."Sayang," panggil gadis itu.Rania, gadis itu menyusul kekasihnya ke kamar mandi. Akmal lupa mengunci pintu, sehingga dengan gampangnya gadis tersebut masuk dengan tanpa busana.Dibawah guyuran shower pemuda itu mandi dengan boxer, mengumpat habis-habisan dirinya sendiri. Tangan halus melingkar di pinggangnya, membuat Akmal melenguh sesaat."Ran, lo pulang sendiri, ya? Gue ada keperluan," ujar Akmal. Ia merasa bersalah dengan gadis itu yang menjadi pelampiasannya, dan lebih lagi ia sudah mengkhianati Helsa."Al, semalam?"Akmal membalikan badan, ia tangkup wajah sendu Rania, "maafin gue.""Maksud kamu?" Rania menatap dalam manik mata pemuda itu. "Akmal, aku sayang sama kamu. Untuk malam tadi, aku nggak apa-apa."Akmal menelan saliva kasar, me
"Berani lo langgar janji!" Gadis dengan bandana merah itu menatap kesal pada Rania. "Gue nggak pernah melanggar janji. Ini masih bagian dari rencana kita. Karena asal lo tahu aja, ini cara paling ampuh untuk misahin Akmal dan Helsa," sahut Rania. Bohong. Rania sudah tidak peduli dengan rencana mereka. Yah meskipun rencananya itu untuk dirinya sendiri saat ini. "Udah ngapain aja lo sama si brengsek itu?" tanya gadis itu. "Hanya sedikit bermain-main," sahut Rania. "Tidur lo sama dia, hah?" "Itu bukan urusan lo," tukas Rania. "Jangan pernah libatkan perasaan lo ke dalam rencana ini, Rania. Gue udah beri peringatan berulang kali sama lo," kecam gadis itu lagi. "Lo tenang aja, sesuai dengan rencana kita." Gadis itu berdiri, bersiap pergi dari sana. "Jalani sesuai perintah gue!" *** Sudah tiga minggu berlalu Akmal tanpa Helsa, begitupun sebaliknya. Ini terlalu gila bagi pemuda yang saat ini berdiri di pelataran SMA Harapan. Sela
Semalaman Helsa menunggu di rumah sakit. Membiarkan punggungnya bersandar pada sandaran kursi yang ada di kamar rawat mantan kekasihnya. Helsa bahkan masih mengenakan seragam sekolah. Bella dan Ranaya memutuskan untuk kembali ke rumah. Sebenarnya mereka sudah memaksanya untuk pulang, namun Helsa kekeh untuk tetap di rumah sakit. Sampai pergantian hari pun Dito belum siuman. Entah, pemuda itu terlalu merasakan sakit atau alam bawah sadarnya lebih indah. Hari ini Helsa memutuskan untuk absen sekolah"Selamat pagi," sapa salah satu perawat yang masuk ke kamar rawat itu.Helsa mendongak, guratan lelah pada wajahnya begitu jelas. Dia tersenyum pada perawat itu, dan segera bangkit dari kursi. "Cairan infusnya habis, mau saya pasang yang baru," kata perawat itu, senyumannya tidak luntur."Silahkan, suster."Perawat itu segera mendekati brankar dan mulai melancarkan kegiatannya. Tidak lama kok, dua menit palingan. "Kasihan ya?! Dari kemarin belum sadarkan diri,"
Satu minggu setelah kepergian Papanya, Helsa dan Mamanya kembali disibukkan dengan rutinitas mereka. Seperti pagi ini, keduanya sarapan bersama. Suasana tampak hening, hanya dentingan sendok dan garpu yang terdengar. "Ma-," Helsa memecah keheningan. "Ia sayang. Kamu butuh sesuatu?" "Mama baik-baik aja, kan?" tanya Helsa. Renata tersenyum, "Mama baik sayang," jawab wanita tersebut. "Kamu cepat makannya, biar nanti ke sekolahannya bareng Mama," kata Renata lagi. Setelah kepergian Yuda, Renata yang akan mengurus perusahaan mereka. Lalu menunggu Helsa selesai pendidikannya, dan bersama membangun perusahaan tersebut. Rambut yang digerai, seragam pramuka yang rapi, Helsa berangkat bersama Mamanya pagi ini. Setelah mengantar anak gadisnya, Renata langsung menuju kantor. "Helsa-," Lima gadis itu menghampirinya, memberi pelukan belasungkawa sekali lagi. "Lo nggak sendiri, lo punya kita," cetus Ranaya. "Kita semua sayang lo," lanjut
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad