Radit sudah menunggu Elina di parkiran, tetapi wanita itu tidak kunjung muncul juga. Padahal dia sudah bilang kalau akan pulang bersama. Apa wanita itu menghindar dari dirinya? jangan sampai Elina malah pulang bersama dengan Dani. "Ke mana Elina sebenarnya?" tanya Radit dalam hati.Kenapa wanita itu sulit sekali untuk dia atur. Jangan bilang kalau wanita itu masih marah dengan dirinya hanya karena tadi. Padahal Bela yang menggoda dirinya duluan dan dia juga tidak tertarik dengan Bela. "Apa Elina cemburu?" gumam Radit. Sampai di depan lobi, Radit mengerem mendadak. Matanya membulat melihat sosok Elina yang berjalan tertatih ke arahnya. Rambut wanita itu sudah acak-acakan seperti habis diterjang badai, sebagian menjuntai menutupi wajahnya yang kusam. Lengan bajunya sobek, memperlihatkan luka gores memanjang dengan darah yang mulai mengering.Radit langsung keluar dari mobil, jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ada rasa tidak enak menggelayuti dadanya saat melihat Elina seperti
Elina berusaha untuk membuat Jio merasa tenang. Terlebih dia sudah memikirkan semuanya dengan baik sekarang. Dia tidak ingin membiarkan bayi tersebut menangis."Jio diam yah."Radit memperhatikan Elina yang berhasil menenangkan Jio. Ia tidak menyangka bahwa Elina bisa membuat anak itu langsung terdiam dalam pelukannya.Sementara itu, Lisa yang melihat kejadian itu dari kejauhan menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Lagi-lagi rencananya gagal total.Jio malah tenang di pelukan Elina, padahal dia sudah memasukkan garam ke dalam hasil pompa ASI itu agar Elina disalahkan dan tidak dibutuhkan lagi. Tapi semuanya gagal—Elina bahkan bisa menidurkan Jio dengan mudah.“Elina, kamu mau ngapain?!” seru Radit kaget, saat melihat Elina menyikap bajunya.Elina melotot kaget, tidak menyangka kalau Radit masih berdiri di sana. Dia pikir pria itu sudah masuk ke dalam.“Pak Radit ngapain masih di situ? Saya mau kasih ASI ke Jio.”“Kamu nggak lihat sendiri? A
Elina diam-diam memperhatikan Radit yang tengah mengobati lukanya dengan lembut. Tanpa disadari, jarak antara mereka semakin dekat.Deg.Elina merasa terpesona oleh tatapan mata Radit yang penuh perhatian, sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.“Pak Radit…”Elina merasa gugup, namun Radit sudah lebih dulu menarik tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat jarak antara mereka semakin tipis.Tanpa sadar, wajah Radit semakin mendekat. Kedekatan itu membuat Elina merasa sedikit canggung.Cup.Elina merasakan sentuhan lembut dari bibir Radit. Ia hendak mundur, namun tubuhnya seakan tak bisa bergerak. Radit menahan dengan lembut tengkuknya, membiarkan ciuman itu berlangsung lebih lama.Radit merasa kehilangan kendali. Tanpa disadari, ia sudah berada di atas Elina, tubuhnya sedikit menindih, namun ia berusaha tetap menjaga batas.Elina berusaha untuk melepaskan diri dari Radit ketika menyadari kalau Radit sudah bersemayam pada leher jenjangnya dan kini bahkan laki-laki itu sudah berani seka
Elina menatap dengan kesal ke arah Radit, CEO baru yang baru saja memaksanya untuk menerima tawaran kenaikan jabatan yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan. Sebagian orang mungkin akan merasa bahagia dengan hal itu, terutama karena jabatan baru berarti lebih banyak pengakuan dan kesempatan. Namun, bagi Elina, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa begitu saja menerima perubahan ini."Kenapa melamun, Elina?"Suara Radit yang berat membuat Elina terkejut. "Eh, iya maaf, Pak Radit."Tanpa banyak bicara, Elina menundukkan kepala dan mengikuti perintah untuk masuk ke ruang kerja pribadi Radit. Begitu berada di dalam, ia terperangah melihat tumpukan berkas yang menggunung di atas meja. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sekretarisnya kini dialihkan padanya."Kerjakan semuanya dengan cepat," ujar Radit tanpa ragu."Tapi, Pak... saya..."Elina hendak berargumen, namun Radit dengan cepat memotong kalimatnya. "Kenapa? Mau cari alasan lagi? Jangan sampai ada hal lain yang menggan
Elina baru saja menyelesaikan semua tugasnya dengan penuh hati-hati, namun ada sesuatu yang membuat pikirannya tak tenang. Tugasnya sudah selesai, tapi ucapan Radit tadi pagi masih terngiang di telinganya."Sudah selesai?" tanya Radit sambil menyandarkan diri pada pintu ruangan Elina."Iya Pak Radit. Semuanya sudah selesai," jawab Elina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati ada rasa cemas yang mulai merayap."Kalau begitu, ikut dengan saya," ucap Radit, lalu melangkah ke pintu keluar dengan cepat, meninggalkan Elina yang masih terdiam beberapa detik."Baik Pak Radit," jawab Elina akhirnya, merasa bingung tetapi tak ingin terlihat ragu. Ia pun mengikutinya.Namun, langkah kaki Elina yang terburu-buru itu tak terlepas dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa rekan kantornya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. Ada yang tersenyum simpul, ada juga yang menggelengkan kepala seolah-olah tahu sesuatu yang tak diketahui Elina. Namun, ia hanya bisa melanjutkan langkah
Radit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya."Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan.Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah."Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat.Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?"Elin
Radit mandi air dingin untuk meredakan pikiran mesumnya tentang Elina, semuanya gara-gara dirinya yang nekat ingin melihat Elina. Terpaksa dia harus seperti ini sekarang. Bahkan dia menyadari kesalahannya sekarang. "Ah sialan Elina," umpat Radit yang memainkan adiknya sendiri sampai puas.Membayangkan tubuh Elina yang memang sangat membuat dia mengubah seleranya. Dia benar-benar ingin bermain dengan wanita itu. Tetapi dia memikirkan cara yang baik untuk dia lakukan.Setelah Radit bermain dengan puas, dia mengambil handuk dan membersihkan semuanya. Sampai dia keluar dari kamar mandi.Dia merasa terkejut ketika melihat Elina yang ada di dalam kamarnya."Kenapa kamu ada di sini?" tanya Radit dengan tajam.Elina meneguk salivanya ketika dia melihat perut kotak-kotak milik Radit yang memang sangat menggugah selera dirinya.Dia tidak menyangka kalau akan melihat lekuk tubuh dari bosnya yang begitu sangat kekar. Membayangkan tubuh itu mengukung dirinya dengan begitu kasar. Membuat pikiranny
Elina menghela napas lega begitu berhasil keluar dari kamar Radit. Rasa takut dan cemas yang tadi menyelimuti dirinya kini sedikit mereda, meskipun tetap ada perasaan aneh yang mengganjal. Dia merasa seperti baru saja terlepas dari situasi yang bisa berakhir sangat buruk. Tapi, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya. Apa maksud wanita itu menyuruhnya masuk ke kamar Radit?"Kenapa Lisa suruh aku masuk tadi?" batin Elina, matanya menatap kosong ke depan. Semua ini terasa seperti sebuah teka-teki yang belum terpecahkan, dan Elina tahu dia harus mencari jawaban.Baru beberapa langkah keluar, matanya bertemu dengan Lisa. Wanita itu berdiri di ujung koridor, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Sepertinya, Lisa tahu lebih banyak dari yang Elina kira, dan itu membuatnya semakin penasaran."Ah, kamu sudah keluar?" tanya Lisa dengan nada yang agak terkejut, meskipun Elina bisa melihat sedikit kelegaan di wajahnya.Elina langsung menatap Lisa dengan sorot mata tajam. Dia mer
Elina diam-diam memperhatikan Radit yang tengah mengobati lukanya dengan lembut. Tanpa disadari, jarak antara mereka semakin dekat.Deg.Elina merasa terpesona oleh tatapan mata Radit yang penuh perhatian, sesuatu yang tak pernah ia duga sebelumnya.“Pak Radit…”Elina merasa gugup, namun Radit sudah lebih dulu menarik tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat jarak antara mereka semakin tipis.Tanpa sadar, wajah Radit semakin mendekat. Kedekatan itu membuat Elina merasa sedikit canggung.Cup.Elina merasakan sentuhan lembut dari bibir Radit. Ia hendak mundur, namun tubuhnya seakan tak bisa bergerak. Radit menahan dengan lembut tengkuknya, membiarkan ciuman itu berlangsung lebih lama.Radit merasa kehilangan kendali. Tanpa disadari, ia sudah berada di atas Elina, tubuhnya sedikit menindih, namun ia berusaha tetap menjaga batas.Elina berusaha untuk melepaskan diri dari Radit ketika menyadari kalau Radit sudah bersemayam pada leher jenjangnya dan kini bahkan laki-laki itu sudah berani seka
Elina berusaha untuk membuat Jio merasa tenang. Terlebih dia sudah memikirkan semuanya dengan baik sekarang. Dia tidak ingin membiarkan bayi tersebut menangis."Jio diam yah."Radit memperhatikan Elina yang berhasil menenangkan Jio. Ia tidak menyangka bahwa Elina bisa membuat anak itu langsung terdiam dalam pelukannya.Sementara itu, Lisa yang melihat kejadian itu dari kejauhan menghentakkan kakinya dengan kesal, lalu memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya. Lagi-lagi rencananya gagal total.Jio malah tenang di pelukan Elina, padahal dia sudah memasukkan garam ke dalam hasil pompa ASI itu agar Elina disalahkan dan tidak dibutuhkan lagi. Tapi semuanya gagal—Elina bahkan bisa menidurkan Jio dengan mudah.“Elina, kamu mau ngapain?!” seru Radit kaget, saat melihat Elina menyikap bajunya.Elina melotot kaget, tidak menyangka kalau Radit masih berdiri di sana. Dia pikir pria itu sudah masuk ke dalam.“Pak Radit ngapain masih di situ? Saya mau kasih ASI ke Jio.”“Kamu nggak lihat sendiri? A
Radit sudah menunggu Elina di parkiran, tetapi wanita itu tidak kunjung muncul juga. Padahal dia sudah bilang kalau akan pulang bersama. Apa wanita itu menghindar dari dirinya? jangan sampai Elina malah pulang bersama dengan Dani. "Ke mana Elina sebenarnya?" tanya Radit dalam hati.Kenapa wanita itu sulit sekali untuk dia atur. Jangan bilang kalau wanita itu masih marah dengan dirinya hanya karena tadi. Padahal Bela yang menggoda dirinya duluan dan dia juga tidak tertarik dengan Bela. "Apa Elina cemburu?" gumam Radit. Sampai di depan lobi, Radit mengerem mendadak. Matanya membulat melihat sosok Elina yang berjalan tertatih ke arahnya. Rambut wanita itu sudah acak-acakan seperti habis diterjang badai, sebagian menjuntai menutupi wajahnya yang kusam. Lengan bajunya sobek, memperlihatkan luka gores memanjang dengan darah yang mulai mengering.Radit langsung keluar dari mobil, jantungnya seketika berdetak lebih cepat. Ada rasa tidak enak menggelayuti dadanya saat melihat Elina seperti
Kina sudah tersenyum dengan bahagia ketika dirinya dipanggil ke ruangan bosnya. Dia sudah bersiap dengan merapikan penampilan dirinya.Sampai di atas sebelum masuk ke dalam, dia melihat ke arah Elina yang tidak jauh dari sana."Kamu gak masuk Elina?" tanya Kina dengan nada sedikit menyindir. Biasanya wanita itu tidak bersikap seperti itu dengan dirinya."Nanti aku menyusul," jawab Elina dengan santai.Kina lalu menatap kembali kepada Elina dengan pandangan penuh arti. "Sepertinya sebentar lagi kamu akan ditendang oleh Radit. Dia menginginkan aku sekarang bukan kamu," sindir Kina.Elina yang tahu alasan Kina dipanggil pun langsung tersenyum dengan penuh arti. Dia tahu kalau hal ini pasti akan terjadi dengan dirinya. Setidaknya semuanya sudah dia atur dengan baik."Oh iya, aku gak percaya tuh. Semoga berhasil," jawab Elina dengan santai.Kina tidak suka dengan jawaban yang dilontarkan oleh Elina barusan. Terlebih itu sangat tidak menguntungkan untuk dirinya."Jika aku berhasil, kamu ada
“Kamu kenal, Elina?”Suara Rian tenang, tapi sorot matanya menusuk seperti pisau tajam yang menembus lapisan luar Radit.Radit menoleh, dan tanpa perlu berkata apa-apa, ia tahu Elina akan membenarkannya.Elina berdiri di dekat pintu, tubuhnya tegak, tapi jemarinya mengepal di samping tubuh. Ada sesuatu di sorot matanya—entah luka, entah kecewa, atau mungkin… keduanya.“Dia Kina. Dari divisi yang sama dengan Bela,” katanya pelan, tapi tegas.Radit mengangguk sekali, rahangnya mengeras.“Panggil dia ke sini.”“Baik, Pak Radit.”Elina berbalik, langkahnya cepat, nyaris seperti ingin segera menjauh dari ruangan itu. Tapi setiap langkahnya terasa berat, seolah ada yang menahannya untuk tetap tinggal.Begitu pintu tertutup, suasana di dalam ruangan berubah drastis. Sunyi. Tegang. Seolah udara ikut menahan napas.Rian menyilangkan kaki, menatap Radit dari balik meja.“Kamu beneran tertarik sama Elina?”Radit tak langsung menjawab. Ia menatap meja, lalu jendela, lalu kembali pada sahabatnya.
Elina menghela napas panjang. Matanya masih terpaku pada kejadian barusan—Radit, lelaki yang selama ini mengisi hatinya, tampak begitu hangat tertawa bersama Bela. Tatapan mereka, kedekatan mereka, semuanya membuat dada Elina terasa sesak."Menyebalkan sekali!" umpat Elina, suaranya pelan namun tegas, menggigit udara sore yang mulai dingin.Tanpa pikir panjang, Elina berbalik dan melangkah keluar. Dia tak sanggup melihat lebih lama. Hatinya terlalu rapuh untuk menyaksikan kebersamaan yang menyakitkan itu. Kepalanya penuh dengan bayangan—Bela yang selalu tampil sempurna, Radit yang akhir-akhir ini berubah dingin. Apa aku hanya pelarian? batinnya resah.Duk.Langkahnya yang terburu membuatnya menabrak seseorang.“Oh maaf—” Elina langsung mendongak dan terkejut saat melihat sosok di depannya.“Kamu melamun, Elina?” tanya pria itu dengan senyum hangat. Dokter Rian.“Dokter Rian? Tumben sekali datang ke sini,” ucap Elina, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum canggung.Rian
Aroma asap dari ayam bakar yang sedang dipanggang menusuk hidung Rian saat ia berdiri di depan restoran Ayam Taliwang itu. Sederhana, tapi ramai. Letaknya tidak jauh dari kantor tempat Elina dan Radit bekerja. Dan ya, inilah restoran yang disebut Elina—tempat dia memesan makanan untuk Ramon beberapa waktu lalu.Rian tak datang untuk makan siang. Ia datang untuk mencari tahu—siapa yang mencoba mencelakai Radit lewat makanan.Ia melangkah masuk. Pelanggan terlihat sibuk menyantap makanan, tertawa ringan. Tak ada yang terlihat mencurigakan. Tapi Rian tahu, sesuatu terjadi di balik dapur yang tertutup itu.“Selamat siang, Kak. Mau makan di sini atau bungkus?” sapa seorang pelayan perempuan.“Bukan. Saya ingin bertemu manajernya. Tentang pesanan makanan beberapa hari lalu,” jawab Rian, suaranya datar tapi tegas.Tak lama, seorang wanita keluar. Wajahnya kaku, matanya tajam. “Saya manajernya. Ada apa?”“Saya hanya ingin tahu, adakah yang aneh dengan pesanan atas nama Elina beberapa hari lal
Pagi hari yang cerah.Pagi hari yang cerah.Langit bersih tanpa awan, matahari menggantung rendah dengan sinarnya yang hangat menembus dedaunan dan menyentuh kap mobil hitam milik Radit yang terparkir rapi di depan rumah.Radit sudah duduk di balik kemudi, tapi mesinnya belum menyala. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk setir, sementara matanya terus melirik jam tangan. Sesekali ia mendesah—tak sabar.Akhirnya, pintu rumah terbuka. Elina muncul dengan langkah cepat. Dia terkejut saat melihat mobil Radit masih terparkir. Keningnya berkerut, alis kirinya naik, mencerminkan rasa heran."Pak Radit belum berangkat?" gumamnya lirih.Radit menurunkan kaca jendela dan melirik tajam. "Lama amat. Ayo masuk!"Elina sedikit bingung, tapi langsung menuruti. "Saya kira Pak Radit udah duluan ke kantor.""Ayo cepat, jangan banyak tanya," potong Radit, nadanya terdengar malas menjelaskan.Elina membuka pintu penumpang dan masuk tanpa membantah lagi. Dia tahu bosnya itu bukan tipe orang yang suka diinterogasi
"Kenapa kamu mengusir saya, Elina? Bukannya waktu itu kamu juga pernah menyelinap ke kamar saya!" bentak Radit, nadanya tajam, matanya menatap Elina penuh tuduhan.Elina sontak terdiam. Jantungnya berdebar. Kalimat itu membangkitkan kembali ingatan yang sudah lama ia kubur. Ia memang pernah masuk ke kamar Radit diam-diam… tapi bukan karena keinginannya sendiri."Itu… itu salah paham. Lisa yang menyuruh aku ke kamar Pak Radit malam itu," ujar Elina pelan, tapi cukup jelas untuk membuat Radit menghentikan langkahnya.Tatapan Radit berubah. Matanya kini menyipit, mencoba membaca raut wajah Elina. "Lisa yang menyuruh kamu?" tanyanya, suaranya turun satu oktaf, lebih tenang, tapi penuh tanda tanya.Elina mengangguk, menatap Radit dengan kebingungan. "Iya. Dia yang bilang harus ambil dokumen penting dari meja kerja kamu. Aku nggak ngerti kenapa harus buru-buru waktu itu. Tapi dia kelihatan panik."Radit terdiam. Ingatannya melayang pada malam itu—malam ketika pintu kamarnya terasa seperti a