Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh.
Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah.
"Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah.
Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!"
"Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga keamanan, mencoba menenangkan situasi.
"Heh, lalu kenapa memangnya kalau aku mau menentukan hukumku sendiri? Hukum di negara ini terlalu lemah! Jadi, memang aku sendiri harus menghukum wanita ini!" Minah maju lagi dengan tidak sabar, namun langsung dihalangi oleh dua penjaga keamanan itu.
"Minggir! Jangan menghalangiku!" Minah melotot.
"Maaf, tapi jika Ibu tidak bisa tenang. Dengan terpaksa, kami akan menyeret Ibu keluar!" tegas penjaga keamanan.
"Kalian... Berani kalian melakukan itu padaku? Coba saja lakukan kalau berani!" bentak Minah, terlihat semakin emosi.
Salah satu penjaga keamanan lalu menatap Tegar, "Pak, tolong bawa Ibu Anda keluar! Jika tidak, kami akan mengeluarkannya secara paksa!"
Tegar mengerutkan dahi dan menatap tajam pada penjaga keamanan barusan, "Kalian... Berani kalian mengeluarkan Ibuku dengan paksa? Apa kalian sudah bosan bekerja di rumah sakit ini? Aku bisa membuat kalian berdua dipecat, saat ini juga!"
Minah tersenyum sinis dan mengangguk, "Benar! Ayo, Tegar. Hubungi pemilik rumah sakit ini, untuk memintanya memecat dua satpam tak tau diri ini!"
"Maaf Pak, bukan masalah kami sudah bosan atau tidak bekerja di rumah sakit ini. Tapi kami hanya melakukan yang seharusnya kami lakukan. Ibu Anda telah membuat keributan, dan itu membuat pasien lain terganggu. Jika ini terus berlanjut, kami juga yang akan menerima teguran dari atasan. Jadi mohon kerja samanya," jelas penjaga keamanan, berusaha untuk tetap tenang.
Tegar diam beberapa saat untuk berpikir, sebelum dia menghela nafas dan menghembuskannya, "Huh, baiklah. Kita keluar sekarang!"
Minah tentu terkejut dengan keputusan Tegar yang tiba-tiba itu. Dia lalu menatapnya tak percaya, "Hei, apa maksudmu bicara seperti itu? Apa kita akan mengalah di sini? Tidak, aku tidak mau!" Minah menggelengkan kepalanya.
"Ish, Ibu kita keluar dulu. Nanti aku jelaskan setelah kita di luar. Sekarang, kita harus keluar," jawab Tegar.
"Tapi Tegar, aku tidak bisa..."
"Ayo, keluar dulu!" potong Tegar, yang langsung menyeret Minah keluar.
Minah yang tak berdaya, hanya bisa mengikuti putranya ke luar dari ruangan tersebut. Dinda tentu selalu mengikuti mereka.
"Tegar, sekarang jelaskan! Kenapa kita harus mengalah? Kenapa hanya dua satpam saja sudah membuatmu takut? Bukankah kau mengenal pemilik rumah sakit ini? Jika mereka berani macam-macam pada kita, tinggal kau bilang saja pada pemilik rumah sakit untuk memecat dua satpam bodoh itu," ujar Minah begitu mereka tiba di luar.
"Ibu, dengarkan aku! Apa Ibu lupa? Ini rumah sakit, Ibu. Banyak kamera pengawas di sini. Dan jika kita melampiaskan kekesalan kita pada Anisa di sini, itu sama saja kita cari mati. Aku tidak takut dengan dua satpam itu, tapi akan lebih baik kalau kita cari aman. Kita biarkan Anisa menafas lega dulu untuk sekarang. Nanti, kita bisa lampiaskan semua amarah kita saat wanita itu sudah pulang! Saat itu, aku tidak akan menghalangimu lagi, mau perlakuan Anisa seperti apa," jelas Tegar.
Masih bingung dengan yang dikatakan Tegar, Minah menatapnya dan bertanya, "Hah, kamu masih mau biarkan wanita bodoh itu kembali ke keluarga kita?"
"Ya, itu tidak masalah jika kita bisa melampiaskan semua amarah kita padanya. Lagi pula, dia telah membuat anakku meninggal. Jadi dia harus menerima hukuman langsung dariku!" jawab Tegar, tegas.
Minah mengangguk, "Kau benar. Dia telah membunuh cucuku, jadi aku juga harus menghukumnya langsung!"
***
Widia masuk ke ruang perawatan Anisa. Dia merasa iba, saat menatap wanita yang baru mendapatkan musibah itu, namun suami dan Ibu mertuanya malah memperlakukan dia dengan sangat buruk.
Anisa menatap Widia dengan air mata mengalir di pipinya, "Katakan padaku, Dok! Apakah benar, bayiku tidak bisa diselamatkan?"
Dengan perasaan menyesal, Widia menjawab, "Kami benar-benar minta maaf. Kami sudah berusaha keras untuk menyelamatkan bayi Anda, namun takdir berkata lain. Bersabarlah... Anda masih muda, saya yakin Anda pasti akan bisa mendapatkan bayi-bayi yang lucu lagi di masa depan." Widia tentu mencoba menguatkan.
Air mata Anisa mengalir semakin deras, "Kamu mungkin benar, Dok. Tapi tetap saja. Bagaimana bisa seorang Ibu tidak merasa sedih, saat bayi yang dikandungnya selama hampir 9 bulan harus pergi meninggalkannya untuk selamanya? Jika bisa, aku lebih memilih untuk menggantikan anakku, Dok."
"Iya, memang begitulah pengorbanan seorang Ibu. Dia akan rela kehilangan segalanya, termasuk nyawanya sendiri demi anak. Namun kita sebagai manusia juga tidak bisa melawan takdir. Ibu ikhlaskan dulu saja kepergian anak Ibu dengan lapang dada. Di balik suatu musibah, pasti akan ada hikmahnya. Masa depan Ibu juga masih panjang, jadi bersabarlah untuk sekarang, dan tetaplah kuat. Saya yakin Ibu bisa melalui ujian ini dengan baik," jelas Widia, sambil tersenyum.
Anisa mengangguk sambil menahan isak tangisnya, "Terima kasih Dok, atas nasihatnya. Saya akan mencoba untuk bersabar dan mengikhlaskan semuanya."
Widia tersenyum lembut, "Sama-sama, Bu. Jika butuh bantuan apapun, jangan ragu untuk bicara pada kami. Kami akan selalu ada di sini untuk membantu. Sekarang, istirahatlah! Jangan terlalu banyak berpikir, supaya bisa cepat pulih."
Anisa mengangguk dan mencoba memejamkan kedua matanya. Meskipun itu terasa sangat sulit, namun akhirnya dia bisa benar-benar tertidur setelah sekitar setengah jam memejamkan mata.
Widia juga sudah pergi dari ruangan Anisa, saat wanita ini benar-benar tertidur. Karena dia harus membantu mengurus seluruh biaya administrasi mantan pacar kakaknya ini.
Sudah siang ketika Anisa terbangun dari tidurnya, dan dia terkejut saat melihat bajunya di bagian dada telah basah oleh cairan hangat yang agak lengket.
Melihat ke seorang perawat yang sedang ada di ruangannya, Anisa berkata, "Sus, apa yang terjadi padaku? Kenapa bajuku bisa basah?"
Perawat di sana juga terkejut melihatnya, "Astaga Ibu... Sepertinya ini air ASI. Dan ini banyak banget...""Air ASI? ASI ku keluar? Tapi..." Anisa terdiam saat mengingat bayinya sudah tiada. Dia menangis dan melanjutkan, "Seandainya saja kamu selamat, Nak. Kamu pasti kenyang setiap hari. Lihatlah... Air ASI Ibu, banyak banget... dan Ibu yakin, itu lebih dari cukup untuk kamu minum setiap saat."Anisa lalu menatap perawat dan bertanya, "Sus, apakah ASI saya akan keluar terus, meskipun tidak ada bayi lagi yang meminumnya?"Perawat itu menjawab, "Ya Ibu, biasanya ASI akan tetap keluar setelah persalinan meskipun tidak ada bayi yang meminumnya. Jika dada Ibu terasa sakit karena ASI yang terus diproduksi, Ibu bisa menggunakan metode penekanan untuk mengambil ASI. Dan jika Ibu berkenan, rumah sakit kami juga menerima donor ASI."Anisa mengangguk pelan, "Mungkin aku akan mencoba metode penekanan itu. Dan te
Semua orang terdiam mendengar perkataan Tegar. Namun secara tiba-tiba, salah satu dari ibu-ibu di sana dengan sinis berkata, "Hey Tegar. Anisa istrimu? Lalu apakah kau pernah memperlakukan dia sebagai istri? Kami semua yang ada di sini tau, kau memperlakukan Anisa tidak lebih dari seperti seorang pembantu. Pembantu lebih baik, karena dia akan mendapatkan gaji. Namun Anisa, bukan hanya tidak pernah kau berikan dia uang, tapi juga kau siksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat setiap hari! Apakah itu yang disebut istri?"Meskipun memang salah, namun Tegar tetap berdalih, "Lah, bukankah memang sudah tugasnya istri untuk melayani suami dan keluarganya? Dia melakukan pekerjaan berat juga bukan karena paksaan dari kami. Dia melakukannya dengan sukarela, kami tidak pernah memaksanya."Mendengar yang dikatakan Tegar, ibu-ibu tadi terkekeh, "Ha ha ha... Tegar... Oh Tegar... Kau pikir kami semua yang ada di sini tidak tau? Tidak dipaksa kau bilang? Dengan
Tanpa menatap Minah, Tegar menjawab, "Aku memang mengusir mereka."Minah yang terkejut mengangkat kedua alisnya, lalu menatap Tegar tak percaya, "Apa katamu? Kau mengusir mereka?"Tegar menghela nafas dan berkata, "Ibu, aku mengusir mereka, karena mereka memang tidak pantas berada di sini. Apa Ibu tau? Mereka datang hanya untuk menggosipkan keluarga kita, menyalahkan kita atas apa yang terjadi pada Anisa. Bagaimana aku tidak kesal mendengar orang-orang itu yang terus menyalahkan keluarga kita? Padahal Ibu sendiri tau kan? Kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Anisa sendiri yang begitu bodoh dan tidak bisa berhati-hati, hingga mengakibatkan dirinya sendiri mengalami kecelakaan. Tapi mereka terus menggosipkan kita, menyalahkan kita, seolah kitalah yang paling bersalah atas kejadian itu."Minah kembali terkejut begitu mendengar jawaban Tegar. Dia lalu bertanya untuk memastikan, "Benarkah yang kau katak
Anisa menghela nafas panjang untuk mennenangkan diri. Setelah merasa tenang, dia membuka matanya dan menatap Widia, "Tidak ada apa-apa dok, saya hanya ingin keluar untuk menghirup udara segar, namun tiba-tiba malah merasa pusing. Eh iya dok, bisakah saya minta tolong untuk dibelikan dulu alat penekan ASI? Dada saya sakit dok, sepertinya ASI yang diproduksi terlalu banyak. Tadi suster bilang, rumah sakit ini juga menerima donor ASI. Jadinya, ASI saya tidak akan sia-sia kalau begitu."Widia mengangguk "Baiklah, saya akan ambilkan alat penekan ASI untuk Ibu. Rumah sakit ini memang menerima donor ASI, tentu saja ASI Ibu tidak akan sia-sia. Oh iya, kalau mau keluar untuk menghirup udara segar, nanti saya ambilkan kursi roda. Saya juga yang akan menemani Ibu keluar, tidak perlu kuatir soal itu."Widia belum berani menawarkan pada Anisa tentang menjadi Ibu susu untuk Jihan. Karena dia khawatir, Anisa akan menolaknya secara langsung jika dia tahu Ji
Melihat tatapan dingin Safak dan mendengar nada suaranya, mau tidak mau Hermawan menelan saliva nya. "Ahh, tidak Tuan... tidak ada apa-apa. Hanya saja, tadi bukankah Nona Widia...""Aku tau apa yang kulakukan. Dan sebaiknya kau jangan banyak bicara!" potong Safak dengan dingin.Hermawan hanya bisa mengangguk, "Mengerti, Tuan."Safak berbalik dan kembali berjalan menuju ke arah tempat Widia pergi. Sementara Hermawan hanya bisa mengikutinya dari belakang, dan tanpa banyak bicara lagi. Kecuali saat Safak yang mengajaknya bicara.Saat keduanya tiba di depan bangsal tempat Anisa dirawat, barulah mereka berhenti. Safak hanya mengintip dari sebagian kaca yang ada di pintu bangsal.Dia yang biasanya dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba tersenyum saat melihat Anisa telah menggendong Jihan.'Semoga saja, Jihan cocok dengan ASI kamu, Nisa,' batin Safak.
Di dalam bangsal, Jihan yang sedang menyusu pada Anisa, memejamkan matanya setelah kenyang. Dia sepertinya menikmati ASI milik Anisa dan tidak ada tanda-tanda ketidaknyamanan saat menyusu. Anisa sendiri tersenyum kecil melihat ekspresi damai bayi kecil itu."Benar-benar anak yang baik. Setelah kenyang langsung bobok," ucap Anisa sebelum mencium kening Jihan.Widia sendiri tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau gitu saya akan serahkan Jihan pada Ibu sekarang. Tolong jaga Jihan, selama Ibu masih di rumah sakit ya. Dan kalau Ibu butuh sesuatu, tinggal bilang saja."Anisa mengangkat kepalanya, "Sebentar. Dokter menyerahkan bayi ini pada saya begitu saja? Apa dokter tidak kuatir, jika saya akan membawanya pergi?"Anisa bertanya seperti itu, juga bukan tanpa alasan. Dia hanya bingung dan penasaran saja, kenapa dokter ini bisa begitu baik dan perhatian padanya. Bukan hanya itu saja, namun dokter
Anisa lalu menatap Widia dan menambahkan, "Aku pulang dulu ya, dok. Sampai bertemu lagi, dan... tolong jaga Jihan untukku. Meskipun dia bukan anak kandungku, tapi aku merasa dia sudah seperti anakku sendiri."Widia tersenyum, "Tentu saja Ibu. Saya pasti akan menjaga Jihan dengan baik. Saya malah merasa senang, dengan Ibu yang sudah bisa menganggap Jihan seperti anak sendiri. Sampai jumpa lagi, Ibu."Anisa mengangguk, sebelum dengan berat hati dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Sebelum taksi mulai berjalan, Anisa terus menatap Jihan dan Widia. Dia lalu melambaikan tangan sebelum memerintahkan sopir taksi, "Berangkat, Pak."Taksi pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Jihan dan Widia yang tampak mengantarnya dengan senyum hangat. Anisa hanya bisa menatap ke luar jendela taksi, merenung tentang kebersamaan yang telah dia jalani dengan Jihan, selama mereka di rumah sakit.Setelah tak
Minah dan Hana menoleh ke arah pintu dan cukup terkejut saat melihat Anisa sudah berdiri di sana.Hana langsung berdiri dan berkata, "Akhirnya, kau kembali juga. Sekarang karena kau telah kembali, cucikan pakaianku! Aku sudah membawa semua pakaian kotorku ke kamar mandi. Jadi, kau tinggal mencucinya tanpa harus mengumpulkannya! Tapi kau tidak perlu berterimakasih padaku, karena aku telah berbuat baik dengan melakukan ini untukmu. Yang paling penting sekarang, kau cuci semua pakaian kotorku itu dan aku tidak akan memperhitungkan semuanya."Anisa menatap tajam dan tersenyum sinis pada Hana, " Memperhitungkan semuanya? Apa maksudmu bicara seperti itu? Apa kau pikir, aku ini babumu? Berani sekali kau menyuruhku mencuci semua pakaian kotormu! Pakaian itu punyamu kan? Seharusnya kau cuci sendiri! Sudah sebesar ini, tapi masih suruh-suruh orang lain buat cuci baju sendiri. Apa tanganmu lumpuh? Atau... memang tidak punya tangan? Sampai tidak b
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia