Semua orang terdiam mendengar perkataan Tegar. Namun secara tiba-tiba, salah satu dari ibu-ibu di sana dengan sinis berkata, "Hey Tegar. Anisa istrimu? Lalu apakah kau pernah memperlakukan dia sebagai istri? Kami semua yang ada di sini tau, kau memperlakukan Anisa tidak lebih dari seperti seorang pembantu. Pembantu lebih baik, karena dia akan mendapatkan gaji. Namun Anisa, bukan hanya tidak pernah kau berikan dia uang, tapi juga kau siksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat setiap hari! Apakah itu yang disebut istri?"
Meskipun memang salah, namun Tegar tetap berdalih, "Lah, bukankah memang sudah tugasnya istri untuk melayani suami dan keluarganya? Dia melakukan pekerjaan berat juga bukan karena paksaan dari kami. Dia melakukannya dengan sukarela, kami tidak pernah memaksanya."
Mendengar yang dikatakan Tegar, ibu-ibu tadi terkekeh, "Ha ha ha... Tegar... Oh Tegar... Kau pikir kami semua yang ada di sini tidak tau? Tidak dipaksa kau bilang? Dengan ancaman dia akan di usir jika tidak melakukan pekerjaan berat itu, apakah kau pikir itu bukan paksaan? Kau ini pura-pura bodoh atau benar-benar bodoh sih, sebenernya?"
Meskipun yang dikatakan ibu-ibu ini benar, namun Tegar masih saja berdalih, "Ha ha... Ya, mungkin jika melihatnya dari sudut pandang kalian semua, memang terlihat begitu. Tapi percayalah, kami sudah menjalani hubungan kami dengan baik. Anisa juga tidak pernah mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan itu. Dan dia juga tahu, saya tidak melakukannya dengan maksud buruk. Jadi tidak usah terlalu banyak campur tangan dalam urusan keluarga kami, itukan masalah rumah tangga kami. Dan sekarang, maaf kami tidak bisa melayani kalian semua dengan sempurna. Semua tamu silakan pulang."
Ibu barusan tersenyum sinis, "Heh, sekarang sudah kelihatan kan Ibu-ibu, inilah sifat seorang Tegar yang sesungguhnya. Dia mengusir kita, padahal kita datang untuk berbela sungkawa padanya. Hanya karena kita sedikit membicarakannya, dia langsung tersinggung dan mengusir kita. Dari sini saja sudah terlihat, kalau yang kita bicarakan itu semuanya benar! Ayo kita pergi! Kita sudah tidak diinginkan lagi di sini!"
"Ya, Ibu benar. Kelihatan banget sifatnya. Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkan anakku bergaul lagi dengan orang model begini!" sahut ibu-ibu lain.
"Aku juga, tidak akan membiarkan anakku bergaul dengan orang modelan gini!" sahut lainnya lagi.
Dan begitu seterusnya, sampai semua ibu-ibu di sana berdiri dan mulai melangkahkan kaki, pergi dari rumah Tegar.
Melihat para tetangga satu persatu pergi bahkan sebelum jenazah cucunya dimakamkan, Minah yang sedang menemani tamu lain segera bergegas mendekat. "Eh, Ibu-ibu sudah mau pulang saja?" Dia mencoba bersikap ramah.
"Ya. Kita memang tidak diinginkan di sini. Jadi buat apa berlama-lama di tempat ini?" jawab salah satu dari mereka, sinis.
Minah terlihat bingung karena tidak tahu apa yang terjadi, "Haaa? Apa maksud kalian? Kalian tentu sangat diinginkan. Hey, tung..." Minah menghentikan ucapannya, sebelum berbalik menatap Tegar dan bertanya, "Hey Tegar, ada apa ini sebenarnya? Kenapa para tetangga itu pergi, bahkan sebelum cucuku dimakamkan?"
Tegar menghela nafas dan menatap Minah, "Sudahlah Ibu... Biarkan saja orang-orang seperti mereka pergi! Mereka memang tidak seharusnya ada di sini."
Minah mengerutkan dahinya, "Hei, apa maksudmu bicara seperti itu? Mereka itu tetangga kita. Bagaimana bisa tidak seharusnya ada di sini? Apa yang sebenarnya telah kau katakan pada mereka? Sampai-sampai membuat mereka tersinggung dan pergi begitu saja?"
Belum sempat Tegar menjawab, seorang tamu tiba-tiba bediri dan berkata, "Bu Minah dan Tegar, kami turut berduka cita atas kejadian yang menimpa Anisa dan bayinya. Semoga keluarga diberikan kesabaran, Anisa juga lekas sembuh dan diberikan ketabahan. Sekarang, kami harus pamit, karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sampai ketemu lagi di lain waktu dan dalam keadaan yang baik."
Minah dan Tegar tentu terkejut mendengar yang dikatakan tamu barusan. "Sekarang? Apakah benar-benar harus sekarang? Tidak bisa ditunda sebentar lagi?" tanya Minah.
"Tidak bisa, Ibu. Kami harus bekerja. Dan itu sudah tidak bisa ditunda lagi," jawab tamu tadi smbil tersenyum.
Meskipun dia tersenyum, namun sebenarnya dia merasa geram pada Tegar dan Ibunya. Setelah mendengar yang dikatakan tetangga-tetangganya tadi, semua tamu-tamu ini menjadi tahu kalau ternyata seperti inilah sifat asli Tegar dan keluarganya.
Lagian, sebagian besar tamu yang hadir adalah teman-teman Anisa. Saat mendengar kalau teman mereka selalu ditindas, tentu mereka merasa marah.
Membuat mereka merasa tidak ada alasan lagi untuk berlama-lama di tempat ini. Karena saat ini, Anisa juga tidak ada di sini dan masih dirawat di rumah sakit.
Tegar dan Minah tidak bisa berbuat apa-apa, saat orang-orang ini mulai berpamitan dan pergi satu persatu. Hingga di rumah itu, benar-benar tidak ada orang lain selain mereka dan Dinda saja.
"Lihatlah Tegar? Setelah semua tamu pergi, tidak ada lagi orang yang ada di rumah kita? Bicara apa kau dengan para tetangga, sehingga membuat mereka tersinggung dan pergi begitu saja?" tanya Minah benar-benar penasaran.
Tanpa menatap Minah, Tegar menjawab, "Aku memang mengusir mereka."Minah yang terkejut mengangkat kedua alisnya, lalu menatap Tegar tak percaya, "Apa katamu? Kau mengusir mereka?"Tegar menghela nafas dan berkata, "Ibu, aku mengusir mereka, karena mereka memang tidak pantas berada di sini. Apa Ibu tau? Mereka datang hanya untuk menggosipkan keluarga kita, menyalahkan kita atas apa yang terjadi pada Anisa. Bagaimana aku tidak kesal mendengar orang-orang itu yang terus menyalahkan keluarga kita? Padahal Ibu sendiri tau kan? Kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Anisa sendiri yang begitu bodoh dan tidak bisa berhati-hati, hingga mengakibatkan dirinya sendiri mengalami kecelakaan. Tapi mereka terus menggosipkan kita, menyalahkan kita, seolah kitalah yang paling bersalah atas kejadian itu."Minah kembali terkejut begitu mendengar jawaban Tegar. Dia lalu bertanya untuk memastikan, "Benarkah yang kau katak
Anisa menghela nafas panjang untuk mennenangkan diri. Setelah merasa tenang, dia membuka matanya dan menatap Widia, "Tidak ada apa-apa dok, saya hanya ingin keluar untuk menghirup udara segar, namun tiba-tiba malah merasa pusing. Eh iya dok, bisakah saya minta tolong untuk dibelikan dulu alat penekan ASI? Dada saya sakit dok, sepertinya ASI yang diproduksi terlalu banyak. Tadi suster bilang, rumah sakit ini juga menerima donor ASI. Jadinya, ASI saya tidak akan sia-sia kalau begitu."Widia mengangguk "Baiklah, saya akan ambilkan alat penekan ASI untuk Ibu. Rumah sakit ini memang menerima donor ASI, tentu saja ASI Ibu tidak akan sia-sia. Oh iya, kalau mau keluar untuk menghirup udara segar, nanti saya ambilkan kursi roda. Saya juga yang akan menemani Ibu keluar, tidak perlu kuatir soal itu."Widia belum berani menawarkan pada Anisa tentang menjadi Ibu susu untuk Jihan. Karena dia khawatir, Anisa akan menolaknya secara langsung jika dia tahu Ji
Melihat tatapan dingin Safak dan mendengar nada suaranya, mau tidak mau Hermawan menelan saliva nya. "Ahh, tidak Tuan... tidak ada apa-apa. Hanya saja, tadi bukankah Nona Widia...""Aku tau apa yang kulakukan. Dan sebaiknya kau jangan banyak bicara!" potong Safak dengan dingin.Hermawan hanya bisa mengangguk, "Mengerti, Tuan."Safak berbalik dan kembali berjalan menuju ke arah tempat Widia pergi. Sementara Hermawan hanya bisa mengikutinya dari belakang, dan tanpa banyak bicara lagi. Kecuali saat Safak yang mengajaknya bicara.Saat keduanya tiba di depan bangsal tempat Anisa dirawat, barulah mereka berhenti. Safak hanya mengintip dari sebagian kaca yang ada di pintu bangsal.Dia yang biasanya dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba tersenyum saat melihat Anisa telah menggendong Jihan.'Semoga saja, Jihan cocok dengan ASI kamu, Nisa,' batin Safak.
Di dalam bangsal, Jihan yang sedang menyusu pada Anisa, memejamkan matanya setelah kenyang. Dia sepertinya menikmati ASI milik Anisa dan tidak ada tanda-tanda ketidaknyamanan saat menyusu. Anisa sendiri tersenyum kecil melihat ekspresi damai bayi kecil itu."Benar-benar anak yang baik. Setelah kenyang langsung bobok," ucap Anisa sebelum mencium kening Jihan.Widia sendiri tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau gitu saya akan serahkan Jihan pada Ibu sekarang. Tolong jaga Jihan, selama Ibu masih di rumah sakit ya. Dan kalau Ibu butuh sesuatu, tinggal bilang saja."Anisa mengangkat kepalanya, "Sebentar. Dokter menyerahkan bayi ini pada saya begitu saja? Apa dokter tidak kuatir, jika saya akan membawanya pergi?"Anisa bertanya seperti itu, juga bukan tanpa alasan. Dia hanya bingung dan penasaran saja, kenapa dokter ini bisa begitu baik dan perhatian padanya. Bukan hanya itu saja, namun dokter
Anisa lalu menatap Widia dan menambahkan, "Aku pulang dulu ya, dok. Sampai bertemu lagi, dan... tolong jaga Jihan untukku. Meskipun dia bukan anak kandungku, tapi aku merasa dia sudah seperti anakku sendiri."Widia tersenyum, "Tentu saja Ibu. Saya pasti akan menjaga Jihan dengan baik. Saya malah merasa senang, dengan Ibu yang sudah bisa menganggap Jihan seperti anak sendiri. Sampai jumpa lagi, Ibu."Anisa mengangguk, sebelum dengan berat hati dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Sebelum taksi mulai berjalan, Anisa terus menatap Jihan dan Widia. Dia lalu melambaikan tangan sebelum memerintahkan sopir taksi, "Berangkat, Pak."Taksi pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Jihan dan Widia yang tampak mengantarnya dengan senyum hangat. Anisa hanya bisa menatap ke luar jendela taksi, merenung tentang kebersamaan yang telah dia jalani dengan Jihan, selama mereka di rumah sakit.Setelah tak
Minah dan Hana menoleh ke arah pintu dan cukup terkejut saat melihat Anisa sudah berdiri di sana.Hana langsung berdiri dan berkata, "Akhirnya, kau kembali juga. Sekarang karena kau telah kembali, cucikan pakaianku! Aku sudah membawa semua pakaian kotorku ke kamar mandi. Jadi, kau tinggal mencucinya tanpa harus mengumpulkannya! Tapi kau tidak perlu berterimakasih padaku, karena aku telah berbuat baik dengan melakukan ini untukmu. Yang paling penting sekarang, kau cuci semua pakaian kotorku itu dan aku tidak akan memperhitungkan semuanya."Anisa menatap tajam dan tersenyum sinis pada Hana, " Memperhitungkan semuanya? Apa maksudmu bicara seperti itu? Apa kau pikir, aku ini babumu? Berani sekali kau menyuruhku mencuci semua pakaian kotormu! Pakaian itu punyamu kan? Seharusnya kau cuci sendiri! Sudah sebesar ini, tapi masih suruh-suruh orang lain buat cuci baju sendiri. Apa tanganmu lumpuh? Atau... memang tidak punya tangan? Sampai tidak b
"Nisa! Apa yang kau lakukan? Sudah cukup!" ucap Tegar dengan suara yang tegas dan marah.Menoleh ke arah Tegar, Anisa menatapnya dengan tajam. Dia lalu melepaskan cengkeraman tangannya pada rambut Dinda, sebelum menampar Tegar dengan keras. Karena tamparan itu begitu tiba-tiba dan sangat cepat, Tegar tidak bisa menghindarinya. PLAK! "Berani sekali kau menghentikanku, brengsek! Dasar laki-laki tak tau diri!" tegas Anisa, sebelum menendang perut Tegar dengan kuat juga. "Akkkk!"Tegar terjatuh begitu saja, saat dia memegangi perutnya yang kesakitan. Menatap Anisa, dia benar-benar terkejut dan tidak percaya, 'Apa yang telah terjadi? Sejak kapan wanita ini menjadi ganas dan kuat seperti ini?'Minah, Hana, dan Dinda menjadi panik dan khawatir saat melihat Tegar dijatuhkan begitu saja oleh Anisa. Ketiganya dengan cepat mendekati laki-laki itu. "Tegar...""Kak Tegar!""Tegar...""Tegar, bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja, kan?" tanya Minah sebelum berbalik menatap tajam pada Anisa, "
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anisa, hingga membuatnya hampir terjatuh. Lalu dengan nafas yang terengah-engah karena menahan emosi, Tegar berkata, "Berhenti mengatai Dinda! Dia jelas wanita baik-baik! Jika kau terus seperti ini dan tidak bisa mengontrol dirimu, maka aku akan benar-benar menceraikanmu!"Mendengar yang dikatakan Tegar, Anisa langsung tertawa. "Ha ha ha ha ha..." Dia menoleh ke arah Tegar dengan senyum sinis, "Cerai katamu? Baik! Kita bercerai saja. Memang selama ini kau juga tidak pernah menganggap aku sebagai istrimu. Cerai memang hal yang baik. Agar kau bisa bebas untuk bermesraan dengan pelakor ini." Anisa menoleh ke arah Dinda, "Kau menang pelakor. Tapi aku hanya ingin mengingatkan satu hal padamu. Semoga saja kau tidak menyesal!" Anisa melotot. Dia berbalik dan bersiap untuk melangkahkan kakinya, namun segera dihentikan oleh Tegar yang langsung memegang tangannya. Tegar sendiri tidak mengerti, kenapa dia bisa melakukan itu. Padahal dia sendiri yan
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia