Anisa lalu menatap Widia dan menambahkan, "Aku pulang dulu ya, dok. Sampai bertemu lagi, dan... tolong jaga Jihan untukku. Meskipun dia bukan anak kandungku, tapi aku merasa dia sudah seperti anakku sendiri."
Widia tersenyum, "Tentu saja Ibu. Saya pasti akan menjaga Jihan dengan baik. Saya malah merasa senang, dengan Ibu yang sudah bisa menganggap Jihan seperti anak sendiri. Sampai jumpa lagi, Ibu."
Anisa mengangguk, sebelum dengan berat hati dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Sebelum taksi mulai berjalan, Anisa terus menatap Jihan dan Widia. Dia lalu melambaikan tangan sebelum memerintahkan sopir taksi, "Berangkat, Pak."
Taksi pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Jihan dan Widia yang tampak mengantarnya dengan senyum hangat. Anisa hanya bisa menatap ke luar jendela taksi, merenung tentang kebersamaan yang telah dia jalani dengan Jihan, selama mereka di rumah sakit.
Setelah tak
Minah dan Hana menoleh ke arah pintu dan cukup terkejut saat melihat Anisa sudah berdiri di sana.Hana langsung berdiri dan berkata, "Akhirnya, kau kembali juga. Sekarang karena kau telah kembali, cucikan pakaianku! Aku sudah membawa semua pakaian kotorku ke kamar mandi. Jadi, kau tinggal mencucinya tanpa harus mengumpulkannya! Tapi kau tidak perlu berterimakasih padaku, karena aku telah berbuat baik dengan melakukan ini untukmu. Yang paling penting sekarang, kau cuci semua pakaian kotorku itu dan aku tidak akan memperhitungkan semuanya."Anisa menatap tajam dan tersenyum sinis pada Hana, " Memperhitungkan semuanya? Apa maksudmu bicara seperti itu? Apa kau pikir, aku ini babumu? Berani sekali kau menyuruhku mencuci semua pakaian kotormu! Pakaian itu punyamu kan? Seharusnya kau cuci sendiri! Sudah sebesar ini, tapi masih suruh-suruh orang lain buat cuci baju sendiri. Apa tanganmu lumpuh? Atau... memang tidak punya tangan? Sampai tidak b
"Nisa! Apa yang kau lakukan? Sudah cukup!" ucap Tegar dengan suara yang tegas dan marah.Menoleh ke arah Tegar, Anisa menatapnya dengan tajam. Dia lalu melepaskan cengkeraman tangannya pada rambut Dinda, sebelum menampar Tegar dengan keras. Karena tamparan itu begitu tiba-tiba dan sangat cepat, Tegar tidak bisa menghindarinya. PLAK! "Berani sekali kau menghentikanku, brengsek! Dasar laki-laki tak tau diri!" tegas Anisa, sebelum menendang perut Tegar dengan kuat juga. "Akkkk!"Tegar terjatuh begitu saja, saat dia memegangi perutnya yang kesakitan. Menatap Anisa, dia benar-benar terkejut dan tidak percaya, 'Apa yang telah terjadi? Sejak kapan wanita ini menjadi ganas dan kuat seperti ini?'Minah, Hana, dan Dinda menjadi panik dan khawatir saat melihat Tegar dijatuhkan begitu saja oleh Anisa. Ketiganya dengan cepat mendekati laki-laki itu. "Tegar...""Kak Tegar!""Tegar...""Tegar, bagaimana keadaanmu? Kau baik-baik saja, kan?" tanya Minah sebelum berbalik menatap tajam pada Anisa, "
PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anisa, hingga membuatnya hampir terjatuh. Lalu dengan nafas yang terengah-engah karena menahan emosi, Tegar berkata, "Berhenti mengatai Dinda! Dia jelas wanita baik-baik! Jika kau terus seperti ini dan tidak bisa mengontrol dirimu, maka aku akan benar-benar menceraikanmu!"Mendengar yang dikatakan Tegar, Anisa langsung tertawa. "Ha ha ha ha ha..." Dia menoleh ke arah Tegar dengan senyum sinis, "Cerai katamu? Baik! Kita bercerai saja. Memang selama ini kau juga tidak pernah menganggap aku sebagai istrimu. Cerai memang hal yang baik. Agar kau bisa bebas untuk bermesraan dengan pelakor ini." Anisa menoleh ke arah Dinda, "Kau menang pelakor. Tapi aku hanya ingin mengingatkan satu hal padamu. Semoga saja kau tidak menyesal!" Anisa melotot. Dia berbalik dan bersiap untuk melangkahkan kakinya, namun segera dihentikan oleh Tegar yang langsung memegang tangannya. Tegar sendiri tidak mengerti, kenapa dia bisa melakukan itu. Padahal dia sendiri yan
Tegar merasa tegang saat melihat ekspresi dingin di wajah Anisa. Dia lalu memalingkan wajahnya ke samping dan berkata, "Nisa, kau sungguh-sungguh mau bercerai denganku?"Anisa tersenyum sinis dan menjawab, "Ya. Lalu apakah hanya itu yang ingin kau katakan? Jika tidak ada yang lain, berhentilah menggangguku!"Setelah mengatakan itu, Anisa kembali merapikan barang-barangnya. Namun Tegar masih merasa tidak bisa membiarkannya begitu saja. Dia lalu menurunkan egonya sedikit dan berbalik untuk berkata, "Nisa, aku..."Namun sebelum Tegar sempat menyelesaikan kata-katanya, Anisa sudah langsung menoleh dan memotongnya, "Kau kenapa? Apa kau menyesal? Ha ha ha... Lucu sekali... Sudahlah, berhentilah menggangguku! Aku mau membereskan semua pakaianku dan pergi dari rumah ini. Ingatlah untuk datang ke pengadilan! Dan meskipun kau tidak datang, akan aku pastikan kita tetap bercerai. Jadi kau bisa tenang jika mau bermesraan dengan pelak
Tegar hanya diam, karena memang tidak tahu apa yang harus menjawab bagaimana. Egonya yang tinggi, membuat dia enggan untuk mengalah apa lagi sampai mengakui kesalahannya.Sementara itu, Anisa kembali melangkahkan kakinya ke arah pintu utama. Namun saat tiba di ruang tamu, dia berhenti sebentar dan berkata, "Aku sudah tidak sabar, ingin melihat bagaimana caranya kalian hidup tanpa aku!""Huh, seolah kami tidak bisa hidup tanpa orang tak berguna sepertimu!" cemooh Minah."Karena dia sering mengerjakan pekerjaan rumah untuk kita, dia jadi berpikir kita tidak akan bisa hidup tanpa dia. Ha ha ha... benar-benar konyol!" sahut Hana.Mendengar yang dikatakan Minah dan Hana, Anisa hanya tertawa kecil.Minah dan Hana tentu merasa kesal, karena merasa ditertawakan oleh Anisa. "Hei, apa yang kau tertawakan?" bentak Hana."Hanya menertawakan
Tepat ketika Anisa sudah sampai di luar rumah keluarga Tegar, ada beberapa tetangga yang melihat, hingga langsung mendekatinya."Nisa, kamu mau ke mana?" tanya salah satu tetangga."Kau bawa koper sebesar ini, apakah kau memutuskan untuk keluar dari rumah ini?" sahut yang lain sambil menoleh ke rumah Tegar.Anisa menghela nafas dan tersenyum pada mereka, "Ya, aku sudah memutuskan untuk keluar dari rumah yang seperti neraka ini. Aku akan mulai dengan mencari tempat tinggal baru. Oh iya, apakah diantara kalian ada yang misalnya tau tempat kontrakan atau kos-kosan yang murah di daerah sini?"Orang-orang itu terkejut sekaligus senang saat mendengar jawaban Anisa. "Kau telah membuat keputusan yang tepat dengan meninggalkan rumah ini, Nisa. Keluarga ini memang tidak bisa bersyukur dan melihat pengorbananmu pada mereka. Kami semua mendukung keputusanmu itu. Oh iya, aku ingat! Kau bil
Minah dan Hana langsung mengerti begitu mendengar perkataan Dinda. Keduanya saling tatap sebelum Minah berkata, "Hmm, benar juga yang dikatakan Dinda. Kita tidak perlu repot-repot untuk mencari cara untuk membawa dia kembali. Dia akan kembali dengan sendirinya karena tidak punya tempat tinggal.""Dan setelah dia kembali, kita harus benar-benar memberikan dia pelajaran yang berharga! Bukan hanya dia telah dengan teledor tidak bisa menjaga keponakanku dengan benar. Tapi dia telah berani menyakitiku dan Kak Dinda, juga mencemooh kita semua. Kita harus benar-benar memberinya pelajaran berharga, dan tidak boleh memaafkan dia sama sekali!" sahut Hana penuh tekad.***Di tempat lain, Safak yang sedang duduk di kantornya, tiba-tiba mendapatkan panggilan telepon dari salah satu anak buahnya."Bagaimana?" tanya Safak, begitu panggilan tersambung."Boss, saya baru saja men
"Hemm, kau tenang saja. Aku tidak pernah menarik kembali kata-kataku," jawab Safak.Widia tersenyum senang dan berkata, "Baiklah. Tenang saja, semuanya pasti berjalan dengan baik. Aku pastikan, kamu dan Kak Anisa akan kembali bersama lagi. Kamu, bersiap-bersiaplah untuk memberikan apapun keinginanku!"Safak tertawa dan menggelengkan kepalanya, "Kau tenang saja, jika kau benar-benar bisa membuat Anisa kembali padaku. Bahkan jika kau meminta seluruh aset milikku, juga bisa kuberikan."Widia yang tadi sedang duduk, tiba-tiba berdiri karena tercengang. "Haaa... Benarkah itu? Kau benar-benar rela memberikan semuanya, hanya demi supaya bisa bersama Kak Anisa?" Dia benar-benar tidak percaya, kalau Kakaknya rela berkorban sebanyak itu hanya untuk wanita seperti Anisa."Tentu saja benar. Harta bisa dicari, tapi cinta dari Anisa untukku, sangat sulit untuk didapatkan kembali. Aku pernah sangat meng
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia