Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil.
Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas.
"Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"
Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."
Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."
Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."
Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar.
"Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar.
Belum sempat perawat itu menjawab, tiba-tiba seorang wanita setengah baya datang entah dari mana dan langsung bertanya, "Di mana cucuku, Tegar? Aku ingin melihat cucuku!"
"Ibu, Bapak, maaf... Kami sudah berusaha sebisa kami, tapi..."
"Tapi apa? Jangan bicara yang tidak-tidak tentang anakku! Dia pasti tidak akan kenapa-napa! Anakku tidak akan kenapa-napa! Kamu sebaiknya jangan bicara ngawur!" potong Tegar dengan tegas.
"Maaf Pak, tapi..."
Kembali Tegar memotong ucapan perawat itu, "Jangan bicara! Aku mau melihat anakku, minggir!"
Tegar mendorong perawat itu ke samping, sebelum dia menerobos masuk ke ruangan yang tadi akan dijadikan tempat operasi kecil. Minah dan Dinda juga mengikutinya masuk ke ruangan tersebut.
Widia dan perawat yang lain masih ada di sana untuk mengurus proses pasca kematian bayi Anisa. Mereka terdiam saat melihat Tegar dan dua wanita itu tiba-tiba menerobos masuk ke dalam ruangan.
"Anakku..."
"Cucuku..."
Tegar dan Minah berseru bersamaan. Sementara untuk Dinda, dia hanya diam karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Terduduk di sebelah bayi yang sudah tak bernyawa, Minah menjerit, "Sialan, Anisa benar-benar tidak berguna! Bagaimana dia bisa kecelakaan? Dia telah membuat cucuku meninggal. Aku akan berurusan dengannya setelah ini!"
"Ya Ibu, aku sangat berharap dia tidak akan pernah mendapatkan pendonor, agar dia cepat mati!" sahut Tegar.
Menoleh ke arah putranya, Minah bertanya, "Apa maksudmu, Tegar?"
"Wanita itu masih belum bangun sampai sekarang, karena kehabisan banyak darah. Dan di rumah sakit ini tidak ada darah yang cocok untuknya. Seharusnya dia saja yang mati! Bukan anakku!" jawab Tegar penuh kekesalan.
"Oh, jadi begitu? Ya, semoga saja wanita tidak tau diuntung itu cepat-cepat mati. Sejujurnya, aku juga sudah muak dengannya. Jika bukan karena dia sedang mengandung cucuku, pasti dia sudah lama kutendang dari rumah!" tegas Minah.
Kedua orang ini sepertinya lupa, sedang berada di mana mereka sekarang. Sehingga mereka bicara, tanpa menyaring dulu apa yang akan dikeluarkan lewat mulut mereka.
Widia hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya, saat mendengar yang dikatakan dua orang itu. Bukan hanya Widia saja, namun semua perawat juga sama-sama tidak mempercayai yang baru mereka dengarkan.
Saat itu, seorang perawat datang ke ruangan tersebut, "Dengan keluarga Ibu Anisa? Pasien sudah siuman sekarang. Meskipun kondisinya masih lemah."
Tegar dan Minah tentu terkejut mendengar kabar itu. Tegar kemudian menatap perawat tersebut dan bertanya, "Sudah siuman katamu? Bukankah dia belum mendapatkan darah yang cocok untuknya? Bagaimana dia bisa sadar secepat ini?"
Perawat barusan tersenyum, "Ohh, maaf lupa memberitahu Anda, Pak. Tadi ada seseorang yang sudah mendonorkan darah untuk Ibu Anisa. Dan Ibu Anisa telah berhasil melewati masa kritisnya."
"Apa? Ada yang mendonorkan darah untuk wanita seperti itu? Sungguh beruntung sekali wanita seperti dia!" Tegar berdiri sambil mengepalkan telapak tangannya, "Ayo Ibu, kita lihat wanita itu!"
"Ya, ayo kita lihat! Kalau perlu, aku akan memberinya pelajaran!" jawab Minah tidak sabar.
Begitu saja, Tegar dan Minah meninggalkan ruangan tersebut, dan Dinda tentu mengikutinya.
Seorang perawat yang khawatir bertanya ke Widia, "Bagaimana ini, Dok? Pasien masih dalam kondisi lemah, dan setelah mendengar dari semua yang dikatakan keluarganya barusan, saya khawatir mereka akan berbuat kasar ke pasien."
"Aku juga sepemikiran denganmu. Baiklah, untuk lebih amannya kamu panggil penjaga keamanan saja! Minta penjaga keamanan untuk berjaga di luar ruangan tempat pasien dirawat! Jika terjadi keributan dan orang-orang itu menyakiti pasien, biarkan penjaga keamanan yang melerai," ujar Widia.
"Baik, Dok," jawab perawat barusan, sebelum pergi untuk memanggil penjaga keamanan.
Sementara Widia, melanjutkan tugasnya untuk mengurus proses pasca kematian bayi Anisa.
Setelah selesai, dia berbalik untuk pergi, namun dikejutkan Safak yang masih ada di sana. "Kakak? Kau ada di sini dari tadi? Aku pikir kau sudah pulang."
"Aku telah melihat dan mendengar semuanya dari awal sampai akhir. Seperti yang kau katakan tadi, Tegar memang tidak peduli lagi pada Anisa." Safak lalu mengeluarkan sebuah kartu hitam dari sakunya, "Gunakan saja uang ini untuk mengurus semua biaya rumah sakit Anisa. Melihat dan mendengar yang dikatakan orang-orang itu, aku yakin, tidak mungkin mereka akan mengeluarkan uang untuk membayar biaya rumah sakitnya."
Menghela nafas, Widia berkata, "Ya, baiklah. Sebenarnya aku berniat menggunakan uangku. Tapi karena Kakak sudah mengeluarkan punya Kakak, jadi aku tidak boleh menolaknya." Widia memamerkan giginya, sebelum dengan cepat mengambil kartu hitam dari tangan Safak.
"Heh, dasar. Bisa saja kau ini... Sudah ya, aku benar-benar pergi sekarang. Kamu, tolong jaga Anisa buatku. Kalau memungkinkan dan dia bisa terima aku lagi, dia akan menjadi Kakak iparmu. Jadi, kau harus perlakukan dia dengan baik!" jelas Safak.
Widia terkekeh, "He he... Beres Kak..."
***
Di tempat lain.
Tegar membuka pintu ruangan tempat Anisa dirawat. Dia dan Minah bergegas mendekati Anisa dengan mata melotot.
Anisa yang masih lemah, terkejut melihat suami dan mertuanya yang datang dengan ekspedisi marah padanya.
Sehingga saat itu, dia langsung bertanya dengan suara lirih, "Tegar, Ibu... Ada apa? Di mana anakku?"
"Bagus ya, bagus! Kau enak-enakan tidur di sini. Lihat, akibat keteledoranmu membuat cucuku kehilangan nyawa! Kau memang tidak berguna, tidak berguna!" Minah lalu mencekik leher Anisa.
Anisa sangat terkejut dengan yang dikatakan Ibu mertuanya, sehingga dia tidak dapat merespon saat dia dicekik begitu saja.
"Kenapa bukan kau saja yang mati? Sekarang, matilah! Matilah kau wanita tak berguna! Aku akan membunuhmu dengan tanganku!" teriak Minah.
Anisa memegangi kedua tangan Minah, berusaha untuk melepaskan cekikan itu. "Ibu, lepaskan aku! Aku tidak bisa bernafas Ibu. Lepaskan aku, Ibu..."
Saat itu, dua penjaga keamanan bergegas masuk, "Hei, apa yang kau lakukan? Lepaskan! Cepat lepaskan!"
Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke
Perawat di sana juga terkejut melihatnya, "Astaga Ibu... Sepertinya ini air ASI. Dan ini banyak banget...""Air ASI? ASI ku keluar? Tapi..." Anisa terdiam saat mengingat bayinya sudah tiada. Dia menangis dan melanjutkan, "Seandainya saja kamu selamat, Nak. Kamu pasti kenyang setiap hari. Lihatlah... Air ASI Ibu, banyak banget... dan Ibu yakin, itu lebih dari cukup untuk kamu minum setiap saat."Anisa lalu menatap perawat dan bertanya, "Sus, apakah ASI saya akan keluar terus, meskipun tidak ada bayi lagi yang meminumnya?"Perawat itu menjawab, "Ya Ibu, biasanya ASI akan tetap keluar setelah persalinan meskipun tidak ada bayi yang meminumnya. Jika dada Ibu terasa sakit karena ASI yang terus diproduksi, Ibu bisa menggunakan metode penekanan untuk mengambil ASI. Dan jika Ibu berkenan, rumah sakit kami juga menerima donor ASI."Anisa mengangguk pelan, "Mungkin aku akan mencoba metode penekanan itu. Dan te
Semua orang terdiam mendengar perkataan Tegar. Namun secara tiba-tiba, salah satu dari ibu-ibu di sana dengan sinis berkata, "Hey Tegar. Anisa istrimu? Lalu apakah kau pernah memperlakukan dia sebagai istri? Kami semua yang ada di sini tau, kau memperlakukan Anisa tidak lebih dari seperti seorang pembantu. Pembantu lebih baik, karena dia akan mendapatkan gaji. Namun Anisa, bukan hanya tidak pernah kau berikan dia uang, tapi juga kau siksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat setiap hari! Apakah itu yang disebut istri?"Meskipun memang salah, namun Tegar tetap berdalih, "Lah, bukankah memang sudah tugasnya istri untuk melayani suami dan keluarganya? Dia melakukan pekerjaan berat juga bukan karena paksaan dari kami. Dia melakukannya dengan sukarela, kami tidak pernah memaksanya."Mendengar yang dikatakan Tegar, ibu-ibu tadi terkekeh, "Ha ha ha... Tegar... Oh Tegar... Kau pikir kami semua yang ada di sini tidak tau? Tidak dipaksa kau bilang? Dengan
Tanpa menatap Minah, Tegar menjawab, "Aku memang mengusir mereka."Minah yang terkejut mengangkat kedua alisnya, lalu menatap Tegar tak percaya, "Apa katamu? Kau mengusir mereka?"Tegar menghela nafas dan berkata, "Ibu, aku mengusir mereka, karena mereka memang tidak pantas berada di sini. Apa Ibu tau? Mereka datang hanya untuk menggosipkan keluarga kita, menyalahkan kita atas apa yang terjadi pada Anisa. Bagaimana aku tidak kesal mendengar orang-orang itu yang terus menyalahkan keluarga kita? Padahal Ibu sendiri tau kan? Kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Anisa sendiri yang begitu bodoh dan tidak bisa berhati-hati, hingga mengakibatkan dirinya sendiri mengalami kecelakaan. Tapi mereka terus menggosipkan kita, menyalahkan kita, seolah kitalah yang paling bersalah atas kejadian itu."Minah kembali terkejut begitu mendengar jawaban Tegar. Dia lalu bertanya untuk memastikan, "Benarkah yang kau katak
Anisa menghela nafas panjang untuk mennenangkan diri. Setelah merasa tenang, dia membuka matanya dan menatap Widia, "Tidak ada apa-apa dok, saya hanya ingin keluar untuk menghirup udara segar, namun tiba-tiba malah merasa pusing. Eh iya dok, bisakah saya minta tolong untuk dibelikan dulu alat penekan ASI? Dada saya sakit dok, sepertinya ASI yang diproduksi terlalu banyak. Tadi suster bilang, rumah sakit ini juga menerima donor ASI. Jadinya, ASI saya tidak akan sia-sia kalau begitu."Widia mengangguk "Baiklah, saya akan ambilkan alat penekan ASI untuk Ibu. Rumah sakit ini memang menerima donor ASI, tentu saja ASI Ibu tidak akan sia-sia. Oh iya, kalau mau keluar untuk menghirup udara segar, nanti saya ambilkan kursi roda. Saya juga yang akan menemani Ibu keluar, tidak perlu kuatir soal itu."Widia belum berani menawarkan pada Anisa tentang menjadi Ibu susu untuk Jihan. Karena dia khawatir, Anisa akan menolaknya secara langsung jika dia tahu Ji
Melihat tatapan dingin Safak dan mendengar nada suaranya, mau tidak mau Hermawan menelan saliva nya. "Ahh, tidak Tuan... tidak ada apa-apa. Hanya saja, tadi bukankah Nona Widia...""Aku tau apa yang kulakukan. Dan sebaiknya kau jangan banyak bicara!" potong Safak dengan dingin.Hermawan hanya bisa mengangguk, "Mengerti, Tuan."Safak berbalik dan kembali berjalan menuju ke arah tempat Widia pergi. Sementara Hermawan hanya bisa mengikutinya dari belakang, dan tanpa banyak bicara lagi. Kecuali saat Safak yang mengajaknya bicara.Saat keduanya tiba di depan bangsal tempat Anisa dirawat, barulah mereka berhenti. Safak hanya mengintip dari sebagian kaca yang ada di pintu bangsal.Dia yang biasanya dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba tersenyum saat melihat Anisa telah menggendong Jihan.'Semoga saja, Jihan cocok dengan ASI kamu, Nisa,' batin Safak.
Di dalam bangsal, Jihan yang sedang menyusu pada Anisa, memejamkan matanya setelah kenyang. Dia sepertinya menikmati ASI milik Anisa dan tidak ada tanda-tanda ketidaknyamanan saat menyusu. Anisa sendiri tersenyum kecil melihat ekspresi damai bayi kecil itu."Benar-benar anak yang baik. Setelah kenyang langsung bobok," ucap Anisa sebelum mencium kening Jihan.Widia sendiri tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau gitu saya akan serahkan Jihan pada Ibu sekarang. Tolong jaga Jihan, selama Ibu masih di rumah sakit ya. Dan kalau Ibu butuh sesuatu, tinggal bilang saja."Anisa mengangkat kepalanya, "Sebentar. Dokter menyerahkan bayi ini pada saya begitu saja? Apa dokter tidak kuatir, jika saya akan membawanya pergi?"Anisa bertanya seperti itu, juga bukan tanpa alasan. Dia hanya bingung dan penasaran saja, kenapa dokter ini bisa begitu baik dan perhatian padanya. Bukan hanya itu saja, namun dokter
Anisa lalu menatap Widia dan menambahkan, "Aku pulang dulu ya, dok. Sampai bertemu lagi, dan... tolong jaga Jihan untukku. Meskipun dia bukan anak kandungku, tapi aku merasa dia sudah seperti anakku sendiri."Widia tersenyum, "Tentu saja Ibu. Saya pasti akan menjaga Jihan dengan baik. Saya malah merasa senang, dengan Ibu yang sudah bisa menganggap Jihan seperti anak sendiri. Sampai jumpa lagi, Ibu."Anisa mengangguk, sebelum dengan berat hati dia berbalik dan masuk ke dalam taksi. Sebelum taksi mulai berjalan, Anisa terus menatap Jihan dan Widia. Dia lalu melambaikan tangan sebelum memerintahkan sopir taksi, "Berangkat, Pak."Taksi pun mulai melaju meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Jihan dan Widia yang tampak mengantarnya dengan senyum hangat. Anisa hanya bisa menatap ke luar jendela taksi, merenung tentang kebersamaan yang telah dia jalani dengan Jihan, selama mereka di rumah sakit.Setelah tak
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia