Share

Bab 3

Author: Mr. Crawford
last update Last Updated: 2025-02-12 10:10:28

Berbalik, Widia dikejutkan dengan orang yang sangat dikenalnya ada di sana. "Kakak, apa yang kau... Apa? Darahmu Ab negatif? Sial, kenapa tidak terpikirkan olehku, jika satu keluarga kita golongan darahnya Ab negatif? Huh, jika tau begini, aku saja yang mendonorkannya sejak awal. Tidak perlu repot-repot mencari darah ke mana-mana."

Menghembuskan nafasnya cepat, Safak berkata, "Sudahlah, cepat bawa aku ke tempat pendonoran darah. Kita tidak punya banyak waktu. Anisa butuh darah ini secepatnya."

Widia terkejut mendengar kakaknya mengetahui nama pasien, "Kak, kamu mengenal wanita itu?"

"Kau ini, jangan banyak tanya! Ceritanya lain kali saja. Sekarang yang paling penting selamatkan Anisa!" Safak berkata dengan tidak sabar. 

Widia terkekeh, "He he, iya iya... Ya sudah, ayo ikut aku!" 

Widia lalu membawa Safak ke ruang donor darah di dekat sana. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan singkat, Safak diminta naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pendonoran darah.

"Aku akan mulai proses pengambilan darah sekarang. Harap tetap tenang dan rileks, ini hanya akan berlangsung sesaat," ucap Widia. 

"Lakukan saja," jawab Safak. 

Darah berwarna merah pekat mulai mengalir keluar dari lengan Safak, diserap oleh tabung yang terhubung dengan kantong plastik di sampingnya. Suasana ruangan donor darah terasa hening, hanya terdengar suara mesin penyedot darah yang teratur.

Beberapa waktu berlalu, kantong darah sudah terisi penuh. Widia kemudian menutup suntikan, sambil memberikan ujung kantong darah ke perawat yang siap menyalurkannya ke tubuh Anisa. 

"Sebelumnya aku ucapkan terimakasih, Kak. Kamu sungguh telah menjadi pahlawan hari ini. Ohh iya, aku penasaran, bagaimana kamu bisa mengenal wanita, Anisa ini? Jangan bilang dia termasuk mantan pacarmu dulu?" tanya Widia main-main. 

Namun Widia terkejut begitu mendengar jawaban dari Safak. "Dia memang mantanku. Kenapa? Aku tidak boleh membagi darahku untuk mantan pacarku?"

"Apa? Jadi wanita itu beneran mantan pacarmu?" tanya Widia tak percaya. 

Safak mengangguk, "Tentu saja benar. Kau ingat? Orang yang sampai sekarang masih selalu aku pikirkan?" 

Membuka kedua mata dan mulutnya lebar-lebar, Widia lalu menutup mulut itu dengan telapak tangannya. 

Menarik telapak tangannya ke bawah, Widia berkata, "Astaga... Jadi dia orangnya?" Widia menghela nafas sebelum melanjutkan, "Ya, sayang sekali dia sudah menikah. Jika saja belum, mungkin bisa menjadi Ibu dari Jihan."

Jihan adalah anak Safak yang masih berusia 4 bulan. Dia harus kehilangan ibunya saat berusia 2 bulan, karena ibunya mengalami kecelakaan. 

"Hushh... Lupakan itu. Bahkan jika Anisa belum menikah, dia juga gak bakalan mau sama aku," ujar Safak. 

"Hemm... Iya aku tau itu. Tapi sekarang beda lo Kak. Oh iya, dari yang aku amati... Suami Kak Anisa ini sepertinya tidak terlalu peduli padanya. Aku bisa mengatakan ini, karena aku sudah mengamatinya sejak mereka sampai di rumah sakit, tadi. Dia selalu meminta pada kami untuk menyelamatkan anaknya, sementara istrinya tidak pernah dia katakan pada kami untuk menyelamatkannya. Huh, aku heran. Kok bisa ada ya, laki-laki seperti itu," Widia sampai menggelengkan kepala. 

"Kau tidak perlu berpikiran atau ikut campur rumah tangga orang. Sebaiknya kau fokus saja pada tugasmu untuk menyembuhkan Anisa. Aku mau pulang sekarang," ujar Safak. 

"Emm, iya iya. Sekali lagi terimakasih ya, Kak. Hati-hati..." ucap Widia. 

Safak mengangguk sebelum menyentil hidung adiknya itu. Dia kemudian berdiri dan mulai berjalan keluar dari ruangan. 

Saat Safak sudah pergi, barulah Widia ingat masih ada sesuatu yang belum dia tanyakan. "Huh, dia sudah pergi. Padahal aku mau tanya ke dia, dari mana dia tau kalau rumah sakit ini membutuhkan pendonor, dan bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di rumah sakit di jam segini?"

***

Safak sendiri, sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit, dia menyempatkan diri untuk melihat ke bangsal tempat Anisa dirawat. 

Melihat tubuh lemahnya yang masih pucat dan tak sadarkan diri, membuat dadanya terasa sakit. 

Dalam keadaan seperti itu, Safak memaksakan senyumnya dan bergumam, "Semoga sedikit darahku ini bisa menolongmu. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, sekarang."

Saat Safak berbalik dan bersiap untuk pergi, tiba-tiba dia mendengar teriakan, "Tolong! Tolong! Tolong anakku! Dia muntah-muntah, tolong!"

Melihat ke arah sumber suara, itu adalah tempat perawatan bayi prematur. Atau tempat di mana bayi Anisa di rawat saat ini. Dan tentu saja, yang baru berteriak itu adalah Tegar sendiri, suami Anisa. 

"Sial, apa yang terjadi?" 

Karena penasaran, Safak pun segera bergegas mendekat ke tempat itu. 

Tegar yang panik dan tidak tahu harus berbuat apa, segera bertanya pada perawat yang sedang menangani anaknya. "Apakah anakku baik-baik saja? Apa yang terjadi?" 

Perawat mencoba menenangkan Tegar, "Bapak tenang, muntah-muntah adalah hal yang biasa terjadi pada bayi prematur. Tidak perlu khawatir, kami akan terus memantau keadaannya."

Meski mengatakan itu, perawat juga merasa panik, karena bayi itu terus muntah. Bahkan dia semakin pucat dan lemah. 

"Sus, bagaimana aku bisa tenang? Lihat, anakku muntah terus tidak mau berhenti! Dia juga semakin pucat!" pekik Tegar, terdengar begitu khawatir. 

"Cepat panggil dokter Hendra! Hanya dokter spesialis yang bisa menangani ini!" teriak salah satu perawat pada perawat lain. 

"Tapi ini masih terlalu pagi, bahkan masih gelap. Apakah dokter Hendra bahkan sudah bangun?" ujar salah satu perawat lain. 

Tegar yang tidak sabar, berbalik untuk menatap tajam perawat barusan. "Aku tidak peduli apakah dia sudah bangun atau belum. Panggil dia sekarang! Aku tidak mau tau, dia harus datang sekarang juga!" teriaknya. 

"Sabar Pak, baik kami akan mencoba menghubungi dokter Hendra," ucap perawat dengan nada cemas.

Perawat itu kemudian pergi, untuk mencoba menghubungi dokter Hendra menggunakan telepon rumah sakit. Namun setelah berkali-kali mencoba, usahanya sia-sia belaka. 

Lagi pula, jarang sekali ada orang yang sudah bangun di jam 3 pagi. Kecuali orang itu sedang bekerja atau berkepentingan. 

Karena tidak berhasil menghubungi dokter Hendra, perawat itu mencari Widia, "Dokter Widia, kami sudah berusaha menghubungi dokter Hendra namun tidak berhasil. Meskipun bukan dokter spesialis, tapi hanya Anda yang saat ini bisa menolong anak itu."

Widia mengerutkan dahinya dan mengangguk, "Baiklah, ayo kita ke sana!"

Widia dan perawat itu dengan cepat menuju ke ruang perawatan bayi prematur tempat anak Anisa dirawat. Begitu tiba di sana, Widia cukup terkejut karena melihat kakaknya masih ada di sana. 

Namun keterkejutannya tidak berhenti di situ saja, dia kembali terkejut saat melihat bayi Anisa terus muntah berbusa dan mengejang hebat. 

"Dok, tolong selamatkan anakku, Dok! Selamatkan anakku!" Tegar terlihat sangat putus asa saat itu. 

"Baik, Bapak yang tenang, ya. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk menyelamatkan bayi ini!" jawab Widia mencoba menenangkan." Dia kemudian menatap para perawat di sana dan melanjutkan, "Lakukan persiapan untuk operasi kecil pada anak ini. Sepertinya dia mengalami masalah pada saluran pencernaan. Kita harus segera mengatasi hal ini sebelum menjadi lebih parah."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 4

    Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. "Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. "Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. B

    Last Updated : 2025-02-12
  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 5

    Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke

    Last Updated : 2025-02-13
  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 1

    Jam dinding di sebuah kamar menunjukkan pukul 10 malam ketika terdengar teriakan, "Nisa! Pergi ke Alfamart depan dan belikan aku mie instan!"Seorang wanita setengah baya, membuka pintu kamar Anisa dan melemparkan uang kertas 5 ribu rupiah. Dia kembali lagi dan melemparkan uang kertas 2 ribu rupiah, "Sekalian belikan adikmu susu saset di sana!"Dengan lemas, Anisa yang memang sedang hamil tua berkata, "Ibu, sebentar... Ini sudah terlalu malam Bu, lagian di luar juga hujan. Kata Bidan, Ibu hamil tidak boleh keluar malam apalagi hujan-hujanan."Wanita setengah baya itu bernama Minah, dan dia adalah Ibu dari suami Anisa, Tegar. Mendengar yang dikatakan Anisa, Minah berbalik dan menatap tajam padanya. "Hei, Nisa. Dengar, bukan cuma kau yang pernah hamil! Jangan karena hamil kau jadi punya alasan untuk bermalas-malasan, ya! Sudah, sana berangkat! Aku sudah lapar dan adikmu juga sudah gak sabar mau minum susu. Jangan kelamaan, nanti keburu dia tidur."Setelah mengatakan itu, Minah langsun

    Last Updated : 2025-02-10
  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 2

    Dokter itu mengerutkan dahinya dan tidak dapat mengerti dengan yang ada di pikiran Tegar. 'Jelas-jelas istrinya juga sedang dalam kondisi kritis, tapi dia hanya peduli dengan anaknya saja? Memang tidak masalah seseorang terlalu mengkhawatirkan anaknya. Namun seharusnya dia juga menghawatirkan istrinya, kan? Karena bagaimanapun, sekarang bukan cuma anaknya yang sedang dalam keadaan kritis, tapi istrinya juga,' pikir dokter dalam hati. Setelah menghela nafas, dokter menjawab, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk keduanya. Sejauh ini, kondisi ibu dan janinnya masih dalam perjuangan. Kami butuh beberapa saat lagi untuk mengevaluasi situasinya. Mohon bersabar dan berikan do'a yang terbaik."Tepat setelah dokter selesai bicara, seorang perawat wanita keluar dari ruang gawat darurat. "Gawat Dok, keadaan semakin kritis. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus melakukan pembedahan sekarang. Bagaimanapun kita harus memutuskan, apakah akan menyelamatkan bayi atau Ibunya," jelas

    Last Updated : 2025-02-11

Latest chapter

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 5

    Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 4

    Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. "Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. "Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. B

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 3

    Berbalik, Widia dikejutkan dengan orang yang sangat dikenalnya ada di sana. "Kakak, apa yang kau... Apa? Darahmu Ab negatif? Sial, kenapa tidak terpikirkan olehku, jika satu keluarga kita golongan darahnya Ab negatif? Huh, jika tau begini, aku saja yang mendonorkannya sejak awal. Tidak perlu repot-repot mencari darah ke mana-mana."Menghembuskan nafasnya cepat, Safak berkata, "Sudahlah, cepat bawa aku ke tempat pendonoran darah. Kita tidak punya banyak waktu. Anisa butuh darah ini secepatnya."Widia terkejut mendengar kakaknya mengetahui nama pasien, "Kak, kamu mengenal wanita itu?""Kau ini, jangan banyak tanya! Ceritanya lain kali saja. Sekarang yang paling penting selamatkan Anisa!" Safak berkata dengan tidak sabar. Widia terkekeh, "He he, iya iya... Ya sudah, ayo ikut aku!" Widia lalu membawa Safak ke ruang donor darah di dekat sana. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan singkat, Safak diminta naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pendonoran darah."Aku a

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 2

    Dokter itu mengerutkan dahinya dan tidak dapat mengerti dengan yang ada di pikiran Tegar. 'Jelas-jelas istrinya juga sedang dalam kondisi kritis, tapi dia hanya peduli dengan anaknya saja? Memang tidak masalah seseorang terlalu mengkhawatirkan anaknya. Namun seharusnya dia juga menghawatirkan istrinya, kan? Karena bagaimanapun, sekarang bukan cuma anaknya yang sedang dalam keadaan kritis, tapi istrinya juga,' pikir dokter dalam hati. Setelah menghela nafas, dokter menjawab, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk keduanya. Sejauh ini, kondisi ibu dan janinnya masih dalam perjuangan. Kami butuh beberapa saat lagi untuk mengevaluasi situasinya. Mohon bersabar dan berikan do'a yang terbaik."Tepat setelah dokter selesai bicara, seorang perawat wanita keluar dari ruang gawat darurat. "Gawat Dok, keadaan semakin kritis. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus melakukan pembedahan sekarang. Bagaimanapun kita harus memutuskan, apakah akan menyelamatkan bayi atau Ibunya," jelas

  • ASI Untuk Bayi Miliuner   Bab 1

    Jam dinding di sebuah kamar menunjukkan pukul 10 malam ketika terdengar teriakan, "Nisa! Pergi ke Alfamart depan dan belikan aku mie instan!"Seorang wanita setengah baya, membuka pintu kamar Anisa dan melemparkan uang kertas 5 ribu rupiah. Dia kembali lagi dan melemparkan uang kertas 2 ribu rupiah, "Sekalian belikan adikmu susu saset di sana!"Dengan lemas, Anisa yang memang sedang hamil tua berkata, "Ibu, sebentar... Ini sudah terlalu malam Bu, lagian di luar juga hujan. Kata Bidan, Ibu hamil tidak boleh keluar malam apalagi hujan-hujanan."Wanita setengah baya itu bernama Minah, dan dia adalah Ibu dari suami Anisa, Tegar. Mendengar yang dikatakan Anisa, Minah berbalik dan menatap tajam padanya. "Hei, Nisa. Dengar, bukan cuma kau yang pernah hamil! Jangan karena hamil kau jadi punya alasan untuk bermalas-malasan, ya! Sudah, sana berangkat! Aku sudah lapar dan adikmu juga sudah gak sabar mau minum susu. Jangan kelamaan, nanti keburu dia tidur."Setelah mengatakan itu, Minah langsun

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status