Berbalik, Widia dikejutkan dengan orang yang sangat dikenalnya ada di sana. "Kakak, apa yang kau... Apa? Darahmu Ab negatif? Sial, kenapa tidak terpikirkan olehku, jika satu keluarga kita golongan darahnya Ab negatif? Huh, jika tau begini, aku saja yang mendonorkannya sejak awal. Tidak perlu repot-repot mencari darah ke mana-mana."
Menghembuskan nafasnya cepat, Safak berkata, "Sudahlah, cepat bawa aku ke tempat pendonoran darah. Kita tidak punya banyak waktu. Anisa butuh darah ini secepatnya."
Widia terkejut mendengar kakaknya mengetahui nama pasien, "Kak, kamu mengenal wanita itu?"
"Kau ini, jangan banyak tanya! Ceritanya lain kali saja. Sekarang yang paling penting selamatkan Anisa!" Safak berkata dengan tidak sabar.
Widia terkekeh, "He he, iya iya... Ya sudah, ayo ikut aku!"
Widia lalu membawa Safak ke ruang donor darah di dekat sana. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan singkat, Safak diminta naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pendonoran darah.
"Aku akan mulai proses pengambilan darah sekarang. Harap tetap tenang dan rileks, ini hanya akan berlangsung sesaat," ucap Widia.
"Lakukan saja," jawab Safak.
Darah berwarna merah pekat mulai mengalir keluar dari lengan Safak, diserap oleh tabung yang terhubung dengan kantong plastik di sampingnya. Suasana ruangan donor darah terasa hening, hanya terdengar suara mesin penyedot darah yang teratur.
Beberapa waktu berlalu, kantong darah sudah terisi penuh. Widia kemudian menutup suntikan, sambil memberikan ujung kantong darah ke perawat yang siap menyalurkannya ke tubuh Anisa.
"Sebelumnya aku ucapkan terimakasih, Kak. Kamu sungguh telah menjadi pahlawan hari ini. Ohh iya, aku penasaran, bagaimana kamu bisa mengenal wanita, Anisa ini? Jangan bilang dia termasuk mantan pacarmu dulu?" tanya Widia main-main.
Namun Widia terkejut begitu mendengar jawaban dari Safak. "Dia memang mantanku. Kenapa? Aku tidak boleh membagi darahku untuk mantan pacarku?"
"Apa? Jadi wanita itu beneran mantan pacarmu?" tanya Widia tak percaya.
Safak mengangguk, "Tentu saja benar. Kau ingat? Orang yang sampai sekarang masih selalu aku pikirkan?"
Membuka kedua mata dan mulutnya lebar-lebar, Widia lalu menutup mulut itu dengan telapak tangannya.
Menarik telapak tangannya ke bawah, Widia berkata, "Astaga... Jadi dia orangnya?" Widia menghela nafas sebelum melanjutkan, "Ya, sayang sekali dia sudah menikah. Jika saja belum, mungkin bisa menjadi Ibu dari Jihan."
Jihan adalah anak Safak yang masih berusia 4 bulan. Dia harus kehilangan ibunya saat berusia 2 bulan, karena ibunya mengalami kecelakaan.
"Hushh... Lupakan itu. Bahkan jika Anisa belum menikah, dia juga gak bakalan mau sama aku," ujar Safak.
"Hemm... Iya aku tau itu. Tapi sekarang beda lo Kak. Oh iya, dari yang aku amati... Suami Kak Anisa ini sepertinya tidak terlalu peduli padanya. Aku bisa mengatakan ini, karena aku sudah mengamatinya sejak mereka sampai di rumah sakit, tadi. Dia selalu meminta pada kami untuk menyelamatkan anaknya, sementara istrinya tidak pernah dia katakan pada kami untuk menyelamatkannya. Huh, aku heran. Kok bisa ada ya, laki-laki seperti itu," Widia sampai menggelengkan kepala.
"Kau tidak perlu berpikiran atau ikut campur rumah tangga orang. Sebaiknya kau fokus saja pada tugasmu untuk menyembuhkan Anisa. Aku mau pulang sekarang," ujar Safak.
"Emm, iya iya. Sekali lagi terimakasih ya, Kak. Hati-hati..." ucap Widia.
Safak mengangguk sebelum menyentil hidung adiknya itu. Dia kemudian berdiri dan mulai berjalan keluar dari ruangan.
Saat Safak sudah pergi, barulah Widia ingat masih ada sesuatu yang belum dia tanyakan. "Huh, dia sudah pergi. Padahal aku mau tanya ke dia, dari mana dia tau kalau rumah sakit ini membutuhkan pendonor, dan bagaimana dia bisa tiba-tiba berada di rumah sakit di jam segini?"
***
Safak sendiri, sebelum benar-benar keluar dari rumah sakit, dia menyempatkan diri untuk melihat ke bangsal tempat Anisa dirawat.
Melihat tubuh lemahnya yang masih pucat dan tak sadarkan diri, membuat dadanya terasa sakit.
Dalam keadaan seperti itu, Safak memaksakan senyumnya dan bergumam, "Semoga sedikit darahku ini bisa menolongmu. Hanya ini yang bisa kulakukan untukmu, sekarang."
Saat Safak berbalik dan bersiap untuk pergi, tiba-tiba dia mendengar teriakan, "Tolong! Tolong! Tolong anakku! Dia muntah-muntah, tolong!"
Melihat ke arah sumber suara, itu adalah tempat perawatan bayi prematur. Atau tempat di mana bayi Anisa di rawat saat ini. Dan tentu saja, yang baru berteriak itu adalah Tegar sendiri, suami Anisa.
"Sial, apa yang terjadi?"
Karena penasaran, Safak pun segera bergegas mendekat ke tempat itu.
Tegar yang panik dan tidak tahu harus berbuat apa, segera bertanya pada perawat yang sedang menangani anaknya. "Apakah anakku baik-baik saja? Apa yang terjadi?"
Perawat mencoba menenangkan Tegar, "Bapak tenang, muntah-muntah adalah hal yang biasa terjadi pada bayi prematur. Tidak perlu khawatir, kami akan terus memantau keadaannya."
Meski mengatakan itu, perawat juga merasa panik, karena bayi itu terus muntah. Bahkan dia semakin pucat dan lemah.
"Sus, bagaimana aku bisa tenang? Lihat, anakku muntah terus tidak mau berhenti! Dia juga semakin pucat!" pekik Tegar, terdengar begitu khawatir.
"Cepat panggil dokter Hendra! Hanya dokter spesialis yang bisa menangani ini!" teriak salah satu perawat pada perawat lain.
"Tapi ini masih terlalu pagi, bahkan masih gelap. Apakah dokter Hendra bahkan sudah bangun?" ujar salah satu perawat lain.
Tegar yang tidak sabar, berbalik untuk menatap tajam perawat barusan. "Aku tidak peduli apakah dia sudah bangun atau belum. Panggil dia sekarang! Aku tidak mau tau, dia harus datang sekarang juga!" teriaknya.
"Sabar Pak, baik kami akan mencoba menghubungi dokter Hendra," ucap perawat dengan nada cemas.
Perawat itu kemudian pergi, untuk mencoba menghubungi dokter Hendra menggunakan telepon rumah sakit. Namun setelah berkali-kali mencoba, usahanya sia-sia belaka.
Lagi pula, jarang sekali ada orang yang sudah bangun di jam 3 pagi. Kecuali orang itu sedang bekerja atau berkepentingan.
Karena tidak berhasil menghubungi dokter Hendra, perawat itu mencari Widia, "Dokter Widia, kami sudah berusaha menghubungi dokter Hendra namun tidak berhasil. Meskipun bukan dokter spesialis, tapi hanya Anda yang saat ini bisa menolong anak itu."
Widia mengerutkan dahinya dan mengangguk, "Baiklah, ayo kita ke sana!"
Widia dan perawat itu dengan cepat menuju ke ruang perawatan bayi prematur tempat anak Anisa dirawat. Begitu tiba di sana, Widia cukup terkejut karena melihat kakaknya masih ada di sana.
Namun keterkejutannya tidak berhenti di situ saja, dia kembali terkejut saat melihat bayi Anisa terus muntah berbusa dan mengejang hebat.
"Dok, tolong selamatkan anakku, Dok! Selamatkan anakku!" Tegar terlihat sangat putus asa saat itu.
"Baik, Bapak yang tenang, ya. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk menyelamatkan bayi ini!" jawab Widia mencoba menenangkan." Dia kemudian menatap para perawat di sana dan melanjutkan, "Lakukan persiapan untuk operasi kecil pada anak ini. Sepertinya dia mengalami masalah pada saluran pencernaan. Kita harus segera mengatasi hal ini sebelum menjadi lebih parah."
Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. "Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. "Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. B
Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke
Perawat di sana juga terkejut melihatnya, "Astaga Ibu... Sepertinya ini air ASI. Dan ini banyak banget...""Air ASI? ASI ku keluar? Tapi..." Anisa terdiam saat mengingat bayinya sudah tiada. Dia menangis dan melanjutkan, "Seandainya saja kamu selamat, Nak. Kamu pasti kenyang setiap hari. Lihatlah... Air ASI Ibu, banyak banget... dan Ibu yakin, itu lebih dari cukup untuk kamu minum setiap saat."Anisa lalu menatap perawat dan bertanya, "Sus, apakah ASI saya akan keluar terus, meskipun tidak ada bayi lagi yang meminumnya?"Perawat itu menjawab, "Ya Ibu, biasanya ASI akan tetap keluar setelah persalinan meskipun tidak ada bayi yang meminumnya. Jika dada Ibu terasa sakit karena ASI yang terus diproduksi, Ibu bisa menggunakan metode penekanan untuk mengambil ASI. Dan jika Ibu berkenan, rumah sakit kami juga menerima donor ASI."Anisa mengangguk pelan, "Mungkin aku akan mencoba metode penekanan itu. Dan te
Semua orang terdiam mendengar perkataan Tegar. Namun secara tiba-tiba, salah satu dari ibu-ibu di sana dengan sinis berkata, "Hey Tegar. Anisa istrimu? Lalu apakah kau pernah memperlakukan dia sebagai istri? Kami semua yang ada di sini tau, kau memperlakukan Anisa tidak lebih dari seperti seorang pembantu. Pembantu lebih baik, karena dia akan mendapatkan gaji. Namun Anisa, bukan hanya tidak pernah kau berikan dia uang, tapi juga kau siksa dengan pekerjaan-pekerjaan berat setiap hari! Apakah itu yang disebut istri?"Meskipun memang salah, namun Tegar tetap berdalih, "Lah, bukankah memang sudah tugasnya istri untuk melayani suami dan keluarganya? Dia melakukan pekerjaan berat juga bukan karena paksaan dari kami. Dia melakukannya dengan sukarela, kami tidak pernah memaksanya."Mendengar yang dikatakan Tegar, ibu-ibu tadi terkekeh, "Ha ha ha... Tegar... Oh Tegar... Kau pikir kami semua yang ada di sini tidak tau? Tidak dipaksa kau bilang? Dengan
Tanpa menatap Minah, Tegar menjawab, "Aku memang mengusir mereka."Minah yang terkejut mengangkat kedua alisnya, lalu menatap Tegar tak percaya, "Apa katamu? Kau mengusir mereka?"Tegar menghela nafas dan berkata, "Ibu, aku mengusir mereka, karena mereka memang tidak pantas berada di sini. Apa Ibu tau? Mereka datang hanya untuk menggosipkan keluarga kita, menyalahkan kita atas apa yang terjadi pada Anisa. Bagaimana aku tidak kesal mendengar orang-orang itu yang terus menyalahkan keluarga kita? Padahal Ibu sendiri tau kan? Kejadian ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kita. Anisa sendiri yang begitu bodoh dan tidak bisa berhati-hati, hingga mengakibatkan dirinya sendiri mengalami kecelakaan. Tapi mereka terus menggosipkan kita, menyalahkan kita, seolah kitalah yang paling bersalah atas kejadian itu."Minah kembali terkejut begitu mendengar jawaban Tegar. Dia lalu bertanya untuk memastikan, "Benarkah yang kau katak
Anisa menghela nafas panjang untuk mennenangkan diri. Setelah merasa tenang, dia membuka matanya dan menatap Widia, "Tidak ada apa-apa dok, saya hanya ingin keluar untuk menghirup udara segar, namun tiba-tiba malah merasa pusing. Eh iya dok, bisakah saya minta tolong untuk dibelikan dulu alat penekan ASI? Dada saya sakit dok, sepertinya ASI yang diproduksi terlalu banyak. Tadi suster bilang, rumah sakit ini juga menerima donor ASI. Jadinya, ASI saya tidak akan sia-sia kalau begitu."Widia mengangguk "Baiklah, saya akan ambilkan alat penekan ASI untuk Ibu. Rumah sakit ini memang menerima donor ASI, tentu saja ASI Ibu tidak akan sia-sia. Oh iya, kalau mau keluar untuk menghirup udara segar, nanti saya ambilkan kursi roda. Saya juga yang akan menemani Ibu keluar, tidak perlu kuatir soal itu."Widia belum berani menawarkan pada Anisa tentang menjadi Ibu susu untuk Jihan. Karena dia khawatir, Anisa akan menolaknya secara langsung jika dia tahu Ji
Melihat tatapan dingin Safak dan mendengar nada suaranya, mau tidak mau Hermawan menelan saliva nya. "Ahh, tidak Tuan... tidak ada apa-apa. Hanya saja, tadi bukankah Nona Widia...""Aku tau apa yang kulakukan. Dan sebaiknya kau jangan banyak bicara!" potong Safak dengan dingin.Hermawan hanya bisa mengangguk, "Mengerti, Tuan."Safak berbalik dan kembali berjalan menuju ke arah tempat Widia pergi. Sementara Hermawan hanya bisa mengikutinya dari belakang, dan tanpa banyak bicara lagi. Kecuali saat Safak yang mengajaknya bicara.Saat keduanya tiba di depan bangsal tempat Anisa dirawat, barulah mereka berhenti. Safak hanya mengintip dari sebagian kaca yang ada di pintu bangsal.Dia yang biasanya dingin dan acuh tak acuh, tiba-tiba tersenyum saat melihat Anisa telah menggendong Jihan.'Semoga saja, Jihan cocok dengan ASI kamu, Nisa,' batin Safak.
Di dalam bangsal, Jihan yang sedang menyusu pada Anisa, memejamkan matanya setelah kenyang. Dia sepertinya menikmati ASI milik Anisa dan tidak ada tanda-tanda ketidaknyamanan saat menyusu. Anisa sendiri tersenyum kecil melihat ekspresi damai bayi kecil itu."Benar-benar anak yang baik. Setelah kenyang langsung bobok," ucap Anisa sebelum mencium kening Jihan.Widia sendiri tersenyum dan berkata, "Baiklah, kalau gitu saya akan serahkan Jihan pada Ibu sekarang. Tolong jaga Jihan, selama Ibu masih di rumah sakit ya. Dan kalau Ibu butuh sesuatu, tinggal bilang saja."Anisa mengangkat kepalanya, "Sebentar. Dokter menyerahkan bayi ini pada saya begitu saja? Apa dokter tidak kuatir, jika saya akan membawanya pergi?"Anisa bertanya seperti itu, juga bukan tanpa alasan. Dia hanya bingung dan penasaran saja, kenapa dokter ini bisa begitu baik dan perhatian padanya. Bukan hanya itu saja, namun dokter
Minah menjawab, "Sudah sebulan yang lalu. Ya, aku lupa mau memberitahu kamu. Kamunya juga sangat sibuk, jadi mana sempat aku bicara ke kamu. Lagian, aku tidak pernah berpikir semuanya akan jadi seperti ini. Aku tidak pernah berpikir kalau wanita itu akan seberani itu menuntut harta gono-gini padamu. Aku juga tidak mengira, kalau wanita itu akan bisa membayar seseorang pengacara besar seperti Pak Erickson. Melihat kondisinya, untuk membayar pengacara biasa saja sepertinya mustahil. Tapi bagaimana bisa dia tiba-tiba punya uang untuk membayar pengacara besar seperti Pak Erickson?"Hana yang dari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara, "Eh Kak Tegar, benarkah yang Kakak katakan? Si jalang itu membayar Pak Erickson sebesar 30 miliar hanya untuk menyelesaikan kasus perceraian ini? Lalu apa Kak Tegar percaya begitu saja?"Tegar menatap Hana, "Apa maksudmu?"Hana menghela nafas dan mulai menjelaskan, "Ya, secara... Seperti yang Ibu bilang barusan. Kita semua di sini tau kon
Anisa dan Safak mengangkat kepalanya bersamaan dan menatap Dilla. "Ya, ada apa?" tanya Anisa."Barusan Nona Widia sudah mengirim pesan, beliau menunggu saya di luar, jadi saya mau pamit pulang dulu sama Jihan," ujar Dilla.Anisa cukup terkejut mendengar yang dikatakan Dilla, "Apa? Widia sudah di luar?" Dia berdiri, "Di mana dia sekarang? Aku mau ketemu dia sebentar."Sementara itu, Safak hanya berpikir, 'Ohh, jadi anak itu sudah di luar? Ha ha... Dasar, tau juga kalau Kakaknya lagi pengen berduaan, jadi dia gak datang buat ganggu!'"Em, Nona Widia bilang, beliau tidak mau mengganggu pekerjaan anda, makanya beliau tidak masuk. Beliau juga meminta pada saya untuk menyampaikan pesan," jelas Dilla."Pesan? Pesan apa itu?" tanya Anisa."Beliau berpesan agar anda tetap melanjutkan pekerjaan Anda saja. Nona Widia tidak mau mengganggu pekerjaan Anda
Dengan perlahan, Anisa menatap Safak, matanya penuh dengan keraguan. Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil sepotong makanan dan mencicipinya. Rasa makanan yang lezat langsung menyapa lidahnya, membuat Anisa tidak bisa mengangkat kedua alisnya, "Ini... Ini... Ini enak sekali! Bagaimana ada makanan seenak ini?"Safak merasa sangat puas dengan reaksi Anisa, dan dia tersenyum. "Lihat kan? Sudah kubilang, makanan ini sangar enak. Aku tidak mungkin ajak kamu makan di tempat yang asal. Aku pasti mencarikan yang terbaik buatmu."Menghembuskan nafasnya, Anisa membalas, "Hemm, mulai... mulai... dengar ya Safak, aku memaafkanmu hanya demi teman-temanku. Karena sebenarnya aku belum benar-benar memaafkan kamu. Jadi, jangan gombal-gombal gitu. Gak bakal ngaruh buat aku."Safak tersenyum kecut, "Iya deh iya. Terserah kamu, mau itu demi teman kamu atau demi siapapun. Yang penting sekarang, kita makan dulu. Kamu harus mengisi k
Anisa terdiam sejenak, matanya menatap Safak dengan penuh pertimbangan. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, dia tersenyum kecut dan menghela nafas panjang. "Baiklah, aku maafkan kamu, Safak. Kita bisa makan siang bersama."Safak tersenyum lega, "Terimakasih, Nisa. Ayo, mari kita makan bersama-sama."Semua orang bersorak, "Yeay!"Safak lalu memberikan kode lewat kepalanya pada para pelayan, untuk meletakkan satu persatu makanan di tangan mereka ke meja kargembira. Dan para pelayan segera melakukan seperti yang diperintahkan. Dan mereka juga segera pergi begitu makanan sudah diletakkan di meja."Kita akan menikmati makanan yang seumur hidup tidak mungkin bisa kita nikmati!" ucap salah satu staff bernada sangat gembira.Staff lain menyahut, "Kita harus berterimakasih pada Anisa. Bagaimanapun ini berkat dia. Jika dia tidak mengenal Pak Safak dengan baik, huh kita ti
Orang itu menjawab, "Ya, siapa tau kan? Siapa tau...""Cukup! Tidak ada siapa tau siapa tau. Lebih baik kau diam, jika masih ingin bertahan bekerja di sini!" potong rekan kerjanya yang sebelumnya sambil melotot.Sementara itu, Safak dan semua orang yang dibawanya masih dengan sabar menunggu Anisa di luar ruangan tempat Anisa, Dilla, dan Jihan berada. Cukup lama untuk orang-orang itu menunggu, sebelum akhirnya Anisa keluar sendirian dari sana. Dan dia benar-benar terkejut saat melihat deretan pelayan yang membawa makanan di tangan mereka."Apa ini? Mereka... Mereka benar-benar mengantar semua makanannya?" tanya Anisa, sebelum menatap Safak.Safak tersenyum, "Tentu saja, mereka harus mengantarnya. Jika tidak, kita tidak akan bisa menikmati makan siang bersama yang sempat tertunda tadi.""Haaaa? Lupakan itu, aku tidak mau makan siang berdua denganmu lagi. Aku masih
Rianti langsung mengangguk, "Baik Pak, saya paham. Saya akan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan identitas Anda." Setelah mengatakan itu, dia teringat sesuatu dan menambahkan, "Oh iya, lalu bagaimana dengan karyawan yang lain? Semua orang di sini sudah mengenal Anda, dan mengetahui kalau Anda adalah pemilik perusahaan. Bagaimana jika Nona Anisa sampai tau tentang identitas Anda dari mereka?""Nah, itu yang akan menjadi pekerjaanmu," ujar Safak.Rianti yang belum paham berkata, "Menjadi pekerjaan saya? Maksud Anda bagaimana ya? Saya tidak mengerti."Safak menghela nafa san berkata, "Kau ini, sudah menjadi Manager Operasional, tapi tidak paham juga masalah semudah ini. Ya kaulah yang akan memberitahu semua karyawan di sini, tentang mereka semua yang tidak boleh membocorkan identitasku pada Anisa. Aku beri tau kau, Anisa hanya tau, aku adalah orang kepercayaan Presiden. Jadi beri tau semua orang, kalau mulai sek
Meskipun masih tidak yakin, namun Anisa hanya berkata, "Jadi begitu? Ya sudah." Anisa yang teringat sesuatu langsung menambahkan, "Eh sebentar, Bu Rianti sebenarnya baru saja saya ingin menemui Ibu di kantor, karena ada yang ingin saya bicarakan dengan Ibu. Tapi karena kita sudah ketemu di sini, bisakah kita bicara di sini saja?"Melihat ke arah Safak sebentar, Rianti tersenyum dan menjawab, "Bisa, apa yang ingin kamu bicarakan?""Sebenarnya begini, Bu Rianti. Barusan anak saya rewel dan menangis terus, mungkin karena saya telat menyusuinya. Jadi saya mau minta ijin untuk beberapa saat menenangkan anak saya sambil menyusuinya. Bolehkan, Bu?" jelas Anisa.Sebenarnya, hal seperti ini belum pernah dilakukan perusahaan sebelumnya. Namun yang meminta ijin adalah Anisa, yang saat ini telah disadari Rianti kalau wanita ini ternyata punya hubungan dekat dengan pemilik perusahaan, jadi bagaimana mungkin dia tidak memberikan
Mendapatkan perintah dari pemimpinnya, semua pelayan itu langsung bergerak dan bergegas untuk mengantarkan hidangan khas Prancis ke perusahaan Tifana Group. Dengan langkah cepat, mereka segera bergegas menuju kendaraan untuk mengantar makanan tersebut.Sementara itu, Safak dan Anisa sudah sampai di depan perusahaan Tifana Group. Keduanya segera keluar dari mobil, begitu melihat Dilla ada di sana dan sedang mencoba menenangkan Jihan."Nyonya, akhirnya Anda kembali. Jihan rewel terus, sepertinya dia sudah laper," ujar Dilla."Aku mengerti, berikan padaku!" Anisa langsung mengambil Jihan dari tangan Dilla.Setelah Jihan ada di tangannya, Anisa juga langsung bersiap untuk menyusuinya. Hanya saja dihentikan oleh Safak, "Nisa, tunggu! Ayo kita ke atas, kita cari tempat tertutup untuk kalian. Lagian di sini kurang nyaman untuk menyusui bayi."Menghembuskan nafasnya, da
Safak pun terkekeh sebelum mencoba membujuk Anisa, "Hei, ayolah. Bukankah aku sudah minta maaf? Jangan ngambek gini ah. Mending kamu duduk dulu, lalu pesan makanan yang paling kamu suka."Safak kemudian memegang kedua bahu Anisa dari belakang. Dan dengan sedikit paksaan, dia mendudukkannya di kursi. Meskipun masih cuek dan cemberut, namun Anisa juga tidak menolak saat Safak melakukan itu."Ayo, kamu mau makan apa?" tanya Safak sambil menyerahkan menu pada Anisa.Tidak menjawab, Anisa kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.Safak yang melihatnya kembali terkekeh sebelum menghela nafas lalu berkata, "Baiklah, jika kamu tidak mau pesan sendiri. Biar aku saja yang pesan buat kamu." Safak menoleh ke arah resepsionis wanita, yang sedari tadi masih berdiri di sana, "Eh kamu, aku mau pesan semua hidangan khas yang ada di restoran ini. Pokoknya sajikan dengan cara yang paling spesia