Dokter itu mengerutkan dahinya dan tidak dapat mengerti dengan yang ada di pikiran Tegar.
'Jelas-jelas istrinya juga sedang dalam kondisi kritis, tapi dia hanya peduli dengan anaknya saja? Memang tidak masalah seseorang terlalu mengkhawatirkan anaknya. Namun seharusnya dia juga menghawatirkan istrinya, kan? Karena bagaimanapun, sekarang bukan cuma anaknya yang sedang dalam keadaan kritis, tapi istrinya juga,' pikir dokter dalam hati.
Setelah menghela nafas, dokter menjawab, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk keduanya. Sejauh ini, kondisi ibu dan janinnya masih dalam perjuangan. Kami butuh beberapa saat lagi untuk mengevaluasi situasinya. Mohon bersabar dan berikan do'a yang terbaik."
Tepat setelah dokter selesai bicara, seorang perawat wanita keluar dari ruang gawat darurat. "Gawat Dok, keadaan semakin kritis. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus melakukan pembedahan sekarang. Bagaimanapun kita harus memutuskan, apakah akan menyelamatkan bayi atau Ibunya," jelas perawat tersebut.
"Selamatkan bayinya! Selamatkan anakku! Aku tidak peduli dengan Ibunya. Anakku adalah segalanya!" tegas Tegar, bahkan sebelum Dokter menjawab.
Perawat itu sangat terkejut mendengar yang dikatakan Tegar. Dia benar-benar tidak habis pikir, bagaimana ada seorang pria yang tidak peduli dengan keselamatan istrinya.
Bayinya juga penting, tapi bukankah seharusnya istrinya juga sama pentingnya?
Namun mendengar yang dikatakan Tegar yang seolah hanya peduli pada anaknya tanpa peduli pada istrinya, benar-benar membuat perawat itu tercengang.
Perawat itu kemudian menatap sang dokter, jelas ingin meminta pendapatnya.
Dokter itupun mengangguk sebagai jawaban, "Kita akan berusaha keras untuk menyelamatkan keduanya. Siapkan operasi!"
"Baik, Dok," jawab perawat.
Dokter dan perawat barusan masuk lagi ke ruang gawat darurat. Mereka juga langsung menyiapkan semua peralatan untuk melakukan operasi mendadak.
Mulai dari alat bedah, cairan infus, hingga peralatan monitor detak jantung, semuanya disiapkan dengan cermat dan cepat.
Setelah menyuntikkan obat bius, dengan hati-hati dokter memulai operasi caesar. Dia membedah perut Anisa perlahan, namun, saat proses operasi berjalan, terdengar suara monitor detak jantung yang mulai berdenyut tak menentu.
Dokter dengan buru-buru berkata, "Cepat! Segera jalankan protokol darurat untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya!"
Beberapa perawat bergegas melakukan perintah dokter. Mereka memberikan obat-obatan tambahan, memperbaiki aliran oksigen, hingga melakukan resusitasi jantung, semua dilakukan dengan sigap dan sangat teliti.
Tegar yang menunggu di luar ruang operasi, merasakan detak jantungnya berdetak semakin cepat. Keringat dingin mulai membasahi keningnya.
Waktu terus berjalan, hingga tak terasa satu jam berlalu begitu saja. Malam berganti ke pagi, dan hujan juga masih turun dengan lebat di luar rumah sakit.
Tegar masih berjalan ke sana ke mari, saat tiba-tiba dia mendapatkan panggilan telepon. Dia segera mengangkatnya saat melihat siapa yang menelponnya.
"Hei, Tegar! Kau ada di mana? Kenapa belum kembali sampai sekarang? Kau tau? Istrimu yang tidak tau diri itu menghilang entah ke mana. Aku tadi..."
Belum sempat Minah menyelesaikan kalimatnya, Tegar menyela, "Ibu, tadi Nisa mengalami kecelakaan. Sekarang aku sedang menunggunya di rumah sakit. Dokter juga sedang menanganinya."
"Apa?" Minah tentu terkejut bukan main, "Sial, bagaimana bisa kecelakaan? Lalu bagaimana kondisinya sekarang? Oh tidak, cucuku... Bagaimana dengan cucuku?"
"Ibu tenanglah, dokter sedang menanganinya. Tapi aku sudah meminta pada dokter untuk mengutamakan keselamatan anakku. Aku tidak peduli dengan wanita itu! Dia tidak bisa menjaga anakku dengan benar. Jadi sudah seharusnya dia menerima hukuman!" jelas Tegar.
"Baiklah, kau memang sudah mengambil keputusan yang tepat! Aku akan menyusul setelah hujan reda. Yang paling penting, kau harus benar-benar yakinkan dokter di sana untuk menyelamatkan cucuku!" ujar Minah.
"Ya Ibu," jawab Tegar.
Setelah panggilan terputus, Tegar kembali memasukkan ponselnya ke saku.
Mendengar sedikit pembicaraan Minah dan Tegar, wanita yang selama ini diam kemudian berkata, "Tegar, Tante akan menyusul? Bagaimana kalau aku jemput dia saja?"
"Dinda, maafkan aku jadi merepotkanmu," ucap Tegar sambil menatap Tegar.
"Tidak apa... Lagian dia juga calon Ibu mertuaku, he he..." Dinda tersenyum sebelum pergi.
Tegar menghela nafas tak berdaya, saat melihat ke arah perginya Dinda.
Beberapa saat setelah kepergian Dinda, dokter yang menangani Anisa tadi, keluar lagi.
Menantap Tegar, dia langsung berkata, "Beruntung sekali, bayinya selamat. Namun karena dia lahir dalam keadaan kritis dan prematur, dia harus menjalani perawatan intensif di unit perawatan bayi prematur. Sedangkan untuk ibunya, dia mengalami banyak kehilangan darah. Kami sedang mencari darah yang cocok untuknya, meski belum menemukannya. Kita hanya bisa berharap akan ada pendonor secepatnya, supaya nyawanya bisa tertolong."
Tidak menanggapi yang dikatakan dokter, Tegar malah berkata, "Anakku selamat? Lalu di mana dia sekarang, Dok? Aku ingin melihatnya."
Dokter hanya bisa terheran saat bicara dalam hati, 'Sial, apakah orang ini manusia? Bagaimana bisa dia seperti tidak peduli dengan keselamatan istrinya sama sekali?'
Dokter kemudian menghela nafas dan menjawab, "Dia sekarang berada di unit perawatan bayi prematur. Anda bisa melihatnya sebentar, namun ingat, keadaan Ibu masih dalam kondisi kritis. Kami memerlukan darah segera untuk proses transfusi."
Sama seperti sebelumnya, seolah benar-benar tidak peduli dengan keselamatan Anisa. Tegar langsung melangkah menuju unit perawatan bayi prematur. Saat melihat anaknya yang kecil dan rapuh diletakan di dalam inkubator, Tegar merasa campuran antara lega dan cemas.
"Apakah Anda Ayah bayi ini?" tanya seorang perawat wanita.
Tegar mengangguk, "Ya, saya Sus."
"Kami membutuhkan data Anda untuk melengkapi proses administrasi rumah sakit. Bisakah Anda melengkapi semua data yang diperlukan?"
Tegar dengan cepat mengisi semua formulir yang diminta oleh perawat.
Setelah selesai, perawat itu langsung memberikan penjelasan, "Anak Anda akan menjalani perawatan intensif untuk beberapa waktu. Dia masih sangat lemah karena kelahiran prematur. Anda juga bisa mengikuti perkembangannya setiap saat di unit ini. Yang penting sekarang adalah memastikan bahwa Ibu dari bayi ini mendapat transfusi darah yang diperlukan. Karena saat ini di rumah sakit kami belum ada darah yang cocok, bisakah Anda membantu kami mencarinya di rumah sakit lain atau PMI terdekat?"
Tegar menjawab tanpa berpikir, "Itu tidak perlu, biarkan saja dia mati."
"Maaf, Pak?" Perawat yang terkejut itu menatap Tegar, untuk memastikan bahwa yang didengarnya salah.
Tegar yang tersadar jika dia baru saja keceplosan langsung menjawab, "Tidak - tidak... Baik, nanti saya akan mencoba mencarinya."
Perawat itu menghela nafas lega, "Ya, baiklah... Senang mendengarnya... Oh iya Pak, golongan darah istri Anda AB negatif."
Setelah mengatakan itu, perawat barusan pergi meninggalkan Tegar.
Sementara Tegar sendiri malah tetap di sana dan tidak pergi ke mana-mana. Seolah, dia memang sudah tidak peduli dengan keselamatan istrinya sendiri.
***
Di tempat lain beberapa perawat terlihat kebingungan karena sampai sekarang belum mendapatkan darah untuk melakukan transfusi pada Anisa.
Seorang dokter perempuan bernama "Widia" juga berusaha keras, menghubungi setiap rumah sakit dan PMI yang dia ketahui. Namun semuanya nihil, sangat jarang ada orang dengan golongan darah AB negatif. Kalaupun ada, belum tentu orang itu mau mendonorkannya.
Saat Widia semakin putus asa, tiba-tiba terdengar seorang pria berkata, "Darahku Ab negatif. Aku sehat secara jasmani dan rohani. Aku bisa mendonorkan darahku padanya."
Berbalik, Widia dikejutkan dengan orang yang sangat dikenalnya ada di sana. "Kakak, apa yang kau... Apa? Darahmu Ab negatif? Sial, kenapa tidak terpikirkan olehku, jika satu keluarga kita golongan darahnya Ab negatif? Huh, jika tau begini, aku saja yang mendonorkannya sejak awal. Tidak perlu repot-repot mencari darah ke mana-mana."Menghembuskan nafasnya cepat, Safak berkata, "Sudahlah, cepat bawa aku ke tempat pendonoran darah. Kita tidak punya banyak waktu. Anisa butuh darah ini secepatnya."Widia terkejut mendengar kakaknya mengetahui nama pasien, "Kak, kamu mengenal wanita itu?""Kau ini, jangan banyak tanya! Ceritanya lain kali saja. Sekarang yang paling penting selamatkan Anisa!" Safak berkata dengan tidak sabar. Widia terkekeh, "He he, iya iya... Ya sudah, ayo ikut aku!" Widia lalu membawa Safak ke ruang donor darah di dekat sana. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan singkat, Safak diminta naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pendonoran darah."Aku a
Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. "Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. "Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. B
Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke
Jam dinding di sebuah kamar menunjukkan pukul 10 malam ketika terdengar teriakan, "Nisa! Pergi ke Alfamart depan dan belikan aku mie instan!"Seorang wanita setengah baya, membuka pintu kamar Anisa dan melemparkan uang kertas 5 ribu rupiah. Dia kembali lagi dan melemparkan uang kertas 2 ribu rupiah, "Sekalian belikan adikmu susu saset di sana!"Dengan lemas, Anisa yang memang sedang hamil tua berkata, "Ibu, sebentar... Ini sudah terlalu malam Bu, lagian di luar juga hujan. Kata Bidan, Ibu hamil tidak boleh keluar malam apalagi hujan-hujanan."Wanita setengah baya itu bernama Minah, dan dia adalah Ibu dari suami Anisa, Tegar. Mendengar yang dikatakan Anisa, Minah berbalik dan menatap tajam padanya. "Hei, Nisa. Dengar, bukan cuma kau yang pernah hamil! Jangan karena hamil kau jadi punya alasan untuk bermalas-malasan, ya! Sudah, sana berangkat! Aku sudah lapar dan adikmu juga sudah gak sabar mau minum susu. Jangan kelamaan, nanti keburu dia tidur."Setelah mengatakan itu, Minah langsun
Dua penjaga keamanan itu lalu menarik Minah ke belakang. Tegar dengan sigap menangkap ibunya agar tidak terjatuh. Sementara itu, Anisa langsung terbatuk-batuk setelah terlepas dari cekikan Minah. "Ibu, berhati-hatilah dalam bertindak! Jaga sikap Ibu! Ini rumah sakit dan dilarang membuat keributan di sini. Satu lagi, perilaku Ibu barusan bisa membahayakan nyawa pasien dan Ibu bisa dipidanakan!" ujar penjaga keamanan pada Minah. Minah melotot pada penjaga keamanan, "Kau bilang aku bisa dipidanakan? Lalu bagaimana dengan dia? Apakah dia bisa dipidanakan juga? Dia telah membunuh cucuku! Aku ingin dia mendapat hukuman!""Maaf Ibu, kami tidak tau apa yang telah terjadi. Tapi apapun alasannya, Anda tetap tidak boleh membuat keributan di sini. Itu bisa mengganggu ketenangan pasien yang lain. Dan meskipun yang Anda katakan itu benar, Anda juga tidak boleh main hakim sendiri. Negara kita merupakan negara hukum, jadi Anda tidak boleh menentukan hukum Anda sendiri," jelas salah satu penjaga ke
Para perawat di sana segera mengikuti intruksi Widia. Bergegas mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan operasi kecil. Namun saat operasi akan dilakukan, bayi itu sudah tidak mengejang lagi. Lebih tepatnya dia sudah tidak bergerak, detak jantungnya hilang dan tidak bernafas. "Innalillahi..." Seorang perawat menatap Widia, "Dok?"Widia menghela nafas, "Mau bagaimana lagi? Kita sudah berusaha untuk menyelamatkannya, tapi takdir berkata lain." Dia lalu mendekat dan mengelus kepala bayi yang sudah tak bernyawa itu, "Kasihan sekali kamu, Nak. Tapi takdirmu hanya sampai di sini saja."Widia menatap salah satu perawat dan memerintahkan, "Beri tau Ayah bayi ini pelan-pelan! Sepertinya dia sangat berharap pada anak ini. Aku cuma khawatir, kalau dia tidak akan mampu menerima kenyataan."Perawat mengangguk, "Baik, Dok. Saya akan coba bicara perlahan."Perawat itu lalu keluar dari ruangan dan langsung berhadapan dengan Tegar. "Sus, bagaimana anakku? Dia baik-baik saja kan?" tanya Tegar. B
Berbalik, Widia dikejutkan dengan orang yang sangat dikenalnya ada di sana. "Kakak, apa yang kau... Apa? Darahmu Ab negatif? Sial, kenapa tidak terpikirkan olehku, jika satu keluarga kita golongan darahnya Ab negatif? Huh, jika tau begini, aku saja yang mendonorkannya sejak awal. Tidak perlu repot-repot mencari darah ke mana-mana."Menghembuskan nafasnya cepat, Safak berkata, "Sudahlah, cepat bawa aku ke tempat pendonoran darah. Kita tidak punya banyak waktu. Anisa butuh darah ini secepatnya."Widia terkejut mendengar kakaknya mengetahui nama pasien, "Kak, kamu mengenal wanita itu?""Kau ini, jangan banyak tanya! Ceritanya lain kali saja. Sekarang yang paling penting selamatkan Anisa!" Safak berkata dengan tidak sabar. Widia terkekeh, "He he, iya iya... Ya sudah, ayo ikut aku!" Widia lalu membawa Safak ke ruang donor darah di dekat sana. Setelah melakukan prosedur pemeriksaan kesehatan singkat, Safak diminta naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pendonoran darah."Aku a
Dokter itu mengerutkan dahinya dan tidak dapat mengerti dengan yang ada di pikiran Tegar. 'Jelas-jelas istrinya juga sedang dalam kondisi kritis, tapi dia hanya peduli dengan anaknya saja? Memang tidak masalah seseorang terlalu mengkhawatirkan anaknya. Namun seharusnya dia juga menghawatirkan istrinya, kan? Karena bagaimanapun, sekarang bukan cuma anaknya yang sedang dalam keadaan kritis, tapi istrinya juga,' pikir dokter dalam hati. Setelah menghela nafas, dokter menjawab, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk keduanya. Sejauh ini, kondisi ibu dan janinnya masih dalam perjuangan. Kami butuh beberapa saat lagi untuk mengevaluasi situasinya. Mohon bersabar dan berikan do'a yang terbaik."Tepat setelah dokter selesai bicara, seorang perawat wanita keluar dari ruang gawat darurat. "Gawat Dok, keadaan semakin kritis. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Kita harus melakukan pembedahan sekarang. Bagaimanapun kita harus memutuskan, apakah akan menyelamatkan bayi atau Ibunya," jelas
Jam dinding di sebuah kamar menunjukkan pukul 10 malam ketika terdengar teriakan, "Nisa! Pergi ke Alfamart depan dan belikan aku mie instan!"Seorang wanita setengah baya, membuka pintu kamar Anisa dan melemparkan uang kertas 5 ribu rupiah. Dia kembali lagi dan melemparkan uang kertas 2 ribu rupiah, "Sekalian belikan adikmu susu saset di sana!"Dengan lemas, Anisa yang memang sedang hamil tua berkata, "Ibu, sebentar... Ini sudah terlalu malam Bu, lagian di luar juga hujan. Kata Bidan, Ibu hamil tidak boleh keluar malam apalagi hujan-hujanan."Wanita setengah baya itu bernama Minah, dan dia adalah Ibu dari suami Anisa, Tegar. Mendengar yang dikatakan Anisa, Minah berbalik dan menatap tajam padanya. "Hei, Nisa. Dengar, bukan cuma kau yang pernah hamil! Jangan karena hamil kau jadi punya alasan untuk bermalas-malasan, ya! Sudah, sana berangkat! Aku sudah lapar dan adikmu juga sudah gak sabar mau minum susu. Jangan kelamaan, nanti keburu dia tidur."Setelah mengatakan itu, Minah langsun