Tubuhku luruh ke lantai , aku tak sanggup lagi menopang beban yang begitu berat ini.
Terlihat wajah Dirga memerah .
"Apa-apaan kamu Dew! Kenapa kamu kesini dan bicara seperti itu kepada Tari?" tanpa rasa bersalah Mas Dirga justru membentakku yang sedang terisak.Aku mendongak menatap tajam ke arah manik milik lelaki yang sekarang ku cintai sekaligus sangat ku benci.
"Oh jadi rupanya perempuan tadi bernama Tari. Sudah berapa lama kamu berkhianat di belakangku Mas? Asal kamu tahu, saat ini aku tengah mengandung buah cinta kita, Mas," Aku kembali terisak kala teringat adegan menjijikkan yang baru saja ku saksikan.
Dirga nampak sangat terkejut dengan penuturan yang baru saja aku lontarkan.
" Apa! Tidak mungkin, kamu harus segera menggug*rkan kandunganmu Dew. Aku nggak sudi nikah sama kamu. Karena, sekarang aku lebih mencintai Tari"."Tidak ... Pokoknya kamu harus nikahin aku,Mas. Kita telah berbuat dosa dan jangan menambah dosa lagi dengan mengakhiri kehidupan anak ini"
[Plaaakkkkk]
Mas Dirga justru menamparku tanpa rasa iba.
"Terserah kamu kalau tidak mau mengg*gurkan anak itu , pokoknya aku tidak mau menikah denganmu"
Kata-kata yang keluar dari mulut Mas Dirga bagai belati yang menancap tepat disalah satu organ dalam ku.
Lalu Dirga mengambil kunci motornya dan bergegas keluar .
Ya , tentu ia akan mengejar Tari, selingkuhannya itu.Dadaku begitu sesak, bak langit yang telah runtuh menimpa dan menghancurkan duniaku,
Aku kembali diingatkan kala Dirga merayuku dan meyakinkanku dengan mengatakan akan menikahiku jika terjadi kehamilan.Bodohnya aku, yang akhirnya luluh kepadanya dan menyerahkan kehormatanku.~
Pikiranku kalut .
Entah bagaimana jika Ibu mengetahui hal ini.Wanita yang sangat kujaga hatinya ,apalagi setelah kepergian Bapak menghadap lillahi rabbi dua tahun yang lalu.Apa aku akhiri saja hidupku ini?
Tapi bagaimana keadaan Ibu jika aku tiada.Atau aku g*gurkan saja anak ini?
Air mataku terus saja mengalir seolah tak pernah kering.
Segala adegan menjijikkan itu seolah terekam jelas di dalam memori otakku.Aku mencoba bangkit dan membuka jendela , dengan harapan dapat mengurangi rasa sesak dalam dada.Daerahku memang masih sangat asri dengan tanaman yang tumbuh subur di halaman rumah.Aku masih berdiri di depan jendela, menghirup udara dalam-dalam, lalu tak sengaja mataku menangkap sebuah pohon nanas dengan buah yang masih muda di halaman samping rumahku.
Aku teringat perkata orang, bahwasannya buah nanas muda itu bisa mengakibatkan kontraksi jika dikonsumsi orang hamil.Tanpa pikir panjang aku keluar lewat jendela.Setelah mendapatkannya aku berjalan menuju dapur lewat pintu belakang untuk mengambil pisau, lalu kembali lagi masuk ke kamar.Ku kupas nanas itu dengan menyisakan sedikit mata nanas agar bekerja maksimal, seperti yang baru saja aku baca di internet.
Lalu ku makan buah nanas yang tiada rasa itu hingga lenyap habis tak tersisa.Kutunggu beberapa menit tapi tiada reaksi apapun.
Mataku kembali panas. Penglihatanku kabur akibat terhalangi cairan yang lagi-lagi membumi tanpa kuperintah.Kubaringkan tubuhku lalu menyembunyikan wajahku di balik bantal.Akupun terlelap karena mataku sudah terasa sangat lelah.Tiba-tiba aku terbangun, entah sudah berapa lama aku tertidur.
Aku merasakan perutku ada yang tidak beres, semakin lama semakin sakit. Aku tak kuasa menahannya hingga tanpa sadar aku berteriak"aargggghhhhh!" Kakiku terasa dingin akibat menahan rasa sakit sehebat ini.
"Ya Allah,Nduk ... Kamu kenapa?" Ibu beringsut mendekatiku sembari memperhatikan darah segar menganak sungai di kaki ku ..
Aku mengerang akibat rasa sakit yang luar biasa pada perut yang seperti diremas-remas.
Penglihatanku seketika gelap
Dan aku tak tau lagi apa yang terjadi.***********
Perlahan kubuka mata, lalu kukerjapkan beberapa kali.
Ada Ibu yang duduk di samping brankar tempat ku dibaringkan.Lalu ibu mendekatiku dengan mata yang terlihat sembab.
"Ya Allah, Nduk ... kamu sudah bangun? Apa perutnya masih sakit, Nduk?"
Raut wajah yang terdapat kerutan halus itu menampakkan kecemasan yang luar biasa.
"Sudah mendingan, Bu,"aku menjawab dengan singkat .
Aku berada di rumah sakit dan sepertinya sudah mendapat penanganan tim medis.
Pasti dokter sudah mengetahui perihal kehamilanku. Apakah Ibu juga sudah mengetahuinya?Aku bergumam dalam hati dan mataku kembali berembun.Ibu mengagetkan lamunanku dengan pertanyaan yang sangat monohok hatiku.
"Anak siapa yang sedang kau kandung,Nduk? Ayo katakan pada ibu!" Wajah Ibu memerah ,terlihat sekali amarah dan kecewa pada wajah senjanya.
Rupanya Ibu sudah tahu.
Lalu apa yang harus aku katakan, sedangkan Mas Dirga tak mau bertanggung jawab atas kehamilanku ini .Belum sempat ku jawab pertanyaan Ibu, tiba-tiba terdengar suara yang tak asing bagiku .
"Assalamu'alaikum"
Aku dan Ibu menoleh ke asal suara itu bersamaan.
"Alhamdulillah, Mas ... akhirnya kamu menemuiku," ucapku lirih."Wa'alaikum salam," Aku dan Ibu menjawab serentak.
"Bu , mohon maaf sebelumnya,bolehkah saya bicara empat mata dengan Dewi?" pinta Mas Dirga kepada Ibu.
Seketika Ibu melirikku, lalu menghela nafas perlahan.
"Oh iya, Nak, boleh, silahkan!" Ibu berucap seraya berjalan keluar meninggalkan ruangan."Alhamdulillah akhirnya kamu datang Mas sebelum Ibu menghujaniku dengan pertanyaan bertubi-tubi, Aku bingung banget mau jawab apa," ucapku kepada Mas Dirga.
"Jangan senang dulu kamu Dew. Aku datang kemari hanya ingin memastikan bahwa kamu sudah menggug*rkan anak ini." Dirga tersenyum sinis memandangku.
"Tega sekali kamu berkata demikian Mas!
Lantas tahu dari mana kalau aku dirawat di sini?" ucapku lirih karena menahan bulir bening agar tak lolos dari pertahanan netraku."Kamu tidak perlu bertanya dari mana aku mengetahuinya,Intinya sekarang jangan pernah lagi temui aku Dew, antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa"
Bak ditancap sembilu yang menghunus tepat mengenai hatiku.
Sedangkan aku sendiri belum mengetahui bagaimana keadaan anak dalam rahimku saat ini.[Gubraaakkkk]
Mataku membulat begitupun dengan Mas Dirga.
Wajah Ibu nampak memerah berada di ambang pintu, lalu perlahan mendekati kami."Ibu sudah mendengar semuanya, jadi kamu yang sudah menghamili Dewi." Seraya bergantian menatap ke arah Mas Dirga lalu ke arahku.
Terlihat sekali Ibu susah payah menahan amarahnya.Menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan, lalu berucap lagi."Dirga, Kamu jangan seenaknya lepas tangan dengan kehamilan Dewi. Jika kamu tidak mau bertanggung jawab, saya akan laporkan kamu ke Kantor Polisi dengan tuduhan pel*c*han s*ks*al." Bulir bening merembes dari pojok mata beliau.
Wajah Mas Dirga pucat pasi.
Mau tidak mau, Ia harus bertanggung jawab."Baiklah, Bu, Dirga akan nikahi Dewi secepatnya. Lalu bagaimana keadaan anak yang dikandung Dewi bu?" terlihat sekali rasa penasaran menyeruak dari relung hati Mas Dirga.
"Tadi Dewi perdarahan karena memakan nanas muda, Tapi kata dokter kandungan Dewi masih tertolong dan sekarang usia kandungannya memasuki usia enam minggu," jabar Ibu sembari mengusap perutku.
Aku masih tak percaya, setelah aku merasakan sakit yang teramat sangat , kukira Aku berhasil memb*n*h darah dagingku sendiri.
Rasa sesal seketika mendera, tapi juga sedikit lega karena berarti anak dalam kandunganku adalah anak yang kuat. Dan akhirnya Mas Dirga pun menyanggupi untuk bertanggung jawab."Benarkan, Mas, kamu Akan segera menikahiku?" Tatapanku beralih kepada Mas Dirga.
"Iya, Dew, aku akan segera menikahimu , Tapi dengan satu syarat ... " ucapnya mengatung, yang berhasil membuatku geram.
Biasa-bisanya ia mengajukan syarat, sedangkan ini adalah hasil perbuatannya juga.
"Loh, kenapa harus pakai persyaratan segala? Apa Kamu tidak tau malu Dir, semua ini terjadi juga karena kamu" Ibu tak terima dengan permintaan Mas Dirga."Ah sialan , seharusnya memang aku tak membicarakan hal ini di depan Ibunya Dewi. Bisa gawat juga kalau tahu aku minta syarat akan menceraikan Dewi setelah anak itu lahir," batin Dirga."Ya sudah Bu, Ibu atur saja pernikahan kami. Aku sudah pusing memikirkan semua ini." Dirga memijit kening yang tak pegal itu."Baiklah, secepatnya Ibu akan urus segala sesuatunya, tapi setelah anak itu lahir ,kalian harus menikah ulang agar pernikahan kalian sah di mata agama," Ibu nampak lega walau kekecewaan itu masih nampak jelas.~~~~~ Pernikahanku dan Mas Dirga baru saja selesai terlaksana , dalam kesederhanaan tanpa mengurangi kesakralan prosesinya.Aku bahagia bersanding dengan lelaki yang sangat ku cintai, meskipun sekarang Mas Dirga sudah banyak berubah semenjak mengenal Ta
Rinai hujan membumi pagi ini, saat kesadaran mulai kembali utuh,aku tak mendapati suamiku berada di sampingku."Kemana Mas Dirga kok sudah bangun?" Fikirku sejenak lalu bangkit dari posisi nyamanku.Kucari ke ruang tamu, namun batang hidungnya pun tak nampak di tempat yang kutuju."Mungkin saja Mas Dirga sedang mandi, coba aku cari ke belakang," gumamku."Mas ... Mas!" Aku mencoba memanggil beberapa kali."Tadi Suamimu pamit kepada Ibu, katanya mau keluar sebentar, ada urusan yang harus segera diselesaikan."Namun, jawaban itu kudapat dari wanita kesayanganku-Ibuku yang sedang bergumul dengan aneka sayuran di dapur."Perginya sudah dari tadi ya, Bu? Kok tidak pamit sih sama Dewi, Bu," gerutuku."Iya katanya dia kasihan mau bangunin kamu, karena tidurmu nyenyak sekali, Nduk," ucap Ibu memberi penjelasan."Mas Dirga ada bilang ke Ibu nggak mau pergi kemana?" selidikku."Ng
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
Setelah mimpi yang kualami itu, kutanamkan pada diriku bahwa aku harus menjadi pribadi yang lebih baik.Waktu begitu cepat berlalu, usia kandunganku memasuki usia tujuh bulan.Tradisi yang berlaku di daerahku, jika kandungan memasuki usia tujuh bulan, di lakukan ritual mandi bunga dan dilaksanakan acara kenduri.Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah memberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu, dan ritual pemandian tujuh bulanan itu sebagai simbol tolak balak agar terhindar dari segala hal buruk yang tidak diinginkan.Semua persiapan acara, Ibu yang menyiapkan dan membiayai.Sedangkan Mas Dirga, hanya ongkang-ongkang kaki, terima beres saja.Semakin lama, seolah hatiku semakin lelah menghadapi sikap Mas Dirga.Selain sikapnya yang kasar, seolah ia masa bodoh dengan kebutuhan rumah yang sebagian besar ditanggung oleh Ibu.
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku