"Ya Allah, Nduk ... Kamu kenapa?" Ibu beringsut mendekatiku sembari memperhatikan darah segar menganak sungai di kaki ku.
Aku mengerang akibat rasa sakit luar biasa pada perut yang seperti diremas-remas.
Namaku Dewi Arnita Sari, panggil saja Dewi.
Wanita berusia 22 tahun yang tengah dilanda badai nestapa.~~~
Kuhirup udara senja yang mulai terasa sejuk, lembayung mulai tenggelam ditelan kegelapan dan mulai melenyapkan cakrawala.
Aku masih sibuk berseluncur di media sosial berlogo F untuk menghubungi Dirga.Dia adalah lelaki yang selama 2 tahun ini telah mengisi hatiku. "Akunnya juga sudah dua minggu ini tidak aktif,sebenarnya kemana dia?" fikiranku menerawang jauh menerka-nerka sesungguhnya apa yang terjadi sehingga Dirga seolah sengaja menghindariku.Bukan tanpa alasan aku sangat sibuk mencari kabarnya, karena sudah dua bulan ini aku telat haid.
Ku kira ini normal karena jadwal menstruasiku memang selalu maju mundur dan kadang dua bulan sekali.Ku putuskan membeli testpack untuk memastikan rasa penasaranku.Betapa terkejutnya aku setelah menggunakannya, benda kecil dan pipih itu menunjukkan dua garis merah.Aku menatap kosong kesembarang arah yang mulai berbaur kepekatan semesta. Namun, masih dapat ku jangkau karena sorot temaram lampu-lampu dari kejauhan.
Tanpa sengaja aku melihat sosok wanita yang entah dari mana. Ia berdiri mematung di sebrang jalan, menatap sendu kearahku.Ku kerjapkan mataku beberapa kali untuk memastikan bahwa aku tidak sedang halusinasi.Wanita itu melambai-lambaikan tangannya, sayang sekali wajahnya tak nampak begitu jelas karena kegelapan dan jarak."Nduk, kamu lagi ngelihatin apa to kok serius banget. Nggak baik lo maghrib-maghrib gini masih di luar nanti ada sandikala," suara lembut itu cukup membuatku hampir spot jantung.
Lalu pandanganku beralih kepada wanita yang sangat aku sayangi itu. Dialah Ibuku- Wening Ambarwati."Eh Ibu, ngagetin aja, itu lo ada cewek yang lagi liatin Dewi sambil lambai-lambai." Telunjukku mengarah keposisi tadi wanita itu berdiri , namun nihil, tak kudapati seorang pun di sebrang sana.
"Mana nggak ada siapa-siapa kok, udah dibilang jangan diluar rumah kalo udah maghrib," ajak Ibu sembari menuntunku untuk masuk.
"Iya Bu, mungkin tadi Dewi cuma salah lihat aja. Ngmong-ngomong sandikala itu apa sih, Bu?" tanyaku penasaran.
Ibu menutup pintu lalu mengajakku duduk di kursi kayu usang yang terletak di ruang tamu."Sandikala itu makhluk halus yang keluar waktu surup (senja). Ia suka memasuki rumah-rumah untuk mengganggu manusia. Makanya, kalau maghrib dianjurkan untuk menutup pintu atau jendela dengan melafaskan asma Allah, Nduk, supaya makhluk itu tidak bisa masuk. Biasanya makhluk itu suka sekali mengganggu wanita haid, wanita hamil, wanita yang baru melahirkan dan juga balita, Nduk," jelas Ibu panjang lebar.
"Tapi kan, di rumah ini nggak ada ciri-ciri wanita yang berpeluang diganggu seperti yang Ibu sebutkan tadi, Bu," protesku.
Aku seperti tercubit mendengar penjelasan Ibu. Aku memang belum berani menceritakan pasal kehamilanku kepada Ibu.
"Nggak ada salahnya hal baik itu diterapkan, Nduk. Ibu sholat maghrib dulu, kamu juga solat ya." Ibu berlalu menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu.
Alih-alih mengambil air wudhu lalu sholat, aku justru memilih masuk kamar. Rasanya raga ini terlalu hina untuk menghadap kepada sang khalik.
Aku menutup kamarku lalu menghempaskan bobotku ke atas kasur.Sebenarnya siapa wanita tadi, kok ilangnya cepet banget sih, masa iya sih aku halusinasi, tapi itu nyata banget tadi.
Terus perkara sandikala seperti yang Ibu ceritakan, apakah yang kulihat tadi itu setan yang menyukaiku karena aku sedang hamil. Dari pada berfikir yang tidak-tidak lebih baik aku coba hubungi lagi Mas Dirga.Banyak sekali pesan yang ku kirim ke akun milik Mas Dirga,namun tak satupun dibuka.
Dadaku sesak sekali , mengingat kenangan indah bersama Dirga. Netraku memanas dan deraian airmata pun tak terelakkan.
Setelah lelah dengan adegan penuh bawang itu pun aku memutuskan untuk mengistirahatkan jiwa dan ragaku, biar esok saja aku cari Mas Dirga kerumahnya.Dan akhirnya aku pun terlelap.~~~
Kicauan burung menelusup gendang telingaku dan perlahan mengembalikan kesadaranku secara utuh.Hangatnya terik matahari menerobos celah-celah fentilasi memaksaku segera beranjak dari tempat ternyaman dalam rumahku ini.Aku bangkit dan meraih handuk lalu keluar kamar untuk mandi karena kamar mandi di rumah ini hanya ada satu, dan letaknya bersebelahan dengan dapur.Ku lihat Ibu sedang asik berkutat dengan alat dapur lalu tersenyum saat melihatku masih berjalan sempoyongan."Melek dulu, Nduk , nanti pintu ditabrak." Ibu terkekeh kecil.
"Udah melek lo, Bu , tapi masih ngantuk," ucapku lesu.
"Ya sudah mandi sana biar segar, terus nanti sarapan," himbaunya yang masih sibuk tanpa menoleh kearahku.
"Iya, Bu," jawabku singkat. Lalu tiba-tiba perutku bergejolak diiringi rasa mual luar biasa.
Aku pun berlari memasuki kamar mandi."Hoek ... hoek"
Aku tak mampu meredam suaraku yang memuntahkan isi perutku yang belum terisi itu.
"Loh, Nduk kamu kenapa kok muntah-muntah?" suara panik Ibu justru membuat jantungku berdegub tak beraturan , lebih cepat dari biasanya.
"E ... e ... enggak papa kok, Bu.
Mungkin masuk angin aja, kan tadi malam Dewi langsung tidur lupa nggak makan," jawabku menglabui Ibu."Beneran nggak papa, Nduk? Nanti habis mandi minum obat maagh dulu sebelum makan!" perintah Ibu.
"Iya, Bu," lirihku singkat.
Setelah ritualku di kamar mandi usai dan telah berpakaian rapi, aku pun menghampiri Ibu yang sudah menungguku di meja makan yang sangat sederhana.
" Ini Nduk, untung masih ada obat maaghnya , diminum dulu obatnya baru makan nasi ya." Ibu menyodorkan air putih satu gelas dan satu tablet obat berwarna hijau.
Akupun menengguknya hingga meluncur bebas melewati tenggorokanku.Pada sarapan pagi ini, aku memilih tak banyak bicara karena kekacauan yang sedang menyerang otak dan hatiku.Hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring yang meramaikan suasana.Lalu Ibu membuka bicara " Nduk, kok mata kamu sembab, kamu habis nangis ya? Kalau ada masalah cerita aja ke Ibu, siapa tau Ibu bisa bantu""Nggak kok,Bu. Mungkin karena tidurnya semalem terlalu lama jadi bengkak dan merah begini, Bu," elakku agar tidak membuatnya terlalu hawatir.
" Kalo ada masalah jangan dipendam sendiri ya, Nduk.
Nanti jadi penyakit, oh iya nanti habis sarapan Ibu mau ke kebun , kamu mau ikut nggak, Nduk?""Tidak, Bu, nanti Dewi mau ada urusan sedikit, Dewi minta izin keluar sebentar ya, Bu."
"Oh gitu, yaudah yang penting hati-hati di jalan ya, Nduk."
"Iya, Bu"
Setelah ini aku berniat mencari Mas Dirga kerumahnya , semoga saja dia ada di rumah.
Ku lihat benda bulat yang menempel di dinding.Waktu menunjukkan pukul tujuh lewat tiga puluh menit.Aku mengambil tas dan kunci motor lalu perlahan kupacu kuda besiku membelah jalan yang mulai ramai lalu lalang warga yang beraktivitas.
Sesampainya di depan rumah Mas Dirga, aku menyipitkan mata ketika melihat sepasang sendal wanita bertengger manis di teras rumahnya.Netraku mengarah ke pintu yang rupanya sedikit memiliki celah.Aku melangkah ragu, namun ku kokohkan langkahku demi memenuhi rasa penasaranku.Aku mengintip lewat celah pintu dan aku terperangah , ku tutup mulutku yang menganga tanpa mengeluarkan suara. Kaki ku mendadak lemas , mataku panas, pertahanan netraku jebol setelah sepersekian detik aku terpaku ,akhirnya bulir bening meluncur bebas.Sungguh hancur hatiku, lelaki yang ku percaya dan dialah yang berhasil merenggut mahkotaku tengah kusaksikan ia memadu kasih dengan wanita lain.
Dadaku bergemuruh hebat ,ku usap kasar pipiku untuk menghilangkan jejak lelehan lahar bening dari netraku.
Emosiku membuncah, dan seketika aku seperti mendapat kekuatan yang entah berasal dari mana.Ku dobrak pintu sekuat tenaga."Gubraaaakkk"
Mereka terkejut bukan main melihat kedatangan ku.
"Dasar lelaki b*ngs*t!, rupanya karena wanita ini kamu menghindariku mas, siapa dia, Mas?" Aku berkacak pinggang meluapkan emosi yang kian meledak-ledak.
"Siapa dia, Mas?" ucap perempuan itu sembari mengancingkan bajunya yang tadi tel*njang dada.
Kulihat Mas Dirga diam tak bergeming .
Mungkin sedang memikirkan apa yang harus ia perbuat."Kenapa diam, Mas? Oke biar aku jelaskan kepada wanita ini, agar dia tahu kalau aku adalah calon istrimu dan sekarang aku tengah mengandung buah cinta kita," ucapku sembari mengelus perutku yang masih kempis. Emosiku kian membuncah kala kulihat Mas Dirga belum juga buka suara.
Wanita itu pun mendaratkan tamparan keras yang meninggalkan jejak merah di pipi Mas Dirga.
"Tega kamu Mas membohongiku, kamu bilang hanya aku wanita satu-satunya dalam hidupmu," wajah wanita itu terlihat merah padam meluapkan emosi yang tak kalah memuncak.Ia merapikan baju dan rambutnya yang masih sedikit berantakan lalu mengambil tas di atas nakas dan berlalu hingga punggungnya hilang di balik pintu.Tubuhku luruh ke lantai , aku tak sanggup lagi menopang beban yang begitu berat ini. Terlihat wajah Dirga memerah ."Apa-apaan kamu Dew! Kenapa kamu kesini dan bicara seperti itu kepada Tari?" tanpa rasa bersalah Mas Dirga justru membentakku yang sedang terisak. Aku mendongak menatap tajam ke arah manik milik lelaki yang sekarang ku cintai sekaligus sangat ku benci. "Oh jadi rupanya perempuan tadi bernama Tari. Sudah berapa lama kamu berkhianat di belakangku Mas? Asal kamu tahu, saat ini aku tengah mengandung buah cinta kita, Mas," Aku kembali terisak kala teringat adegan menjijikkan yang baru saja ku saksikan. Dirga nampak sangat terkejut dengan penuturan yang baru saja aku lontarkan." Apa! Tidak mungkin, kamu harus segera menggug*rkan kandunganmu Dew. Aku nggak sudi nikah sama kamu. Karena, sekarang aku lebih mencintai Tari". "Tidak ... Pokoknya kamu harus nikahin aku,Mas. Kita telah berbuat dosa dan jangan m
"Loh, kenapa harus pakai persyaratan segala? Apa Kamu tidak tau malu Dir, semua ini terjadi juga karena kamu" Ibu tak terima dengan permintaan Mas Dirga."Ah sialan , seharusnya memang aku tak membicarakan hal ini di depan Ibunya Dewi. Bisa gawat juga kalau tahu aku minta syarat akan menceraikan Dewi setelah anak itu lahir," batin Dirga."Ya sudah Bu, Ibu atur saja pernikahan kami. Aku sudah pusing memikirkan semua ini." Dirga memijit kening yang tak pegal itu."Baiklah, secepatnya Ibu akan urus segala sesuatunya, tapi setelah anak itu lahir ,kalian harus menikah ulang agar pernikahan kalian sah di mata agama," Ibu nampak lega walau kekecewaan itu masih nampak jelas.~~~~~ Pernikahanku dan Mas Dirga baru saja selesai terlaksana , dalam kesederhanaan tanpa mengurangi kesakralan prosesinya.Aku bahagia bersanding dengan lelaki yang sangat ku cintai, meskipun sekarang Mas Dirga sudah banyak berubah semenjak mengenal Ta
Rinai hujan membumi pagi ini, saat kesadaran mulai kembali utuh,aku tak mendapati suamiku berada di sampingku."Kemana Mas Dirga kok sudah bangun?" Fikirku sejenak lalu bangkit dari posisi nyamanku.Kucari ke ruang tamu, namun batang hidungnya pun tak nampak di tempat yang kutuju."Mungkin saja Mas Dirga sedang mandi, coba aku cari ke belakang," gumamku."Mas ... Mas!" Aku mencoba memanggil beberapa kali."Tadi Suamimu pamit kepada Ibu, katanya mau keluar sebentar, ada urusan yang harus segera diselesaikan."Namun, jawaban itu kudapat dari wanita kesayanganku-Ibuku yang sedang bergumul dengan aneka sayuran di dapur."Perginya sudah dari tadi ya, Bu? Kok tidak pamit sih sama Dewi, Bu," gerutuku."Iya katanya dia kasihan mau bangunin kamu, karena tidurmu nyenyak sekali, Nduk," ucap Ibu memberi penjelasan."Mas Dirga ada bilang ke Ibu nggak mau pergi kemana?" selidikku."Ng
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
Setelah mimpi yang kualami itu, kutanamkan pada diriku bahwa aku harus menjadi pribadi yang lebih baik.Waktu begitu cepat berlalu, usia kandunganku memasuki usia tujuh bulan.Tradisi yang berlaku di daerahku, jika kandungan memasuki usia tujuh bulan, di lakukan ritual mandi bunga dan dilaksanakan acara kenduri.Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah memberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu, dan ritual pemandian tujuh bulanan itu sebagai simbol tolak balak agar terhindar dari segala hal buruk yang tidak diinginkan.Semua persiapan acara, Ibu yang menyiapkan dan membiayai.Sedangkan Mas Dirga, hanya ongkang-ongkang kaki, terima beres saja.Semakin lama, seolah hatiku semakin lelah menghadapi sikap Mas Dirga.Selain sikapnya yang kasar, seolah ia masa bodoh dengan kebutuhan rumah yang sebagian besar ditanggung oleh Ibu.
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku