Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.
Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.
Aku membalas dengan anggukan.
Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.
Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.
Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu. Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan? Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.
Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku terbuai dalam alunan cinta yang ia ciptakan."Mas, kalau sekarang Mas belum mau cerita ya tidak apa-apa, sekarang Mas istirahat ya!" Aku berniat membaringkannya, namun ia justru menatapku lekat-lekat.
"Dew, sebenarnya apa yang kamu lakukan kepadaku? Apakah kamu mendukunkanku dan segaja mau membuatku g*la!" kata Mas Dirga dengan penuh penekanan.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Mas? " jawabku bingung.
"Jangan belagak b*doh kamu Dew, oh iya, kamu tau dari mana rumah Tari? Kalau sampai keluarga Tari tidak terima atas kerusakan yang kamu perbuat bagaimana Dew? "
"Kamu bicara apa sih, Mas? Aku nggak ngerti!"
Mas Dirga hanya diam dan nampak kesal kepadaku.
"Sebentar, berarti kamu masih menemui Tari, Mas?
Dasar, lelaki nggak tahu diri, kamu 'tu sudah punya aku Mas, sebentar lagi kamu juga akan menjadi Ayah untuk anak kita,"Nada bicaraku naik beberapa oktaf, geram sekali rasanya mendengar pernyataannya barusan.
"A-a-anu i-i-itu ,Dew," jawabnya gugup.
"Biar saja kalian dimakan setan peliharaanku!"
Tiba-tiba kata itu yang keluar dari mulutku karena rasa jengkel dan sakit hati.
"Apa, ja-ja-jadi setan itu peliharaanmu?" pertanyaan yang keluar dari mulut Mas Dirga membuatku cukup tergelitik saat mendengarnya.
"Lihatlah, Mas! Jika kamu menghianatiku lagi, aku akan perintahkan setan itu untuk membunuh kalian!" ancamku.
Mas Dirga hanya menunduk mendengar ucapanku.
"Kamu tadi ke rumah Tari, Mas?!" Jemari tanganku mencengkeram seprai, bola mataku membulat sempurna menatap lekat manik hitam milik lelaki yang sangat aku cintai itu.
"Tidak, Dew," ucapnya.
"Apa kamu kira aku tuli? Dengan semua yang kamu ucapkan tadi, sudah cukup mengungkapkan fakta bahwa kamu tadi ke rumah Tari, Dirga!" mataku mulai memanas.
"Aku hanya tidak sengaja bertemu dengan Tari, motornya mogok jadi aku antar dia pulang Dew," tuturnya."Wah, suamiku ini baik sekali ya, tidak punya motor pun sok baik pake nganterin orang lain sampai ke rumahnya." Aku bertepuk tangan dengan senyum sinisku. sebenarnya motor Mas Dirga ada di rumahnya, dan motorku sedang di bengkel karena rusak, sudah sekian hari belum juga rampung di perbaiki.
"Oh iya, Mas. Ngomong-ngomong hari ini aku nggak ada pergi kemana-mana lo. Kalau tidak percaya tanya saja sama Ibu,"
Mas Dirga nampak terdiam dan memilih untuk merebahkan badannya dan bersembunyi di balik selimut.
Aku memilih keluar kamar, rasa penasaran yang bergelayut sedari tadi perkara pingsannya Mas Dirga di dalam kamar mandi pun sirna. Terganti dengan rasa sakit dan geram luar biasa.
Aku memilih menonton televisi dan kuputuskan tidur di ruang tamu dengan ditemani racun nyamuk donestosnomor dan perlengkapan tidur yang cukup membuatku nyaman.
Sebelum terlelap, aku mengusap perutku berulang kali, membolak-balikkan segala pertimbangan yang begitu rumit. Tak kupedulikan lagi acara apa yang tayang di layar kaca televisi berukuran dua puluh satu inci itu.
Menyesali perbuatan keji yang pernah kulakukan. Menyesali niat bodohku mengakhiri kehidupan darah dagingku sendiri."Maafkan Ibu, Nak,"
Tiba-tiba air mataku meluncur bebas.Aku begitu malu kepada Allah, padahal aku ini wanita yang hina, aku melalaikan kewajibanku beribadah kepada-Nya, melakukan dosa besar yang hina. Tetapi, kenyataannya Allah masih menyayangiku, dengan menyelamatkan calon anakku. Menyadarkanku bahwa dirimu begitu berharga, Nak. Sekali lagi maafkan Ibu. Kuserahkan segala kenyataan yang kualami kepada sang pencipta, semoga Allah selalu memberi jalan terbaik kedepannya. Saat ini aku harus fokus kepada calon bayiku.Aku berusaha tersenyum
Mengelus lembut perutku yang mulai sedikit membuncit. Menyanyikan lagu Nina Bobo, dan akhirnya aku pun terlelap. ***"Nduk, kamu kok tidur di sini?"
Goyangan pada kakiku perlahan mengembalikkan kesadaranku. Kulihat Ibu berjalan mendekat ke arah televisi, lalu memencet tombol power. Ah, rupanya semalam aku lupa mematikan televisi."Sudah subuh ini, Nduk, kamu kenapa tidur di sini?" Ibu mengulangi pertanyaan yang belum sempat kujawab.
"Semalam aku ketiduran di sini, Bu," jawabku sekenanya.
"Kok bisa ketiduran di sini? Seharusnya kamu temani suamimu, Nduk, mungkin saja ia butuh sesuatu, kok malah ditinggal tidur di luar"
"Ya sudah, Dewi ke kamar dulu ya, Bu,"
"Iya, Nduk" jawab Ibu.
Sesampainya di ambang pintu kamarku, kusapukan pandangan ke segala penjuru ruangan. Tak kudapati suamiku di atas pembaringan."Kok Mas Dirga tidak ada di kamar," gumamku
Ku periksa di kolong ranjang, namun nihil.
Ku coba mengecek jendela, tertutup rapat dan terkunci.Kucari di segala celah dalam bilik ini.
Tak jua kutemui batang hidung suamiku.Mataku tertuju pada benda persegi yang belum sempat kuperiksa.
Kubuka perlahan, kusibakkan beberapa helai pakaian yang menggantung."Astagfirullah haladzim!"
Kugoyang-goyangkan bahu Mas Dirga yang sebelumnya tersembunyi di dalam almari gantung pakaian ku.
Almari yang biasanya menjadi tempat bersemayamnya baju-baju panjangku, kini telah berubah fungsi. Entah apa yang di fikirkan suamiku hingga bisa-bisanya ia tidur di dalam sana.Beberapa kali kupanggil suamiku sembari melakukan kontak fisik, agar ia segera bangun, akhirnya perlahan ia membuka matanya.
Mungkin karena terkejut ia berteriak dengan suara yang lantang."Aaaaaaa ... " pekiknya.
Aku yang terkejut dengan jeritan itu pun tersungkur dan terduduk.
Perutku terasa nyeri sekali, mungkin kontraksi akibat hentakan tubuhku yang cukup kuat, terlebih karena terkejut.Kuusap perutku beberapa kali, berharap dapat mengurangi sedikit saja rasa sakit yang kian menjalar keseluruh tubuhku.
Namun, justru semakin lama semakin terasa luar biasa sakitnya."Mas, perutku sakit sekali. Tolong panggilkan Ibu, Mas," pintaku. Rasa sakit yang kurasakan saat ini seolah menghapus segala kejadian yang baru saja kulihat.
Aku tak lagi berniat mempertanyakan alasan mengapa suamiku tidur di dalam almari.Mas Dirga nampak kebingungan harus berbuat apa.
"Mas, kok malah diam saja, cepat panggil Ibu, Mas! Aku sudah tidak tahan," ucapanku bergetar akibat menahan sakit luar biasa pada perut bagian bawahku.
Mas Dirga bergegas keluar tanpa menanggapi ucapanku.
Beberapa saat kemudian, Mas Dirga dan Ibu berjalan tergopoh menghampiriku.
"Ya Allah Gusti, kamu kenapa, Nduk? Tadi Ibu dengar Dirga teriak itu kenapa? Tadi Ibu sengan salat,"
"Sakit, Bu, Sakit." Aku menangis, rasanya ingin pingsan. Bukannya pingsan malah sakit itu semakin luar biasa merajai bagian dalam tubuhku.
"Dirga, kok kamu malah diam, cepat bopong Dewi. Kita bawa ke Rumah Sakit, biar Ibu keluar dulu pinjam motor ke tetangga." Ibu keluar mendahului aku dan Mas Dirga.
Tubuhku dibopong menuju teras rumah, namun belum nampak Ibu kembali.
Aku bersusah payah duduk di bangku dengan dibantu oleh suamiku.Mas Dirga tak banyak bicara kali ini, ia malah seperti orang linglung.
Setelah Ibu datang bersama dengan Pak Budi, tetangga kami, aku, Ibu dan Mas Dirga segera bergegas memacu sepeda motor dengan kecepatan yang cukup kencang agar segera sampai ke Rumah Sakit.
"Alhamdulillah, bayi dalam kandungan anda baik-baik saja. Lain kali lebih hati-hati ya! Pak Dirga, istrinya dijaga supaya tidak kecapekan dan jangan teledor lagi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan," ucap dokter yang menanganiku.
"Alhamdulillah, Dok, terimakasih banyak, Dok, " ucap Ibu.
"Sudah tugas kami, Bu, untuk selalu berusaha mengupayakan yang terbaik untuk pasien kami," ucapnya dengan mengulas senyum.
"Ini resep yang harus ditebus ya, Pak, sudah termasuk vitamin dan penguat janin." Dokter Indah memberikan secarik kertas berisi resep obat kepada Mas Dirga.
Nama dokter Indah kuketahui dari name tag-nya, Indah Permata Kusuma.Perutku sudah tidak terlalu sakit setelah tadi Dokter Indah memberikan injeksi kepadaku, jadi aku tak perlu berlama-lama berada di sini.
Karena sebenarnya aku sangat tak menyukai Rumah Sakit.Setelah obat ditebus di apotek yang tak jauh dari Rumah Sakit, kami pun pulang dengan perasaan lega.
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
Setelah mimpi yang kualami itu, kutanamkan pada diriku bahwa aku harus menjadi pribadi yang lebih baik.Waktu begitu cepat berlalu, usia kandunganku memasuki usia tujuh bulan.Tradisi yang berlaku di daerahku, jika kandungan memasuki usia tujuh bulan, di lakukan ritual mandi bunga dan dilaksanakan acara kenduri.Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah memberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu, dan ritual pemandian tujuh bulanan itu sebagai simbol tolak balak agar terhindar dari segala hal buruk yang tidak diinginkan.Semua persiapan acara, Ibu yang menyiapkan dan membiayai.Sedangkan Mas Dirga, hanya ongkang-ongkang kaki, terima beres saja.Semakin lama, seolah hatiku semakin lelah menghadapi sikap Mas Dirga.Selain sikapnya yang kasar, seolah ia masa bodoh dengan kebutuhan rumah yang sebagian besar ditanggung oleh Ibu.
Setelah mimpi yang kualami itu, kutanamkan pada diriku bahwa aku harus menjadi pribadi yang lebih baik.Waktu begitu cepat berlalu, usia kandunganku memasuki usia tujuh bulan.Tradisi yang berlaku di daerahku, jika kandungan memasuki usia tujuh bulan, di lakukan ritual mandi bunga dan dilaksanakan acara kenduri.Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah memberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu, dan ritual pemandian tujuh bulanan itu sebagai simbol tolak balak agar terhindar dari segala hal buruk yang tidak diinginkan.Semua persiapan acara, Ibu yang menyiapkan dan membiayai.Sedangkan Mas Dirga, hanya ongkang-ongkang kaki, terima beres saja.Semakin lama, seolah hatiku semakin lelah menghadapi sikap Mas Dirga.Selain sikapnya yang kasar, seolah ia masa bodoh dengan kebutuhan rumah yang sebagian besar ditanggung oleh Ibu.
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku