Rinai hujan membumi pagi ini, saat kesadaran mulai kembali utuh,aku tak mendapati suamiku berada di sampingku.
"Kemana Mas Dirga kok sudah bangun?" Fikirku sejenak lalu bangkit dari posisi nyamanku.
Kucari ke ruang tamu, namun batang hidungnya pun tak nampak di tempat yang kutuju."Mungkin saja Mas Dirga sedang mandi, coba aku cari ke belakang," gumamku."Mas ... Mas!" Aku mencoba memanggil beberapa kali.
"Tadi Suamimu pamit kepada Ibu, katanya mau keluar sebentar, ada urusan yang harus segera diselesaikan."
Namun, jawaban itu kudapat dari wanita kesayanganku-Ibuku yang sedang bergumul dengan aneka sayuran di dapur.
"Perginya sudah dari tadi ya, Bu? Kok tidak pamit sih sama Dewi, Bu," gerutuku."Iya katanya dia kasihan mau bangunin kamu, karena tidurmu nyenyak sekali, Nduk," ucap Ibu memberi penjelasan.
"Mas Dirga ada bilang ke Ibu nggak mau pergi kemana?" selidikku.
"Nggak ada, Nduk, cuman pamit aja tadi, Ibu juga nggak nanya mau pergi kemana," timpal Ibu.
"Hm ... kemana Mas Dirga, sudah pergi sepagi ini, padahal di luar juga sedang gerimis, apakah tidak bisa menunggu sampai gerimis reda," sungutku.
Sebenarnya aku berniat menanyakan perihal kejadian janggal yang kualami kepada Ibu, mungkin Ibu memiliki jawabannya. Namun urung ku sampaikan rasa penasaranku.
Bairlah nanti saja menunggu saat yang tepat.***Sementara di tempat yang berbeda, Dirga sedang menikmati coffe latte dan mengusap lengannya beberapa kali karena hawa sejuk yang kian menusuk hingga ketulang.
Dimana keberadaan kamu saat ini Tar? Sudah setengah jam belum sampai juga.Aku tak mampu menahan rinduku yang menggebu.
Sejak semalam aku berhasil menghubungi Tari, aku jadi tak sabar ingin segera bertemu dengannya.Bahkan pagi-pagi buta aku sudah menghubungi Tari untuk memintanya menemuiku disalah satu kedai kopi yang cukup jauh dari rumah Dewi. Dan Tari pun menyanggupinya.Namun, kekasihku itu belum jua menampakkan diri.Empat puluh lima menit berlalu, aku mulai resah, kembali kuambil ponselku dan kulihat banyak pesan maupun panggilan dari Dewi yang sengaja ku abaikan.
Kucoba terus menekan tombol hijau bertuliskan nama Bian. Ya, tentu aku menamai kontak Tari dengan nama samaran agar Dewi tak menaruh curiga kepada hubunganku dan Tari.[tuuut...tuuut....tuuut]
Terhubung namun tak dijawab.
Pandanganku menerobos ke luar melewati dinding kaca, rupanya gerimis telah reda.Karena terlalu lama menunggu tanpa kepastian, akhirnya aku memutuskan untuk pulang membawa serta kekecewaan mendalam.Pupus sudah harapanku hari ini bertemu dengan Tari.Kupesan ojek melalui salah satu aplikasi, dan setelah ojek itu tiba, aku bergegas memintanya melajukan motor setelah sebelumnya kuberikan alamat rumah mertuaku.Namun , saat di perjalanan, tak sengaja mataku melihat sosok Tari yang sedang menuntun motor.
Ah,mengingatkan pada awal pertemuan kami.Aku pun menginstruksikan sopir ojek untuk menepi menghampiri Tari." Kenapa Sayang motornya?" tanyaku.
" Eh untung ada Mas Dirga. Motor Tari mogok, Mas , mana Tari lupa bawa Hp lagi"
"Pantesan Mas nggak bisa hubungi kamu. Ya sudah kita bawa kebengkel ya, mungkin saja didekat sini ada bengkel "
" Iya, Mas, Nanti setelah motorku jadi, kita kerumah aku aja ya,Mas, soalnya Mama Papa lagi nggak di rumah." Tari mengerling manja.
"Siap, Bos," jawabku
Lalu kami pun terkekeh bersama-sama.
***
Setelah selesai dengan rutinitas pagiku di rumah, aku duduk di teras sembari menunggu kepulangan suamiku.Pasalnya, panggilan dan pesan yang entah sudah berapa puluh kali ku kirimkan tak jua mendapat balasan."Sebenarnya kemana Mas Dirga sampai tak sempat mengabariku , barang mengetik pesan sebentar saja pun tak mau." Aku berdecak geram.
Hingga senja mulai menampakkan awan jingga, namun belum jua ada tanda-tanda kepulangan suamiku.Aku mondar mandir di teras dan berulang kali melirik gawaiku, tak ada pesan maupun panggilan dari Mas Dirga, ku buka aplikas berwarna biru maupun warna hijau, namun nihil.
Aku teringat pesan Ibu perkara sandikala.
Lalu aku bergegas masuk dan menutup pintu dengan melafaskan basmalah.Aku terkulai pasrah, sungguh perasaanku resah dan gelisah.
Aku beranjak ke kamar mandi untuk sekadar membasuh mukaku, barangkali dapat sedikit menyegarkan.Saat aku memasuki kamar mandi, aku menghidu aroma bunga melati, padahal tidak ada bunga melati di sekitar rumah.
"Ah mungkin parfum baru milik Ibu," aku berusaha menepis rasa takutku.
Kubasuh mukaku beberapa kali, lalu aku menghadap ke arah cermin yang menggantung di dinding kamar mandi.
"Kalau diperhatikan sepertinya ada yang aneh." Aku memperhatikan dengan seksama akara ku yang berada di cermin.Saat aku tengah fokus meneliti inci demi inci, tiba-tiba kulihat bibirku di bayangan itu melengkung indah,menampakkan kesan manis pada pemiliknya.
"Kan aku nggak senyum , kok bayanganku senyum. Aaa! " Aku berteriak lalu berlari keluar dari kamar mandi.
Aku menyembunyikan seluruh tubuhku di bawah selimut.
Lalu terdengar derap langkah yang mulai mendekat.Hatiku semakin berdebar tak karuan, kala ada yang menyibak selimutku secara perlahan.Kucengkeram selimutku kuat-kuat menutupi wajahku. Sungguh aku tengah dilanda ketakutan yang luar biasa hebatnya."Sepertinya setannya sudah pergi".
Perlahan kepalaku sedikit menyembul dari balik persembunyianku.Kulirik kesana kemari untuk memastikan."Alhamdulillah, aman," ucapku lega.
Lalu aku duduk bersandar di kepala ranjang. Ku lihat jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam.Aku berniat untuk menghubungi Mas Dirga lagi. Namun tak kudapati benda pipih itu di sekitarku."Oh iya, ponsel ku 'kan tadi ketinggalan di meja depan."
Aku pun beranjak untuk mengambil gawaiku.
Sesampainya diruang tamu ternyata ada Ibu yang sedang nonton televisi."Kenapa to, Nduk, mukanya kok gitu , kayak habis dikejar setan aja," gurau Ibu.
"Emang habis dikejar setan, Bu," lirihku
"Eh ... Ngomong apa, Nduk?"
"Tidak, Bu, hawatir saja sama Mas Dirga, pergi dari pagi kok jam segini belum pulang, Dewi udah coba hubungi tapi tidak bisa, Bu"
"Ya sudah tunggu saja, mungkin memang urusannya belum selesai,Nduk"
Aku mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya kasar.
[tok...tok...tok]
Terdengar pintu diketuk beberapa kali.
Bergegas aku membuka pintu, ternyata Mas Dirga-lah yang berdiri di ambang pintu."Dari mana sih, Mas?, pergi dari pagi kok jam segini baru pulang."
Kusambut kepulangan suamiku dengan bibirku yang mengerucut."Mbok ya suaminya disuruh masuk dulu, Nduk, masih di depan pintu kok udah diomelin," ucap Ibu.
"Iya betul, suami pulang kok malah diomelin." Senyum Mas Dirga mengembang.
"Yaudah masuk gih Mas, mandi terus makan"
"Loh, kok Dewi udah nggak marah sama aku, padahal tadi kan dia ngamuk-ngamuk dirumah Tari, lagian dari mana Dewi tau rumah Tari," batin Dirga penasaran.
"Kok malah matung disitu sih Mas, buruan masuk terus mandi"
"I-i-iya Dew," jawabku gugup.
Mas Dirga pun bergegas ke kamar untuk mengambil handuk lalu menuju kamar mandi.
Aku menunggunya di ruang tamu sembari menemani Ibu menonton televisi.
Tiba-tiba terdengar teriakan cukup lantang,
"Aaaa!"
Aku terkejut mendengar teriakan yang berasal dari dalam kamar mandi.
Pandanganku beradu dengan manik hitam milik Ibu.
"Bu," panggilku lirih.
"Ayo, Nduk, kita periksa apa yang terjadi," ucap Ibu.
Aku dan Ibu berjalan tergopoh mendekati sumber suara.
Aku menggedor pintu kamar mandi, pintu dikunci dari dalam, namun nihil. Tak ku dapati jawaban Mas Dirga dari dalam sana.
Sebenarnya kunci penahannya hanya terbuat dari kayu kecil persegi yang dipaku di bagian tengahnya, pasti bisa terbuka jika didobrak kencang.
"Bu, kalo didobrak pasti jebol ini bu, tapi Dewi nggak berani," kataku sembari pengusap perutku.
"Ibu juga nggak kuat kalo sendirian, Nduk, Ibu panggil tetangga ya untuk minta tolong.
***
Dua Bapak-Bapak mencoba mendobrak daun pintu secara paksa.
[Brug]
Suara badan gempal mereka yang beradu dengan pintu.
Dobrakan pertama, kedua , hingga ketiga.
Akhirnya pintu berhasil terbuka, terlihat tubuh Mas Dirga yang tergeletak hanya menggunakan celana boxer-nya.
Aku bergegas meminta tolong dua Bapak itu untuk membopong Mas Dirga masuk ke dalam kamar.
Aku mengucapkan terima kasih setelah Bapak-Bapak itu meletakkan bobot suamiku di atas kasur, dan setelahnya mereka berpamitan pulang.
Aku mengambil minyak angin lalu ku oles di bagian bawah hidung Mas Dirga.
Berharap ia akan segera siuman setelah menghirup aroma minyak anginnya.
Tak lama kemudian, jari tangan Mas Dirga bergerak secara perlahan.
"Mas, bangun, Mas." Ku tepuk-tepuk pipi Mas Dirga untuk mengembalikan kesadarannya.
Ia pun meresponnya dengan membuka mata pelan, lalu mengerjapkan beberapa kali.
"Alhamdulillahh, akhirnya bangun juga, Mas, apa yang sebenarnya terjadi, Mas? Kenapa Mas teriak-teriak? Kenapa Mas bisa pingsan?" cercaku.
"A-a-aku ... " suara Mas Dirga mengatung begitu saja.
"Ayo, Mas, cerita sama Dewi," desakku begitu penasaran.
"A-a-aku ... " jawab Mas Dirga terbata.
"Sudah, Nduk, jangan dipaksa dulu, ambilkan minum sana biar suamimu lebih tenang," ucap Ibu.
Aku pun ke dapur untuk mengambil air putih.
Aku mengambil gelas dan meletakkannya diatas meja.
Aku masih sangat penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Mas Dirga.
Aku mengambil teko yang berisi air putih, namun saat hendak menuangkan air kedalam gelas, tiba-tiba gelas bergeser dengan sendirinya.
Aku mengucek mataku berulang kali, memastikan apakah aku sedang berhalusinasi atau memang ini nyata.
"Astaga ... " lirihku
Ternyata ini nyata, ku raih gelas dengan perasaan ragu dan takut.
Ku ulangi lagi adegan menuang air kedalam gelas.
Dan setelah penuh, aku bergegas hendak kembali ke kamar.
Tetapi baru beberapa langkah berjalan, kembali mataku menangkap kejanggalan di kaca almari tempat perkakas pecah belah milik Ibu.
Aku berhenti sejenak, sebenarnya aku sangat takut, tapi rasa penasaranku jauh lebih besar.
Akhirnya ku sipitkan mataku agar lebih fokus pada titik yang ku tuju.
Bayangan diriku kembali berada di dalam cermin, dengan senyum menyeringai yang selalu membuat bulu kuduku meremang.
Aku bergegas mempercepat langkahku menuju kamar.
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
Setelah mimpi yang kualami itu, kutanamkan pada diriku bahwa aku harus menjadi pribadi yang lebih baik.Waktu begitu cepat berlalu, usia kandunganku memasuki usia tujuh bulan.Tradisi yang berlaku di daerahku, jika kandungan memasuki usia tujuh bulan, di lakukan ritual mandi bunga dan dilaksanakan acara kenduri.Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena Allah telah memberikan kepercayaan untuk menjadi seorang Ibu, dan ritual pemandian tujuh bulanan itu sebagai simbol tolak balak agar terhindar dari segala hal buruk yang tidak diinginkan.Semua persiapan acara, Ibu yang menyiapkan dan membiayai.Sedangkan Mas Dirga, hanya ongkang-ongkang kaki, terima beres saja.Semakin lama, seolah hatiku semakin lelah menghadapi sikap Mas Dirga.Selain sikapnya yang kasar, seolah ia masa bodoh dengan kebutuhan rumah yang sebagian besar ditanggung oleh Ibu.
Setelah punggung Mbah Wongso tak terlihat karena terhalang pekatnya malam, aku kembali masuk dan Mas Dirga masih saja duduk termangu. "Mas, sebenarnya Mas ini kenapa, sih? Apa ada yang Mas sembunyikan dariku, kenapa Mbah Wongso bilang kalau Mas harus jaga kelakuan? Kenapa arwah itu menyerangmu untuk melindungiku? Apakah kamu berkhianat lagi?" cercaku bertubi-tubi, karena aku geram sekali dengan sikapnya selama ini yang sepertinya selalu menutup-nutupi banyak hal tentang dirinya. "Kok, kamu malah percaya sama orang lain, sih, Dew! Aku ini suamimu!" Ia yang merasa tak terima pun membentakku hingga membuat nyaliku sedikit ciut.Entahlah, sepertinya orang yang bersalah memang selalu pandai menutupi kesalahannya dengan berbalik marah. "Yang ajak Mbah Wongso kesini 'tu kamu lo, Mas, bukankah itu berarti kamu memercayai kemampuannya?" "Ah, ngomong sama kamu bikin pusing saja, ke dapur sana bikinkan aku kopi!
"Ajak Ibu ke kamar dulu, Han," bisik Mas Dirga kepadaku."Maaf ya, Mbah, biar istri saya ajak Ibu masuk dulu,""Tidak usah, sebenarnya kunci semua ini ada pada Ibu mertuamu,"Ucapan Mbah Wongso, seketika membuatku menatap heran kepada Ibu.Ibu yang sedari tadi merengek, mengusir Mbah Wongso pun menjadi terdiam sesaat setelah Mbah Wongso terlihat komat-kamit."Sebenarnya ada apa, Bu?"Ibu diam seribu bahasa, bibirnya mengatup rapat."Kalau saya lihat, arwah itu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan istrimu, Le," ucap Mbah Wongso kepada Mas Dirga."Namamu siapa, Nduk?""Dewi, Mbah,"Aku berada di samping Ibu, ia hanya duduk dan pandangannya kosong, tatapannya menerawang jauh." Jiwa Ibumu sekarang seperti kembali pada beberapa puluh tahun silam," ucap Mbah Wongso, semakin membuatku kebingungan."Maksudnya bagaimana, Mbah?" tanya
"Kamu sudah gila ya, Dew?"Tak kuhiraukan lagi darah yang mengalir hingga ke leherku.Jangan tanya rasanya bagaimana, perih bukan main. Tak cukup sampai di situ saja, ia mendekatiku lagi, badanku gemetar bukan main. Ingin berteriak meminta tolong, tapi mulut ini begitu sulit dibuka.Peluh sebesar biji jagung terus berderai membasahi tubuhku.Dewi mengangkat tengannya sejajar ke depan, tubuhku lemas tak mampu barang bergeser apalagi lari.Ia berhasil meraih leherku, dicekiklah hingga nafasku tak sampai di kerongkongan.Kepalaku berdenyut kala kurasakan oksigen dalam paru-paruku kian menipis."Bismillahhirrohmannirrohim ..."Dalam situasi seperti ini, kenapa hafalan ayat-ayat pendek yang dulu sewaktu kecil pernah kupelajari, hilang seketika dari memori otakku.Terus saja kulafaskan basmalah sebanyak-banyaknya.Hingga saat tubuhku sudah benar-benar tak berda
Semenjak hamil, rasa kantuk acap kali hadir tanpa mengenal waktu. *** Untung tadi si Dewi pergi, jadi aku tak perlu repot-repot mencari alasan untuk bisa bertemu dengan Tari.Aku masih menunggu kedatangan Tari, sebelum booking kamar, ia mengajakku ketemuan di salah satu resto yang tak jauh dari penginapan.Sebelum Tari datang, aku tidak memesan apa pun, karena Tari yang akan mentraktir makan siang di restoran ini, sekaligus membayar penginapan. Rasa jenuh dan bosan mendera diri ini. Aku melambaikan tanganku saat kulihat Tari celingukan mencariku. "Sudah dari tadi ya, Mas?" "Lumayan, Tar," "Maaf ya, Mas, aku telat," Tari mencolek manja daguku, membuat rasa jenuh yang sedari tadi mendera, hilang seketika. "Iya, Tidak apa, Yang," "Mas, kok, belum pesan apa-apa?" "Mas sengaja nunggu kamu dulu," "Ya sudah aku pesankan ya, kasihan
*****Entah mengapa hatiku mengatakan Mas Dirga tengah berdusta.Meskipun memang benar, ia teleponan dengan kontak yang dinamainya 'Bian'.Aku merasa geram dengan sikap Mas Dirga, jadi setelah mengambilkan makan untuknya, aku memutuskan mencari Ibu ke tetangga sekitar rumah."Bi, lihat Ibuku tidak?" tanyaku pada segerombolan wanita yang menurut estimasiku, usianya di bawah Ibu." Tadi pagi-pagi sekali memang lewat depan rumahku Wi, saat kutanya, Ibumu menjawab mau ke kebun," jawab salah satu tetanggaku."Oh, terima kasih, Bu,"Aku melangkahkan kakiku menuju kebun untuk menyusul Ibu, karena jarak rumah dan kebun tidak terlalu jauh.Meskipun lumayan lelah jika ditempuh dengan berjalan kaki."Perutnya sudah mulai buncit ya, Bu,""Kan sudah menjadi rahasia umum kalau dia itu hamil duluan," timpal yang lain.Gunjingan mereka lamat-lama namun jelas masih terdengar genda
"Mas, sedang teleponan dengan siapa?" tanyaku.Mas Dirga segera mematikan teleponnya dan menyimpan ponsel itu di bawah tubuhnya.Mencurigakan sekali, bukan?!"Kok, langsung di mati'in sih teleponnya, Mas?""Memang sudah selesai, kok. Tadi Bian temenku yang telepon," ucapnya.Aku menautkan alisku, entah mengapa aku tak memercayai ucapan Mas Dirga."Aku boleh pinjam ponselmu, Mas?"Aku ingin memastikan bahwa kecurigaanku hanyalah persaanku yang salah."Kamu tidak percaya kepadaku, Han? Lancang sekali kamu mau buka-buka ponselku!" rajuknya."Aku hanya ingin pinjam saja, kalau tak ada yang kamu sembunyikan, seharusnya kamu tak perlu merasa takut, Mas!" sahutku."Aku tidak takut, Dew! Tapi kamu sebagai istri tak seharusnya lancang seperti itu, ini kalau tidak percaya.Mas Tama menunjukkan panggilan terakhirnya memang bernama Bian.A
Hari-hari berlalu dipenuhi dengan hal ganjil yang acap kali membuatku tak habis fikir. Setelah kejadian kontraksi beberapa waktu lalu, aku tak menemukan hal-hal dari Mas Dirga yang patut untuk kucurigai. Hingga suatu saat, Mas Dirga pergi dari siang hari, hingga kembali pada malam yang telah larut. Saat tengah dibuai alam mimpi, aku merasakan sentuhan mesra yang membangkitkan g*ir*hku.Aku menikmati setiap sentuhan itu tanpa membuka mataku, namun aku paham betul dari aroma tubuhnya bahwa itu suamiku.Ada sedikit aroma masam yang terhidu oleh indera penciumanku, apakah itu alkohol?Entahlah, yang pasti aku tak mempedulikannya karena rasa nikm*t luar biasa yang menjalar keseluruh titik dalam tubuhku.Dan sampai ritual di atas peraduan itu selesai pun, aku memilih memejamkan kembali mataku yang semakin terasa berat. Pagi harinya, aku terbangun dalam keadaan di selimuti hingga bagian perutku.Aku da
Sesampainya di kamar, aku segera membantu Mas Dirga untuk minum.Setelahnya, ia nampak sedikit tenang."Nampaknya, Dirga sudah mulai tenang, Nduk, Ibu tinggal ya!" kata Ibu.Aku membalas dengan anggukan.Ibu berjalan keluar kamar dan merapatkan daun pintu yang sedari tadi terbuka lebar.Tinggallah aku berdua dengan Mas Dirga di ruangan ini.Ingin sekali rasanya merasakan surga dunia dari mahligai rumah tangga yang sesungguhnya, bahkan dalam dosa pun dahulu sudah pernah kami lakukan. Namun, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk itu, rasa penasaran begitu menyeruak dari dalam kalbu.Sebenarnya apa yang terjadi kepada suamiku, apakah ia merasakan kejanggalan yang selama ini aku rasakan?Aku termenung cukup lama, karena Mas Dirga pun hanya diam seribu bahasa.Kulihat tatapan matanya yang memancarkan ketakutan.Perlahan kudekati suamiku, kusentuh tangannya yang dahulu pandai membuatku