Setelah meninggalkan rumah orang tua Summer, Lili dan Andreas duduk di mobil dengan suasana yang penuh pemikiran. Mereka baru saja melewati hari yang cukup panjang, bertemu dengan keluarga yang—dalam pandangan sebagian orang—mungkin dianggap berbeda jauh dari mereka, baik dalam hal status sosial maupun kondisi kehidupan. Lili menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi kota Jakarta, sebelum akhirnya memecah keheningan. "Kita sudah setuju hubungan Rain dengan Summer. Aku harap ini adalah keputusan yang tepat," katanya dengan nada yang hati-hati, namun ada kehangatan dalam suaranya. Andreas mengangguk pelan. "Aku juga berpikir begitu. Tadi waktu kita berbicara dengan Meilani, aku bisa rasa kalau mereka adalah keluarga yang baik, walau sedang banyak cobaan. Mereka mungkin nggak seberuntung kita dalam hal materi, tapi mereka punya hati yang tulus." Lili tersenyum tipis, mengingat percakapan mereka sebelumnya di rumah Summer. "Summer benar-benar anak yang baik. Aku suka dengan
Setelah resmi berpacaran, hubungan Rain dan Summer semakin erat, seolah mereka telah menemukan bagian diri yang hilang selama ini. Rain tidak hanya mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata, tetapi juga melalui tindakan. Ia berusaha keras untuk memberikan yang terbaik bagi Summer dan Haru, bahkan untuk keluarga Summer yang kini telah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Rain menggunakan segala sumber daya yang dimilikinya untuk memastikan Haru mendapatkan pendidikan terbaik dan masa depan yang cerah. Tidak hanya itu, ia juga sering mengunjungi rumah orang tua Summer, membawa perhatian kecil atau sekadar menghabiskan waktu bersama mereka, menunjukkan betapa ia peduli. Di sisi lain, Summer juga tidak tinggal diam. Sebagai seseorang yang bekerja di apartemen Rain, ia mencurahkan seluruh hatinya untuk membuat tempat itu terasa seperti rumah bagi mereka berdua. Ia memastikan bahwa setiap sudut apartemen mencerminkan cinta dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Terkadang, saat hari-ha
Malam itu, suasana di kantor Sari sangat sunyi. Hanya terdengar suara dengungan komputer dan klik-klik lembut dari mouse yang terus ia gerakkan. Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, tetapi Sari masih duduk di depan layar monitornya, matanya fokus pada informasi yang muncul. Di bawah sinar lampu meja yang temaram, wajah Sari tampak serius dan penuh tekad. Sari tidak sedang mengurus pekerjaan kantornya. Sebaliknya, ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelidiki masa lalu Summer, mencoba menemukan titik lemah yang bisa ia manfaatkan. Tangannya yang terlatih cekatan menavigasi situs-situs pencarian informasi, mengumpulkan potongan-potongan data yang bertebaran di internet dan database tertutup. Setelah menelusuri beberapa nama yang pernah muncul dalam kehidupan Summer, tiba-tiba ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya—sebuah nama yang akrab di telinganya, nama yang sering ia dengar dalam lingkaran sosialnya, namun tak pernah ia sangka akan terhubung dengan Summer. N
Rain bergegas memasuki ruang rapat, merasa sedikit kesal karena jadwal rapat yang tiba-tiba dipercepat. Ketika ia membuka pintu rapat, Rain langsung disambut oleh pemandangan yang membuatnya tertegun. Di dalam ruangan, seseorang dari masa lalu Summer sedang duduk di sisi Wulan, wanita yang akan mengadakan launching produk kecantikan di galerinya. Ben, mantan pacar Summer dan orang yang telah menimbulkan masalah dalam hidup Summer, balas menatap Rain dengan ekspresi datar. Ben, yang selama ini dikenalnya sebagai sosok yang enggan bertanggung jawab atas kehamilan Summer, kini berada di ruang rapat yang sama. Rain berusaha mengendalikan ekspresi wajahnya, mengatur napas agar tetap tenang. Dia tahu bahwa profesionalisme adalah kunci dalam situasi seperti ini. Dengan langkah mantap, Rain mendekati meja rapat dan menyapa semua orang di ruangan. “Maaf terlambat," ucap Rain. singkat. Wulan tersenyum ramah. "Seharusnya aku yang minta maaf, karena sudah mempercepat jadwal rapat kita."Rain
Bab 66 Ruangan Rain terasa lebih panas, karena pertemuan mereka dengan Ben, tadi. Terutama Misel dan Summer yang memang tidak menyukai Ben. Summer duduk di sofa, masih memikirkan kejadian tadi, sementara Rain memesan makan siang untuk mereka bertiga. Misel, yang sudah tidak sabar ingin mengutuk Ben, segera bergabung dan duduk di kursi sebelah Summer. Wajah Summer tampak sedikit tegang, sesuatu yang tidak biasa terlihat pada wanita yang biasanya tenang itu. Ketika pesanan mereka tiba, suasana seharusnya lebih ringan, namun ada ketegangan yang tidak bisa diabaikan. Summer masih merasa tertekan dengan pertemuannya dengan Ben, dan walaupun ia berusaha menyembunyikan kegelisahannya, Rain dan Misel bisa merasakan sesuatu yang berbeda. "Summer, lo baik-baik saja?" tanya Misel dengan nada perhatian, mencoba mencairkan suasana sambil membuka bungkus makanannya. Ia memang sudah lama mengenal Summer, dan tahu betul bagaimana raut wajah sahabatnya ketika sedang gelisah. Summer tersenyum t
Setelah mengantar Wulan pulang, Ben menghela napas panjang saat melihat pintu rumah tertutup di belakangnya. Ia merasa lega telah melewati percakapan yang menegangkan tanpa perlu menjelaskan pikirannya yang sedang kacau. Namun, meski fisiknya terasa lelah, pikirannya tidak berhenti berputar. Ben kembali ke mobilnya, memasang sabuk pengaman dengan gerakan otomatis. Tujuannya jelas, pulang ke apartemen, menenangkan diri, dan beristirahat setelah hari yang penuh gangguan. Tapi saat ia menyalakan mesin dan mulai mengemudi, ponselnya berbunyi. Dengan satu tangan, Ben meraih ponselnya dari kursi penumpang. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak disimpan di kontaknya, namun Ben mengenali nama pengirimnya. Sari. Sari? Apa yang dia inginkan? pikir Ben. Pesan itu singkat, langsung pada intinya: [Ben, ini Sari. Aku butuh bicara dengan kamu. Ada sesuatu yang harus kita diskusikan. Bisa kita bertemu malam ini?] Ben merasa aneh menerima pesan itu. Sari adalah orang yang pernah bekerja dengan
Ben melangkah memasuki kafe dengan langkah mantap. Matanya mengitari ruangan, mencari sosok Sari di antara para pengunjung yang sibuk dengan obrolan dan cangkir kopi mereka. Setelah beberapa detik, pandangannya tertuju pada sebuah sudut yang agak terpencil. Di sana, Sari duduk dengan anggun, mengaduk cangkir kopinya perlahan sambil menatap pemandangan di luar jendela. Ben menghampiri Sari, menarik kursi di hadapannya dan duduk tanpa banyak bicara. Sari mengangkat pandangannya, menyambut Ben dengan senyuman tipis yang sulit diartikan. "Ben," Sari membuka percakapan, suaranya tenang namun penuh makna. "Terima kasih sudah mau datang." Ben menatap Sari dengan mata tajam. "Kenapa kamu ngajak aku untuk bertemu di sini?" tanyanya langsung tanpa basa-basi. Ia bukan tipe orang yang suka berlama-lama dalam ketidakpastian, dan malam ini pun tidak terkecuali. Sari meletakkan sendok kecilnya di atas piring kecil dengan gerakan yang lambat dan terkendali. "Aku tau kamu pasti bertanya-tanya tent
Wulan menggenggam kemudi dengan erat, mencoba tetap tenang saat mobilnya melaju menyusuri jalanan Jakarta yang mulai lengang di malam hari. Matanya terfokus pada lampu belakang mobil Ben, yang semakin jauh di depan. Ben tampak memacu mobilnya lebih cepat, seakan ingin menghindar dari sesuatu—atau seseorang. Wulan tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi firasat buruk terus menggelayuti pikirannya."Ben, kenapa kamu begini?" gumamnya pelan, masih berusaha untuk mengimbangi kecepatan Ben. Setiap kali ia mencoba mempercepat mobilnya, Ben tampak semakin jauh, hingga akhirnya, di sebuah tikungan tajam, Wulan kehilangan jejaknya."Astaga..." Wulan menghentikan mobilnya di pinggir jalan, rasa frustrasi dan ketidakberdayaan membanjiri hatinya. Ia mencoba mengingat rute yang diambil Ben, namun jalanan malam yang sepi dan gelap membuatnya bingung. Dengan perasaan campur aduk, ia menekan pedal gas semakin dalam, berharap bisa menemukan jejak Ben, tapi usahanya sia-sia. Ben sudah menghilang dari