Langkah kaki Rain terhenti tiba-tiba. Jantungnya berdegup kencang saat matanya menangkap sosok yang tak pernah ia sangka akan melihatnya di sini. Summer, berdiri di depan rumah, menunggunya. Seakan-akan bumi berhenti berputar sejenak, dan kesadaran akan situasi yang tak terelakkan membuat darahnya berdesir cepat. Summer, yang sejak tadi menunggu Rain di taman dengan sabar, menunggu Rain pulang, akhirnya mendapati keberanian untuk berdiri di depan Rain, walau kebingungan masih melanda dirinya dengan hebat. Sekian lama ia menunggu momen ini, dan kini saatnya telah tiba. Ia ingin konfirmasi dengan matanya sendiri, bahwa Rain, pria yang selama ini selalu ada di sisinya, adalah orang yang memiliki apartemen ini dan orang yang telah membantunya tanpa ia sadari. Rain menelan ludah, merasakan kepanikan yang mulai menjalari seluruh tubuhnya. Dalam hitungan detik, berbagai skenario terlintas di benaknya. Haruskah ia mengelak? Berbohong lagi? Tapi tatapan mata Summer yang penuh harap dan ras
Saat Summer tiba di rumah sakit, malam sudah cukup larut. Lampu-lampu di lorong rumah sakit memberikan cahaya redup yang terasa menenangkan, tapi di dalam hatinya, kegelisahan dan kesedihan berputar dengan cepat, sulit dikendalikan. Langkah-langkahnya terasa berat ketika ia menuju ke kamar rawat ayahnya. Meilani, yang duduk di kursi dekat tempat tidur Haru, segera menyadari perubahan di wajah putrinya. Meskipun Summer mencoba tersenyum dan menyembunyikan apa yang ia rasakan, seorang ibu selalu tahu ketika anaknya sedang tidak baik-baik saja. Haru sudah tertidur pulas, napasnya teratur dan damai, memberikan sedikit ketenangan di tengah kegelisahan Summer.“Summer,” panggil Meilani dengan lembut, saat Summer mendekat. “Kamu kelihatan capek. Ada apa?”Summer hanya menggeleng pelan, tidak ingin langsung membahasnya. Namun, saat ia menatap wajah ibunya yang penuh perhatian, hatinya tak sanggup lagi menahan beban yang ia rasakan. Air matanya mulai menggenang, dan sebelum ia bisa menghentik
Di sudut ruangan rumah sakit yang sepi, Summer duduk di kursi dekat jendela, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Ruangan itu tenang, hanya terdengar detak mesin yang mengawasi kondisi ayahnya. Di tangannya, ponsel yang baru saja ia nyalakan menyala terang, menampilkan pesan dari Rain yang telah masuk beberapa saat yang lalu. Summer membaca pesan itu berulang kali, mencerna setiap kata dengan hati-hati. Pesan itu singkat namun penuh dengan makna, dan sukses membuat hati Summer bergetar. Sejak mengetahui kebenaran tentang siapa Rain sebenarnya, Summer merasa dunianya terbolak-balik. Ia merasa terbebani oleh kenyataan bahwa orang yang selama ini membantunya, memperhatikan setiap langkahnya, ternyata adalah orang yang mulai ia anggap spesial, namun ia merasa ada dinding besar yang dibangun di antara mereka—sebuah dinding yang terbentuk dari ketidaktahuan dan kebohongan. Summer menutup matanya, menghela napas panjang. Segala hal yang Rain lakukan selama ini terputar kem
Summer terkejut mendengar pengakuan Rain. Hatinya berdebar kencang, dan dia merasa seluruh dunianya seakan berhenti sejenak. Rain, dengan tatapan serius dan penuh harapan, baru saja mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Summer bisa merasakan intensitas dari kata-kata Rain, dan meskipun Rain sendiri tampaknya terkejut dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, kata-kata tersebut tidak bisa dihapus atau diabaikan. "Rain, apa kamu serius?" tanya Summer dengan suara bergetar. "Apa ini benar-benar yang kamu rasa?" Rain menatap Summer dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan. "Iya, aku serius Summer. Aku tau ini tiba-tiba dan mungkin buat kamu kaget. Aku hanya mau kamu tau betapa pentingnya kamu buat aku. Aku rasa aku bakalan gila kalau aku nggak jujur ke kamu soal perasaan aku." Summer mematung, perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Dia merasa tersentuh dengan pengakuan Rain, tetapi juga merasa bingung. "Ini... ini bukan apa yang mau aku bicarakan hari ini, Rain," kata Summer denga
Di pagi yang cerah, sinar matahari menembus tirai jendela rumah sakit, memberikan kehangatan yang lembut di ruangan tempat Angga Widjaja dirawat. Meilani dan Summer duduk di samping ranjangnya, menanti kabar dari dokter yang sudah berjanji akan memberikan penilaian terbaru mengenai kondisi Angga. Haru, yang biasanya ceria, duduk di pangkuan Meilani dengan ekspresi khawatir. Sementara itu, Summer memegang tangan ayahnya dengan lembut, berusaha menyampaikan keberanian dan harapan melalui sentuhan itu. Pintu ruangan terbuka, dan dokter masuk dengan senyum tipis di wajahnya. Ia melihat ke arah keluarga yang menunggu dengan cemas dan berkata, "Saya membawa kabar baik. Kondisi Pak Angga sudah cukup stabil, dan kita bisa memulangkan beliau hari ini." Meilani menarik napas lega, sementara Summer hampir tidak percaya dengan kabar tersebut. "Apa benar, Dok?" tanyanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dokter mengangguk dengan tenang. "Iya, ini kabar baik. Tapi, saya harus menjelaskan bebe
Beberapa hari kemudian, artikel tentang Summer dan Rain muncul di salah satu media online terkemuka. Isinya penuh dengan sudut pandang negatif tentang Summer, mulai dari spekulasi tentang masa lalunya, status sebagai janda, pekerjaannya, hingga hubungannya dengan Rain, yang dipelintir sedemikian rupa untuk membuat Summer tampak sebagai perempuan matre yang mendekati Rain hanya demi kepentingan pribadi.Artikel itu menyebar dengan cepat, seperti api di padang rumput kering. Komentar-komentar negatif mulai membanjiri media sosial, dan nama Summer menjadi bahan perbincangan yang hangat. Publik mulai mempertanyakan siapa Summer, sementara banyak yang mengutuknya tanpa mengetahui kebenaran.Selain masyarakat, orang-orang yang mengenal Summer juga memberikan reaksi pada berita tersebut. Masing-masing memiliki pendapat dan perasaan yang berbeda-beda, tergantung dari hubungan dan pengalaman mereka dengan Summer. Ben yang sedang duduk di ruang kerjanya, memegang secangkir kopi sambil membaca
Summer menghela napas panjang, duduk di sofa yang berada di sudut apartemen mewah itu. Ponselnya bergetar di atas meja, namun bukan panggilan telepon atau pesan yang diterimanya kali ini—melainkan notifikasi dari artikel-artikel berita yang mengalir deras, membanjiri lini masa dan inbox-nya. Dia tidak ingin membacanya, tetapi rasa penasaran dan kecemasan mendorongnya untuk melihat apa yang orang-orang katakan tentang dirinya. Dengan tangan gemetar, dia membuka satu per satu artikel yang memuat berbagai hal negatif tentang dirinya. Mata Summer mulai berkaca-kaca saat membaca komentar-komentar yang tidak mengenakkan. "Penggoda pria kaya," tulis salah satu artikel dengan judul mencolok. "Mantan pacar dengan masa lalu kelam, sekarang mengincar pengusaha sukses." Artikel itu penuh dengan spekulasi dan tuduhan yang tidak berdasar, menguliti kehidupannya tanpa belas kasihan. Tak hanya menyerang karakter Summer, mereka juga mencoba menggali masa lalunya yang paling menyakitkan—hubungann
Andreas dan Lili tiba di galeri seni milik Rain dengan harapan bisa menemui putra mereka di sana. Namun, setelah berkeliling dan berbicara dengan beberapa karyawan, mereka mendapati bahwa Rain tidak berada di galeri. "Dia mungkin ada di apartemennya," kata Lili sambil melirik suaminya dengan khawatir. "Kita coba pergi ke sana." Andreas mengangguk setuju, dan mereka pun bergegas menuju apartemen Rain. Diperjalanan, Lili kembali menghubungi Rain, tapi Rain tidak menjawab panggilan dari Lili. "Masih belum dijawab?" tanya Andreas, tanpa mengalihkan pandangannya. Lili mengangguk. "Iya, pa. kayaknya Rain lagi sibuk." Andreas tidak membalas kalimat Lili. Ia tetap tenang dan menatap lurus ke depan. Apapun yang sedang dilakukan oleh Rain, ia harus segera bertemu Rain dan mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Rain. *** Rain dengan hati-hati mengangkat Summer dari sofa, mencoba untuk tidak membangunkannya. Tubuhnya yang lelah tampak begitu damai saat tertidur, membuat Rain merasa ada r