Di sudut ruangan rumah sakit yang sepi, Summer duduk di kursi dekat jendela, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajahnya. Ruangan itu tenang, hanya terdengar detak mesin yang mengawasi kondisi ayahnya. Di tangannya, ponsel yang baru saja ia nyalakan menyala terang, menampilkan pesan dari Rain yang telah masuk beberapa saat yang lalu. Summer membaca pesan itu berulang kali, mencerna setiap kata dengan hati-hati. Pesan itu singkat namun penuh dengan makna, dan sukses membuat hati Summer bergetar. Sejak mengetahui kebenaran tentang siapa Rain sebenarnya, Summer merasa dunianya terbolak-balik. Ia merasa terbebani oleh kenyataan bahwa orang yang selama ini membantunya, memperhatikan setiap langkahnya, ternyata adalah orang yang mulai ia anggap spesial, namun ia merasa ada dinding besar yang dibangun di antara mereka—sebuah dinding yang terbentuk dari ketidaktahuan dan kebohongan. Summer menutup matanya, menghela napas panjang. Segala hal yang Rain lakukan selama ini terputar kem
Summer terkejut mendengar pengakuan Rain. Hatinya berdebar kencang, dan dia merasa seluruh dunianya seakan berhenti sejenak. Rain, dengan tatapan serius dan penuh harapan, baru saja mengungkapkan perasaannya yang terdalam. Summer bisa merasakan intensitas dari kata-kata Rain, dan meskipun Rain sendiri tampaknya terkejut dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, kata-kata tersebut tidak bisa dihapus atau diabaikan. "Rain, apa kamu serius?" tanya Summer dengan suara bergetar. "Apa ini benar-benar yang kamu rasa?" Rain menatap Summer dengan tatapan penuh penyesalan dan harapan. "Iya, aku serius Summer. Aku tau ini tiba-tiba dan mungkin buat kamu kaget. Aku hanya mau kamu tau betapa pentingnya kamu buat aku. Aku rasa aku bakalan gila kalau aku nggak jujur ke kamu soal perasaan aku." Summer mematung, perasaan campur aduk memenuhi dirinya. Dia merasa tersentuh dengan pengakuan Rain, tetapi juga merasa bingung. "Ini... ini bukan apa yang mau aku bicarakan hari ini, Rain," kata Summer denga
Di pagi yang cerah, sinar matahari menembus tirai jendela rumah sakit, memberikan kehangatan yang lembut di ruangan tempat Angga Widjaja dirawat. Meilani dan Summer duduk di samping ranjangnya, menanti kabar dari dokter yang sudah berjanji akan memberikan penilaian terbaru mengenai kondisi Angga. Haru, yang biasanya ceria, duduk di pangkuan Meilani dengan ekspresi khawatir. Sementara itu, Summer memegang tangan ayahnya dengan lembut, berusaha menyampaikan keberanian dan harapan melalui sentuhan itu. Pintu ruangan terbuka, dan dokter masuk dengan senyum tipis di wajahnya. Ia melihat ke arah keluarga yang menunggu dengan cemas dan berkata, "Saya membawa kabar baik. Kondisi Pak Angga sudah cukup stabil, dan kita bisa memulangkan beliau hari ini." Meilani menarik napas lega, sementara Summer hampir tidak percaya dengan kabar tersebut. "Apa benar, Dok?" tanyanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Dokter mengangguk dengan tenang. "Iya, ini kabar baik. Tapi, saya harus menjelaskan bebe
Beberapa hari kemudian, artikel tentang Summer dan Rain muncul di salah satu media online terkemuka. Isinya penuh dengan sudut pandang negatif tentang Summer, mulai dari spekulasi tentang masa lalunya, status sebagai janda, pekerjaannya, hingga hubungannya dengan Rain, yang dipelintir sedemikian rupa untuk membuat Summer tampak sebagai perempuan matre yang mendekati Rain hanya demi kepentingan pribadi.Artikel itu menyebar dengan cepat, seperti api di padang rumput kering. Komentar-komentar negatif mulai membanjiri media sosial, dan nama Summer menjadi bahan perbincangan yang hangat. Publik mulai mempertanyakan siapa Summer, sementara banyak yang mengutuknya tanpa mengetahui kebenaran.Selain masyarakat, orang-orang yang mengenal Summer juga memberikan reaksi pada berita tersebut. Masing-masing memiliki pendapat dan perasaan yang berbeda-beda, tergantung dari hubungan dan pengalaman mereka dengan Summer. Ben yang sedang duduk di ruang kerjanya, memegang secangkir kopi sambil membaca
Summer menghela napas panjang, duduk di sofa yang berada di sudut apartemen mewah itu. Ponselnya bergetar di atas meja, namun bukan panggilan telepon atau pesan yang diterimanya kali ini—melainkan notifikasi dari artikel-artikel berita yang mengalir deras, membanjiri lini masa dan inbox-nya. Dia tidak ingin membacanya, tetapi rasa penasaran dan kecemasan mendorongnya untuk melihat apa yang orang-orang katakan tentang dirinya. Dengan tangan gemetar, dia membuka satu per satu artikel yang memuat berbagai hal negatif tentang dirinya. Mata Summer mulai berkaca-kaca saat membaca komentar-komentar yang tidak mengenakkan. "Penggoda pria kaya," tulis salah satu artikel dengan judul mencolok. "Mantan pacar dengan masa lalu kelam, sekarang mengincar pengusaha sukses." Artikel itu penuh dengan spekulasi dan tuduhan yang tidak berdasar, menguliti kehidupannya tanpa belas kasihan. Tak hanya menyerang karakter Summer, mereka juga mencoba menggali masa lalunya yang paling menyakitkan—hubungann
Andreas dan Lili tiba di galeri seni milik Rain dengan harapan bisa menemui putra mereka di sana. Namun, setelah berkeliling dan berbicara dengan beberapa karyawan, mereka mendapati bahwa Rain tidak berada di galeri. "Dia mungkin ada di apartemennya," kata Lili sambil melirik suaminya dengan khawatir. "Kita coba pergi ke sana." Andreas mengangguk setuju, dan mereka pun bergegas menuju apartemen Rain. Diperjalanan, Lili kembali menghubungi Rain, tapi Rain tidak menjawab panggilan dari Lili. "Masih belum dijawab?" tanya Andreas, tanpa mengalihkan pandangannya. Lili mengangguk. "Iya, pa. kayaknya Rain lagi sibuk." Andreas tidak membalas kalimat Lili. Ia tetap tenang dan menatap lurus ke depan. Apapun yang sedang dilakukan oleh Rain, ia harus segera bertemu Rain dan mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Rain. *** Rain dengan hati-hati mengangkat Summer dari sofa, mencoba untuk tidak membangunkannya. Tubuhnya yang lelah tampak begitu damai saat tertidur, membuat Rain merasa ada r
Setelah mempersilakan orang tuanya untuk duduk di sofa, Rain dengan lembut menatap Summer. Ia memberikan isyarat halus dengan matanya, meminta Summer untuk duduk di sampingnya. Summer ragu sejenak, merasa canggung dengan situasi yang tiba-tiba ini, tetapi akhirnya ia mengangguk pelan dan berjalan menuju sofa, lalu duduk di samping Rain. Suasana di ruangan itu terasa sedikit tegang, meskipun Rain berusaha membuatnya tetap santai. Andreas dan Lili memandang Summer dengan mata yang penuh rasa ingin tahu, sementara Summer berusaha untuk tetap tenang, meskipun perasaannya campur aduk. Rain mencoba untuk mencairkan suasana dengan mengawali percakapan. "Maaf, aku sudah buat mama sama papa datang jauh-jauh ke sini. Aku terlalu sibuk belakangan ini."Lili mengangguk, mengerti dengan kesibukan Rain. "Mama ngerti. Tapi sesibuk apapun kamu, kamu harus sempatin diri untuk datang ke rumah. Kami sempat datang ke galeri kamu tadi, tapi kamu nggak ada di sana.""Maaf, ma. Hari ini pekerjaan aku kela
Rain meminta Summer untuk memanggil ayah dan ibunya. Summer merasa sedikit gugup saat melangkah ke ruang tamu dan mengundang Andreas serta Lili untuk bergabung di meja makan. Dalam hati, Summer merasa seperti ia sedang berjalan ke ruang sidang. Siapa yang akan tahu, apa yang akan mereka bicarakan saat di meja makan.Setelah mereka semua duduk, Rain mencoba mencairkan suasana dengan memulai percakapan ringan. “Aku berusaha keras untuk buat semua ini. Semoga rasanya nggak mengecewakan,” katanya sambil menyajikan hidangan yang telah disiapkannya.Lili tersenyum tipis, menanggapi kata-kata Rain. “Jadi di Paris kamu juga belajar masak?"Rain mengangguk. "Aku belajar sedikit di sana." Rain lalu duduk dan mempersilahkan semua orang untuk makan. Terkhusus untuk Summer, Rain menunjukan perhatian dengan jelas.Andreas dan Lili menangkap perhatian Rain tanpa banyak komentar. Sedangkan Summer hanya bisa menerima segala bentuk kebaikan Rain, sambil berterima kasih. "Hmmm... lumayan..." Andreas h