“Aduh, telat, euy,” kataku.
Aku berlari di jalanan kampus bersama Ardo teman satu kosku. Jam di dinding kantin yang kami lewati telah menunjukkan pukul 06.45.“Hayu, cepat!” desaknya.Saat aku masih memperhatikan jam, tabrakan pun tak terhindarkan. Seseorang di depanku terdiam, dia seorang gadis, buku yang dipegangnya berhamburan. Aku langsung sigap mengambil buku-bukunya.“Maaf, ya, saya buru-buru,” kataku.Dia tidak berbicara, ngambek pun tidak.Aku bergegas mengembalikan buku-buku miliknya. Mataku belum sempat memperhatikan seperti apa wajah gadis itu. Lebih tepatnya aku tidak sanggup kalau harus bertatapan dengan perempuan, kecuali ibuku.“Nggak apa-apa ...,” katanya.Tapi aku tetap menunduk. Lalu kembali berlari menyusul temanku.Lari kami tak sia-sia. Tak berselang lama kami sudah tiba tepat waktu di Gelanggang Kolam Renang, sebuah bangunan stadion yang di tengah-tengahnya terdapat kolam berenang luas.Benar, Mata kuliah pertamaku adalah kelas renang atau yang disebut juga aquatik. Banyak senior bilang kalau kelas ini mata kuliah neraka, karena katanya dosen-dosennya galak dan pembelajarannya sangat menguras adrenalin.Aku sudah memakai celana renang hitamku. Dengan wajah tegang aku keluar dari ruang ganti. Karena selama ini tidak pernah tahu caranya berenang, menyentuh air kolam pun tak pernah, itu satu-satunya yang saat ini membuatku tegang.Sekitar puluhan Mahasiswa termasuk aku sudah duduk di pinggir, membelakangi kolam yang airnya berwarna biru cemerlang. Tiga Dosen berada di depan, salah satu dari mereka sedang menjelaskan.“Teknik dasar meluncur itu gampang, kalian hanya tinggal meluruskan badan, tapi pastikan badan kalian lurus, maka seluruh badan akan otomatis mengambang. Lalu kayuh,” jelas Dosen.Seluruh Mahasiswa berdiri, aku juga.Dosen mengatakan, kalau sekarang adalah pembelajaran meluncur sekaligus memilah Mahasiswa supaya bisa di bagi menjadi tiga kelompok. Kelompok yang bisa, kelompok kurang bisa, dan kelompok tidak bisa. Aku cocok dengan kelompok ketiga.Sekarang bagianku meluncur setelah lima orang di depan berhasil ke seberang. Aku berdoa, ragu-ragu, dan perlahan masuk kolam. Air kolam yang dingin menusuk dari telapak kaki sampai ubun-ubun.“Ayo, cepat!” teriak Dosen.Dengan tangan di depan, aku meluncur. Bulu kudukku merinding saat melihat betapa dalamnya tengah-tengah kolam ini, kiri-kira sedalam tiga meter. Tanpa sadar aku tidak mengayuh. Sedetik kemudian badanku telah tenggelam.“Aduh, euy, aku pasti mati?” celetukku dalam hati.Napasku habis, untung saja kakiku berhasil menyentuh dasar. Seketika dengan kencang aku melompat-lompat ke atas sambil melambai minta tolong. Tapi tidak ada siapa pun yang menolong.Setelah beberapa detik aku melompat dan melambai, Salah satu dosen melemparkan pelampung. Aku segera meraihnya, dan akhirnya aku bisa mengambang. Napasku tertarik panjang, lega rasanya.-Arka-Dua jam pembelajaran renang sudah selesai, sekarang aku telah berada di kantin kampus. Mungkin bagi yang sudah bisa dan kurang bisa renang, mata kuliah itu seperti neraka. Tapi buatku dan teman satu kelompokku tadi pembelajarannya cuman latihan di kolam cetek, tidak menguras adrenalin sama sekali.Kantin kampus belum terlalu ramai, hanya ada satu-dua mahasiswa yang duduk di hadapan meja panjang. Ada beberapa meja dan kursi panjang yang di simpan di luar, mungkin biar makan bisa sambil lihat orang jalan. Baguslah kalau belum banyak orang, karena aku lebih suka suasana damai daripada ramai.Ini kali pertama aku masuk ke kantin kampus, katanya di sini ambil makanannya kayak prasmanan. Ternyata itu benar. “Sikat,” tegas benakku.Tanpa pikir panjang, aku segera mengambil piring yang sudah disediakan, menyendok nasi banyak-banyak, dan menghiasinya dengan lauk-pauk.“Oh, harus langsung bayar,” gumamku melihat satu orang di depan menyodorkan uang ke kasir.Tanganku bergegas merogoh saku kanan celana, tapi tidak ada. Aku coba sebelah kiri, tidak ada juga.“Tenang.”Aku segera melihat saku kemejaku. Ini saatnya panik.“Aduh, duitku hilang,” kataku dalam hati.Seseorang menyerobotku. Gadis berambut panjang terurai itu berbicara sebentar dengan kasir, dia langsung menyodorkan uang, lalu berjalan keluar. Aku ragu-ragu mendekati kasir.“Makanannya udah dibayarin sama pacar kakak,” ungkap kasir.“Pacarku?” cakapku bingung.“Iya, pacar kakak yang duduk di meja itu.” Kasir menunjuk keluar.Kepalaku menoleh. Dia gadis yang tadi menyerobotku.“Ini kembaliannya, Kak. Terima kasih.” Kasir menyodorkan uang.Aku mengambilnya. “I-iya, terima kasih.”“Sama-sama.”Dengan perasaan canggung, aku menghampiri meja gadis itu.Dia menatapku biasa saja.Aku langsung menunduk menatap makananku.“Pe-permisi,” kataku canggung.“Kamu boleh duduk.”Aku duduk di hadapannya. Tapi, Aku ragu bisa mengobrol dengannya.“Kamu juga mahasiswa baru, ya?”“Sebelumnya terima kasih sudah membayar makananku, ini kembaliannya.” Aku menyimpan uangnya di tengah meja dengan tangan bergetar. “Nanti aku ganti.”“Nggak usah. Itu sebenarnya uangmu.”“Maksudmu?”“Itu uangmu yang tadi jatuh saat menabrakku.”“Oh, maaf, tadi aku buru-buru. Terima kasih.”“Nggak apa-apa, aku juga tadi buru-buru. Tapi, kamu nggak sopan, ih, dari tadi bicara sambil nunduk.”“Aku ... lagi menghitung nasi, eh, maksudku, lagi ....”Dia tertawa. Mungkin merasa aneh dengan lelaki sepertiku. Aku hanya menunduk tersenyum.“Oke, kita habiskan dulu makannya,” katanya.Aku mengangguk. Lalu menyantap dengan lahap.Kami berdua selesai menghabiskan makanan di piring masing-masing. Aku masih menunduk, ragu, apa bisa aku memulai percakapan. Tapi, aku harus mencoba. Dia sepertinya menatapku.“Kenapa tadi kamu tahu kalau aku mahasiswa baru?” ujarku memulai percakapan.“Kelihatan,” jawabnya.“Kelihatan apanya?”“Botaknya. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh.Tanganku refleks memegang kepala. Benar sekali, aku lupa kalau rambutku telah di cukur gundul dua senti. Tapi tidak ada pilihan lain, karena ini syarat mahasiswa baru laki-laki di fakultasku.“Kamu masih tidak sopan, ih.”Aku terdiam.“Oh, aku punya triknya. Kamu kalau bicara jangan menatap mata, tapi tataplah ke antara kedua mata. Ayo, coba, deh, kamu pasti bisa.”“Maksudmu menatap pangkal hidung?”“Iya, kamu pasti bisa.”Kepalaku perlahan terangkat, entah kenapa aku menuruti permintaannya. Tak lama, aku memandang wajah cantik gadis itu. Dia tersenyum padaku. Matanya lebih cemerlang dari kolam renang. Tak tahu kenapa aku malah tidak menuruti triknya, tapi malah menatapnya.“Itu, kamu bisa.”“Hehehe. Iya. Tapi, aku masih canggung.”Dia kembali tertawa. Aku tersenyum.“Kamu pasti dari Fakultas Olahraga, aku sudah tahu itu.”“Kamu gampang menebakku, tapi aku tidak bisa menebak kamu dari fakultas mana?”“Aku dari Fakultas Bahasa.”Aku tersenyum menatapnya. “Oh iya, kenalkan, namaku Arka.”“Aku Salma,” jawabnya.Hari itu aku tahu nama gadis itu. Salma Larasati. Sesuai dengan namanya yang cantik. Namun, dia lebih cantik serta imut.Aku dan Salma mulai akrab di waktu pertama makan bareng itu. Setelah beberapa menit mengobrol, dia buru-buru pergi, katanya ada kelas. Aku hari ini sadar kalau perempuan tak seegois yang selama ini kupikirkan. Tapi aku masih canggung bisa memulai percakapan atau tidak, jika nanti bertemu dia lagi. Dan, bodohnya tadi aku tidak meminta nomor teleponnya.-Bersambung-
Setelah beberapa menit menyendiri di kantin, aku memutuskan beranjak dari sana untuk pergi ke perpustakaan yang tadi sempat kulihat.Ternyata setelah masuk ke dalam perpustakaan, bukannya membaca aku malah berkeliling mencari buku yang mungkin takkan bisa kutemukan, karena saking luasnya tempat ini.Aku mencoba mencarinya di komputer, tapi ini juga membingungkan. Komputer ini hanya menampilkan nomor rak penyimpanan bukunya.“Ah, dari pada bingung ambil acak aja,” gumamku.Dengan santai aku bersandar di hadapan meja bersofa empuk sembari membaca buku yang telah asal aku comot. Sekarang setiap orang yang melintas di hadapanku tampak menahan tawa. Aku tetap fokus membaca menghiraukan mereka.“Emang salah, ya, kalau aing baca buku ini?” sungutku dalam hati.Sambil memasang wajah masam, aku keluar dari surganya para kutu buku itu. Aku segera duduk di balkon dekat pintu masuk.“Hei!”Sepertinya aku sudah sangat hafal dengan suara lembut ini. Kepalaku denga
Sudah lebih dari lima belas menit kami berdua duduk berhadapan. Sesekali Salma melihat-lihat pemandangan Kota Bandung dari jendela bus di belakangnya. Bila ada kesempatan aku pandang wajah cantiknya yang terhias cahaya.“Udah kenyang lihat akunya?” tegurnya memajukan bibir.“Belum, eh. Kamu pikir makan bisa kenyang,” jawabku keceplosan.“Kita mau ke mana, sih?” Dia mengalihkan pembicaraan.“Kita ke Pasar Baru, sih,” ledekku.“Mau apa ke sana? Belanja?”“Nggak belanja, kita jalan-jalan aja.”“Orang lain ke pasar itu buat belanja bukan jalan-jalan.”“Kan, yang belanja juga harus sambil jalan-jalan, masa sambil tengkurep.”“Eh, bener juga, Sih. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh-kekeh.Aku tersenyum, saat ini merasa ada yang aneh dengan hatiku.Sopir menghentikan laju busnya. Seorang Nenek renta masuk dibantu oleh Helper. Aku lihat semua kursi sudah terisi. Nenek itu kebingungan harus duduk di mana, sementara bus sudah kembali berjalan.“Nek, di sini!” se
Beberapa detik dalam keheningan kami tidak sadar sudah saling tatap satu sama lain. Kami langsung salah tingkah, kemudian mengalihkan perhatian, memandang sekitar.Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaannya barusan. Tapi kalau aku menjawabanya, mungkin, itu akan mengubah suasana hangat saat ini.“Anak kucing ini mau kamu bawa ke mana?” Salma mengelus-elus kedua hewan mungil berwarna hitam dan putih itu. Lega rasanya dia mengalihkan pertanyaannya. Rasanya seperti saat diberi pelampung oleh dosen."Malah bengong."“Eh, Aku mau bawa ke kosan. Tapi kalau kamu mau bawa ke tempatmu juga boleh.”“Kalau ke kosanmu boleh, kalau ke kosanku jangan!”“Kenapa jangan?” Padahal aku sudah tahu, pasti kos-kosannya dilarang membawa hewan.“Soalnya di rumah kosku gak bisa bawa peliharaan.”“Gampang, selundupin aja pake tas. Hahaha.”“Ih jangan, sih.” Dia ingin tertawa, tapi
Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.“Salma, mau foto sama Pocong?”“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”“Kamu takut, ya?” ledekku“Nggak! Kamu kali yang takut.”“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.
“Lihat, deh, Salma, yang hitam ngeliatin kamu mulu. Kayanya dia terpesona sama rambut hitammu.”“Kenapa rambutku?” Dia memeriksa, mengantungkan rambutnya ke sebelah kanan. Aku menatap heran, kenapa perempuan tampak lebih cantik saat rambutnya digantung ke pinggir?“Katanya, kamu cocok jadi duta sampo Phunten.”Dia langsung terkekeh manis. “Arka, Arka, bisa aja kamu.”Karena keasikan mengobrol, kami tidak sadar kalau mobil telah berhenti. Pak Sopir yang ramah memberitahu, jika sudah sampai di tempat tujuan, di depan gerbang kampus.“Ini, Pak,” kata Salma sembari menyodorkan lembaran kertas berharga.Kami segera turun dan tak lupa bilang terima kasih. Kaki kami bergegas melangkah, kembali melewati pos satpam sembari tersenyum, menyapa.Sesampainya di parkiran kampus, tangan Salma menunjuk kendaraannya ada di sebelah mana. Sepeda motornya masih terdiam tepat di bawah pohon rindang. Waja
Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”“Waduh, gimana, tuh, caranya?”Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menung
“Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama
Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya