Share

#7 Ngomong!

Penulis: Tadi hujan
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-30 18:36:00

Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.

Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.

“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.

“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.

“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”

“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”

“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”

“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.

“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”

“Waduh, gimana, tuh, caranya?”

Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menunggu. Setelah beberapa detik, dia kembali sambil membawa galah cukup panjang di tangannya.

“Buat naon eta, Do?”

“Udah, sekarang maneh langsung aja loncat ke tengah kolam.”

“Ke tengah?” kataku sembari kembali menelan ludah.

“Percaya, deh, kalau ada ini moal tenggelam.”

“Naha nggak pake pelampung aja?”

“Udah, percaya aja, Ka. Kalau pake pelampung terlalu mudah. Maneh mau bisa renang, kan?”

“Percaya maneh, musyrik!” ledekku.

“Ah, percaya aja, dah.”

Kali ini, aku mengangguk tegas, lalu balik badan, dan berdiri di keramik tepian kolam. Seketika jantungku berdetak lebih kencang bagai pertama kali menatap mata Salma. Tapi beda, ini karena dasar kolam yang terbias tampak menyeramkan.

Tak kusangka di tribune paling atas ada dua orang pria yang sedang berdiri, menonton. Pandanganku tidak bisa jelas melihat wajah mereka, tapi karena gaya rambut serta pakaian, aku tahu mereka seumuran denganku. Mataku kembali menatap kolam.

Sekarang, ku coba mengambil napas tenang. Benakku menyemangati, aku pasti bisa! Namun, itu tidak mengubah suasana tegangnya.

“Yo, Ka! Jadi lelaki itu harus berani bertanggung jawab. Kamu masuk ke Fakultas Olahraga, ya, berarti harus bisa renang bagaimana pun caranya. Jangan sampai ada niatan nyerah di tengah jalan, Ka.”

“Bener omonganmu, Do. Urang nggak akan nyerah!”

“Siap, ya!”

Tanpa aba-aba badanku di dorong dari belakang, kemudian terpelanting jatuh ke tengah membelah birunya air kolam. Perlahan mataku terbuka, tubuhku tenggelam. Namun, kini pikiranku terasa lebih tenang, beda dengan kemarin.

Kakiku telah menapak ke dasar. Dengan sekali hentakkan badanku melesat lurus ke atas. Tanganku segera meraih galah yang sudah dijulurkan Ardo. Kepalaku sekarang tidak kembali ke dalam air karena kedua lenganku telah menggenggam erat alat bantu.

“Ka! Kakinya gerak!” teriaknya sembari berusaha menduduki galah.

“Tadi belum siap, euy!” ujarku dengan napas sedikit terengah-engah.

“Udah, ulah ngeluh!”

“Bagaimana kumaha gerakkannya?!” 

“Tau, kan, gerakkan kaki katak?!”

Dalam benakku langsung terbesit banyangan cara hewan itu berenang.

“Ka, tau, kan?!”

Aku memberi isyarat dengan mengacungkan jempol tangan kanan, yang kiri terus memegang galah seerat mungkin karena aku tidak mau kembali tenggelam.

“Okey, Ka, Mantap!”

Kedua kakiku mencoba bersinkronisasi dengan otak yang sedang memikirkan seekor katak berenang. Tak kusangka ternyata ini mudah. Namun, otot-otot paha dan betisku masih terasa sangat kaku, tapi mungkin nanti juga akan terbiasa.

“Bagus! Tapi lakukan gerakkannya dengan tenang dan perlahan, Ka, kalau nggak, maneh nggak akan ngambang!”

Dengan menarik napas panjang, aku berusaha membiasakan kakiku. Benar kata dia, badanku jadi terasa ringan sekarang, terasa mengambang.

“Siip, terus begitu selama tiga menit!”

“Emang bisa?!”

“Pasti bisa, lah!”

“Tapi, kalau keram nanti langsung tarik gantar-nya, yo!”

“Yo, tenang aja!”

Tiga menit telah terlampuai, tapi Ardo menyuruhku untuk lanjut ke lima, enam, hingga sepuluh menit dengan jeda istirahat beberapa detik di setiap sesinya. Gayanya kali ini sudah seperti Dosen. Aku terpaksa harus menurutinya karena ini caranya melatihku.

“Mau terus?!”

Namun, otot-otot kakiku sudah terasa sangat tegang seperti galah ini. Aku segera melambai. Dalam sekejap dia telah menarik galah yang dari tadi didudukinya dan kucengkram erat. Tanganku langsung berpegangan pada pinggir kolam.

“Edan ... edan ... edan cape juga,” kataku dengan napas terengah-engah.

“Harusnya tiga puluh menit,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya, membantuku naik.

“Serius, euy?”

“Tapi itu udah alus.”

Anehnya tiba-tiba ada bunyi nada dering handphone, ternyata itu suara telepon genggam milik Ardo yang dia selipkan dicelana renangnya. Dia segera mengambil, lalu menatap layarnya.

“Siapa, Do?”

“Si Sela.”

“Sekretaris?”

Dia mengangguk, kemudian dengan cekatan langsung mengangkatnya.

Pandanganku kembali ke tribune. Dua orang tadi sudah tidak ada di sana. Dahiku terlipat.

“Apa?! Seriusan?! Okey, kamu informasikan ke grup kelas, ya, dan terima kasih infonya, Sel.”

“Ada apakah gerangan, Do?” Aku sedikit bercanda sembari beranjak dari pinggir kolam.

“Kita harus cepet, Ka, Dosennya ternyata mau masuk jam setengah delapan.”

“Seriusan? Ini jam berapa?”

“Jam tujuh.”

Aku telah mengambil ancang-ancang. “Katanya harus cepet? Hayu, ganti baju!”

Dengan secepat kilat kami segera membawa tas, lalu lari ke ruang ganti. 

Kemudian setelah beres, kami langsung berjalan cepat bergegas dari sana menuju ke fakultas yang jaraknya cukup jauh.

Baru setengah jalan, aku menghentikan kaki.

“Ada apa, Ka?” Ardo ikut mengerem.

“Tiheula, urang ada urusan dulu. Kalau telat salamin buat Dosen. Tapi kalau Dosennya bapa-bapa jangan. Hehehe.”

“Yoyoi, Slur! Duluan, yo!” Dia bergegas. Lalu hilang di lekukkan jalan.

Langkahku berganti arah, masuk ke jalan kecil di antara dua bangunan. Kini di hadapanku ada dua orang yang sedang berjalan. Perlahan, aku dekati mereka. Seketika ku piting satu orang, membawanya ke arah lain. Dia berontak, lalu ku jatuhkan kencang. Raut mukanya langsung terperanjat. 

“Ngomong! Maneh diperintah siapa?!”

-Bersambung-

Bab terkait

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #8 Pipi Yang Memerah

    “Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-30
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #9 Itu Dia

    Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-02
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #10 Hebat!

    “Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-05
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #11 Dihampiri Asmara

    “Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-12
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #12 Bahagiaku Rusak!

    “Hei, Mas! Jangan berhenti sembarangan!” dengus supir dengan logat khas daerahnya. Kemungkinan supir itu bukan orang Bandung asli. Tapi kenapa aku jadi memikirkan hal itu? Yang harus ku pikirkan sekarang adalah masalah yang baru datang.Pria yang dibonceng turun, sementara temannya telah meminggirkan macan besinya. Mereka segera merangsek mendekat. Jaket yang mereka kenakan serupa, warna abu, ada logo di dada kirinya, tapi tidak terlalu jelas, jika dilihat dari sini. Yang pasti mereka bukan dua orang yang salah satunya pernah aku ringkus tempo hari.“Siapa mereka, kamu tau?” Salma bicara, masih melirik ke depan.Aku tidak segera menjawabnya, berpikir seje

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #13 Kerja! Kerja! Kerja!

    Gawai zaman nenek moyangku berdentang nyaring nada khas telepon merk Nusia. Sembari melangkah siput di gang sempit tanganku segera merogohnya ke dalam saku celana PDL hitam yang sekarang aku pakai serasi dengan kaos warna gelap. Kupikir notif dari Salma, tapi nyatanya bukan, ini pesan dari .... Aku sipitkan mata mencerna lebih dekat tulisan di layar ponsel. Tidak ada nama hanya nomor. Males, aku semayamkan kembali teleponku ke kantong.Setibanya di tempat tujuan-kedai Mang Kurnia-sang Kemilau tepat menggapai ufuk. Telah ada Bidadari tak melayang menyambut di ambang pintu, dia melambai sambil tersenyum syahdu. Tatapanku masih tak be

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-04
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #14 Ujian Hati

    “Kalau Mamang jadi kamu, Mamang ikutin si Neng,” cetus Mang Kurnia dengan sedikit berbisik dari belakang. Ternyata Mang Kurnia juga sudah mencurigai gelagat tiga orang itu.Mang Kurnia ada benarnya. Tanpa menoleh, langkahku telah mengimbangi, membuntuti Salma sambil menenteng tiga gelas air teh yang sudah tersedia-sebagai pengalihan.Dia menyimpan satu demi satu piring ke meja. Pandangan mereka tak berubah. Aku datang, lalu juga menyodorkan satu persatu gelas.“Ih, Arka, sekarang, kan, giliran aku,” bisiknya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #15 Tiga Peraturan

    “Bener si Botak itu orangnya?” Satu alisku terangkat ketika salah seorang dari tiga orang itu bertanya pada temannya. Jalanan Gang disorot dua-tiga lampu remang, dari jarak sedikit jauh tampang mereka belum terlalu jelas. Tapi setelah cukup dekat, pikirku tidak salah, mereka tiga ‘Aligator’ yang tadi makan di kedai. Layangan kakiku berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Beneran dia orangnya?” Suara pertanyaan dengan logat Ibukota itu tertuju lagi. Ternyata pemiliknya ada di balik punggung ketiga orang itu. Saat di kedai, aku tak sempat menyelidik jaket hitam yang mereka pakai, setelah diperhatikan ada logo pisau belati berdiri dibagian dada kiri jaket mereka. Aku sangat familiar dengan gambar logo itu, tak seperti ‘logo’ kedua orang yang tadi sore meleburkan suasana bahagiaku dan Salma. Tunggu dulu, kenap

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-09

Bab terbaru

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #44 Soda Kue

    “Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #43 Terkena Bencana Alam

    “Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #42 Kesempatan Dalam Penderitaan

    “Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #41 Gila Karena Cinta

    “Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #40 Mendung

    “Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #39 Otak Bukan Otot

    “Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #38 Anda Bersalah

    “Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #37 Memerah

    “Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #36 Kebetulan

    “Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status