Gawai zaman nenek moyangku berdentang nyaring nada khas telepon merk Nusia. Sembari melangkah siput di gang sempit tanganku segera merogohnya ke dalam saku celana PDL hitam yang sekarang aku pakai serasi dengan kaos warna gelap. Kupikir notif dari Salma, tapi nyatanya bukan, ini pesan dari .... Aku sipitkan mata mencerna lebih dekat tulisan di layar ponsel. Tidak ada nama hanya nomor. Males, aku semayamkan kembali teleponku ke kantong.
Setibanya di tempat tujuan-kedai Mang Kurnia-sang Kemilau tepat menggapai ufuk. Telah ada Bidadari tak melayang menyambut di ambang pintu, dia melambai sambil tersenyum syahdu. Tatapanku masih tak be
“Kalau Mamang jadi kamu, Mamang ikutin si Neng,” cetus Mang Kurnia dengan sedikit berbisik dari belakang. Ternyata Mang Kurnia juga sudah mencurigai gelagat tiga orang itu.Mang Kurnia ada benarnya. Tanpa menoleh, langkahku telah mengimbangi, membuntuti Salma sambil menenteng tiga gelas air teh yang sudah tersedia-sebagai pengalihan.Dia menyimpan satu demi satu piring ke meja. Pandangan mereka tak berubah. Aku datang, lalu juga menyodorkan satu persatu gelas.“Ih, Arka, sekarang, kan, giliran aku,” bisiknya.
“Bener si Botak itu orangnya?” Satu alisku terangkat ketika salah seorang dari tiga orang itu bertanya pada temannya. Jalanan Gang disorot dua-tiga lampu remang, dari jarak sedikit jauh tampang mereka belum terlalu jelas. Tapi setelah cukup dekat, pikirku tidak salah, mereka tiga ‘Aligator’ yang tadi makan di kedai. Layangan kakiku berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Beneran dia orangnya?” Suara pertanyaan dengan logat Ibukota itu tertuju lagi. Ternyata pemiliknya ada di balik punggung ketiga orang itu. Saat di kedai, aku tak sempat menyelidik jaket hitam yang mereka pakai, setelah diperhatikan ada logo pisau belati berdiri dibagian dada kiri jaket mereka. Aku sangat familiar dengan gambar logo itu, tak seperti ‘logo’ kedua orang yang tadi sore meleburkan suasana bahagiaku dan Salma. Tunggu dulu, kenap
“kumaha malem ngedate sama si Sela?” Tanganku meraih kopi susu, kemudian menyeruputnya. Aku dan Ardo duduk berhadapan di bangku kantin fakultas, tapi dia tidak memesan apa pun.“Ahh, biasa aja.” Ardo menahan seyumanannya, mungkin dia sedang terbayang wajah kekasihnya. Ya, tadi di kos-kosan dia bilang, kalau dia telah menyatakan cinta pada Sekretarisnya itu, dan tanpa dipersulit dia diterima.“Urang nggak percaya kalo biasa aja,” godaku sambil menyeringai. Dia malah memeriksa HP-nya yang berdentang, lalu beranjak dari bangku. “Ka, si Sayang ngajak ketemuan, nih.”“Wadaw, okeylah.”
Dengan langkah penuh api menyala-nyala, aku kembali ke arah Fakultas Indonesia. Salma membuntuti dari belakang sembari memintaku untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan; kekerasan. Sampai di depan fakultas, kebetulan pria itu sedang mengobrol, cengar-cengir bagai kuda bersama dua temannya, setelah melakukan hal kotor dia masih bisa ketawa-ketiwi? Ini pasti bukan hari keberuntungannya. “Arka, ada telepon dari ... Ardo,” panggil Salma dari belakang. Ardo urusan nomor dua yang pertama sekarang pria yang telah membuatmu menangis. “Woi! Kakak Klimis!” seruku dengan intonasi tinggi. Walau sedang emosi, jika memanggil orang yang lebih tua harus tetap sopan. Sejenak semua mahasiswa yang berada di teras fakultas melirik. Namun karena tak penting mereka kembali melanju
“Pak!” Aku menggulir langkah menuju ambang pintu belakang gedung bertingkat sembari menyapa satpam yang mungkin kebetulan sedang ada di sana. Dengan raut wajah menerka, satpam itu menganggukkan kepala, sedikit tersenyum. Tanpa pertimbangan, aku bergegas menggeser daun pintu. Setibanya di atap sudah ada tiga pria menyambut. Salah satu dari mereka adalah teman SMA-ku dulu, Reki. Dia pria di tengah yang sedang bersandar di tembok pinggir. Gayanya tidak berubah dengan rambut mohawk pendek, dan berpakaian ala anak kota. Dua pria di sebelahnya, aku belum tahu siapa mereka, tapi jelas mereka memakai jaket sama, warna hitam berlogo pisau belati. “Yow, ke ... maksud urang, Arka.” Reki melangkah dari tempatnya, lalu menyalakan sebatang petasan asap yang sempat dia ambil dari saku, ke
“Ka, percaya nggak, selama urang bisa naek motor baru kali ini celaka?” Ardo bercanda hendak mencairkan suasana. Padahal Ardo baru sadar lima menit lalu, dia sudah bisa tersenyum tidak memperdulikan luka di pelipisnya. Tapi sesekali Ardo terlihat sedikit meringis. Meski terpaksa, aku mencoba melekukkan bibir. “Percaya, dah, biar gancang.” Aku merogoh telepon dari saku, kemudian menawari Ardo untuk menghubungi orang tuanya, siapa tahu dia habis pulsa. Namun dia malah menggeleng dan bilang, jika tak ingin kedua orang tuanya merasa khawatir juga kepikiran. Kalau Ardo sudah berucap begitu, aku takkan memaksanya. Dari jendela ruangan terpandang su
“Aduh.” Aku sedikit meringis, meski tak sakit-sakit banget, tapi kalau di dekatnya tak tahu kenapa terasa ingin selalu begini.“Sabar, ini dikit lagi.” Salma terus mengompres tengkukku dengan sapu tangannya yang terisi batu es.Dari tadi kami telah duduk di depan sebuah warung pinggiran jalan. Dalam hati aku ingin selalu ada didekatnya, tapi itu perasaan egois yang bisa saja kelak mencelakai Salma. Aku harus tetap menjauhinya.Selesai mengompres, Salma membisu. Aku pun terdiam, canggung.“Sebenarnya tiga orang tadi siapa?” Salma melayangkan kembali pertanyaan yang dari awal belum terjawab.Dengan terpaksa aku memperbanyak kebohongan. “Mereka cuman tukang malak yang beranimya keroyokan
“Ka, maneh inget nggak? Ini kaya masa lalu, euy. Kita nyari geng lain, terus ngehajar mereka satu-satu. Tapi, waktu itu yang bawa motor maneh!” Reki mengeraskan suara menyesuaikannya dengan laju motor yang mengegas. Aku hanya menanggapinya dengan senyum lebar sembari menggaruk kepala.Ngomong-ngomong tentang masa lalu. Reki benar, jika kami pernah begini sebelumnya. Tepatnya saat kami masih di bangku SMA. Benakku kini mulai mengingatnya.“Aka, maafin aku, ya, lama.” Suara merdu mengalir dari arah samping. Aku segera melirik ke sumbernya. Perem
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya