“kumaha malem ngedate sama si Sela?” Tanganku meraih kopi susu, kemudian menyeruputnya. Aku dan Ardo duduk berhadapan di bangku kantin fakultas, tapi dia tidak memesan apa pun.
“Ahh, biasa aja.” Ardo menahan seyumanannya, mungkin dia sedang terbayang wajah kekasihnya. Ya, tadi di kos-kosan dia bilang, kalau dia telah menyatakan cinta pada Sekretarisnya itu, dan tanpa dipersulit dia diterima.
“Urang nggak percaya kalo biasa aja,” godaku sambil menyeringai. Dia malah memeriksa HP-nya yang berdentang, lalu beranjak dari bangku. “Ka, si Sayang ngajak ketemuan, nih.”
“Wadaw, okeylah.”
Dengan langkah penuh api menyala-nyala, aku kembali ke arah Fakultas Indonesia. Salma membuntuti dari belakang sembari memintaku untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan; kekerasan. Sampai di depan fakultas, kebetulan pria itu sedang mengobrol, cengar-cengir bagai kuda bersama dua temannya, setelah melakukan hal kotor dia masih bisa ketawa-ketiwi? Ini pasti bukan hari keberuntungannya. “Arka, ada telepon dari ... Ardo,” panggil Salma dari belakang. Ardo urusan nomor dua yang pertama sekarang pria yang telah membuatmu menangis. “Woi! Kakak Klimis!” seruku dengan intonasi tinggi. Walau sedang emosi, jika memanggil orang yang lebih tua harus tetap sopan. Sejenak semua mahasiswa yang berada di teras fakultas melirik. Namun karena tak penting mereka kembali melanju
“Pak!” Aku menggulir langkah menuju ambang pintu belakang gedung bertingkat sembari menyapa satpam yang mungkin kebetulan sedang ada di sana. Dengan raut wajah menerka, satpam itu menganggukkan kepala, sedikit tersenyum. Tanpa pertimbangan, aku bergegas menggeser daun pintu. Setibanya di atap sudah ada tiga pria menyambut. Salah satu dari mereka adalah teman SMA-ku dulu, Reki. Dia pria di tengah yang sedang bersandar di tembok pinggir. Gayanya tidak berubah dengan rambut mohawk pendek, dan berpakaian ala anak kota. Dua pria di sebelahnya, aku belum tahu siapa mereka, tapi jelas mereka memakai jaket sama, warna hitam berlogo pisau belati. “Yow, ke ... maksud urang, Arka.” Reki melangkah dari tempatnya, lalu menyalakan sebatang petasan asap yang sempat dia ambil dari saku, ke
“Ka, percaya nggak, selama urang bisa naek motor baru kali ini celaka?” Ardo bercanda hendak mencairkan suasana. Padahal Ardo baru sadar lima menit lalu, dia sudah bisa tersenyum tidak memperdulikan luka di pelipisnya. Tapi sesekali Ardo terlihat sedikit meringis. Meski terpaksa, aku mencoba melekukkan bibir. “Percaya, dah, biar gancang.” Aku merogoh telepon dari saku, kemudian menawari Ardo untuk menghubungi orang tuanya, siapa tahu dia habis pulsa. Namun dia malah menggeleng dan bilang, jika tak ingin kedua orang tuanya merasa khawatir juga kepikiran. Kalau Ardo sudah berucap begitu, aku takkan memaksanya. Dari jendela ruangan terpandang su
“Aduh.” Aku sedikit meringis, meski tak sakit-sakit banget, tapi kalau di dekatnya tak tahu kenapa terasa ingin selalu begini.“Sabar, ini dikit lagi.” Salma terus mengompres tengkukku dengan sapu tangannya yang terisi batu es.Dari tadi kami telah duduk di depan sebuah warung pinggiran jalan. Dalam hati aku ingin selalu ada didekatnya, tapi itu perasaan egois yang bisa saja kelak mencelakai Salma. Aku harus tetap menjauhinya.Selesai mengompres, Salma membisu. Aku pun terdiam, canggung.“Sebenarnya tiga orang tadi siapa?” Salma melayangkan kembali pertanyaan yang dari awal belum terjawab.Dengan terpaksa aku memperbanyak kebohongan. “Mereka cuman tukang malak yang beranimya keroyokan
“Ka, maneh inget nggak? Ini kaya masa lalu, euy. Kita nyari geng lain, terus ngehajar mereka satu-satu. Tapi, waktu itu yang bawa motor maneh!” Reki mengeraskan suara menyesuaikannya dengan laju motor yang mengegas. Aku hanya menanggapinya dengan senyum lebar sembari menggaruk kepala.Ngomong-ngomong tentang masa lalu. Reki benar, jika kami pernah begini sebelumnya. Tepatnya saat kami masih di bangku SMA. Benakku kini mulai mengingatnya.“Aka, maafin aku, ya, lama.” Suara merdu mengalir dari arah samping. Aku segera melirik ke sumbernya. Perem
“Nuhun, Do, udah mau ngurus si Hitam Putih,” ucapku pada Ardo di seberang sana. Sambungan teleponku tiba-tiba mati, saat kulihat layarnya ada pesan, jika pulsa habis. “Aduh, nggak ada duit, euy.” Aku merebahkan punggung ke kursi di teras rumah. Ya, sudah dua hari aku menginap di rumah Reki, lebih tepatnya di rumah milik orang tuanya. Beruntungnya bangunan ini sekarang adalah tempat tinggal megah kedua. Sementara itu, orang tua Reki tinggal di rumah pertama yang lebih megah dari ini. "Ka, gimana hari ini mau ngeburu?" Reki sudah ada di ambang pintu. Kemudian duduk di kursi. "Males, pas waktu itu tiga orang lolos. Kemarin juga kita nggak nemu y
“Nih, Ka, urang nemu ini di kardus si Hitam Putih. Tapi dua-duanya udah nggak ada. Mungkin main.” Ardo menyodorkan kertas yang persis dengan yang kupegang. Benda itu dibawa dari tempat tidur kucing yang disimpan di atap, tepatnya di gudang. Segera aku meraihnya, kemudian membacanya. “Isinya apa, Ka?” tutur Ardo penasaran. “Do, nuhun. Urang ada urusan dulu.” Aku melenggang, melangkah cepat menuju gerbang. Tak disangka di luar baru datang tiga orang yang wajahnya tak asing, mereka 'para aligator'. Jadi, mereka yang diperintah Reki untuk melindungi Ardo. Tapi, tunggu dulu, kalau begitu siapa yang menjaga Salma?
"Peraturannya cuman satu; jangan ngelawan.""Aing udah siap!""Lo emang sombong," tegasnya. "Kalian kasih dia sakit," tambahnya seraya menunjuk tiga orang berbadan cukup berisi.Sedetik kemudian, tiga orang sangar itu mendekat. Satu per satu melempar kepalan tangan ke perut, ulu hati, lalu dadaku. Pukulan terakhir membuatku sedikit mundur, tapi ini belum seberapa."Aw, tamparan cewe aja bisa lebih sakit daripada ini," ledekku tersenyum.Tiga orang itu tak terima. Mereka hendak kembali merangsek. Namun dihentikan si Anting yang telah melotot. Mereka seketika ciut, lalu kembali ke kerumunan."Ada