“Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.
Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak. Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama karena hari ini belum efektif, dan ada penelitian yang harus saya kerjakan sampai sore. Jadi, begitu saja dulu. Jangan lupa kalian pelajari dulu mata kuliah saya. Terima kasih, saya harus buru-buru.” Dengan segera Pak Irfan meninggalkan kelas.Setelah Dosen pergi, semua orang bergegas dari ruangan. Ardo berjalan berdua bersama gebetannya entah ke mana. Aku yang tidak ada kegiatan memilih untuk tetap diam menatap jendela. Pikiranku langsung membayangkan perkataan lelaki yang tadi kupiting lehernya. Beraninya dia memerintahkan “Pengintai” untuk mengawasiku. Aku tak perlu itu. Lagi pula aku tidak mau kembali berurusan dengan hal yang bisa mencelaki orang-orang terdekatku.Tiba-tiba ada yang bergetar di dalam tas gendongku, aku memeriksanya. Ternyata telepon jadulku menyala. Tanganku merogohnya, lalu nataku menatap layar. Ini pesan dari Salma, seketika perasaan marahku beralih menjadi kegirangan.Aku membaca tanpa membalas pesannya karena pulsaku habis. Dia mengajakku bertemu di kantin kampus, aku bergegas melesat ke tujuan.Namun, saat sudah setengah jalan ada pesan masuk ke teleponku, jika Mang Kurnia butuh bantuan belanja ke perluan dagangannya ke pasar. Katanya, dia tahu kalau aku tidak ada kelas lagi dari Ardo yang lewat ke kedainya.“Waduh, kacau si Ardo, kacau!” gumamku sembari menepuk jidat.Aku sampai di kantin. Salma melambai dari tempat duduknya sambil tersenyum, aku seperti meleleh menatap lekukkan bibir imutnya. Tanpa berpikir panjang, aku segera duduk di hadapannya.Sekarang, aku bingung harus bilang apa pada Salma. Tapi kali ini berkata jujur akan lebih baik, meski kemarin banyak bohongnya.“Kamu belum sarapan, kan?” katanya memastikan.“Belum, sih, tapi ....” jawabku ragu.“Tapi kenapa, Arka?”“Sekarang, aku lagi buru-buru ada urusan mendadak.” Sebernarnya aku tak mau meninggalkan dia di sini sendirian.“Urusan apa? bilang, dong. Kenapa kamu kaya ragu gitu?”“Aku ada kerjaan mendadak, bantuin Mang Kurnia belanja keperluan dagang.”“Kalau gitu, ayo, kita cepetan berangkat.” Salma beranjak dari tempat duduknya.“Eh, kamu mau ke mana?”“Katanya kamu ada kerjaan. Aku mau bantuin.”Aku heran kenapa dia langsung ingin membantu, padahal dia belum tahu apa pekerjaanku, bahkan dia tidak menanyakan siapa Mang Kurnia.“Tapi ini ke pasar, loh. Nanti baju kamu bau keringet, sepatu kamu kena kotor, becek, nggak ada ojek, Salma.”Dia terkekeh. “Nggak apa-apa, Arka, mau di sini juga ngapain nggak ada temen.”Aku berdiri. “Emang kamu nggak ada kelas? Kamu belum sarapan juga, kan?”“Nggak ada. Mahasiswa nggak sarapan itu wajar. Katanya tadi kamu buru-buru?”“Oh iya, aku sampai lupa. Beneran kamu mau ikut? Aku nggak maksa, ya.” Padahal hatiku gembira riang tak terkira kalau dia menemaniku. “Sekarang Arka jadi banyak tanya, ya.”“Hehehe.” Tanpa sadar tanganku sudah menggaruk kepala. “Kalau gitu kita berangkat!”Tanpa bertanya, Salma langsung melangkah ke arah yang salah.“Eh, kamu mau ke mana?”“Ke jalan raya, kan?”“Bukan, Salma.”“Terus ke mana, Arka?”Badanku berbalik, tanganku segera mempersilahkan.“Ke mana ini, teh?”“Ke jalan Fakultas IPA. Ayo!”Kami berdua bergegas dari sana.Sesampainya di depan bangunan fakultas terbesar di kampus ini, Salma tampak menatapnya takjub. Aku tersenyum, pandangaku bukan ke tempat itu, tapi pada wajahnya yang tak bisa berhenti kulihat.“Arka, baliknya kamu sering jalan ke sini? Ternyata Fakultas IPA indah, ya, ada taman di depannya,” ujarnya sembari menatapku.“Iya, indah, ya ... Eh, maksudku fakultasnya.”Tampaknya kini pipinya memerah. “Kita mau ke mana dulu? Kita ke pasar harus naik damri, kan?”“Jauh-jauh ke pasar harus naik damri, di jalan bawah juga ada pasar. Kita ke kedai Mang Kurnia dulu.”“Oh gitu, ya udah, deh, aku ikutin kamu aja.”“Jangan salahin aku, ya, kalau nanti sepatu kamu kotor.”“Nggak akan, Arka.”Kami tiba di pinggir jalan, di hadapan kami terpajang kedai sederhana yang langsung tersambung dengan rumah kos. Mang Kurnia muncul dari balik pintu setelah aku ketuk.“Euleuh, si Arka sekarang udah berani bawa cewe cantik ke sini, kenalin dong ke Mamang.” ucap Mang Kurnia menggodaku.“Tong kitu, nanti istri Mamang ngambek,” kataku balik menggodanya sembari cium tangan, “Ini Salma, Mang. Salma ini Mang Kurnia.”Salma juga cium tangan Mang Kurnia. “Salma, Om.”“Jangan panggil Om, panggil Mang aja, ya.”Dia tersenyum sembari mengangguk.Mang Kurnia segera memberikan uang, selembar daftar belanjaan, dan kunci duplikat kedai. Dia langsung mengunci pintu kedai, kemudian naik motor, lalu tancap gas. Katanya, dia pergi dulu ada urusan di rumahnya. Mang Kurnia memang sibuk karena tidak cuman kedai yang dia punya, tapi juga rumah kos di belakang. Dua bulan lalu, aku pernah melamar untuk jadi tukang bersih-bersih kos-kosannya. Namun, dia menolak. Katanya, selain sudah ada yang mengerjakan, itu juga terlalu berat untuk mahasiswa. Jadi, dia menawariku untuk jadi pelayan saja di kedainya. Aku bersyukur bisa bertemu dengan orang yang baik seperti Mang Kurnia di sini.Aku dan Salma sudah hampir sampai ke pasar yang tidak terlalu jauh. Setibanya di tempat ramai ini, aku sudah tahu harus menuju ke mana. Nyatanya dia terlihat ragu untuk menginjak tanah yang becek.“Tuh, kan. Kamu tunggu aja di sini.”“Nggak mau, ih, ayo!” Dia langsung mendaratkan sepatunya pada lumpur, melangkah, meski dengan raut muka yang menahan jijik. Aku tersenyum, lalu segera menyusulnya. “Di depan belok ke kiri.”Kami terus menyusuri keramaian. Sesekali kami hampir bertabrakan dengan pejalan kaki lain, saking cukup banyaknya orang di sini. Salma melihat-lihat sekitar, mungkin sebelumnya dia belum pernah masuk ke pasar tradisional. Aku segera memintanya untuk berhenti dulu di tukang kantong kain yang sedang menjajakan dagangannya.“Pak, meser tiga kantong belanja, sabaraha, Pak?”“Enam ribu aja, A.”“Ini, Pak. Hatur nuhun, Pak.” Aku menyodorkan uang sambil mengambil kantongnya.Bapak pedagang tersenyum ramah.Kami melanjutkan langkah.“Buat apa itu?”“Ini buat belanja, Salma, masa buat bungkus sepatu kamu.”“Iya, aku tau.” Dia memajukan bibir. “Tapi, kan, nanti juga diberi kantong plastik sama pedagangnya.”“Kamu nggak tahu, kalau benda ini buat mempersehat Bumi? Kita harus mulai mengurangi penggunaan kantong plastik.”“Oh, jadi kamu sekarang duta kantong kain. Kalau begitu aku juga mau berhenti pake kantong plastik, ah.”“Bagus!” Aku mengacungkan jempol. “Masa cewe secantik kamu mau memperjelek Bumi.” “Udah bisa gombal, ya, Arka sekarang.” Kakinya sedikit melompat melewati genangan. Tiba-tiba dia tergelincir, aku segera menangkap tangannya, menyeimbangkan.“Aku nggak gombal.”“Terus?!”“Pikirin aja sendiri. Cepet, tuh, di depan tukang sembakonya.” Aku mempercepat langkah.“Ih, tungguin.”Aku langsung membuka daftar belanjaan setibanya di kios sembako. Kemudian menyodorkannya bersama kantong kain pada penjaga Ibu yang punya kios.“Arka, biasanya belanja sendiri sekarang ditemenin, nih,” ujar Bu Imas menggodaku sambil segera mempersiapkan semuanya. “Iya, Bu. Hehehe.”“Kenalin ke Ibu, dong.”“Nama saya Salma, Bu.”“Namanya cantik, secantik orangnya. Pantas saja Arka kepincut.”“Ah, Ibu, jangan gitu.”“Terima kasih, Bu. Ibu juga cantik.” Salma tersenyum, pipinya tampak kemerahan. Sepertinya sekarang wajahku juga seperti itu. “Bisa aja si Eneng.”Karena Bu Imas yang masih cukup lama mengemas belanjaan. Kami harus menunggu, dan kini aku jadi canggung untuk mengobrol dengan Salma.“Arka?”“Iya, Salma?”“Kamu kerja apa di kedai Mang Kurnia?”“Aku ....” Kenapa aku jadi ragu untuk menjawabnya?“Nggak perlu malu, kerjaan kamu, kan, halal.”“Aku bantuin Mang Kurnia jadi pelayan di kedainya.”Dia berpikir sejenak. “Apa aku boleh ikut kerja gitu?”“Kalau kataku jangan. Tapi kita tanya dulu ke Mang Kurnia.”“Kenapa kamu jawab jangan?”“Sudah, nih, semuanya jadi dua ratus ribu.” Bu Imas menyimpan belanjaan di ambang pintu kios.“Terima kasih, Bu.” Aku memberikan uangnya sembari mengambilnya.“Aku bantuin.” Salma langsung menenteng satu kantong.“Sama-sama. Hati-hati, ya, kalian berdua. ”Aku mengangguk tegas.“Baik, Bu.” Dia tersenyum.Kami kembali melangkah menyusuri pasar yang padat serta becek.Tampaknya Salma sedang menatapku. “Kenapa kamu jawab jangan?”-Bersambung-Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a
“Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu
“Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke
“Hei, Mas! Jangan berhenti sembarangan!” dengus supir dengan logat khas daerahnya. Kemungkinan supir itu bukan orang Bandung asli. Tapi kenapa aku jadi memikirkan hal itu? Yang harus ku pikirkan sekarang adalah masalah yang baru datang.Pria yang dibonceng turun, sementara temannya telah meminggirkan macan besinya. Mereka segera merangsek mendekat. Jaket yang mereka kenakan serupa, warna abu, ada logo di dada kirinya, tapi tidak terlalu jelas, jika dilihat dari sini. Yang pasti mereka bukan dua orang yang salah satunya pernah aku ringkus tempo hari.“Siapa mereka, kamu tau?” Salma bicara, masih melirik ke depan.Aku tidak segera menjawabnya, berpikir seje
Gawai zaman nenek moyangku berdentang nyaring nada khas telepon merk Nusia. Sembari melangkah siput di gang sempit tanganku segera merogohnya ke dalam saku celana PDL hitam yang sekarang aku pakai serasi dengan kaos warna gelap. Kupikir notif dari Salma, tapi nyatanya bukan, ini pesan dari .... Aku sipitkan mata mencerna lebih dekat tulisan di layar ponsel. Tidak ada nama hanya nomor. Males, aku semayamkan kembali teleponku ke kantong.Setibanya di tempat tujuan-kedai Mang Kurnia-sang Kemilau tepat menggapai ufuk. Telah ada Bidadari tak melayang menyambut di ambang pintu, dia melambai sambil tersenyum syahdu. Tatapanku masih tak be
“Kalau Mamang jadi kamu, Mamang ikutin si Neng,” cetus Mang Kurnia dengan sedikit berbisik dari belakang. Ternyata Mang Kurnia juga sudah mencurigai gelagat tiga orang itu.Mang Kurnia ada benarnya. Tanpa menoleh, langkahku telah mengimbangi, membuntuti Salma sambil menenteng tiga gelas air teh yang sudah tersedia-sebagai pengalihan.Dia menyimpan satu demi satu piring ke meja. Pandangan mereka tak berubah. Aku datang, lalu juga menyodorkan satu persatu gelas.“Ih, Arka, sekarang, kan, giliran aku,” bisiknya.
“Bener si Botak itu orangnya?” Satu alisku terangkat ketika salah seorang dari tiga orang itu bertanya pada temannya. Jalanan Gang disorot dua-tiga lampu remang, dari jarak sedikit jauh tampang mereka belum terlalu jelas. Tapi setelah cukup dekat, pikirku tidak salah, mereka tiga ‘Aligator’ yang tadi makan di kedai. Layangan kakiku berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Beneran dia orangnya?” Suara pertanyaan dengan logat Ibukota itu tertuju lagi. Ternyata pemiliknya ada di balik punggung ketiga orang itu. Saat di kedai, aku tak sempat menyelidik jaket hitam yang mereka pakai, setelah diperhatikan ada logo pisau belati berdiri dibagian dada kiri jaket mereka. Aku sangat familiar dengan gambar logo itu, tak seperti ‘logo’ kedua orang yang tadi sore meleburkan suasana bahagiaku dan Salma. Tunggu dulu, kenap
“kumaha malem ngedate sama si Sela?” Tanganku meraih kopi susu, kemudian menyeruputnya. Aku dan Ardo duduk berhadapan di bangku kantin fakultas, tapi dia tidak memesan apa pun.“Ahh, biasa aja.” Ardo menahan seyumanannya, mungkin dia sedang terbayang wajah kekasihnya. Ya, tadi di kos-kosan dia bilang, kalau dia telah menyatakan cinta pada Sekretarisnya itu, dan tanpa dipersulit dia diterima.“Urang nggak percaya kalo biasa aja,” godaku sambil menyeringai. Dia malah memeriksa HP-nya yang berdentang, lalu beranjak dari bangku. “Ka, si Sayang ngajak ketemuan, nih.”“Wadaw, okeylah.”
“Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f
“Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb
“Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal
“Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir
“Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l
“Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D
“Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.
“Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan
“Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya