Share

#9 Itu Dia

Author: Tadi hujan
last update Last Updated: 2021-08-02 18:29:05

Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.

Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.

“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.

“Udah, Arka, biarin aja.”

“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”

“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”

“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.

“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”

Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja amarahku mereda. Kami kembali melangkah.

Ratu Cahaya telah menerpa wajah kami. Kakiku berhenti melangkah saat Salma tertinggal di belakang, aku menengok ke arahnya.

“Tunggu bentar,” ujarnya sambil menaruh kantong yang ditentengnya.

“Ada apa?”

Tanpa menjawab dia langsung mengkucir rambutnya ke belakang dengan kedua tangannya memakai jepit rambut karet. Namun, dari dulu aku bertanya-tanya, mungkin pertanyaan ini pernah dipikirkan oleh setiap laki-laki, kenapa perempuan selalu terlihat lebih cantik saat sedang mengikat rambutnya ke belakang? Tapi ada kemungkinan pertanyaan tersebut adalah rahasia perempuan yang tidak perlu untuk ditanyakan.

Kini dia menghela dahinya, napasnya sedikit terengah. Wajahnya merah pudar tampak seperti permen gulali. Dia pasti kehausan, walau mungkin dia gengsi mengakuinya.

“Salma, biar aku aja yang bawa, ya.”

“Nggak usah, sama aku aja, Arka. Ayo!” Dia kembali membawa kantongnya, melangkah.

“Kalau gitu, kita beli jus dulu, yuk. Kebetulan ada kedai jus, tuh, di depan.”

“Hmm ... boleh, deh.”

Kami segera menghampiri bangunan cukup luas yang di depannya tersusun rapi berbagai macam buah-buahan matang dalam lemari kaca. Kami segera ke dalam kedai, lalu duduk di bangku kayu, bersebelahan.

Salah satu pelayan wanita datang. “Mau pesan apa, Kak?”

“Saya pesan jus alpukat. Salma mau apa?”

“Aku mau jus stroberi.”

“Okey, makanannya mau pesan apa?”

Aku baru tahu ternyata di sini tempat makan juga, kataku dalam hati. Apa mereka menyediakan nasi goreng semangka? Aku memegang dagu.

“Salma mau makan?”

“Nggak, ah, nanti aja.”

“Kami pesan jus aja. Dibungkus, ya, Teh, biar bisa dibawa.”

“Baik, ditunggu, ya, Kak.” Pelayan itu pergi ke pintu dapur.

Sembari menunggu pelayan membawa pesanan kami, aku memeriksa kembali belanjaan. Ini sudah lengkap, mungkin. Aku belum sempat melihat semua karena jus yang kami pesan sudah datang.

“Ini dua jusnya, Kak. Bayarnya di kasir, ya.”

“Terima kasih.” Salma yang mewakili.

Langkah kami sudah menjauh dari kedai itu. Kami mulai melewati jalanan sepi yang di dua sisinya berhiaskan taman rumput berselang-seling pohon. Aku tidak tahu berapa luas kedua taman hingga ke ujungnya. Nanti bila ada waktu akan aku ajak Salma menyusuri salah satu taman.

“Kita ke sana dulu, yu,” katanya meminta sembari menunjuk.

“Terserah kamu aja, aku ikut. Hehehe.”

Langkah kaki Salma menuju pinggiran taman. Aku mengimbangi sembari menatap rumput hijau indah yang seakan mengalah karena kedatangan yang lebih indah darinya.

“Kalau aku mau ke jurang, kamu mau ikut?”

“Emangnya kamu berani masuk jurang?”

“Nggak. Hahaha,” dia terkekeh.

“Ya udah, kalau gitu sekarang mending duduk di bangku ini, terus melihat pemandangan sambil menghabiskan jus. Silahkan, Tuan Putri.” Aku mempersilahkan sembari tersenyum.

“Gombalnya nambah, nih,” ujarnya sambil langsung menyelonjorkan kaki.

Belum lama kami menghela napas di taman ini, seorang pria bertato di kedua lengannya serta membawa gitar menghampiri kami. Orang itu sepertinya sedang dalam pengaruh minuman keras, terlihat dari cara jalannya yang seperti Kapten Jack Separo. Sesampainya di hadapan kami, dia menyanyi sebentar, itu pun dengan suara yang tidak jelas, kemudian menjulurkan tangan.

“Maaf, nggak ada, Bang.”

“Masa gak ada duit! Urang udah nyanyi,” ujarnya memaksa. 

“Nggak ada, Bang.”

“Kalau gitu, urang menta jatah dari cewe maneh.”

“Ngomong naon?!” Aku berdiri sambil mengernyitkan dahi.

Salma hanya memandang sembari melipat dahinya.

“Jatah cewe maneh!”

Saat mata preman itu terus memperhatikan Salma, aku menepuk pundaknya. Lalu menyuruhnya mengikutiku. Ketika jarak kami telah satu setengah meter dari bangku taman, jus alpukat yang segar segera mendarat di wajahnya. Kemudian kepalan tanganku melayang. Dia terjungkal, lalu memegang hidungnya meringis kesakitan.

Aku segera bergerak cepat membuang plastik ke tempat sampah warna kuning dan kembali ke tempat duduk. Salma menatapku masih tak percaya.

“Ayo, pergi dari sini! Di sini udah nggak nyaman. Orang kaya gitu pantes mendapatkannya.”

Kami menenteng lagi belanjaan bergegas meninggalkan taman.

“Tadi kamu bisa-bisanya buang sampah dulu. Hahaha.” Tampaknya dia mencoba menenangkan situasi.

“Hahaha. Kan, dalam situasi apa pun kita tetap harus membuang sampah pada tempatnya. Kita harus menjaga Bandung tetap bersih.”

Kami sudah berada di dalam kedai Mang Kurnia, menghela napas lega.

“Kata kamu tadi kita harus mengurangi penggunaan plastik. Tapi tadi jus pake plastik.”

“Ya, kalau pake kertas, kan, nggak mungkin. Hahaha.”

“Iya juga.” Dia terkekeh manis.

Di luar terdengar suara mesin kendaraan berhenti. Aku memandang ke kaca kedai, itu Mang Kurnia yang sedang turun dari motornya. Kemudian beliau masuk tanpa melihat kami.

“Mang, belanjaannya udah di atas rak.”

“Eh, cepet pisan, udah di sini lagi. Biasanya agak lama.”

“Iya, kan, ada aku yang bantuin, Mang.” Salma tersenyum.

“Bagus, si Arka biasanya lelet. Pasti berkat ada cewe dia jadi semangat, tuh.”

“Nggak begitu juga kali, Mang.”

“Kalau gitu Salma boleh, kan, Mang, kerja di sini?”

Mataku terbelalak, kepalaku menggeleng-geleng memberi isyarat pada Mamang.

“Hmm ... gimana jawabnya, ya? Tapi malem kerjanya, gimana?” Mang Kurnia berpikir.

“Nggak apa-apa, Mang. Aku cuman mau ada pengalaman kerja aja. Berapa pun gajinya nggak masalah, Mang.”

“Boleh, deh, Salma bantuin Arka jadi pengantar makanan.”

“Siap, Mang!” Dia tersenyum antusias.

Sebernarnya aku senang sekali dia bisa terus dekat denganku, jika bekerja di kedai. Tapi, jika begitu pasti akan ada cinta yang akan menerjang lebih cepat ke hati, aku belum layak mendapatkannya karena masih banyak rahasia yang tidak bisa kuungkap kepadanya.

“Arka!”

“Iya, ada apa?” Aku sedikit terperanjat.

“Jangan ngelamun nanti matanya kelilipan truk.” Dia terkekeh.

“Mataku sekarang kelilipan tebu.” Sembari menatap wajahnya.

“Masa?”

“Aduh, sekarang kelilipan truk.”

“Udah nggak lucu, ih.”

“Masih lucu, ih.”

“Mang Kurnia mana?”

“Masa tadi nggak liat masuk rumah. Ngelamun, sih.”

“Oh iya, lupa.”

Aku mamandang jendela, terlihat Mang Kurnia sedang duduk sambil menonton tivi dan sesekali menyeruput kopi di gelasnya. Orang dewasa memang tampak tidak punya masalah, atau mungkin mereka dapat dengan mudah menyembunyikannya.

“Arka, kita ke taman lagi, yu.”

“Ke taman yang tadi?”

“Bukan, yang ini tamannya di pinggir sungai.”

“Jalan kaki?”

“Tempatnya jauh, Arka, kita harus naik angkot. Mau, ya, daripada ngelamun di sini.”

 “Okey, Let’s go!” Tanpa sadar, aku menggenggam telapak tangannya.

-Bersambung-

Related chapters

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #10 Hebat!

    “Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu

    Last Updated : 2021-08-05
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #11 Dihampiri Asmara

    “Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke

    Last Updated : 2021-08-12
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #12 Bahagiaku Rusak!

    “Hei, Mas! Jangan berhenti sembarangan!” dengus supir dengan logat khas daerahnya. Kemungkinan supir itu bukan orang Bandung asli. Tapi kenapa aku jadi memikirkan hal itu? Yang harus ku pikirkan sekarang adalah masalah yang baru datang.Pria yang dibonceng turun, sementara temannya telah meminggirkan macan besinya. Mereka segera merangsek mendekat. Jaket yang mereka kenakan serupa, warna abu, ada logo di dada kirinya, tapi tidak terlalu jelas, jika dilihat dari sini. Yang pasti mereka bukan dua orang yang salah satunya pernah aku ringkus tempo hari.“Siapa mereka, kamu tau?” Salma bicara, masih melirik ke depan.Aku tidak segera menjawabnya, berpikir seje

    Last Updated : 2021-09-04
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #13 Kerja! Kerja! Kerja!

    Gawai zaman nenek moyangku berdentang nyaring nada khas telepon merk Nusia. Sembari melangkah siput di gang sempit tanganku segera merogohnya ke dalam saku celana PDL hitam yang sekarang aku pakai serasi dengan kaos warna gelap. Kupikir notif dari Salma, tapi nyatanya bukan, ini pesan dari .... Aku sipitkan mata mencerna lebih dekat tulisan di layar ponsel. Tidak ada nama hanya nomor. Males, aku semayamkan kembali teleponku ke kantong.Setibanya di tempat tujuan-kedai Mang Kurnia-sang Kemilau tepat menggapai ufuk. Telah ada Bidadari tak melayang menyambut di ambang pintu, dia melambai sambil tersenyum syahdu. Tatapanku masih tak be

    Last Updated : 2021-09-04
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #14 Ujian Hati

    “Kalau Mamang jadi kamu, Mamang ikutin si Neng,” cetus Mang Kurnia dengan sedikit berbisik dari belakang. Ternyata Mang Kurnia juga sudah mencurigai gelagat tiga orang itu.Mang Kurnia ada benarnya. Tanpa menoleh, langkahku telah mengimbangi, membuntuti Salma sambil menenteng tiga gelas air teh yang sudah tersedia-sebagai pengalihan.Dia menyimpan satu demi satu piring ke meja. Pandangan mereka tak berubah. Aku datang, lalu juga menyodorkan satu persatu gelas.“Ih, Arka, sekarang, kan, giliran aku,” bisiknya.

    Last Updated : 2021-09-07
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #15 Tiga Peraturan

    “Bener si Botak itu orangnya?” Satu alisku terangkat ketika salah seorang dari tiga orang itu bertanya pada temannya. Jalanan Gang disorot dua-tiga lampu remang, dari jarak sedikit jauh tampang mereka belum terlalu jelas. Tapi setelah cukup dekat, pikirku tidak salah, mereka tiga ‘Aligator’ yang tadi makan di kedai. Layangan kakiku berhenti tak jauh dari tempat mereka berdiri. “Beneran dia orangnya?” Suara pertanyaan dengan logat Ibukota itu tertuju lagi. Ternyata pemiliknya ada di balik punggung ketiga orang itu. Saat di kedai, aku tak sempat menyelidik jaket hitam yang mereka pakai, setelah diperhatikan ada logo pisau belati berdiri dibagian dada kiri jaket mereka. Aku sangat familiar dengan gambar logo itu, tak seperti ‘logo’ kedua orang yang tadi sore meleburkan suasana bahagiaku dan Salma. Tunggu dulu, kenap

    Last Updated : 2021-09-09
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #16 Masih Sendiri di Hati

    “kumaha malem ngedate sama si Sela?” Tanganku meraih kopi susu, kemudian menyeruputnya. Aku dan Ardo duduk berhadapan di bangku kantin fakultas, tapi dia tidak memesan apa pun.“Ahh, biasa aja.” Ardo menahan seyumanannya, mungkin dia sedang terbayang wajah kekasihnya. Ya, tadi di kos-kosan dia bilang, kalau dia telah menyatakan cinta pada Sekretarisnya itu, dan tanpa dipersulit dia diterima.“Urang nggak percaya kalo biasa aja,” godaku sambil menyeringai. Dia malah memeriksa HP-nya yang berdentang, lalu beranjak dari bangku. “Ka, si Sayang ngajak ketemuan, nih.”“Wadaw, okeylah.”

    Last Updated : 2021-09-15
  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #17 Tak Bisa Dibiarkan

    Dengan langkah penuh api menyala-nyala, aku kembali ke arah Fakultas Indonesia. Salma membuntuti dari belakang sembari memintaku untuk tidak melakukan hal yang tidak diinginkan; kekerasan. Sampai di depan fakultas, kebetulan pria itu sedang mengobrol, cengar-cengir bagai kuda bersama dua temannya, setelah melakukan hal kotor dia masih bisa ketawa-ketiwi? Ini pasti bukan hari keberuntungannya. “Arka, ada telepon dari ... Ardo,” panggil Salma dari belakang. Ardo urusan nomor dua yang pertama sekarang pria yang telah membuatmu menangis. “Woi! Kakak Klimis!” seruku dengan intonasi tinggi. Walau sedang emosi, jika memanggil orang yang lebih tua harus tetap sopan. Sejenak semua mahasiswa yang berada di teras fakultas melirik. Namun karena tak penting mereka kembali melanju

    Last Updated : 2021-09-20

Latest chapter

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #44 Soda Kue

    “Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #43 Terkena Bencana Alam

    “Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #42 Kesempatan Dalam Penderitaan

    “Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #41 Gila Karena Cinta

    “Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #40 Mendung

    “Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #39 Otak Bukan Otot

    “Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #38 Anda Bersalah

    “Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #37 Memerah

    “Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #36 Kebetulan

    “Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status