Share

#3 Selalu Ada Hening

Author: Tadi hujan
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Sudah lebih dari lima belas menit kami berdua duduk berhadapan. Sesekali Salma melihat-lihat pemandangan Kota Bandung dari jendela bus di belakangnya. Bila ada kesempatan aku pandang wajah cantiknya yang terhias cahaya.

“Udah kenyang lihat akunya?” tegurnya memajukan bibir.

“Belum, eh. Kamu pikir makan bisa kenyang,” jawabku keceplosan.

“Kita mau ke mana, sih?” Dia mengalihkan pembicaraan.

“Kita ke Pasar Baru, sih,” ledekku.

“Mau apa ke sana? Belanja?”

“Nggak belanja, kita jalan-jalan aja.”

“Orang lain ke pasar itu buat belanja bukan jalan-jalan.”

“Kan, yang belanja juga harus sambil jalan-jalan, masa sambil tengkurep.”

“Eh, bener juga, Sih. Hahaha.” Dia tertawa terkekeh-kekeh.

Aku tersenyum, saat ini merasa ada yang aneh dengan hatiku.

Sopir menghentikan laju busnya. Seorang Nenek renta masuk dibantu oleh Helper. Aku lihat semua kursi sudah terisi. Nenek itu kebingungan harus duduk di mana, sementara bus sudah kembali berjalan.

“Nek, di sini!” seruku seraya beranjak dari kursi.

Nenek itu segera menghampiri. Aku mendekat ke kursi orang lain.

Punten, Pak, sebaiknya Bapak pindah, ini kursi khusus lansia, Pak.”

“Oh, iya. Terima kasih, ya, Dek.”

Aku tersenyum, mengangguk.

Bapak itu beranjak, lalu pindah ke tempat dudukku.

Hatur nuhun, nya, Cu. Nama cucuk siapa?” kata Nenek itu setelah berhasil merebahkan punggungnya di kursi.

"Aku bukan siapa-siapa." Aku tersenyum, kemudian berdiri di tengah-tengah para penumpang yang duduk.

Bus kembali berhenti. Ternyata kita sudah sampai tujuan.

“Salma, ayo!” seruku sembari menengok ke belakang.

Kami segera berjalan ke depan, aku menyodorkan ongkos pada Helper dan bilang terima kasih.

Setelah kami turun Sopir langsung tanjap gas.

Pasar masih ingar-bingar, kami sudah ada di hadapannya. Tapi sebenarnya tujuanku bukan ke sini. 

“Ini,” kata salma menyodorkan uang.

“Aku bayarin.”

“Baguslah. Hahaha.” Dia tertawa.

“Tapi, nanti balik kamu yang bayarin.”

“Ih. Iya, deh.” Dia memajukan bibir.

“Hahaha. Itu namanya adil.”

Kami diam beberapa detik menatap keramaian. Sebenarnya tujuanku masih jauh dari sini.

“Ayo, ke dalam.”

“Ke mana?”

“Masuk pasar.” Dia mengangkat alis bingung.

“Emang, aku ngajak ke pasar?”

“Tadi kamu bilang kita ke pasar.”

“Nggak, aku ngajaknya jalan-jalan.”

“Ih, kan, tadi katanya ke pasar.”

“Iya, ke pasar. Kita turun di pasar, tapi kita jalan dari sini.”

“Terus ke mana?”

“Ke Alun-alun.”

“Beneran, ya? Jalannya ke mana?”

“Benerlah, masa palsu. Dari sini lurus aja.”

Salma melangkah di depanku sambil antusias melihat-lihat toko-toko di sepanjang tepi jalan. Aku tersenyum melihatnya di belakang. Mungkin dia baru pertama kali berjalan-jalan di sini.

Kami tiba di pertigaan jalan, lalu berbelok. Mataku tertuju pada sebuah kardus di depan toko yang telah tutup, aku segera melihatnya. Perkiraanku benar, di dalamnya ada dua ekor anak kucing berwarna hitam dan putih.

“Ada apa, Arka?”

“Anak kucing, mereka kayaknya baru dibuang.”

“Terus mau diapain?”

“Aku bawa, mereka nggak akan bertahan di sini.”

“Berarti nanti aku yang beliin makanannya, ya.”

“Ide bagus!”

Kami melanjutkan perjalanan. Sesampainya di Alun-alun, tanpa berpikir lagi kami langsung menuju halaman luas di depan Mesjid Agung.

“Jadi, ini tempat yang selalu ada di media sosial,” tegas Salma antusias.

“Sebelum nginjak rumputnya buka sepatu dulu.”

“Okey,” ucapnya sembari membulatkan kedua jari.

Langkah kami berhenti di tengah-tengah. Kami duduk menghadap ke arah gedung tinggi. Banyak anak-anak dan orang tuanya bermain di sini. Ada juga beberapa remaja yang sedang berduan seperti kami di setiap tempat, mereka mungkin sudah bolos karena masih memakai seragam.

Matahari setengah jalan lagi tiba di ufuknya, cahaya sudah tidak lagi menusuk kulit. Angin sore berembus sangat tenang. Kami menikmati ingar-bingar kota. Rambut Salma yang terurai tersisir angin lembut. Aku sesekali menatapnya berdalih melihat anak kucing yang ku simpan di tengah-tengah kami.

“Arka?” ucapnya seraya melirik ke arahku.

“Iya, aku Arka,” kataku menatapnya, ada yang aneh lagi dengan hatiku.

“Ih, jangan ngambil kalimatku dong.”

“Oh, itu kalimatnya udah berhak cipta?”

“Iya, jadi jangan diambil.”

“O. Hahaha.”

“Ih, nyebelin nggak jadi, deh.”

Kami menatap langit yang tetap cerah meski sudah hampir sore hari. Sesekali aku memandang lagi wajahnya, dia melekkukkan bibir tersenyum merdu.

“Ceritanya ngambek, nih. Iya, deh, kamu mau bilang apa tadi?”

“Jawab jujur, ya.”

“Belum juga nanya udah jawab jujur aja.”

“Ih, kamu.” Dia langsung mencubit lenganku.

“Aduh, nyeuri. Iya aku jawab jujur, tapi lepasin dulu.” Tapi cubitannya itu malah membuat hatiku tak karuan.

“Kenapa kamu waktu pertama kali ketemu nggak bisa menatapku?”

“Jadi kamu ingin aku menatapmu terus?”

“Ih, kamu katanya mau jawab jujur.” Dia menunjukkan dua jarinya.

Aku tersenyum lebar. “Ampun. Iya, iya, aku jawab.”

Sesaat ada keheningan datang.

“Aku tidak bisa menatap mata perempuan. Karena mungkin aku terkena trauma oleh hal itu,” lanjutku memecah keheningan.

“Kenapa bisa begitu?”

“Dulu, aku punya seseorang yang aku cinta, tatapan matanya itu sangat indah. Namun, ternyata tatapan itu yang merusak semuanya, dia hanya memanfaatkanku dengan tatapan indahnya. Dan, semenjak itu aku tak mau menatap mata perempuan lagi. Tapi ....”

“Tapi kenapa kamu bisa menatapku?” serobotnya.

Ada hening datang lagi.

-Bersambung-

Related chapters

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #4 Tangan Yang Bergandengan

    Beberapa detik dalam keheningan kami tidak sadar sudah saling tatap satu sama lain. Kami langsung salah tingkah, kemudian mengalihkan perhatian, memandang sekitar.Aku bukannya tak mau menjawab pertanyaannya barusan. Tapi kalau aku menjawabanya, mungkin, itu akan mengubah suasana hangat saat ini.“Anak kucing ini mau kamu bawa ke mana?” Salma mengelus-elus kedua hewan mungil berwarna hitam dan putih itu. Lega rasanya dia mengalihkan pertanyaannya. Rasanya seperti saat diberi pelampung oleh dosen."Malah bengong."“Eh, Aku mau bawa ke kosan. Tapi kalau kamu mau bawa ke tempatmu juga boleh.”“Kalau ke kosanmu boleh, kalau ke kosanku jangan!”“Kenapa jangan?” Padahal aku sudah tahu, pasti kos-kosannya dilarang membawa hewan.“Soalnya di rumah kosku gak bisa bawa peliharaan.”“Gampang, selundupin aja pake tas. Hahaha.”“Ih jangan, sih.” Dia ingin tertawa, tapi

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #5 Kadang Yang Terlupakan Belum Tentu Harus Dilupakan.

    Kami menggulir kaki di antara bangunan-bangunan besar, kendaraan-kendaraan berlalu lalang di jalanan, dan jurig-jurig Kota Bandung telah bergentayangan di sana berfoto bersama orang-orang yang tak gentar. Ada juga Superhero yang melambai-lambaikan tangan seraya menatap tajam pengunjung yang datang.“Salma, mau foto sama Pocong?”“Kalau berdua bareng kamu, aku mau.”“Kamu takut, ya?” ledekku“Nggak! Kamu kali yang takut.”“Kalau gitu, ayo, difotoin sama aku.”“Tuh, kan, kamu yang takut. Kalau kamu nggak takut, kita foto bareng.”“Okey, kalau kamu nantangin. Aku mau.” Dadaku busung teracung sengaja.Akhirnya kami segera mendatangi hantu molen itu dengan semangat. Kami langsung ber-selfie ria bertiga. Lalu aku dan Salma bergantian mengambil gambar. Tidak lupa, kami juga memberi hantunya rupiah pada kotak yang sudah disediakan.

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #6 Belum Bisa Jujur

    “Lihat, deh, Salma, yang hitam ngeliatin kamu mulu. Kayanya dia terpesona sama rambut hitammu.”“Kenapa rambutku?” Dia memeriksa, mengantungkan rambutnya ke sebelah kanan. Aku menatap heran, kenapa perempuan tampak lebih cantik saat rambutnya digantung ke pinggir?“Katanya, kamu cocok jadi duta sampo Phunten.”Dia langsung terkekeh manis. “Arka, Arka, bisa aja kamu.”Karena keasikan mengobrol, kami tidak sadar kalau mobil telah berhenti. Pak Sopir yang ramah memberitahu, jika sudah sampai di tempat tujuan, di depan gerbang kampus.“Ini, Pak,” kata Salma sembari menyodorkan lembaran kertas berharga.Kami segera turun dan tak lupa bilang terima kasih. Kaki kami bergegas melangkah, kembali melewati pos satpam sembari tersenyum, menyapa.Sesampainya di parkiran kampus, tangan Salma menunjuk kendaraannya ada di sebelah mana. Sepeda motornya masih terdiam tepat di bawah pohon rindang. Waja

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #7 Ngomong!

    Pagi terasa cerah serta sangat dingin, tapi aku dan Ardo telah bergegas memasuki gerbang kampus. Kami menuju kolam berrenang, berniat untuk latihan. Tadi subuh, aku meminta dia mengajariku karena ada informasi, jika kuliah hari ini dipindah ke jam sepuluh siang.Kami tiba di gelanggang. Kemudian mengganti pakaian. Setelah itu kami pemanasan terlebih dahulu.“Pagi-pagi Gelanggang kaya milik pribadi,” ujarnya sembari berdiri dipinggiran kolam.“Yoyoi, can aya sasaha. Yang tengah keliatannya lebih jero dari kemarin.” kataku sambil menelan ludah menatap air yang biru jernih.“Bukan keliatannya lagi, itu emang dalem.”“Kita belajar apa sekarang? Meluncur? Gaya-gayaan?”“Maneh nggak bisa renang banget, kan?”“Betul!” jawabku datar sembari mengacungkan jempol.“Okey! Kalau kataku, maneh harus bisa dulu ngambang di air. Kalau nggak salah disebutnya itu, water trappen.”“Waduh, gimana, tuh, caranya?”Ardo langsung balik kanan, lalu berisyarat padaku untuk menung

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #8 Pipi Yang Memerah

    “Semoga belum ada,” gumamku sembari berlari menaiki tangga ke lantai dua.Untung saja Ardo yang ditunjuk menjadi ketua kelas. Kalau tidak, sekarang aku tidak akan tahu, jika Dosen masih masuk ke kelas.Aku telah sampai di pintu ruangan. Syukurlah belum ada. Itu tandanya aku tidak terlambat, dan dimarahi Dosen kayak di film-film. Mungkin saja Dosen di sini juga galak.Sementara Ardo duduk di dekat Sela, sekretaris cantiknya. Aku sudah merebahkan punggung di kursi pojok kelas, tak mau mengganggu mereka yang mungkin sedang kasmaran. Menurutku kedua cocok.Teman sekelas yang “telat” mulai berdatangan memasuki ruangan. Di susul oleh dosen yang bergegas ke dalam sambil memegang telepon tipis yang ditempelkan ke telinga, kemudian duduk di bangkunya.Hanya setengah jam dosen muda itu memperkenalkan diri, menjelaskan peraturan saat pembelajarannya, dan menerangkan sedikit tentang mata kuliahnya.“Kali ini saya tidak lama

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #9 Itu Dia

    Enam menit kemudian, kami telah kembali ke jalan. Salma sudah lupa dengan pertanyaannya, untung saja tadi sempat ada ibu-ibu yang tak sengaja menabraknya cukup kencang.Ketika Aku dan Salma hendak menyeberang ada orang berhelm tertutup memacu motor gede yang bising ke arah kami. Aku repleks mendorong punggung Salma hingga ke pinggir dengan badanku lantaran dua tanganku memegang belanjaan. Untung saja aku dan dia tidak terjatuh. Orang itu melewati kami dengan memacu motornya semakin di depan.“Woi! Jangan kabur!” teriakku tak terima.“Udah, Arka, biarin aja.”“Kamu nggak apa-apa, kan, Salma?”“Harusnya aku yang nanya gitu, kan, kamu yang udah nyelamatin aku.”“Aku nggak apa-apa.” Mataku melirik semua kantong belanjaan, syukurlah masih utuh.“Udah, lupain aja. Kita, kan, harus bawa belanjaan ini ke kedai.”Aku mengangguk sembari senyum. Entah kenapa mendengar suaranya saja a

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #10 Hebat!

    “Salma, sebenarnya kita mau ke taman mana? Taman di Bandung itu banyak. Masih jauh, ya?”“Udah deket, Arka,” ujarnya sembari mengipas lehernya dengan tangan.Cuaca pagi menuju siang ini memang membara, padahal baru jam sepuluh lewat. Aku segera menggeser kaca jendela angkot.“Wah, jadi adem.”“Kalau panas bilang, Salma.”“Terima kasih udah bukain kacanya, dari dulu aku nggak bisa kalau mau buka kaca angkot.” Dia tersenyum.“Iya, sama-sama. Masa nggak bisa? Padahal ini nggak sulit, kamu harus tau tekniknya. Namanya, Teknik Membuka Kaca Angkot. Disingkat, TMKA.”“Gimana tekniknya? Ajarin, dong, Teknik Membuka Kaca Angkot, yang disingkat TMKA itu.”Aku menutup kembali jendela untuk mempraktikkannya. “Pertama, kamu jangan langsung mencet kuncinya sambil digeser. Tapi, kamu tarik dulu ke belakang, terus pencet kuncinya, baru, deh, kamu geser dengan lembu

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #11 Dihampiri Asmara

    “Udah mau sampai, tuh.”Salma menyelidik ke depan. “Mana?”“Kiri, Mang!” seruku pada sopir angkot yang sedang melirik-lirik mencari penumpang. Angkot perlahan mengerem.Kami telah berdiri di hadapan gerbang besi cukup besar yang telah lebar menganga, banyak orang yang sudah masuk beriringan melewati kami.Salma menengadah. “Kebun Binatang Bandung, serius kamu bawa aku ke sini?”“Emang kenapa kalau aku bawa kamu ke sini? Takut buaya, ya?”“Nggak, sih, tampol aja buayanya.” Dia memajukan bibir.“Terus kenapa, sih?” ledekku sembari tersenyum.“Ya, aneh aja kaya anak kecil aja gitu.”“Mending kita liat aja, apa di dalem lebih banyak anak kecil atau orang dewasa.”“Ayo!” Dia bergegas melangkah mendahului. Aku mengimbangi.Salma berdiri di depanku, kami telah mengantri di antara orang-orang yang ingin masuk ke

Latest chapter

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #44 Soda Kue

    “Ka, kamana?” sapa Ardo yang sedang jalan berduaan dengan Sela. Mereka sepertinya sedang menuju parkiran kampus.“Ke fakultas sebelah,” jawabku tanpa ragu.“Asik, apel nih. Okelah urang jalan dulu, Ka.”“Okey, Do.” Aku mengangkat jempol. “Oh iya, Sel, makasih tadi udah ngabarin.” Aku nyengir tak lupa juga memberi jempol.“Kembali kasih,” balas Sela tersenyum ramah.Aku melanjutkan langkah setelah Ardo dan Sela sudah kembali berjalan lebih dulu menuju tujuan mereka. Aku ke arah berbeda.Sambil menyusuri jalan aku teringat kejadian tadi. Tiga senoir cupu yang merundung teman sekelasku. Tadi aku balik kanan karena setelah dipikir-pikir itu bukan urusanku. Sekarang, aku jadi merasa bersalah pada temanku itu. Ah sudahlah, yang terpenting sekarang aku harus mengajak Salma healing.Segera aku duduk pada bangku dari batu di depan Fakultas Bahasa Indonesia. Salma memintaku untuk menunggunya di luar dari balasan SMS-nya barusan.Tak sampai tujuh menit, Salma sudah muncul dari ambang pintu kaca f

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #43 Terkena Bencana Alam

    “Aka.”Aku tersadar oleh suara gadis yang terlampau merdu, tapi aku tetap melangkah menghiraukannya. Namun, dia segera menyerobot ke depanku sambil cemberut. Langkahku terpaksa berhenti.“Aka, jangan melamun aja, jawab ih pertanyaanku,” gerutu Keysa.“Eh iya, kamu nanya apa barusan?” Aku nyengir sambil mengusap rambut belakangku.Bibir Keysa melekuk indah sambil menatap tajam. “Apa kamu kalah, Aka?”Aku membelalakkan mata. “Apa kamu bilang?”“Arka!” Tiba-tiba tak jauh dari belakang Keysa teriakan seseorang memekakkan telinga. Pandanganku segera beralih ke arah suara itu. Ada seseorang di sana, tapi tampak samar.Aku alihkan lagi pandangan lurus. Kini, Keysa tersenyum licik. “Kamu kalah, Aka!” teriaknya meremehkan. Keningku mengkerut sembari perlahan mundur, tapi keseimbanganku seketika hilang. Pandanganku menggelap.“Arka!”Mataku langsung terbuka. Wajah indah dengan air mata yang masih tertinggal di pelupuknya kini tepat di hadapanku. Aku tersenyum. Salma segera memalingkan wajah semb

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #42 Kesempatan Dalam Penderitaan

    “Aka!” Dari arah tribune suara Keysa memecah hiruk pikuk orang-orang di lapangan. Bodohnya aku masih tergoda panggilannya tanpa sadar melirik ke arah tribune.Tidak diduga, si Mantan mengambil kesempatan dalam kelengahan. Aku melihat dari ujung mata, dia berlari sembari mengacungkan pisaunya siap menyabet. Refleks, aku ngeles ke samping sedikit melompat. Namun, tak diduga ada musuh menerjang dari kanan, tapi dengan cepat orang itu terhempas terhantam tinju.“Yow, Bos, ulah lengah,” ledek Satria sembari meniup kepalan tangannya yang besar.“Eheheh. Nuhun, Sat.” Aku membenarkan topi.Satria beralih melihat si Mantan dengan serius, sebelah alisnya terangkat. “Butuh bantuan, Bos?”“Di sini urusan urang, mending maneh bantu yang lain,” jawabku tanpa ragu.Tak banyak bicara Satria segera menjaga area belakangku, menghalangi setiap orang berjaket abu yang mendekat.Aku kembali menatap si Mantan yang terus menyeringai. Aku harus memikirkan bagaimana cara mengalahkannya dan segera menolong Sal

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #41 Gila Karena Cinta

    “Hahaha. Apa lo nggak inget gue, Arka? Liat sini, apa lo kaget liat gue?”Aku menunduk tak percaya kalau Salma juga akan mengkhianatiku seperti perempuan di tribune yang sekarang sedang teriak terbahak.“Cuma segitu mental lo, Arka?”“Jangan dengerin dia, Bang, coba liat Salma dia nangis,” bisik Ferdi.Pandanganku kembali lurus. Wajah Salma tampak sembab, tetesan tetap muncul meski dia mencoba menahan air mata. Aku terus menatapnya, tapi Salma malah berpaling menyembunyikan tangisan.Aku beralih melirik pria berambut agak ikal cepak itu. Aku menghela napas panjang. “Lo ngapain dia, Rusdi?!”“Ternyata lo masih inget gue. Gue kir

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #40 Mendung

    “Kita harus secepatnya ke sana,” tutur Alan sambil berjalan tergesa-gesa. Kami telah melangkah cukup jauh dari gang masuk rumah kontrakan Wini berniat menuju tempat Alan tinggal. Kami tadi bergegas berpamitan dengan Wini setelah mendapat panggilan telepon, meski raut wajahnya kecewa karena kami tak jadi memakan moci, tapi dia tetap melambai dan tersenyum. Alan juga tadi memasang muka masam, mungkin karena belum sempat berkenalan dengan Wini. Aku juga sedikit resah tak bisa merasakan makanan kenyal itu. Aku dan Alan masih melangkah cepat. Kami tak menyangka kalau hari pertaruhannya dimajukan secara sepihak oleh kelompok l

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #39 Otak Bukan Otot

    “Gue hajar lagi lo nanti!” Si Mantan telah menaiki macan besinya dengan sekujur muka yang babak belur. Ternyata dia masih belum menyerah. Kulihat ketujuh temannya masih tetap bergeming di tempat. “Beri tahu ketua Anda, jangan ganggu ketua kami sebelum hari penyerangan,” tutur Alan sambil memakai kacamatanya lagi setelah kusodorkan. Si Mantan langsung tancap gas dengan penuh amarah. Tanpa berpikir panjang tujuh pria lainnya buru-buru mengikuti dengan motor mereka masing-masing. D

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #38 Anda Bersalah

    “Oh, jadi gara-gara si Botak ini kamu nggak mau balikan.” Lelaki itu---aku sebut saja si Mantan---menunjuk angkuh. Sambil mengangkat sebelah alis aku mengusap kepala, seenggaknya sekarang rambutku sudah sedikit panjang. “Woi, sekarang gue bales lo, Botak!” pekiknya, lalu menyeringai. Teman-temannya tersenyum secuil sembari mengepal-ngepalkan tangan. Aku telaah hanya si Mantan yang memakai jaket berlambang gagak, sementara kesembilan temannya cuman memakai kaos biasa.

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #37 Memerah

    “Eh, kalem, Salma, kalem.” Aku segera menggenggam pundaknya, tapi tubuh Salma malah terus memaksa maju. “ cerita ada apa?” lanjutku seraya bergegas beranjak. Salma ikut berdiri, kemudian matanya menelaahku dari atas sampai kaki. “Kamu nggak merasa ada yang nyadap?” tanyanya polos. Aku mengangkat sebelah alis, apa dia kemasukan setan kos-kosan? Sesaat aku perhatikan wajah Salma sedikit pucat, rambutnya tampak belum dirapikan, tapi dia tetap manis dengan baju tidur biru bergambarnya. Aku melihat ke belakang Salma, ada laptop yang terbuka. “Nggak ada yang nyadap, kan?” tanyanya lagi. “Kamu kebanyakan nonton film.” Aku menggeleng sambil menyimpan tasku di kasur. “Kita ngobrolnya di luar biar tenang,” tambahku sembari meraih tangan Salma. Aku langsung menuntunya sambil membuka daun pintu. Kami tiba di atap, beberapa jemuran tergantung rapi, ada---bahaya kalau disebut satu-satu. Kami sudah berada di ujung, kemudian menatap deretan bangunan-bangunan

  • ARKA: Seorang Manusia yang Bukan Siapa-siapa   #36 Kebetulan

    “Kapan hidup aing damai? Jumat tes renang, sabtu nyerang,” gumamku, kemudian mengangkat ponsel jadul yang dari tadi bergetar. “Kalem, Fer, gua baru jalan dari kosan.” “Oke, gua tunggu, Bang.” Aku telah berjalan di dalam tempat makan cukup besar. Banyak orang-orang tengah menyantap hidangan mereka, ada yang mengobrol, juga yang sibuk memotret makanan yang tersaji di meja. Tampak Ferdi sudah duduk di hadapan meja kayu mengkilap sembari menatap laya

DMCA.com Protection Status