"Kak, nggak jadi sop duren. Beliin kebab aja." suara Aji dari jok belakang. Arjuna hanya nyengir kemudian membelokkan motor untuk mencara kebab yang Aji maksud.
Lepas dhuhur, Arjuna langsung bertolak pulang. Tentu saja setelah menuruti Aji yang pengen kebab. Dan, yah. Aji tuh kalo jajan nggak pernah mikir harga. Nggak peduli banget kalo duit kakaknya tinggal selembar merah.
"Kak, ice cream. Mampir Indomaret aja."
"Kan kamu udah jajan kebab?" teriak Arjuna.
"Tambah ice cream. Buat Ali, Setiyaki sama Lana. Kasihan mereka."
Arjuna ingin menenggelamkan Aji ke cairan kecap setelah ini. Namun entah magnet apa Arjuna tetap membelokkan motor ke Indomaret paling dekat dengan komplek perumahan.
Ingin tahu kenapa Arjuna sesayang itu dengan Aji? Karena Mami. Itu jawab yang akan Arjuna lontarkan pada siapa saja yang bertanya.
Ingatan tentang kematian Mami masih tergambar jelas. Arjuna memang masih berumur empat tahun ketika kejadian itu. Namun ingatannya seolah begitu jelas dan enggan memburam. Bahkan setiap ucap yang Mami lontarkan Arjuna masih mengingatnya dengan baik.
"Arjuna, kamu sayang sama kembar, nggak?" tanya Mami hari itu. Yah, hari itu. Hari dimana Arjuna begitu marah dengan Papi dan Mami hingga dia ingin tinggal bersama neneknya saja di Depok. Awalnya Papi marah namun Mami dengan lembut bilang tidak apa-apa dan tetap mengantar Arjuna ke rumah nenek.
"Enggak. Juna benci kembar. Benci Ali yang sering ngompol, benci Aji yang sering nangis." jawab Arjuna kecil.
"Tapi dia adik-adik kamu."
"Tapi Juna nggak pernah mau punya adik!"
"Dulu, bang Banyu sama Mas Abim juga gitu pas Arjuna lahir. Mereka benci sama Arjuna."
Arjuna kecil hanya terdiam. Kalo Mas Abim benci, mungkin Arjuna bisa paham. Soalanya Mas Abim memang nakal. Tapi Bang Banyu? Bang Banyu itu superhero yang pernah Arjuna kenal. Yang bisa manjat pohon buat ngambil layangan, yang berani ngambil bola kasti di halaman rumah pak Joko yang kumisnya nyeremin juga cuma Bang Banyu yang bisa marahin anak anak nakal yang selalu ganggu Arjuna waktu belajar naik sepeda. Jadi Bang Banyu jelas nggak mungkin benci sama Arjuna.
"Bang Banyu marah banget pas Juna lahir. Dia nangis sampe tiga hari. Nggak mau ngomong sama Mami, nggak mau berangkat sekolah, marah-marah terus." mobil Mami berkelok di sebuah persimpangan. Mami fokus pada jalanan sejenak kemudian kembali berujar. "Bahkan paling parahnya, Juna mau di kasih makan ke burung Beo Papi. Jahat, kan?"
Arjuna cemberut. Tidak menyangka Bang Banyu yang dia segani sebegitu kejam pada dirinya.
"Tapi kamu lihat sekarang? Bang Banyu adalah yang paling sayang sama kamu. Kalo kamu digangguin sama anak-anak, Bang Banyu bakal jadi orang pertama yang marah marah. Bahkan kalo ada semut yang berani gigit kamu, bang Banyu pasti juga marah marah sama semutnya, iya, kan?"
Mobil Mami berhenti di perempatan jalan. Menunggu lampu yang sedang menyala merah.
"Dan sekarang, bang Banyu malah jadi superhero buat kamu. Kamu malah sayang banget sama Bang Banyu. Kalo Mas Abim nakal, pasti kamu belain Bang Banyu." Mami berucap santai. "Emang kamu nggak mau jadi superhero buat Aji sama Ali? Nanti kan, kalo Mas Abim nakal sama kamu, Aji sama Ali bakal jadi orang yang paling belain kamu. Nanti Mas Abim dikeroyok sama kamu, Aji sama Ali. Pasti Mas Abim kalah."
Tapi Arjuna tetep nggak suka Aji sama Ali. Mereka berisik.
Saat lampu menyala hijau Mami kembali tancap gas, "Aji sama Ali itu butuh kasih sayang seorang kakak. Apalagi Arjuna. Arjuna itu tokoh wayang yang kuat. Ganteng dan baik hati, jadi kamu harus jaga...."
Kalimat itu terhenti. Bertepatan dengan sebuah sedan yang menghantam mobil Mami. Dalam ingatan itu Arjuna hanya terdiam kaget. Terpejam karena enggan tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
Dan ketika Arjuna membuka mata, hanya ada sesak. Napasnya tersengal seolah udara sedang menjauhinya. Dan dengan cepat Arjuna menyingkap selimut. Hanya untuk mendapati adik-adiknya yang sedang main Uno di dalam kamarnya.
"Kak Juna udah bangun?" sapa Lana pertama kali. Anak itu memberi senyum paling sumringah yang pernah ada.
Mas Abim berdiri dari kursi belajar Juna. Mendekat kemudian perlahan menyentuh dahinya. Kenapa? Arjuna kenapa?
"Panas kakak udah turun. Sekarang masuk kamar kalian masing-masing. Kak Juna perlu istirahat."
Ucap Mas Abim otomatis mendapat respon tidak terima dari adik adiknya. Namun dengan berat mereka tetap meninggalkan kamar. Termasuk Aji yang katanya mau tidur di kamar Banyu.
"Juna kenapa, Mas?"
"Kamu tadi ketiduran di sofa setelah makan eskrim. Mas juga nggak tau. Kata Aji, kakak ngigau. Trus pas dipegang jidatnya panas." Mas Abim membuka bungkus obat kemudian mengulurkannya bersama air putih.
"Ketiduran?"
"Iya, kamu kecapean, mungkin. Udah, tidur lagi aja. Mas Abim tidur di kamar kamu malem ini."
"Mas?" panggil Juna lirih.
"Kenapa?"
"Pengen teh manis."
Kalimat itu cukup membuat Mas Abim mendesah. Kemudian keluar kamar demi segelas teh manis. Ini adalah bagian yang Arjuna suka. Ketika dia demam atau sakit, Mas Abim tidak bisa nakal pada Arjuna. Justru sebaliknya, Mas Abim bisa dijadikan babu sementara.
***
"Arjuna belon telfon lagi?" tanya Saka saat Raina baru selesai mandi.
"Belom. Sekhawatir itu sama mereka?"
"Lo nggak tau gimana berantemnya, sih. Kalo tau lo juga pasti yakin mereka bener-bener putus." Jawab Saka kemudian.
Pertengkaran yang Saka maksud, Raina memang tidak menyaksikan secara langsung. Jadi dia tidak tau pasti separah apa hingga membuat banyak orang yakin bahwa keduanya betulan putus. Namun ketidak tahuan Raina bukan berarti dia harus memancing informasi dari Saka. Raina tidak seperti itu. Dia akan setia menunggu hingga Arjuna sendiri yang bercerita.
Raina sedang duduk di kursi belajar milik Saka saat ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Arjuna yang memang Raina tunggu sejak tadi.
"Rainaaaaaaa." Panggil seorang di ujung sana.
"Apa?"
"Gue mau curhat. Lo dimana?" tanya Arjuna membuat Raina menoleh pada Saka yang sedang tiduran sambil bermain laptop di atas ranjang.
"Gue di kos Saka. Mau nginep sini malem ini. Kenapa? Mau ketemu?"
"Enggak. Gue demam. Pasti nggak dibolehin keluar sama Mas Abim atau bang Banyu. Btw, ngapain lo nginep di kos Saka?"
"Pengen aja."
"Pengen aja atau nggak pengen pulang?"
Ah, Raina lupa. Arjuna juga tahu hubungan buruk antara dirinya dan kedua orang tuanya. Walaupun tak sespesifik Saka, namun Arjuna juga tahu banyak.
"Apaan, sih. Jadi curhat, nggak? Kalo enggak gue mau tidur."
"Besok aja, deh. Selamat bersenang-senang sama Saka. Bilang sama dia suruh pake pengaman."
"Apaan, sih, babi!"
Raina menutup telpon setelah makian itu. Jika tidak, pasti Arjuna akan semakin lama ngecengin dia.
***
***Aji berbeda dengan Arjuna. Aji beda dengan Kak Lino, bang Banyu atau saudaranya yang lain. Kepribadian yang Aji punya cukup unik kalo kata Kak Juna, dan unik itu selalu mengundang nyaman bagi beberapa orang. Aji adalah tempat curhat paling seru kalo kata Ali dan Mas Abim. Katanya jika kalian bercerita banyak kepada Aji, anak itu tidak akan pernah membocorkannya. Makanya, beberapa saudara selalu bercerita banyak kepada Aji. Kecuali Bang Banyu dan Kak Lino. Aji tak tau pasti kenapa, namun fakta bahwa keduanya dekat dan selalu berbagi cerita cukup membuat Aji paham. Cerita itu hanya untuk orang dewasa.Bercerita pada Aji tak lantas membuat Aji tahu banyak soal saudara saudara. Sebetulnya tidak, Aji hanya tau soal kisah asmara mereka. Aji hanya tahu jika Ali dan Setiyaki cukup tertekan di sekolah tidak lebih dari itu.Satu-satunya anggota keluarga yang misterius bagi Aji adalah Kak Juna. Banyak rahasia dari kakaknya itu yang meski dikorek dalam
***Hari ini Arjuna akan tancap gas langsung ke tempat Saka. Untuk menjemput Raina dan menculik cewek itu seharian penuh. Bodo amat soal Raina mau atau tidak. Karena saat ini Arjuna sangat butuh Raina.Pucuk dicinta Raina dan segelas kopi sudah nampak di depan kos Saka."Wassap!" sapa Arjuna pada Raina yang lebih terdengar seperti makian sebenarnya. Tapi tidak apa-apa. Arjuna tahu Raina paham tentang perangainya yang satu ini."Masih pagi, Jun." ucap Raina kemudian."Gue udah kangen berat sama lo.""Halah. Kangen cuma kalo butuh. Gue hari ini ada kuis, nggak bisa skip kelas.""Tau aja kalo gue mau ngajakin skip kelas." Arjuna menjawil lengan Raina. Sedangkan cewek itu malah melotot, mungkin geli dengan kelakuan Juna yang kadang primitif."Nggak bisa, Jancuk. Nggak ada waktu gue.""Rai. Jangan gitu, dong. Gue butuh lo demi kelangsungan hubungan gue sama Lia.""Hubungan lo s
***Julia anaknya anggun dan asik parah. Pertama Juna kenal Lia saat kenaikan kelas dua SMA. Lia cewek pindahan dari Kanada dan katanya akan menetap lama di Indonesia. Kata Raina, Lia ini anaknya lucu, lugu dan manis banget. Raina yang cewek aja nilai Lia begitu bagaimana Arjuna yang notabene masih cowok normal.Seperti yang kebanyakan orang tau, Arjuna adalah bajingan kelas kakap dalam urusan wanita. Kalo kata Setiyaki, Arjuna adalah Jancuk terbajingan yang pernah ada bahkan anak anak berniat mengadakan tumpengan untuk mengganti namanya menjadi Arjuna Jancuk Nayaka Badas Prihatmoko. Tapi Papi belum setuju jadi dia belum berniat mengganti kk mereka.Kenapa nama Arjuna bisa se aesthetic itu? Karena kelakuannya yang kalo kata Mas Abim naudubilah banget.Berawal dari kelas satu SMA. Arjuna pernah kenal dengan seorang cewek namanya Tamara. Dia cantik parah. Anak blasteran Indo-Jerman yang lebih lokal dari kebanyakan blasteran. Singkatnya cew
***Di mobil biasanya anak anak pada debat tentang banyak hal. Seperti Setiyaki dan Lana yang berdebat pasal apakah betulan ada reinkarnasi. Dan jika reinkarnasi itu ada maka Lana ingin berubah menjadi choker nya Via Vallen biar tau kalo dia itu aneh pake begituan. Tapi Ali yang seorang Vianisti sejati tentu tidak terima. Perdebatan akan semakin panas jika Setiyaki membela salah satu diantara mereka.Namun hari ini Aji sedang tidak ingin berdebat. Dilihat dari rear-view-mirror sosok yang mengganggu Aji sejak subuh tadi masih terlihat. Dia duduk di belakang bersama Ali. Jika Ali tau dia sedang bersebelahan dengan makhluk tak kasat mata sepertinya cowok itu akan pinsan. Beruntungnya sosok cewek itu tidak jahil seperti sosok lain yang sering menampakan diri meski tampilannya juga tidak terlihat baik.Akan Aji deskripsikan. Dia cewek. Sepertinya seumuran dengan Aji bahkan seragamnya juga seragam yang sama dengan sekokah Aji. Rambutnya panja
***Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya.Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau."Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya."Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun."Teh, mau curhat.""Kenapa lagi sama Lia?""Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples beris
***Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah."Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong.""Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi."Diajarin.""Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih."Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi."Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
***Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang."Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusi
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu