***
Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya.
Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau.
"Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya.
"Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun.
"Teh, mau curhat."
"Kenapa lagi sama Lia?"
"Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples berisi keripik singkong dan dengan apik keduanya larut dalam perbincangan. Berteman lagu galau dari ponsel Arjuna.
Sepertinya banyak yang bingung kenapa Arjuna bisa begitu dekat dengan Teh Aya. Semua dimulai saat Arjuna terlibat masalah di sekolahnya. Biasa, karena Arjuna termasuk jancuk kesayangan sekolah maka kejahatan tentu saja seputar tawuran antar SMA. Sembunyi dibalik kata membela sekolah makanya anak-anak sampai berani tawuran sambil membawa gir dan balok kayu.
Hari itu suasana chaos banget. Ada polisi yang membubarkan kerumunan pelajar tawuran lantas menangkap mereka satu persatu. Arjuna sedang tidak bawa motor jadi cuma bisa lari terbirit-birit menghindari kejaran polisi. Namun saat itu bak pahlawan Teh Aya melambatkan laju mobilnya. Menurunkan kaca mobil kemudian menyuruh Arjuna untuk naik ke mobilnya. Arjuna selamat dari kejaran polisi namun tak menjamin dia selamat dari introgasi. Belum lagi jika Teh Aya cerita ke Bang Banyu. Bisa tamat riwayatnya. Namun dengan negosiasi panjang nan melelahkan Arjuna bisa aman dari amukan bang Banyu atau Kak Lino dan Mas Abim. Namun gantinya, Arjuna harus terbuka tentang banyak hal pada Teh Aya. Awalnya Arjuna ragu, namun karena tahu bahwa Teh Aya adalah mahasiswi jurusan Psikologi makanya Arjuna oke oke aja. Itung-itung konsultasi gratis. Katanya, Teh Aya bukan mau tau soal kehidupan Arjuna. Hanya ingin tau untuk alasan apa cowok bisa berbeda dari bang Banyu atau Kak Lino yang sudah dikenal sangat dekat oleh Teh Aya.
"Jadi, Raina ngasih nasihat apa?" tanya Teh Aya setelah Arjuna menjelaskan banyak hal soal hubungannya dengan Lia.
"Kok jadi tanya Raina, Teh?"
"Karena sejauh ini kamu selalu dengerin kata Raina daripada kata Lia." Teh Aya mengambil alih toples keripik tempe Arjuna kemudian menggantinya dengan toples berisi keripik singkong. "Dan Raina anak Psikologi juga, kan? Siapa tau nasihat dia bakal sama kayak nasihat teteh."
Arjuna malah memikirkan kata-kata teh Aya. Apa Arjuna hanya selalu mengikuti setiap kata Raina? Bukan Lia?
"Teteh setuju sama apa kata Raina." Ucap Teh Aya ketika Arjuna selesai dengan ceritanya.
"Tapi Juna belum paham."
"Manusia itu teka-teki. Semacam puzzle gitu. Kamu perlu banyak potongan supaya tau gambar sebenarnya. Sayangnya cuma kamu yang punya potongan kamu sendiri atau Lia yang punya potongannya sendiri. Kalian nggak pernah mau bertukar potongan puzzle." Teh Aya menyuapi Arjuna dengan keripik tempe. Dan dengan enteng mulut itu terbuka. "Sama kayak gini, Dek. Teteh punya ketipik tempe, kamu punya keripik singkong. Masing masing dari kita nggak akan pernah tau rasa milik orang lain kalo kamu nggak pernah mau berbagi."
"Fix, Juna makin goblok. Sederhananya aja, Teh."
Teh Aya malah menonyor kepala Arjuna.
"Makanya ini otak dipake. Mikir bentaran aja nggak mau."
"Teh Aya, bang Banyu nggak Mas Abim, hobi banget nonyor jidat. Kalo otak Juna geser, siapa mau tanggung jawab?"
""Enggak bakal. Justru kalo sering di tonyor otak kamu bakal pindah ke tempatnya." Arjuna terdiam dengan kalimat Teh Aya. Seperti deja vu. Seolah seorang pernah berkata begitu sebelumnya.
"Intinya gini, Arjuna. Kalo kamu mau tau banyak soal Lia, seenggaknya ijinkan dia tau banyak soal kamu juga. Kalo kamu pengen Lia paham keadaan kamu, seenggaknya kamu juga harus paham tentang Lia juga. Feedback, dek. Itu intinya." Teh Aya menyuapi Arjuna dengan keripik tempe sekali lagi. "Tapi teteh tau kamu nggak mau mikir kamu mau apain Lia sekarang. Iya, kan?"
"Teh Aya tuh paling tau Juna, sumpah."
"Untuk itu teteh nggak tau. Coba kamu pikir dengan otak kamu yang seadanya."
Arjuna terdiam setelah menguyah keripik tempe yang disuapi teh Aya tadi. Kemudian memilih untuk menyandarkan tubuh pada bantalan sofa. Saatnya menggunakan otak Arjuna yang seadanya.
Disaat seperti ini Arjuna jadi kangen Kak Lino. Dulu ketika kak Lino ada masalah dengan cewek, Arjuna datang menasihati. Namun kali ini, rasanya nasihat yang sering Arjuna lontarkan dulu ikutan musnah. Arjuna kembali menjadi awam.
***
"Lo mau nginep kos gue lagi?" tanya Saka saat keduanya keluar dari Starbucks.
"Boleh?"
"Enggak. Lo harus pulang. Selesain apa yang jadi masalah lo." Saka melenggang enteng menuju motornya dan Raina hanya mengikuti. "Naik, gue anterin."
"Nggak usah. Gue balik sendiri."
"Rai?" Saka yang tadinya sudah naik ke motornya tiba tiba turun dan berjalan mendekatinya. Raina menunduk. Pasti Saka akan marah padanya. "Nyokap lo telfon gue."
Oh, ternyata Saka tidak marah.
"Dia khawatir. Dia minta lo buat pulang."
"Bullshit. Jangan percaya sama apa yang dia bilang." Raina mendongak. Menatap wajah Saka yang lebih tinggi dari dirinya.
"Raiinaaaa!" teriak seseorang. Raina yang merasa terpanggil menoleh kesana kemari kemudian mendapati Ecan yang sudah berjalan kearahnya. "Kalian disini juga. Mau masuk?"
"Enggak. Gue udah mau balik. Lo kesini sama siapa?" Raina menjawab dengan tenang. Melupakan ketegangannya dengan Saka baru saja.
"Sama Lia. Sejak break sama Arjuna, gue jadi babu dia sekarang." Ecan menjawab lirih.
Raina malah tertawa. Kemudian di detik berikutnya cewek itu memilih pamit. Saka ingin tinggal, entah untuk urusan apa. Raina tak peduli.
Di jalanan malam yang dingin. Langit tak berbintang dan bulan yang enggan menemani. Raina berjalan di trotoar jalan dengan lamunannya.
Mama khawatir katanya. Cih, sejak kapan kata khawatir terselip diantara hubungannya dengan Mama. Selama ini Raina tak pernah tau jalan pikiran kedua orang tuanya. Mereka selalu bertengkar setiap bertemu, mendebatkan sesuatu yang begitu menggelikan. Mendebatkan Raina katanya. Persetan dengan kata itu. Karena faktanya Raina hanya kedok untuk kemarahan mereka.
Entah sudah berapa lama Raina berjalan. Jalan yang tadinya ramai berubah menyepi. Lalu lalang kendaraan seolah lenyap atau hanya Raina yang berjalan terlalu jauh.
Raina menoleh kesana kemari. Hanya ada kemuning lampu jalan. Sesekali kendaraan lewat cukup cepat. Memberi silau sesaat lantas gelap setelahnya.
Tiba-tiba Raina merasa sesak. Sepi selalu membuatnya takut. Gelap dan sendiri tak pernah bisa akrab dengan dirinya meski setiap hari kata itu terus menghantui. Raina takut. Ia takut akan gelap, sorot tajam kendaraan yang tidak berpihak padanya dan sepoi angin yang menambah aura kelam. Raina benci hidupnya. Benci takdir yang selalu bermain sangat apik diatas garis hidupnya.
Sepi membuat Raina leluasa menjerit. Ah, ini saatnya sumpah serapah yang ia pendam sejak kemarin akhirnya keluar. Lantas Raina menangis, dengan keras ditemani makian. Raina muak dengan hidup, dengan keluarganya, dengan nasibnya yang tak pernah baik-baik saja.
******Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah."Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong.""Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi."Diajarin.""Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih."Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi."Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
***Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang."Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusi
***Raina memang sudah terbiasa dengan keluarga pak Prihatmoko. Cewek itu bahkan sudah sangat bisa diajak adu mulut dengan Mas Abim, gelud dengan Ali dan Lana atau bersekongkol dengan Setiyaki untuk membuat Sonnie ngambek. Akrabnya Raina dengan keluarga Pak Prihatmoko dimulai belum lama. Namun cara Raina mendekatkan diri dengan keluarganya terlampaui hangat. Bahkan Papi dan Mama sempat ingin mengadopsi Raina. Tapi ya masa iya. Raina bukan kucing.Seperti malam ini. Raina ikutan pusing dengan Aji yang tidak memberi kabar hingga larut malam."Tenang aja, Mah. Paling Aji kejebak di kafenya Bang Jeno sama Setiaji. Nggak akan kenapa-napa." Ali berkata santai. Masih ngunyah keripik tempe yang tadi sempat dipending karena makan malam dan main uno."Iya, kali, mah. Mamah tidur aja. Pasti capek. Biar kita yang nunggu dia pulang." Setiyaki menimbuhi. Setiyaki memang pintar memprovokasi. Entah itu untuk sisi positif atau sisi negatif. Dan Mam
***Saka baru selesai mandi ketika ponselnya begetar begitu hebat. Sampai Echan yang sedang molor terganggu dan bangun dengan wajah kucel. Telfon dari Mama Raina yang menanyakan keberadaan gadis itu. Katanya sudah semalaman dia tidak pulang dan kala dihubungi tidak bisa. Saka menebak, pasti ada pertengkaran baru diantara mereka yang membuat Raina memilih keluar dari rumah. Namun setau Saka, Raina tak pernah punya tempat tujuan. Jika tidak pulang anak itu akan berdiam diri lama di depan minimarket hingga pagi menjelang.Saka tak perlu khawatir jika ada cowok yang menganggu Riana karena Raina itu preman namun khawatir Saka adalah apakah cewek itu akan baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh yang Saka takutkan."Gue cuma mau tidur, bangsat." Echan bangun langsung memaki. Sedangkan Saka melenggang santai."Lo punya kamar kos sendiri, bego. Ngapain numpang tidur disini?""Raina aja boleh masa gue kagak." Echan bangkit
***"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi."Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata de
***Hujan sudah berhenti sejak tadi namun rasanya masih banyak air yang menetes dari langit. Entah itu secara kasat mata atau hanya lamunan Aji saja. Tetap hawa suram menguasai langit malam ini.Zahra Sulistyaningrum dinyatakan meninggal pukul 10.13 menit. Masih ditanggal dan suasana yang sama. Disaksikan kakak perempuan Zahra, Setiaji, Bang Jeno dan Aji sendiri. Gadis itu terpejam meski tangis dari kakak perempuannya menggema hebat. Seolah ia tak terganggu dan tetap terlelap dengan tenang. Pucat wajah Zahra membiru, berbeda dengan sosok Zahra yang menghilang beberapa saat lalu. Bibir itu tak tersenyum dan tangan itu, Aji enggan menyentuhnya. Karena pada akhirnya meski ia genggam erat sebuah balasan tak akan Aji dapat.Aji tak menangis sama sekali. Bukan karena dia tak sedih akan kepergian itu, namun karena dia tau Zahra benci melihatnya menangis."Aji, Setiaji. Buruan sini!" teriak Zahra hari itu terngiang lagi. Teriak yang hadir
***Di tengah lapangan upacara adalah kali pertama seorang Julia mengenal Arjuna Nayaka. Berteman terik dan keringat dalam keadaan tangan terangkat kearah bendera merah putih yang berkibar gagah. Siang pukul sepuluh, tanpa angin, seorang Arjuna datang bersama keluh kesahnya ke arah guru bk karena dihukum berdiri di lapangan upacara."Pak, maaf. Sekali aja. Lagian saya nggak pernah nakal. Ini kenakalan pertama, kan? Maaf, pak. Kali ini aja," rengek Arjuna hari itu."Yang hancurin pintu kamar mandi, kamu. Yang ngerusak gorden uks, kamu. Yang bikin lantai mushola pecah, kamu. Yang berantem sama anak kelas IPS, kamu. Masa iya saya harus sebutkan kenakalan kamu satu persatu." Guru bk berdecak sambil membawa penggaris kayu andalannya. Dengan kumis tebal dan perut buncitnya, Pak Bambang menggiring Arjuna ke tengah lapangan. "Kenakalan pertama, terus yang kemaren-kemaren itu apa? Uji coba?"Dengan malas cowok itu berjalan menuju tengah lap
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu