Julia anaknya anggun dan asik parah. Pertama Juna kenal Lia saat kenaikan kelas dua SMA. Lia cewek pindahan dari Kanada dan katanya akan menetap lama di Indonesia. Kata Raina, Lia ini anaknya lucu, lugu dan manis banget. Raina yang cewek aja nilai Lia begitu bagaimana Arjuna yang notabene masih cowok normal.
Seperti yang kebanyakan orang tau, Arjuna adalah bajingan kelas kakap dalam urusan wanita. Kalo kata Setiyaki, Arjuna adalah Jancuk terbajingan yang pernah ada bahkan anak anak berniat mengadakan tumpengan untuk mengganti namanya menjadi Arjuna Jancuk Nayaka Badas Prihatmoko. Tapi Papi belum setuju jadi dia belum berniat mengganti kk mereka.
Kenapa nama Arjuna bisa se aesthetic itu? Karena kelakuannya yang kalo kata Mas Abim naudubilah banget.
Berawal dari kelas satu SMA. Arjuna pernah kenal dengan seorang cewek namanya Tamara. Dia cantik parah. Anak blasteran Indo-Jerman yang lebih lokal dari kebanyakan blasteran. Singkatnya cewek itu dipacarin sama Arjuna tapi dia putusin pas tau kalo ada kakak kelas yang lebih badas dari Tamara. Raina adalah salah satu saksi hidup Arjuna. Dan cewek itu sangat tau perjalanan percintaan Arjuna selama ini. Arjuna berani pacaran sama Lia di kelas tiga pertengahan semester pertama. Bagi Arjuna, pertama kali dia nembak Lia itu terbilang sangat biasa saja. Tanpa bunga atau ala-ala badboy di sekolah.
"Pacaran, yuk?" itu adalah kalimat ajakan yang Arjuna lontarkan dengan sangat gampang. Awalnya Juna nggak expect kalo Lia akan menerimanya. Tapi, yah. Julia dengan gampang bilang iya.
Kata Kak Lino, diantara anak-anak Papi dan Mama, Arjuna memang yang paling ganteng setelah Kak Lino tentu saja dari versinya Kak Lino. Katanya pesona Arjuna itu ada di bagian mata dan bibir. Dibawah mata kiri Arjuna ada mole kecil yang manis banget versi Mama. Kemudian bagian bibir begitu cipokable kalo kata Raina dan Saka. Makanya harus dimanfaatkan.
Apa bibir Arjuna masih perawan? Tentu tidak. Pertanyaan yang jelas banget jawabannya. First kiss Arjuna adalah dengan Tamara. Kemudian setiap pacaran Arjuna akan menunjukan kasih sayang dengan bibirnya. Bukan lagi kalimat karena itu bullshit banget.
Keluar dari sikap bajingan Arjuna yang kalo ditulis bisa bikin mutah.
Tiga hari lalu Arjuna cekcok hebat dengan Lia. Alasannya klasik, karena Lia cemburu buta.
Hari itu Lia memergoki Arjuna jalan dengan seorang cewek padahal cewek itu cuma senior Juna aja. Namanya juga cewek. Kalo kata Raina, cewek itu gampang insecure dan memang, cewek yang sedang bersama Arjuna sangat cantik.
"Lo bisa nggak, sih, sehari aja paham sama apa yang gue rasain." Sarkas Julia hari itu. Arjuna sudah pening soal tugas kuliahnya yang mepet deadline tapi tiba-tiba Lia datang dengan amarahnya.
"Gue salah apa lagi?"
"Sumpah, ya. Cowok tuh nggak pernah paham."
Arjuna sedang pening karena tugas kuliah, kan? Makanya otaknya sedang bekerja lambat. Arjuna ikutan marah.
"Kenapa lagi? Cewek mana lagi yang lo maksud?" Arjuna tak kalah ngegas. Bahkan Saka dan Ecan sampe melongo karena Arjuna tiba-tiba membentak.
"Kok lo ngegas?" Julia berucap lirih untuk kemudian mengeluarkan ponselnya yang terdapat foto Arjuna dengan seorang perempuan. "Dia siapa?"
"Lia, please. Gue lagi pusing, jangan bahas hal kayak gini dulu."
"Oh, gue tau kok lo nggak bisa jelasin siapa dia." Lia meraih ponselnye kemudian memasukkannya dalam tas. "Dia cewek yang sering jalan sama lo. Awalnya gue nggak mau nerka siapa dia, tapi lihat cara kalian tatap tatapan gue jadi mikir cewek itu lebih dari apa-apa buat lo."
Arjuna tertawa nanar. "Terus mau lo?"
"Kita break dulu aja, ya? Gue capek." Ucap terakhir Lia sebelum meninggalkan kos Ecan.
"Silakan. Kalo itu mau lo. Kita udahan juga gue sanggup."
Arjuna sudah lelah. Dia pening dan tak tau lagi harus berbuat apa.
***
"Terus sekarang lo mau apa? Gue nggak akan bisa bantu." ucap Raina. Cewek itu juga capek harus jadi penengah di setiap pertengkaran Arjuna dengan pacar-pacarnya.
"Gue nggak mau putus sama Lia." jawab Juna sambil mengaduk ice americanonya.
"Dia nggak bilang putus, kan? Cuma break. Lia butuh waktu buat ngertiin lo."
"Dua tahun gue pacaran sama dia, kenapa selama itu dia nggak pernah bisa ngertiin gue?" Arjuna dengan dramatisnya berucap. Raina hanya menggigit sedotan. Duduk di kedai kopi dengan Arjuna duduk didepannya seperti siklus. Akan terjadi setiap beberapa bulan sekali.
"Sama aja. Dua tahun lo pacaran sama dia tapi lo juga belum bisa ngertiin dia."
"What?"
"Manusia itu teka-teki, Jun. Lo nggak akan bisa paham dia selama apapun lo dekat. Kecuali lo berusaha buat tau dia dan lo juga kasih tau dia apa yang harus dia tau dari lo. Kasus lo sekarang, lo cuma mau dimengerti tanpa lo cerita ke dia bagian mana dia harus mengerti lo. Pun sebaliknya, dia pengen lo ngertiin tapi dia nggak pernah bilang bagian mana lo harus ngerti dia." Raina menengguk habis minumannya. Bahkan sampai mengunyah es batu untuk menikmati diam seorang Arjuna.
"Jadi gue lagi yang salah?"
"Kalian berdua salah. Itu kesimpulan yang bisa gue kasih ke lo." Raina menarik gelas kopi Arjuna kemudian perlahan menyeruput karena miliknya sudah habis. "Tapi bukan berarti hubungan kalian adalah kesalahan. Sama kayak kasus-kasus sebelunnya. Lo masih punya kesempatan selama lo mau gunain kesempatan itu."
Arjuna terdiam lama. Bahkan cowok itu diam saja ketika ice americano kesukaanya hampir raib di tangan Raina.
Seperti kasus-kasus sebelumnya adalah acuan Raina dalam menanggapi curhatan Arjuna. Karena siklus pertengkaran mereka selalu seputar itu. Cewek, saling menyalahkan, tidak dewasa. Raina bahkan muak dengan semuanya. Dia selalu berpikir kenapa manusia masih saling bertahan satu sama lain ketika keduanya selalu mempermasalahkan hal sepertu itu. Sama seperti kedua orang tuanya, kenapa mereka masih bertahan diantara pertengkaran. Padahal hanya mendengar dan menyaksikan saja sudah membuat Raina ingin nyemplung ke neraka secepatnya.
***
***Di mobil biasanya anak anak pada debat tentang banyak hal. Seperti Setiyaki dan Lana yang berdebat pasal apakah betulan ada reinkarnasi. Dan jika reinkarnasi itu ada maka Lana ingin berubah menjadi choker nya Via Vallen biar tau kalo dia itu aneh pake begituan. Tapi Ali yang seorang Vianisti sejati tentu tidak terima. Perdebatan akan semakin panas jika Setiyaki membela salah satu diantara mereka.Namun hari ini Aji sedang tidak ingin berdebat. Dilihat dari rear-view-mirror sosok yang mengganggu Aji sejak subuh tadi masih terlihat. Dia duduk di belakang bersama Ali. Jika Ali tau dia sedang bersebelahan dengan makhluk tak kasat mata sepertinya cowok itu akan pinsan. Beruntungnya sosok cewek itu tidak jahil seperti sosok lain yang sering menampakan diri meski tampilannya juga tidak terlihat baik.Akan Aji deskripsikan. Dia cewek. Sepertinya seumuran dengan Aji bahkan seragamnya juga seragam yang sama dengan sekokah Aji. Rambutnya panja
***Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya.Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau."Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya."Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun."Teh, mau curhat.""Kenapa lagi sama Lia?""Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples beris
***Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah."Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong.""Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi."Diajarin.""Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih."Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi."Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
***Aji pamit ke Ali untuk pulang terlambat. Dia bilang akan ketemu dengan Setiaji untuk membicarakan sesuatu. Padahal itu hanya alibi karena Aji akan keluar bersama Zahra.Sore itu langit barat sedang cerah. Ada cahaya oranye yang memenuhi separuh langit meski matahari belum sepenuhnya tumbang."Kak Lino, hari ini Aji mau bilang suka ke Zahra. Bilangin ke Tuhan biar semua lancar, ya?" batin Aji ditengah ramai antrian bus. Entah ramai manusia atau ramai dengan sosok aneh, intinya sore itu sangat ramai.Zahra minta ketemuan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari sekolah. Kafe yang selalu mereka datangi hanya untuk ngobrol atau mengerjakan tugas bersama kawan kawan lain. Kafe itu milik kakaknya Setiaji, jadi sekalian menjadi pengelaris.Macet jakarta selalu menjadi teman paling setia di sore hari. Bersamaan dengan pulang anak sekolahan dan pekerja kantoran. Membuat seluruh kota padat akan kendaraan atau manusi
***Raina memang sudah terbiasa dengan keluarga pak Prihatmoko. Cewek itu bahkan sudah sangat bisa diajak adu mulut dengan Mas Abim, gelud dengan Ali dan Lana atau bersekongkol dengan Setiyaki untuk membuat Sonnie ngambek. Akrabnya Raina dengan keluarga Pak Prihatmoko dimulai belum lama. Namun cara Raina mendekatkan diri dengan keluarganya terlampaui hangat. Bahkan Papi dan Mama sempat ingin mengadopsi Raina. Tapi ya masa iya. Raina bukan kucing.Seperti malam ini. Raina ikutan pusing dengan Aji yang tidak memberi kabar hingga larut malam."Tenang aja, Mah. Paling Aji kejebak di kafenya Bang Jeno sama Setiaji. Nggak akan kenapa-napa." Ali berkata santai. Masih ngunyah keripik tempe yang tadi sempat dipending karena makan malam dan main uno."Iya, kali, mah. Mamah tidur aja. Pasti capek. Biar kita yang nunggu dia pulang." Setiyaki menimbuhi. Setiyaki memang pintar memprovokasi. Entah itu untuk sisi positif atau sisi negatif. Dan Mam
***Saka baru selesai mandi ketika ponselnya begetar begitu hebat. Sampai Echan yang sedang molor terganggu dan bangun dengan wajah kucel. Telfon dari Mama Raina yang menanyakan keberadaan gadis itu. Katanya sudah semalaman dia tidak pulang dan kala dihubungi tidak bisa. Saka menebak, pasti ada pertengkaran baru diantara mereka yang membuat Raina memilih keluar dari rumah. Namun setau Saka, Raina tak pernah punya tempat tujuan. Jika tidak pulang anak itu akan berdiam diri lama di depan minimarket hingga pagi menjelang.Saka tak perlu khawatir jika ada cowok yang menganggu Riana karena Raina itu preman namun khawatir Saka adalah apakah cewek itu akan baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh yang Saka takutkan."Gue cuma mau tidur, bangsat." Echan bangun langsung memaki. Sedangkan Saka melenggang santai."Lo punya kamar kos sendiri, bego. Ngapain numpang tidur disini?""Raina aja boleh masa gue kagak." Echan bangkit
***"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi."Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata de
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu