Saka baru selesai mandi ketika ponselnya begetar begitu hebat. Sampai Echan yang sedang molor terganggu dan bangun dengan wajah kucel. Telfon dari Mama Raina yang menanyakan keberadaan gadis itu. Katanya sudah semalaman dia tidak pulang dan kala dihubungi tidak bisa. Saka menebak, pasti ada pertengkaran baru diantara mereka yang membuat Raina memilih keluar dari rumah. Namun setau Saka, Raina tak pernah punya tempat tujuan. Jika tidak pulang anak itu akan berdiam diri lama di depan minimarket hingga pagi menjelang.
Saka tak perlu khawatir jika ada cowok yang menganggu Riana karena Raina itu preman namun khawatir Saka adalah apakah cewek itu akan baik-baik saja dan tidak melakukan hal bodoh yang Saka takutkan.
"Gue cuma mau tidur, bangsat." Echan bangun langsung memaki. Sedangkan Saka melenggang santai.
"Lo punya kamar kos sendiri, bego. Ngapain numpang tidur disini?"
"Raina aja boleh masa gue kagak." Echan bangkit
***"Lo berharga buat gue, jadi tolong jangan bikin gue sakit lagi," gitu katanya. Raina terdiam. Berharga?Sejauh ini tak ada seorangpun yang pernah bilang bahwa Raina berharga. Bahkan Raina sendiri berpikir tentang hidupnya yang sama sekali tak pernah berguna.Berharga bagi Raina terlalu istimewa. Hingga terdiam adalah satu-satunya cara untuk menanggapi apa yang baru saja Juna katakan.'Berharga menurut lo itu? Yang kayak gimamana?'Namun Raina tak berani bertanya. Takut akan jawab yang tak Raina inginkan terlontar dari mulut manis Arjuna.Baru saja, sebuah desiran hangat merambat dari bibir menuju hatinya. Raina sempat terpejam sebelum akhirnya sadar bahwa rasa manis itu bukan miliknya. Bahwa bibir lembut itu hanya singgah karena sebuah kekhawatiran akan banyak hal. Dan akan menghilang jika pemilik sah-nya hadir untuk memilikinya lagi."Jangan jauh-jauh dari gue mulai sekarang." Arjuna berkata de
***Hujan sudah berhenti sejak tadi namun rasanya masih banyak air yang menetes dari langit. Entah itu secara kasat mata atau hanya lamunan Aji saja. Tetap hawa suram menguasai langit malam ini.Zahra Sulistyaningrum dinyatakan meninggal pukul 10.13 menit. Masih ditanggal dan suasana yang sama. Disaksikan kakak perempuan Zahra, Setiaji, Bang Jeno dan Aji sendiri. Gadis itu terpejam meski tangis dari kakak perempuannya menggema hebat. Seolah ia tak terganggu dan tetap terlelap dengan tenang. Pucat wajah Zahra membiru, berbeda dengan sosok Zahra yang menghilang beberapa saat lalu. Bibir itu tak tersenyum dan tangan itu, Aji enggan menyentuhnya. Karena pada akhirnya meski ia genggam erat sebuah balasan tak akan Aji dapat.Aji tak menangis sama sekali. Bukan karena dia tak sedih akan kepergian itu, namun karena dia tau Zahra benci melihatnya menangis."Aji, Setiaji. Buruan sini!" teriak Zahra hari itu terngiang lagi. Teriak yang hadir
***Di tengah lapangan upacara adalah kali pertama seorang Julia mengenal Arjuna Nayaka. Berteman terik dan keringat dalam keadaan tangan terangkat kearah bendera merah putih yang berkibar gagah. Siang pukul sepuluh, tanpa angin, seorang Arjuna datang bersama keluh kesahnya ke arah guru bk karena dihukum berdiri di lapangan upacara."Pak, maaf. Sekali aja. Lagian saya nggak pernah nakal. Ini kenakalan pertama, kan? Maaf, pak. Kali ini aja," rengek Arjuna hari itu."Yang hancurin pintu kamar mandi, kamu. Yang ngerusak gorden uks, kamu. Yang bikin lantai mushola pecah, kamu. Yang berantem sama anak kelas IPS, kamu. Masa iya saya harus sebutkan kenakalan kamu satu persatu." Guru bk berdecak sambil membawa penggaris kayu andalannya. Dengan kumis tebal dan perut buncitnya, Pak Bambang menggiring Arjuna ke tengah lapangan. "Kenakalan pertama, terus yang kemaren-kemaren itu apa? Uji coba?"Dengan malas cowok itu berjalan menuju tengah lap
Warning : 21+ mohon kebijakan pembaca. Di skip-pun nggak akan mempengaruhi alur cerita. Sekian.***Lia terbangun dengan kepala yang sangat nyeri. Dengan pakaiannya yang berantakan dan rambutnya yang bau alkohol. Cewek itu merintih dan terhuyung saat hendak berjalan menuju pantry untuk meraih beberapa minum pereda pengar disana. Namun seorang berdiri dengan celemek pink dan tangan memegang sothil."Selamat pagi, tuan putri."Lia mengucek mata. Memfokuskan pandang pada seorang yang masih kabur di depannya. "Siapa lo?""Aku masak sandwitch buat kamu. Pake daging sama telor mata sapi kesukaan kamu," ucap cowok itu sekali lagi.Lia akhirnya berdiri tegap dan menemukan sosok Arjuna tengah membolak balik roti."Juna?""Iya?""Kamu?" Lia menutup mulut. Lantas melihat bajunya yang sudah berganti. Lia coba mengingat kejadian semalam. Dia ingat saat keluar dari bar dan duduk di depan untuk
***Sejak kematian Zahra hari itu, baru sempat Aji dan Setiaji berkunjung ke makam Zahra. Dengan bujuk yang luar biasa Aji lontarkan pada Setiaji, akhirnya cowok itu mau datang.Setiaji berjalan bersama buket bunga Lili putih. Berjalan perlahan sambil menunduk. Cowok itu masih takut padahal satu bulan sejak kematian Zahra sudah mereka lewati dengan tenang."Kalo lo belum siap, masih ada hari hari berikutnya, Ji." kata Aji saat keduanya berada di warung yang jauh dari pemakaman."Enggak, gue harus berani." Setiaji menatap lurus. Menegakan bahunya lantas menggenggam erat bunga miliknya.Keduanya berjalan beriringan. Menuju sebuah gundukan tanah dengan banyak bunga disana. Ini pertama kali Aji melihat rumah istirahat Zahra. Tempatnya tenang. Berada tepat dibawah bungan kamboja yang sedang mekar hari itu. Ada banyak sosok aneh di pemakanan yang jujur membuat Aji sedikit ragu untuk melangkah. Namun sekali lagi Aji menegaska
***Raina pulang ke rumah kala Papa juga sudah berada di rumah dari perjalanan dinasnya. Memang, hubungan Raina dengan Papa juga tidak begitu baik, namun masih terhitung lumayan dari pada dengan Mama.Hari itu, kala Raina pulang bertepatan dengan Papa yang baru keluar dari mobil di papah oleh pak Agus, supir mereka. Sepertinya Papa mabuk berat. Jasnya lusuh dengan dasi yang sudah tak berbentuk. Bahkan kemejanya lecek dengan bercak merah disana. Raina langsung menyimpulkan, itu bukan darah. Mungkin bekas gincu dari para wanita malam di bar yang baru saja Papa kunjungi."Teh, kok baru pulang, tadi Mama nyariin," ucap Mbak Ayu, asisten rumah tangga di rumah Raina."Mbak Ayu bilang apa?""Paling Teh Raina lagi ada kelas malem, gitu."Raina tersenyum simpul. Kemudian mengacungkan jempol ke arah Mbak Ayu. Mbak Ayu berumur pertengahan empat puluhan. Sudah mengabdikan diri sejak Raina masih sekolah dasar. Mbak Ayu adala
***Lia lebih dari berarti bagi Arjuna. Karena cewek itu adalah seorang yang paling berperan dalam perubahan sikap yang pernah Juna lakukan jaman dahulu. Julia Cassandra adalah seorang yang datang dengan anggun bersama cerianya.20 Maret tepat pukul 11 lebih 45 menit malam. Julia menelpon dengan nada ceria. Meminta seorang Arjuna untuk keluar dari rumah. Hanya untuk memberi sebuah cake coklat yang katanya Julia buat seorang diri. Bersama ucapan ulang tahun yang manis dan kecupan intens yang lumayan lama.Banyak hal yang sebetulnya berharga bagi seorang Arjuna dari Lia. Termasuk cara gadis itu tersenyum dan membuatnya hanyut dalam sebuah hangat."Jangan senyum, Li."Julia lantas terdiam. Kemudian mencubit perut Arjuna yang kemudian mengaduh. "Kenapa coba?""Mata kamu ilang kalo senyum. Nanti aku kabur kamu ketinggalan."Hari itu, dengan sangat bangga Arjuna mengajak Lia skip kelas untuk jalan-jalan.
***"Mbak, ice americano satu sama Ice vanilla latte satu. Americanonya kasih ke meja tujuh, ya, mbak. Nanti yang vanilla kasih ke meja nomer tiga belas."Aji melenggang santai menuju kursi nomor tujuh. Kursi yang dekat dengan jendela kiri. Disana sudah ada Setiaji yang asik membolak balik buku. Ralat, mebolak balik buku Kimia tidak pernah asik. Setiaji kadang menarik rambut atau menggelembungkan pipi kesal karena gagal mengerjakan soal."Lo aja, Ji. Gue cari nomer lain." Setiaji melempar pensil. Membuat Aji tertawa lirih."Padahal lo yang semangat mau ngerjain. Semangat lo tadi mana?" Aji meraih satu cookies coklat milik Setiaji. Dan cowok itu justru menatap kesal."Setiyaki sama Ali jadi kesini, nggak?""Enggak kali. Tadi pagi Mama bilang mau masak sayur asem, pasti pada pulang dulu. Kalo pantatnya baik baik aja, mereka dateng, kalo enggak, paling nempel di depan tv."Aji menoleh kesana kemari. Ad
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu