Raina pulang ke rumah kala Papa juga sudah berada di rumah dari perjalanan dinasnya. Memang, hubungan Raina dengan Papa juga tidak begitu baik, namun masih terhitung lumayan dari pada dengan Mama.
Hari itu, kala Raina pulang bertepatan dengan Papa yang baru keluar dari mobil di papah oleh pak Agus, supir mereka. Sepertinya Papa mabuk berat. Jasnya lusuh dengan dasi yang sudah tak berbentuk. Bahkan kemejanya lecek dengan bercak merah disana. Raina langsung menyimpulkan, itu bukan darah. Mungkin bekas gincu dari para wanita malam di bar yang baru saja Papa kunjungi.
"Teh, kok baru pulang, tadi Mama nyariin," ucap Mbak Ayu, asisten rumah tangga di rumah Raina.
"Mbak Ayu bilang apa?"
"Paling Teh Raina lagi ada kelas malem, gitu."
Raina tersenyum simpul. Kemudian mengacungkan jempol ke arah Mbak Ayu. Mbak Ayu berumur pertengahan empat puluhan. Sudah mengabdikan diri sejak Raina masih sekolah dasar. Mbak Ayu adala
***Lia lebih dari berarti bagi Arjuna. Karena cewek itu adalah seorang yang paling berperan dalam perubahan sikap yang pernah Juna lakukan jaman dahulu. Julia Cassandra adalah seorang yang datang dengan anggun bersama cerianya.20 Maret tepat pukul 11 lebih 45 menit malam. Julia menelpon dengan nada ceria. Meminta seorang Arjuna untuk keluar dari rumah. Hanya untuk memberi sebuah cake coklat yang katanya Julia buat seorang diri. Bersama ucapan ulang tahun yang manis dan kecupan intens yang lumayan lama.Banyak hal yang sebetulnya berharga bagi seorang Arjuna dari Lia. Termasuk cara gadis itu tersenyum dan membuatnya hanyut dalam sebuah hangat."Jangan senyum, Li."Julia lantas terdiam. Kemudian mencubit perut Arjuna yang kemudian mengaduh. "Kenapa coba?""Mata kamu ilang kalo senyum. Nanti aku kabur kamu ketinggalan."Hari itu, dengan sangat bangga Arjuna mengajak Lia skip kelas untuk jalan-jalan.
***"Mbak, ice americano satu sama Ice vanilla latte satu. Americanonya kasih ke meja tujuh, ya, mbak. Nanti yang vanilla kasih ke meja nomer tiga belas."Aji melenggang santai menuju kursi nomor tujuh. Kursi yang dekat dengan jendela kiri. Disana sudah ada Setiaji yang asik membolak balik buku. Ralat, mebolak balik buku Kimia tidak pernah asik. Setiaji kadang menarik rambut atau menggelembungkan pipi kesal karena gagal mengerjakan soal."Lo aja, Ji. Gue cari nomer lain." Setiaji melempar pensil. Membuat Aji tertawa lirih."Padahal lo yang semangat mau ngerjain. Semangat lo tadi mana?" Aji meraih satu cookies coklat milik Setiaji. Dan cowok itu justru menatap kesal."Setiyaki sama Ali jadi kesini, nggak?""Enggak kali. Tadi pagi Mama bilang mau masak sayur asem, pasti pada pulang dulu. Kalo pantatnya baik baik aja, mereka dateng, kalo enggak, paling nempel di depan tv."Aji menoleh kesana kemari. Ad
***"Gue nggak kenapa-napa para babi sekalian. Udah pada balik sana, gue mau tidur." Raina berucap kesal setelah melempari Arjuna dan Ecan dengan gelondongan jeruk. Bukan menghindar keduanya malah menangkap dengan bergaya."Nice, lagi, Rai. Gue bisa jadi pemain baseball kalo kayak gini." Ecan melempar jeruk ke arah Saka kemudian memberi sikap kuda-kuda untuk kembali menangkap lagi. Namun Raina justru berdecak, mereka kenapa, sih?Kata Saka semalam dia pingsan. Dan langsung di bawa oleh Saka kerumah sakit. Ingatan Raina memang masih sangat jelas, terutama bagiamana dia yang meninju pintu kayu dengan sangat keras. Membuat tangan kiri dan kanannya harus dibalut perban. Juga adegan di jembatan yang membuat Raina malu menatap Saka. Bukan apa apa, dia hanya berpikir, kenapa harus Saka yang menyaksikan Raina sedang terpuruk.Mama datang tadi pagi, namum Raina menolak untuk bertemu. Emosinya belum stabil. Daripada dia lagi lagi kalap karena emosi lebi
***Raina hampir kehilangan bola matanya karena lompat keluar setelah mendengar pernyataan Ecan. Raina tidak pernah menyangka tentang pernyataan itu. Tidak, lebih tepat dengan perasaan itu.Selama ini Raina dekat dengan Ecan sebagai seorang sahabat. Saling berteori tentang episode terbaru anime Boruto, membicarakan hal berbau Jepang atau tempat tempat makan murah di Jakarta yang wajib di jajal. Namun pernyataan Ecan membuat Raina terdiam kemudian berpikir keras. Selama ini, Ecan melakukan banyak hal karena dia suka dengan Raina, bukan karena dia menganggap Raina sebagai teman. Apakah begitu?"Lo... " Raina menggigit bibir. Hati dan otaknya kacau. Terlebih ketika melihat mata cowok itu yang kehilangan binar. Menunduk dalam menyembunyikan raut wajah. "Can?""Gue nggak akan nuntut banyak ke lo, Rai. Bahkan gue nggak butuh jawabannya, gue cuma mau tau soal lo. Tentang banyak masalah yang lo punya. Gue juga mau jadi orang yang bisa lari
***Namanya Laluna. Awalnya Aji enggan mencari tahu dia lebih banyak namun entah kenapa setan berseragam yang selalu mengikuti Aji kemana-mana terus terusan berbisik. Katanya,"Liat ig nya dulu, Ji. Dia cantik, kan?"Iya, sih. Laluna sangat cantik. Dengan rambut panjang, mata seperti kucing, gigi rapi dan senyum itu. Ingatan Aji enggan menghilang sebelum dia pada akhirnya menggeleng."Enggak, gue nggak bisa kayak gini."Namun otak, pikiran, dan hati Aji sepertinya sedang berada di jalan masing masing. Tanpa sadar Aji menjelajah di sosial media gadis itu. Followersnya banyak, setiap like di postingan cewek itu juga sepertinya cukup untuk dia mendapat endors obat peninggi badan."Acieeee, adik abang stalking cewek. Cantik, nggak, dek?" Bang Banyu tiba tiba menjatuhkan diri di ranjang Aji. Membuat cowok itu cepat menutup ponselnya dan mengusir abangnya dengan tidak santai."Bang Banyu, nih kenapa
***Mobil melaju pelan di jalanan Jakarta kala matahari sempurna tumbang. Berteman beberapa lagu dari Justin Bieber atau sesekali memutar lagu galau Indonesia. Bang Banyu yang duduk di kursi samping terlihat menatap kaca dengan lamunannya yang entah kemana.Kalo Arjuna adalah Kak Lino, apa yang akan Kak Lino ucap untuk menghibur bang Banyu?Setengah jam berkendara mobil menepi dan masuk pada sebuah tempat parkir rumah sakit."Bang Banyu mau ikut naik, nggak?" tanya Juna pada Abangnya. Bang Banyu menjawab dengan angguk lantas keduanya berjalan beriringan menuju bangsal Raina di lantai tiga.Sepanjang jalan hanya ada diam. Karena Juna tau, rumah sakit adalah tempat paling mengerikan bagi bang Banyu. Dimana kenangan tentang kak Lino selalu menghantui. Arjuna tidak memaksa bang Banyu ikut karena katanya, lari dari ketakutan hanya akan membuat ketakutan itu semakin menghantui. Tujukkan saja, kalo ketakutan itu bukan apa-apa
***Raina terluka. Lebih dari semua itu, dia hancur. Hatinya yang terluka, perban yang menyelimutinya kini dibuka paksa. Membuat darah kembali mengalir segar lewat dada hingga seluruh tubunya. Kenapa? Karena Raina hancur. Karena dia sudah tak berguna lagi hidup."Saka kamu keluar dulu," ucap Mama. Dengan nada datar yang membuat Saka menunduk dalam, kemudian perlahan bangkit dan berjalan keluar. Namun di ambang pintu, Raina memanggil."Jangan, Ka. Gue mau lo disini." Raina menatap sengit Mama, dan wanita itu berdecih ringan. "Gue butuh seorang yang nahan gue ketika gue kalap."Hanya dengan ucap itu Saka kembali mendekat. Dalam posisi ini, Raina tidak peduli. Persetan dengan banyak hal yang akan Mamanya lakukan, Raina hanya muak."Oke, Mama langsung aja." Mama menarik kursi. Mendudukinnya dengan anggun. Menyimpan tas mahal miliknya lantas bersedekap. Raina muak, lihat perilakunya. Siapa dia? Si kaya yang akan mengahancur
•••Cewek berseragam yang sering mengikuti Aji namanya Tiara. Aji pernah bertanya dengan sopan karena sosok cewek itu sering nongol tanpa permisi. Membuat Aji harus memaki karena kaget. Nggak etis banget kalo Aji memaki dengan menyebut seluruh penghuni kebun binatang makanya Aji berani bertanya. Seminggu terkahir, sosok itu jarang terlihat. Hanya sesekali ketika Aji makan di kantin atau berada di perpustakaan. Aji jadi merasa ada yang kurang."Siang ini gue mau gantiin bang Jeno di kafe. Dia mau pacaran sama teh Jihan. Lo mau ikut bantuin?" ucap Setiaji ketika keduanya keluar dari kelas dengan ransel di punggung mereka."Dibayar berapa gue?""Halah, sama kawan perhitungan banget. Malem minggu, nih. Rame pasti." Setiaji berhenti di depan lokernya. Membukanya lantas mengeluarkan beberapa buku dan menggantinya dengan buku di ransel. Aji melakukan hal yang sama namun ada hal aneh di loker Aji. Ada sebuah buku kecil bersampul b
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu