Untuk menjadi dewasa seorang setidaknya pernah melewati satu kali masa suram yang paling suram. Atau mungkin sekali saja jatuh untuk kemudian merasakan sakit. Katanya menjadi dewasa bukan hanya sekedar tiup lilin untuk menambah angka kehidupan. Melainkan lebih dari itu.
Raina sedang duduk di depan Indomaret seorang diri. Melihat lalu-lalang kendaraan yang lewat atau silih berganti masuk ke halaman parkir Indomaret. Tak ada kegiatan yang Raina lakukan selain duduk berteman sebotol Pocari Swet berteman wafer tanggo rasa vanila.
Jadi dewasa itu susah. Lalu kenapa banyak orang yang bertahan dalam keadaan dewasa. Raina lelah, dia muak menjadi dewasa karena rasanya sia-sia.
Pagi ini kedua orang tuanya kembali bertengkar. Pasal siapa yang lebih memperhatikan Raina selama ini. Raina kadang bingung, kenapa orang tuanya seperti itu. Padahal menurutnya, tak ada satupun diantara mereka yang betulan perhatian dengan Raina. Semua itu omong kosong.
"Rai, sorry." ujar seorang yang datang tiba-tiba. Kemudian duduk dan menatap Raina dengan tatap sendu. Iya, Raina tahu. Dirinya sangat tak layak disebut hidup dengan penampilannya saat ini.
"Gue ngantuk, Ka. Numpang tidur di kos lo, dong."
"Kenapa nggak pulang aja?"
"Udah. Tapi gue nggak disambut."
"Rai?"
"Jangan tanya dulu. Gue cuma mau tidur."
Namanya Rajendra Ajisaka. Raina biasa memanggil lelaki itu dengan Saka. Saka adalah sepupu jauh Raina. Ada sebuah kejadian yang memaksa Raina harus bercerita banyak hal pada Saka. Jadi dalam keadaan ini satu orang yang paling mengerti Raina hanya Saka. Yah, sejauh ini.
Motor Saka melaju lambat diantara padat jalanan pagi ini. Hari minggu yang panas. Namun kenapa banyak orang rela keluar rumah hanya untuk panas panasan. Ah, atau mereka sama dengan Raina. Menganggap rumah lebih panas dari menginjak jalan beraspal di siang pukul 12 tanpa alas kaki. Betul. Sakit karena terbakar.
Bersama erat peluk Raina rasanya kantuk itu semakin menjadi.
"Saka, beli bubur ayam dulu, yok. Gue laper." dan beberapa menit setelahnya motor itu berbelok pada sebuah kedai bubur ayam.
Dua mangkok tersaji hangat di depan mereka dan tanpa basa basi Raina menyantapnya.
"Rai. Kok nggak di aduk dulu?"
"Lebih enak nggak diaduk, Ka."
"Psikopat, lo? Mana enak makan bubur ayam nggak diaduk dulu?"
Raina yang jengkel akhirnya menjejalkan dua krupuk sekaligus ke mulut Saka. "Biarin, sih. Suka suka gue. Gitu aja di ributin."
Pertengkaran kecil itu memancing tawa dari bapak bapak yang jual bubur.
"Lo udah ketemu Lia?" tanya Saka tiba-tiba. Raina yang masih mengunyah kerupuk tiba tiba terdiam. "Gue khawatir."
"Khawatir sama Lia atau khawatir sama Arjuna?"
"Dua duanya."
Bohong banget. Raina tau Saka hanya khawatir soal Lia.
"Dia nggak akan kenapa-napa. Juna sama Lia sering berantem kayak gitu. Lo lihat beberapa hari yang akan datang, mereka berdua pasti udah jalan bareng lagi."
Itu kehebatan hubungan Lia dan Arjuna. Raina juga kadang heran. Arjuna bisa datang ke Raina dengan tubuh lemas, dramatis banget lantas cerita jika dia sedang gonjang ganjing dengan Lia. Namum besoknya biasanya Juna akan dengan terang terangan menggandeng Lia di depan Raina. Seolah melupakan apa yang sudah terjadi.
"Kayaknya yang kali ini bakal kenapa-napa."
Loh, sejak kapan Saka juga bisa berubah dramatis. Efek berteman lama dengan Ecan dan Arjuna?
"Kemaren dia nangis di kos Ecan. Katanya udah nggak betah pacaran lama sama Arjuna. Emang Juna nggak telfon lo, gitu?"
Raina menggeleng. Tidak. Atau mungkin belum. Raina tak mau berpikir lebih jauh. Itu hubungan mereka, jadi kenapa Raina harus repot-repot berpikir.
***
"Kak, informasi aja. Jam segini mana ada jual sop duren. Agak siang nanti." ujar Aji tiba tiba. Arjuna hanya melengos. Lagipula bukan sop duren yang dia mau. Dia hanya ingin jalan-jalan namun enggan sendirian. Tadi dia telfon Raina, tapi sepertinya cewek itu sedang sibuk. Nomornya tidak bisa dihubungi.
Arjuna justru membelokkan motor pada sebuah warung kopi. Warung kopi yang hampir tiap hari Arjuna kunjungi bersama kawan-kawannya.
"Jauh banget dari sop duren ke warung kopi. Kalo cuma buat makan mendoan di depan komplek juga ada, kak."
"Kamu mau makan apa? Kakak yang bayar." ucap Arjuna sambil melenggang masuk ke warung kopi. Aji mungkin kesal, namun Arjuna tetap melenggang. Bodo amat. Nanti juga dia diam jika sudah dibelikan kebab.
"Woi, bro." sapa Arjuna pada beberapa orang di dalam.
"Weh, Juna. Apa kabar? Sehat, lo? Lama banget nggak kesini." balas pemilik warung. Namanya Bang Tegar. Cowok usia 20-an yang terjebak di tubuh bapak-bapak.
Bukan, dia bukan tua. Bang Tegar cuma kuno. Mana ada anak seusia bang Tegar yang lebih milih mengelola warkop. Bukannya lebih baik di perbesar sedikit kemudian diberi nama kafe. Namun setiap Arjuna atau anak-anak lain memberi usul, bang Tegar selalu bilang, kafe mana yang isinya combro sama mendoan. Dan jika sudah begitu, anak anak hanya akan manggut-manggut. Atau mengalihkan pembicaraan lain agar Bang Tegar tidak membicarakan asal usul terbentuknya warkop ini.
"Dia sibuk kuliah. Anak kuliahan dia." ucap anak lain.
"Bisa kuliah, lo? Berapa nilai lo, sih? Gue yang bagus aja nggak bisa kuliah."
"Lo bukan nggak bisa, tapi nggak mau." ujar anak lain. Arjuna hanya mesem.
"Gue lulus modal nekat, bang. Jurusan aja asal pilih, yang penting kuliah." jawab Juna pada akhirnya. Anak itu nyomot satu tahu isi lantas mengambil cabe dan menggigitnya. "Kopi item dua, bang."
"Tumben pesen dua. Dateng sama siapa?"
"Adik gue." ucap Arjuna setelah susah payah menelan tahu isi. "Namanya Aji."
"Oh, adekmu yang kembar itu?"
Arjuna mengangguk. Dan itu cukup membuat Aji kebingungan. Wajahnya lucu. Karena Arjuna tahu, Aji tak mudah bergaul dengan sembarang orang. Aji itu anaknya pemalu. Eits, malunya cuma kalo belum kenal, kalo udah kenal dan akrab, ya mungkin sebelas dua belas sama Lucita Luna alias malu-maluin.
"Kak, ngapain ngajak Aji kesini, sih." bisik Aji pelan. Juna bisa mendengarnya walaupun lebih banyak desah menggelikan di telinganya.
"Nunggu siangan sampe warung sop durennya buka." Arjuna juga membalas dengan bisik.
Mari bercerita sedikit tentang warkop yang sedang Juna duduki hari ini. Warung kopi sederhana yang Arjuna tahu kala bolos sekolah jaman SMA. Dulu Arjuna anaknya emang bandel. Sering bolos cuma buat nongkrong di warung kopi berteman mendoan dan kopi. Bersama teman temannya. Arjuna tidak merokok seperti yang lain. Dulu Juna pernah coba-coba menghirup batangan nikotin itu namun baru satu hisapan Arjuna sudah terbatuk. Pahitnya seolah tidak cocok dengan selera Arjuna maka hingga sekarang Juna tak bisa merokok.
Alkohol? Warkop ini tidak menjual alkohol dan Bang Tegar tegas melarang ada alkohol di warkopnya. Alasannya sederhana, bang Tegar tidak mau kehilangan mangkok, piring dan gelas jika mereka mabuk. Tapi bukan berarti Arjuna tak pernah meneguk minuman itu. Arjuna sering, ketika stres sudah menguasai otak dan jiwanya rasanya alkohol adalah satu-satunya hal yang bisa meredakan semua stres Arjuna. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bang Banyu dan Mas Abim.
"Jun, Rio sama dua orang temennya bakal bebas hari ini." ucap salah seorang. Arjuna yang sedang nyeruput kopi hitamnya terhenti sejenak kemudian menarik senyum. Kisahnya baru dimulai.
***
***"Kak, nggak jadi sop duren. Beliin kebab aja." suara Aji dari jok belakang. Arjuna hanya nyengir kemudian membelokkan motor untuk mencara kebab yang Aji maksud.Lepas dhuhur, Arjuna langsung bertolak pulang. Tentu saja setelah menuruti Aji yang pengen kebab. Dan, yah. Aji tuh kalo jajan nggak pernah mikir harga. Nggak peduli banget kalo duit kakaknya tinggal selembar merah."Kak, ice cream. Mampir Indomaret aja.""Kan kamu udah jajan kebab?" teriak Arjuna."Tambah ice cream. Buat Ali, Setiyaki sama Lana. Kasihan mereka."Arjuna ingin menenggelamkan Aji ke cairan kecap setelah ini. Namun entah magnet apa Arjuna tetap membelokkan motor ke Indomaret paling dekat dengan komplek perumahan.Ingin tahu kenapa Arjuna sesayang itu dengan Aji? Karena Mami. Itu jawab yang akan Arjuna lontarkan pada siapa saja yang bertanya.Ingatan tentang kematian Mami masih tergambar jelas. Arjuna mema
***Aji berbeda dengan Arjuna. Aji beda dengan Kak Lino, bang Banyu atau saudaranya yang lain. Kepribadian yang Aji punya cukup unik kalo kata Kak Juna, dan unik itu selalu mengundang nyaman bagi beberapa orang. Aji adalah tempat curhat paling seru kalo kata Ali dan Mas Abim. Katanya jika kalian bercerita banyak kepada Aji, anak itu tidak akan pernah membocorkannya. Makanya, beberapa saudara selalu bercerita banyak kepada Aji. Kecuali Bang Banyu dan Kak Lino. Aji tak tau pasti kenapa, namun fakta bahwa keduanya dekat dan selalu berbagi cerita cukup membuat Aji paham. Cerita itu hanya untuk orang dewasa.Bercerita pada Aji tak lantas membuat Aji tahu banyak soal saudara saudara. Sebetulnya tidak, Aji hanya tau soal kisah asmara mereka. Aji hanya tahu jika Ali dan Setiyaki cukup tertekan di sekolah tidak lebih dari itu.Satu-satunya anggota keluarga yang misterius bagi Aji adalah Kak Juna. Banyak rahasia dari kakaknya itu yang meski dikorek dalam
***Hari ini Arjuna akan tancap gas langsung ke tempat Saka. Untuk menjemput Raina dan menculik cewek itu seharian penuh. Bodo amat soal Raina mau atau tidak. Karena saat ini Arjuna sangat butuh Raina.Pucuk dicinta Raina dan segelas kopi sudah nampak di depan kos Saka."Wassap!" sapa Arjuna pada Raina yang lebih terdengar seperti makian sebenarnya. Tapi tidak apa-apa. Arjuna tahu Raina paham tentang perangainya yang satu ini."Masih pagi, Jun." ucap Raina kemudian."Gue udah kangen berat sama lo.""Halah. Kangen cuma kalo butuh. Gue hari ini ada kuis, nggak bisa skip kelas.""Tau aja kalo gue mau ngajakin skip kelas." Arjuna menjawil lengan Raina. Sedangkan cewek itu malah melotot, mungkin geli dengan kelakuan Juna yang kadang primitif."Nggak bisa, Jancuk. Nggak ada waktu gue.""Rai. Jangan gitu, dong. Gue butuh lo demi kelangsungan hubungan gue sama Lia.""Hubungan lo s
***Julia anaknya anggun dan asik parah. Pertama Juna kenal Lia saat kenaikan kelas dua SMA. Lia cewek pindahan dari Kanada dan katanya akan menetap lama di Indonesia. Kata Raina, Lia ini anaknya lucu, lugu dan manis banget. Raina yang cewek aja nilai Lia begitu bagaimana Arjuna yang notabene masih cowok normal.Seperti yang kebanyakan orang tau, Arjuna adalah bajingan kelas kakap dalam urusan wanita. Kalo kata Setiyaki, Arjuna adalah Jancuk terbajingan yang pernah ada bahkan anak anak berniat mengadakan tumpengan untuk mengganti namanya menjadi Arjuna Jancuk Nayaka Badas Prihatmoko. Tapi Papi belum setuju jadi dia belum berniat mengganti kk mereka.Kenapa nama Arjuna bisa se aesthetic itu? Karena kelakuannya yang kalo kata Mas Abim naudubilah banget.Berawal dari kelas satu SMA. Arjuna pernah kenal dengan seorang cewek namanya Tamara. Dia cantik parah. Anak blasteran Indo-Jerman yang lebih lokal dari kebanyakan blasteran. Singkatnya cew
***Di mobil biasanya anak anak pada debat tentang banyak hal. Seperti Setiyaki dan Lana yang berdebat pasal apakah betulan ada reinkarnasi. Dan jika reinkarnasi itu ada maka Lana ingin berubah menjadi choker nya Via Vallen biar tau kalo dia itu aneh pake begituan. Tapi Ali yang seorang Vianisti sejati tentu tidak terima. Perdebatan akan semakin panas jika Setiyaki membela salah satu diantara mereka.Namun hari ini Aji sedang tidak ingin berdebat. Dilihat dari rear-view-mirror sosok yang mengganggu Aji sejak subuh tadi masih terlihat. Dia duduk di belakang bersama Ali. Jika Ali tau dia sedang bersebelahan dengan makhluk tak kasat mata sepertinya cowok itu akan pinsan. Beruntungnya sosok cewek itu tidak jahil seperti sosok lain yang sering menampakan diri meski tampilannya juga tidak terlihat baik.Akan Aji deskripsikan. Dia cewek. Sepertinya seumuran dengan Aji bahkan seragamnya juga seragam yang sama dengan sekokah Aji. Rambutnya panja
***Setelah nasihat panjang lebar dari Raina sore itu Arjuna masih belum tau mau bertindak seperti apa. Lia sudah dia hubungi berkali-kali tapi selalu di tolak. Setiap sosial media Arjuna bahkan diblokir oleh cewek itu. Juna sudah minta bantuan dari Ecan dan Saka namun keduanya bilang tidak bisa membantu. Itu titah Lia katanya.Dan malam ini langit jakarta sangat suram. Bukan suram karena mendung namun polusi dan suasana hati Juna yang sedang kacau."Teh? Teteh?" teriak Arjuna dari pintu depan. Yang dipanggil muncul beberapa menit setelahnya."Apa?" jawab sang empunya rumah. Namun tanpa dipersilahkan Arjuna melenggang masuk begitu saja. Kalo sudah di apartement Teh Aya, Juna tuh kadang lupa sama sopan santun."Teh, mau curhat.""Kenapa lagi sama Lia?""Dia minta break. Aku harus gimana?" jawab Arjuna sambil nyomot toples keripik tempe. Teh Aya duduk disebelahnya, mengambil toples beris
***Sudah lebih dari satu minggu dan setan itu terus mengikuti Aji kemanapun ia pergi. Walaupun sosok itu tidak sejahil sosok lainnya namun tetap saja ia merasa ngeri. Sosok itu selalu muncul tiba tiba. Dan setiap kali muncul tak pernah dalam keadaan bersih. Selalu ada darah."Akhh, please. Jangan ganggu gue, dong.""Lo selama ini diajarin buat nolong orang nggak, sih?" sosok itu melipat kedua tangan di dada. Mencegat Aji yang hendak ke kamar mandi."Diajarin.""Berarti lo harusnya bisa nolong gue." Sosok itu bedecak sembari menghentakkan kakinya. Aji ikutan berdecih."Kakak-kakak gue ngajarin buat nolong sesama manusia. Gue tegasin, MANUSIA!" Aji sengaja menekan kata terakhir sebelum kembali menyusuri lorong sekolah menuju kamar mandi."Gue kan pernah jadi manusia! Aji! AAJIII!!"Aji tak peduli. Itu bukan urusannya. Didalam kamar mandi ada sosok lain yang sedang berdiri dengan gamang.
***Mama Juna sudah menyambut dengan celemek coklat di badannya. Tanpa ragu cewek berkaos biru itu melepas tas ransel kecilnya dan melenggang untuk menyapa Mama Juna."Mama," ucap Raina sambil memeluk Mama Juna dari belakang."Udah dateng?""Udah dari tadi, tapi berhenti di Indimaret dulu makan jajan," jawab Raina."Eh, tadi langsung kesini aja. Mama, kan, masak banyak. Bikin camilan juga.""Beli keripik tempe buat Ali." Raina berkata ringan. Tidak, sebetulnya bukan untuk alasan itu Raina mampir ke Indimaret. Hanya ingin duduk menikmati lalu-lalang jalanan yang ramai.Semalam Raina bertengkar hebat dengan Mamanya. Pasal Raina yang sudah lelah dengan sikap menyebalkan kedua orang tuanya. Raina tahu sejak lama bahwa Mamanya main belakang. Membawa pulang laki-laki lain setiap kali Papa sedang dinas keluar kota. Dan kemarin malam, lagi lagi Mama membawa laki-laki yang berumur setengah abad. Raina muak d
Arjuna PoV"Kabar gue baik," katanya.Gue tersenyum canggung. Cowok tadi berdiri, ke tempat yang gue lihat seperti dapur umum lantas mulai sibuk dengan dua gelas disana. Gue masih mengamati, bagaimana cowok itu yang tudak berubah sama sekali. Masih hobi mengenakam celana pendek dan kaos kebesaran. Perutnya masih sedikit menggbul seperti dulu, dan rambut sedikit ikal coklatnya juga tidak berubah sama sekali. Gue menelan saliva ketika cowok itu menyajikan kopi hitam untuk gue."Nggak usah canggung," ujarnya. Membuat gue yang tadinya ingin menyesap kopi jadi urung. Meletakkan itu kembali."Lo sendiri juga canggung." Gue berkata pelan. Mencoba menjadi tenang seperti gue yang dulu. Gue beberapa tahun lalu. "Sorry, mungkin karena gue.""Iya. Semua emang karena lo. Seandainya enggak, lo tau kita bakal jadi apa sekarang?"Gue diam. Meski jujur gue nggak paham dengan apa yang barusan gue dengar."Gue m
Arjuna's PoVSemarang tidak buruk. Atau gue akan bilang cukup menarik. Lebih panas dari Jogja dan sedikit lebih ramai. Rumah nenek Jeli ada di bagian atas Semarang. Daerah Tembalang atas. Perjalanan kesana tidak jauh, hanya sedikit menanjak. Namun suguhan pemandangan Semarang cukup menarik.Kami sampai di sebuah rumah tua bergaya klasik. Dengan joglo dan ukiran tiang rumah yang masih kental jaman dulu. Gue tebak, kalo rumah ini di jual, bisa menghasilkan milyaran rupiah untuk beberapa pecintanya. Belum bagaimana pemandangan semarang yang bisa sedikit terlihat dari sini."Mau teh atau sirop, Jun?" Jeli bertanya pada gue. Gue memang sedang duduk di bawah pohon mangga dimana dibawahnya ada seperti dipan kayu yang sudah cukup berumur. Tapi sejuk dan pemandangan Semarang tetap menarik bagi gue."Sirop ada? Pake es batu juga ada?""Ada. Tunggu aja situ."Semarang dan bagaimana cerita itu akan dimulai. Gue menghela napas pan
Arjuna PoVJogja menyenangkan. Ada banyak hal yang membuat gue lupa tentang rasa sakit. Banyak juga hal positif yang bisa gue dapat. Gue menjadi mahasiswa seni rupa sekarang. Iya, sebelum DO gue memang bukan mahasiswa seni. Tapi sekarang gue menyukai seni. Kalian tau, melakukan hal yang kita sukai jauh lebih indah dari melakukan hal yang bisa dapat banyak uang. Wait. Gue jadi kasihan sama Ali.Gue sedang berdiri di depan sebuah tembok kosong. Banyak cat di sekitar gue juga banyak orang, banyak teman."Arjuna, tembok yang itu lo urus ya? Gue sama Kevin ke tembok sebelah. Peserta yang disana mendadak out. Kosong. Kan sayang kalo nggak digambar."Gue ikut mural. Karena gue mahasiswa seni? Enggak juga. Setelah masuk seni, gue jadi suka gambar. Kata temen gue, gambar itu bisa disebut healing. Wait. Kawan gue. Sebentar."Kevin misah. Sekarang kampus jadi dua tim yang ikut. Gue sama lo dan Kevin sama Rangga berdua." Jeli berkata tenang.&
Saka PoV***"RAJENDRA!! KATA IBUK KAMU DISURUH PULANG. CEPETAN KATANYA!" itu teriakan yang gue dengar. Sumpah, nyaring banget."BENTAR!!" dan itu jawab gue nggak kalah ngegas. Gue masih asik nguyah jambu biji ketika cewek yang tadi berteriak menyodokkan gagang sapu kearah gue."Eh, sianjing. Jangan gitu. Nanti gue jatuh.""Kamu tuh disuruh beli bawang. Balik dulu baru maling jambu."Informasinya gue nggak lagi maling. Pohon jambu yang sekarang gue panjat tidak berpemilik. Atau, sebenernya ada, tapi goib. Soalnya di depan rumah kosong.Oh iya. Bawang. Gue belum beli. Gue turun dari pohon setelah metik satu buah jambu lagi, lantas berjalan ke toko kelontong yang jual bawang. Cewek bersuara nyaring tadi masih ngikutin."Kamu betulan nggak mau ke Jakarta?"Pertanyaan secara tiba-tiba. Gue menggigit jambu kecil kemudian mengunyahnya singkat."Kan gue udah jadi karyawan tetap disini.
Raina PoVHalo, gue Raina. Diluar hujan dan cukup dingin. Gue hanya ingin bertanya bagaimana kabar kalian. Semoga baik. Setelah pada akhirnya gue pergi sangat jauh, gue menemukan banyak hal baru. Tentang pertemanan, tentang luka, tentang cinta dan sesuatu yang paling gue cari, tentang pulang. California tidak begitu buruk. Gue melewati hari dengan baik-baik saja. Gue bahkan bisa jalan-jalan, sengaja tertidur di teras minimarket atau keliling dengan angkutan umum hingga gue lupa dimana gue berada.Makanan di negara ini berbeda dengan Indonesia, itu salah satu hal yang gue rindu. Iya, salah satu doang. Yang lainnya? Gue merindukan seseorang.Penerbangan gue di jam 10 pagi, dan disini gue berada. Duduk seorang diri menatap tiket penerbangan dan, oh, ponsel gue bergetar. Dari Mama."Halo, Ma." Gue menyapa dengan riang. Suara diujung sana tak kalah riang. Ah, gue jadi rindu."Udah mau terbang?" tanyanya."Bentar lagi. De
***"Ati-ati, Rai. Kabar kabar ke kita kalo ada apa-apa." Saka berkata pelan. Menatap mata Raina yang berkaca meski dengan sekuat tenaga dia menyembunyikannya."Jangan lupa sama gue. Apalagi seblak jeletot buatan gue. Kalo lo kangen, bilang aja. Nanti gue kesana." Ecan ikutan berkomentar."Halah, kayak punya duit aja lo." Saka mengejek. Sedang Raina malah terkekeh kecil."Jual ginjal dulu nanti." Kelakarnya."Ngaco, lo." Raina memukul ringan bahu Ecan. "Cuma sampe selesai kuliah. Nanti gue langsung pulang.""Lebaran pulang, dong. Nanti gue bawain nastar dari Bandung.""Bedanya nastar Bandung sama Jakarta apa?" Lia bertanya."Sama kayaknya. Kalo yang di Bandung sih buatan nyokap."Raina tersenyum. Iya, dia akan rindu.Jam keberangkatan pesawat Raina masih satu jam lagi. Dia masih harus menunggu hingga waktu itu tiba. Dan waktu menunggu yang orang orang lakukan menjadi beda
**Sidang keputusan akhirnya berakhir. Tak ada yang berdiri bertepuk tangan, dan lucunya tak ada seorang yang menunduk menyesal. Tak ada tawa pun tangis. Karena yang Raina lihat dan dengar hanya gamang. Arjuna menunduk dengan raut tidak terlihat. Digiring setelah sidang keputusan selesai. Mama dan seluruh keluarga Arjuna juga langsung bangkit. Satu persatu menyisakan Raina dan Satria yang masih menunduk tak saling bicara."Ini terakhir ya, Sat?" Raina berkata lirih."Gue nggak berani memutuskan. Tapi keadaannya bilang begitu.""Berarti gue harus ngomong sama dia."Dan pada akhirnya Raina berhadapan dengan Arjuna. Cowok itu menatap tunduk Raina yang dalam. Dibataskan meja dalam satu ruang, Arjuna tersenyum semu. Sedang Raina memutuskan untuk tetap tenang."Hai, Rai. Gimana keadaan lo?"Raina mendongak. Menatap senyum Arjuna yang masih sama. Masih sama seperti awal mereka bertemu.
***Satu satunya cara untuk berdamai dengan rasa sakit adalah iklas. Tapi sayangnya, iklas ada karena hati terlalu lama terluka. Membiarkan luka itu terus terbuka hingga pada akhirnya terbiasa.Kemudian rasa sakit yang paling terasa di depan mata adalah sebuah kata pisah.Raina tak tau kenapa bisa secepat itu Papa membuatkan paspor untuk Raina. Juga kenapa perjalanannya ke California bisa segampang itu. Urusan visa, tempat tinggal, dan segala tetek bengeknya, kenapa bisa hanya dalam waktu kurang dari satu bulan.Raina belum betulan sembuh pasca operasi di bahunya, juga belum betulan sembuh tentang mentalnya. Namun dia harus dihadapkan dengan cerita baru setelah ini. Selama kuranglebih dua minggu setelah dirinya keluar dari rumah sakit, tak ada kabar apapun dari teman temannya. Saka, Ecan, Lia juga Arjuna.Hanya seorang teman yang entah kenapa selalu hadir dan duduk menemaninya ngobrol berteman secangkir kopi di depan rumah. Seorang yang
***Rindu itu apa? Khawatir itu apa? Sayang itu apa? Raina punya banyak tanya, namun sayangnya mulut itu enggan bersuara ketika dua orang sedang duduk saling berhadapan di sofa ruang rawat Raina. Dua orang itu saling meneguk kopi dengan ketegangan yang cukup menghawatirkan. Papa dan Mama nya. Yang sedari tadi mendiskusikan banyak hal tentang kelanjutan hidup Raina setelah ini.Iya, hidup Raina. Mulai kini mereka yang akan mengaturnya.Semalam, Papa dan Mama menawarkan dua pilihan. Namun diantara keduanya, semua sama sama meninggalakan apa yang sudah Raina punya. Teman, nyaman, cinta. Raina tak punya pilihan untuk mempertahankannya. Maka malam ini kepala Raina penuh dengan tanya. Apakah semua akan menjadi lebih baik jika ditinggalkan?"Pah?" Raina berkata. Dengan nada datar."Iya?""Boleh ngomong bentar?""Kamu udah punya keputusan?"Kemudian Raina menghela napas. Tidak tahu, karena kedu