"Iya, sebentar." Bella sangat malas jika sedang sakit dan harus membukakan pintu ketika ada tamu yang datang. Tapi mau bagaimana lagi, sedang tidak ada orang di rumah. Baron sedang pergi mengerjakan tugas di rumah temannya, sedangkan Lani sedang pergi arisan."Sebentar! Gak sabaran banget sih." Bella menggerutu."Hai!" Bella semakin kesal ketika tahu yang datang adalah Vian. Bella hendak menutup pintu, namun Vian segera menahannya."Bell, tunggu bentar. Gue mau ngomong.""Gak ada yang perlu diomongin. Lepas gak?"Vian menggeleng. Masih tetap menahan pintu."Ya udah." Karena kesal Bella membiarkannya dan kembali ke dalam. Vian segera menyusul."Bentar Bell." Vian menahan lengan Bella."Gue lagi gak mau diganggu.""Gue gak mau ganggu lo kok. Gue cuma mau cek keadaan lo. Kata bang Baron lo lagi sakit dan lo sendirian di rumah, makanya gue ke sini.""Jagain aja Sani. Dia pasti sendirian di rumah," sindir Bella."Jangan gitu dong, Bell. Ini gue bawain bubur ayam buat lo. Dimakan dulu, ya.
"Sita!" Vian segera menghampiri Sita yang kebetulan hendak ke kelas.Sita menoleh. "Kenapa Yan?""Gue boleh minta tolong gak?""Minta tolong apa?"Vian memberikan buku paket pada Sita. "Gue boleh minta tolong lo buat kasih buku ini ke Bella gak?"Kebetulan beberapa hari yang lalu Vian sempat meminjam buku Bella untuk dipakai belajar.Sita mengernyitkan keningnya. "Kenapa gak dikasih langsung ke Bella?""Em, gue mau buru-buru ke kelas. Mau nyalin tugas. Minta tolong ya." Vian pun pergi.Sita menatap heran Vian yang sudah pergi. Dia merasa heran karena Vian tampak aneh. Padahal biasanya Vian selalu rajin pergi ke kelas untuk menemui Bella, tapi sekarang Vian malah seperti menghindar.***"Bell, ini buku lo." Sita memberikan Bella buku yang tadi dititipkan Vian."Kok bisa di lo?" Bella bertanya sedikit heran. Karena setahunya bukunya itu sedang dipinjam Vian."Tadi Vian nitip ke gue. Katanya dia buru-buru mau nyalin tugas jadi gak sempat balikin ke lo.""Oh gitu." Bella pun menerimanya.
Sani menatap Vian dan Bella sinis ketika keduanya asyik mengobrol, sesekali tertawa."Kenapa San?" Beno bertanya.Beno dan Regan mengambil duduk di depan Sani. Sehingga menutupi Vian dan Bella dari pandangannya.Sani menggeleng sembari meminum es tehnya. "Lo cemburu liat Vian sama Bella?""Enggak. Ngapain juga gue cemburu?" Sani mengelak."Kita sebagai teman lo yang udah kenal lo lama tahu banget lo gimana. Jadi mau lo bohong pun kita bakal tahu." Regan menyahut.Beno mengangguk menyetujui ucapan Regan."Jadi maksud lo gue bohong gitu? Selama kalian temenan sama gue kalian selalu ngira gue bohong?""Gak gitu maksudnya, San. Kita cuma pengin lo jujur aja kok. Kalau lo simpan semuanya sendirian yang ada lo yang sakit.""Mau gue sakit atau gimana pun gak ada urusannya sama lo berdua, kan? Gak akan ngerugiin lo berdua juga, kan?"Regan dan Beno makin bingung bagaimana harus menjelaskan agar Sani tidak salah paham dengan maksud dari ucapan mereka."Bukan gitu, San. Kita cuma ....""Udahla
"Ekhem, rajin amat bro baca buku pagi-pagi.""Biasalah, kan udah jadi pacarnya Bella jadi harus pintar juga dong. Kalau nilainya jelek kan Bella yang malu." Regan menyahut.Vian menatap keduanya malas. "Tumben banget lo berdua datang jam segini.""Lo yang tumben jam segini udah datang. Mana baca buku lagi. Biasanya datang telat.""Bella nyuruh datang lebih awal biar dia ada waktu buat belajar bentar. Soalnya waktu dia kebagi buat belajar uts sama olimpiade. Gue jadi kasihan sama dia," ujar Vian. Padahal Vian sudah menasehati Bella agar belajar secukupnya dan istirahat yang cukup, tapi sepertinya Bella tidak mendengar nasehatnya. Waktu Vian menjemput Bella saja gadisnya itu tampak seperti buru-buru dan wajahnya juga tampak baru bangun tidur. Mungkin karena begadang. Ketika Vian bertanya, Bella malah berbohong. Vian tidak mau Bella terlalu memaksakan diri dan akhirnya jatuh sakit. Apalagi sakit saat olimpiade. "Dia begadang juga ya kayak Sani?" Regan bertanya.Vian mengangguk. "Udah g
"Loh, Bell, kok lo di sini?" Vian yang baru tiba di rumahnya cukup terkejut ketika melihat Bella yang berada di ruang tamu.Bella tersenyum. "Darimana?""Dari rumah Regan abis belajar bareng. Lo ngapain ke sini? Mana masih pakai seragam lagi. Jangan bilang selesai belajar sama Sani lo langsung ke sini?"Bella mengangguk."Lo dianter sama siapa?""Alan.""Kok lo gak bilang mau ke sini?""Habisnya waktu gue suruh lo ke rumah buat belajar bareng lo gak mau. Ya udah gue ke sini.""Bukan gak mau, tapi gue gak mau lo jadi makin capek karena harus ngajarin gue.""Tapi gue gak capek. Gue mau kok ngajarin lo."Vian mengembuskan napas. "Udah berapa lama nungguin gue?""Sejam yang lalu.""Sejam? Gue anterin lo pulang aja, ya."Bella menggeleng. "Gue kan maunya belajar bareng lo.""Tapi ini udah kemalaman. Gak enak sama orangtua lo. Dari pagi sampai sekarang belum pulang rumah.""Gue udah izin kok. Sana ganti baju.""Tapi Bell ....""Udah sana ganti baju."***"Kenapa liatin gue kayak gitu?" Bell
"Lo kenapa lagi? Perasaan kita udah selesai uts kok muka lo masih kusut gitu?" Beno bertanya.Vian menghela napas. "Gue kangen sama Bella.""Ya elah, baru juga ditinggal sehari udah galau aja. Lagian Bella juga kan cuma pergi seminggu.""Seminggu itu lama, No. Makanya pacaran biar tahu rasanya jadi gue.""Lebay lo. Gue yang waktu itu ldr aja gak gini-gini amat.""Malah lebih parah lo dibanding Vian kali." Regan menyahut.Beno menatap Regan sinis. "Diam lo.""Telfon aja Bella nya. Daripada lo galau gak jelas gini." Regan memberi saran."Nah, benar tuh. Telfon aja sekalian video call.""Gue juga maunya gitu, tapi sama Sani gak dibolehin.""Kok gitu? Emang dia siapa ngatur-ngatur?""Kemarin dia temuin gue dan bilang kalau gue jangan ganggu Bella selama mereka di sana. Karena dia gak mau gue ganggu mereka."Kemarin Sani memang pergi ke rumah Vian. Niatnya mengantarkan oleh-oleh yang dibawa papanya dari luar kota sekaligus memberitahu Vian agar jangan menghubungi Bella ketika mereka mengik
"Wih, lo di peringkat tiga, Yan," ujar Beno cukup takjub ketika melihat daftar nama peringkat ujian tengah semester kelas mereka. "Hebat banget Bella.""Kok Bella?" tanya Beno bingung."Iya Bella. Dia lagi-lagi dapat peringkat pertama ngalahin Sani. Awalnya gue mikir waktu ulangan harian dia cuma beruntung karena Sani yang sempat sakit, tapi gue rasa emang Bella bisa ngalahin Sani. Bahkan dia juga bisa buat nilai Vian meningkat pesat."Vian tersenyum lalu mengangguk menyetujui ucapan Regan. "Emang beruntung gue punya cewek kayak Bella.""Apa gue pacaran sama Bella juga ya biar nilai gue bisa bagus kayak Vian."Seketika Vian menatap Beno tajam. "Maksud lo apa?"Beno cengengesan. "Bercanda Yan. Makanya lo berdua bantuin gue cariin cewek dong.""Cari sendiri!"***"Loh, Vian?" "Hai!" Vian tersenyum lebar menyambut Bella yang baru saja pulang. "Kok lo di sini? Bukannya sekarang masih ada kelas? Ini kan baru jam sebelas.""Guru lagi pada rapat, makanya disuruh pulang."Bella manggut-man
"Sani! Congrats ya! Kita bangga sama lo." Beno memberi selamat pada Sani."Selamat ya, San. Lo emang hebat." Regan menimpali.Sani menggeleng. "Gue kalah.""Tim kalian kan juara dua. Gak kalah dong," ujar Beno."Juara dua tetap kalah sama yang juara satu, kan? Dari awal target gue juara satu bukan juara dua." "Harusnya lo bersyukur dan bangga sama diri lo, San. Karena lo bisa sampai dititik itu. Juara dua juga bukan hal yang buruk, kan? Masih ada banyak kesempatan. Jadi lo jangan patah semangat," ucap Vian."Thanks Yan, tapi gue lagi gak butuh kata penyemangat. Dan lo juga harusnya tahu kalau pencapaian gue ini gak ada apa-apanya di mata bokap gue." "Tapi kan ....""Udah ya, gue mau masuk kelas dulu." Sani menyela lalu pergi.Mereka bertiga seketika mengembuskan napas. "Yan, Bella gak kenapa-napa, kan?" Beno bertanya.Vian mengerutkan keningnya. "Kenapa lo nanya gitu?""Ya enggak, cuma kasihan aja Bella sama Alan. Mereka udah berhasil juara dua, tapi reaksi Sani kayak gitu.""Bella
"Kenapa lo baru bilang kalau lo mau balik ke Surabaya? Kenapa lo cuma ngomong ke Bella? Kenapa gue enggak? Emang teman lo Bella doang?" Pertanyaan beruntun diberikan Sita pada Alan saat Alan memberitahunya kalau dia akan kembali ke Surabaya."Makanya sekarang gue bilang ke lo kan.""Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari lama? Bella udah tahu duluan. Lo gak anggap gue teman lo, ya? Iya, gue tahu emang gue jarang ngobrol sama lo, tapi kan setidaknya gue juga harus tahu." Ekspresi Sita terlihat kesal.Alan mengembuskan napasnya sejenak. "Oke, gue salah. Gue minta maaf karena baru ngomongnya sekarang. Lo mau kan maafin gue? Gue traktir apapun yang lo mau sebelum gue balik."Sita menatap Alan sinis. "Lo pikir gue bisa disuap sama makanan?""Gak gitu, Ta. Gue cuma pengin lo maafin gue aja. Kalau lo gak mau gue traktir terus lo mau gue gimana biar bisa lo maafin?"Sita terdiam cukup lama sembari sibuk dengan ponselnya. "Gue mau lo hari ini beliin semua yang gue mau. Nih listnya." Sita m
"Bella!" Sita berlari menghampiri Bella lalu memeluknya erat. "Gue bangga banget sama lo, Bell. Lo emang terbaik. Gue tahu lo emang hebat. Dengan kayak gini lo bisa nutup mulut orang-orang yang selalu beranggapan kalau lo itu gak ada apa-apanya dibanding Sani," ujar Sita sembari melirik sinis beberapa siswa yang lewat. Sita ingat betul kalau siswa-siswa tersebut adalah orang yang pernah meremehkan Bella karena Bella berhasil meraih peringkat pertama saat ujian tengah semester mengalahkan Sani.Bella mengembangkan senyumnya. "Makasih Ta, tapi kayaknya lo agak berlebihan deh mujinya. Gue biasa-biasa aja kok. Gak sehebat itu.""Udah deh gak usah merendah gitu. Gue tahu lo paling hebat. Sorry ya kemarin gue gak ngucapin."Bella mengangguk. "Iya, gak papa kok. Kan lo sakit. Masa gue mau marah sama lo yang lagi sakit.""Btw, gue belum liat Sani. Ke mana ya dia?"Bella menatap Sita sedikit heran. Tidak biasanya Sita menanyakan Sani. Apa mungkin Sita sudah tidak marah lagi dengan Sani?"Belum
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."