“Loh? Kok lo di sini, Yan? Gue kira lo udah pulang,” kata Sani ketika mereka selesai belajar. Vian menoleh pada mereka bertiga lalu tersenyum. “Gue nungguin Bella.”Bella cukup bingung mendengar jawaban Vian. “Nungguin gue?” Karena Bella juga tidak tahu kalau Vian sedang menunggu di luar.Vian mengangguk. “Bang Baron gak bisa jemput lo katanya. Makanya minta tolong sama gue.” Vian berbohong. Justru dia tadi mengirim pesan pada Baron agar tidak perlu menjemput Bella.“Kok kak Baron gak chat gue?” Bella mengecek ponselnya. Sama sekali tidak ada notifikasi pesan dari Baron.“Lupa mungkin.”“Baik banget ya nungguin Bella selama hampir dua jam,” kata Sani sembari melirik Bella.“Kan pacarnya. Wajarlah. Iya kan, Vian?” Alan menyahut.Vian tidak menjawab. Malas menanggapi Alan.“Yuk Bell. Kita duluan, ya, San.” Vian berpamitan pada Sani.Vian menggenggam tangan Bella lalu pergi. Ketika sampai di parkiran Bella segera melepas tangannya dari Vian.“Lo ngapain nungguin gue segala?” tanya Bella
"Lo bisa berhenti ganggu gue gak?" Bella kesal karena Alan yang sedaritadi terus mengajaknya mengobrol. Padahal Bella saat ini sedang ingin membaca buku tanpa ingin siapapun mengganggu. Sita saja selalu mengerti dan membiarkan kalau Bella sedang ingin sendiri, tapi Alan benar-benar tidak bisa mengerti dengan keadaannya."Sorry, kalau kamu ngerasa keganggu. Aku cuma pengin kamu kasih aku kesempatan buat mulai kembali hubungan kita. Aku tahu kamu mungkin masih marah sama aku. Aku juga gak maksa kamu buat langsung nerima aku. Aku ngerti kok.""Dan lo juga harusnya ngerti kalau gue lagi gak pengin diganggu." Bella lalu masuk ke dalam kelas.Sita menghampiri Alan. "Lan, please jangan ganggu Bella dulu. Lo udah lama kan kenal dia. Harusnya lo lebih paham Bella kayak gimana.""Iya. Gue cuma pengin Bella ngasih gue kesempatan lagi buat balikan. Lagian Bella sama Vian kan cuma pura-pura pacaran."Sita cukup terkejut dengan ucapan Alan. "Lo tahu darimana?"***Sita segera mendekati Bella. "Bell.
"Bell, please jangan marah sama gue dong. Gue cuma pengin Vian tahu alasan lo jauhin dia," ujar Sita.Sita mengikuti Bella sampai ke rumahnya, karena ingin meminta maaf pada Bella."Tapi gak dengan kayak gitu, Ta." Jujur Bella marah dengan Sita. Dia tidak menyangka Sita akan melakukan hal tersebut. Sekarang Bella tidak tahu harus bagaimana menghadapi Vian. Dia benar-benar malu untuk menghadapi cowok itu."Iya gue tahu gue salah. Makanya gue mohon sama lo maafin gue. Ini terakhir kalinya gue ngelakuin kayak gitu. Gue janji." Sita tahu dia salah, tapi dia juga tidak ingin Bella terus-terusan menjauhi Vian. Padahal Bella menyukai Vian. Sita hanya ingin Bella tahu kalau dia hanya salah paham dengan Vian. Karena Sita yakin Vian hanya menyukai Bella, bukan Sani."Lo pulang aja, ya. Gue capek mau istirahat." Bella lalu masuk ke dalam rumah."Loh? Temannya Bella, kan?" Baron yang baru saja keluar menatap Sita heran.Sita tersenyum. "Iya kak.""Kok gak masuk?""Enggak kak, kebetulan mau langsu
"Kok lo udah masuk? Vian mana?" Baron bertanya ketika Bella sudah masuk kembali ke dalam rumah.Bella mengambil alih camilan yang sedang dipegang Baron. "Udah pulang.""Udah pulang? Terus gimana kalian?""Gimana apanya?" Bella bertanya balik."Ya gimana? Udah jadian atau belum, eh maksud gue udah baikan atau belum?"Bella menatap Baron datar. "Lo yang bilang ke Vian ya kalau gue nemenin lo ke cafe?""Iya, soalnya dia nanya. Emang kenapa?""Gak." Bella mengembalikan camilan pada Baron."Eh, lo belum jawab gue."Bella tidak menanggapi. Dia langsung pergi ke kamarnya."Lo bodoh banget sih, Bell." Bella merutuki dirinya sendiri.Harusnya tadi Bella menjawab Vian, tapi dia malah diam tidak memberikan jawaban. Jika dulu Vian hanya mengungkapkan perasaannya tanpa meminta Bella untuk menjadi kekasihnya, sekarang tidak. Vian sekarang ingin Bella menjadi pacarnya, tapi sayangnya Bella tidak bisa menjawab. Padahal sekarang Bella sudah memiliki perasaan terhadap Vian, tapi entah kenapa lidahnya t
"Gue mau."Vian seketika terdiam mencoba mencoba mencerna jawaban Bella. Apakah benar yang dia dengar? Apa dia sedang tidak bermimpi? Bella benar-benar menerimanya? "I ... Ini beneran? Gu ... Gue gak salah dengar, kan?" Vian mendadak gagap.Bella tertawa kecil. "Bener. Masa gue bohong. Kok lo jadi gagap?"Vian tersenyum sumringah sampai tidak tahu harus berkata apa. "Gue bahagia banget akhirnya lo mau terima gue jadi cowok lo."Bukan waktu yang singkat bagi Vian untuk menunggu Bella menerimanya. Berbulan-bulan dia terus mendekati Bella dan selama itu juga dia terus mendapat penolakan dari Bella. Tapi Vian tidak pernah menyerah. Vian benar-benar percaya kalau usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil."Sorry, udah buat lo nunggu lama." Vian menggeleng. "Enggak. Lo gak salah. Lo punya trauma jadi wajar.""Bentar." Bella mengambil lembaran soal yang sudah dia susun semalam lalu memberikannya pada Vian. "Ini soal buat lo kerjain dan balikin ke gue minggu depan.""Kita kan baru jadia
"Enak gak esnya?" tanya Vian.Bella mengangguk. "Enak banget."Saat ini mereka sedang makan es pisang hijau. Vian yang mengajak Bella. "Kok lo bisa tahu tempat makan yang enak-enak gini sih?" tanya Bella cukup heran. Selama Vian mengajaknya makan, pasti makanannya tidak pernah mengecewakan. Berkat Vian, Bella lebih tahu banyak tempat makan yang enak di Jakarta.Vian tersenyum. "Iya dong. Gue kan suka makan. Abis kita makan ini gue mau ngajak lo ke tempat makan lain lagi. Gue jamin lo pasti bakal suka.""Makanan apa emang?""Ada deh. Lo abisin esnya dulu."***"Kenyang gak?"Bella mengangguk sembari mengusap perutnya yang sedikit membuncit. "Kenyang banget. Thanks ya buat hari ini.""Sama-sama dong. Btw, lo sadar gak kalau hari ini hari pertama kita ngedate?""Iya ya.""Tapi gue senang tahu lo mau diajak kulineran bareng gue. Pokoknya gue senang banget."Bella tersenyum. "Gue juga senang banget. Oh iya, jangan lupa kerjain soal yang kemarin gue kasih."Vian yang tadinya tersenyum lang
"Tadi seru banget, ya," ucap Vian.Sani mengangguk. "Seru banget. Gak nyesal gue ikut nonton. Cowok yang tadi nyetak banyak gol tuh siapa sih namanya? Dia keren banget.""Iya ya. Waktu gue pertama nonton bareng bang Baron aja gue langsung kagum sama dia. Jago banget.""Egi namanya. Mau gue kenalin?" tawar Baron."Harus banget dikenalin?" Bella menyahut."Loh? Gak ada salahnya kan? Siapa tahu bisa berteman.""Nah, setuju gue sama bang Baron," kata Beno."Bentar ya." Baron lalu pergi menghampiri Egi.Bella berdecak. Dia sudah cukup bosan. Saat ini dia hanya ingin pulang, tapi Baron malah mengulur waktu. Tak lama kemudian Baron sudah kembali. "Guys, kenalin ini Egi." Baron memperkenalkan Egi pada mereka."Halo, gue Egi." Egi berjabat tangan pada mereka, kecuali Bella.Egi menatap Bella sembari tersenyum. "Bell, akhirnya lo ikut nonton juga. Kata bang Baron lo gak suka nonton footsal.""Iseng aja bosan di rumah.""Btw, tadi lo mainnya jago banget, bro," ujar Regan."Nah, benar. Sekali-k
Sepulang sekolah sesuai janji Bella langsung pergi ke rumah Sani untuk berdiskusi soal bersama Sani dan Alan. Namun Bella tidak sendirian, melainkan bersama Vian.Kalau saja Vian tidak memohon pada Sani dan diizinkan, Bella sudah pasti tidak akan mau Vian ikut dengan mereka. Karena Bella tahu alasan Vian ingin ikut. Vian tidak mau membiarkan Alan mendekatinya. Padahal Alan beberapa hari ini sama sekali tidak berusaha untuk mendekati Bella. Bahkan Alan seperti menghindar darinya setelah tahu Vian berpacaran dengannya."Guys, kalian mau makan apa? Gue pesanin," tawar Vian."Bisa gak nanti aja nanyanya? Kita mau belajar ini," ucap Bella.Baru awal saja Vian sudah mengganggu. Itulah sebabnya Bella tidak mau Vian ikut dengan mereka."Sorry, gue kan cuma nawarin.""Gak papa, Yan, order aja. Kebetulan gue lagi lapar sih. Nyokap lagi pergi jadi gak ada makanan," sahut Sani."Oke deh. Jadinya mau makan apa?"***"Akhirnya selesai juga."Sekitar tiga jam mereka belajar dan diskusi, akhirnya sel
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat